Panic Attack

1880 Kata
"Ayo, Pak, ikut saya ke UKS," ucap Yuni sambil membopong Panji yang sedang lemas di salah satu koridor Tumimbal yang dekat dengan ruang tata usaha. Panji tidak bisa berkata apa-apa saat Yuni memapahnya sambil tertatih karena berat tubuh Panji yang jauh lebih berat jika dibandingkan dengan Yuni. Pelan-pelan Yuni memapah Panji, karena ia tidak ingin guru baru di sekolahnya itu celaka ketika berjalan menuju ke UKS. Setibanya di ruang UKS, Yuni meminta Panji bersandar di tembok samping pintu UKS, sementara Yuni membuka pintu untuk Panji. Yuni mencoba memutar gagang pintu beberapa kali, namun pintu di hadapannya tidak kunjung terbuka. Tangan Yuni gemetar karena panik, ia menoleh ke kanan dan kiri, berusaha mencari bantuan kepada orang lain. "Tunggu di sini sebentar, Pak!" Yuni segera berlari sekencang-kencangnya menuju ke pos keamanan yang ada di bagian paling depan sekolah. Lorong kosong nan panjang ia lalui untuk tiba di sana. Bayangan-bayangan hitam yang menghuni lorong-lorong itu tidak berani menampakkan diri ketika Yuni melesat dengan cepat. Sosok-sosok mengerikan itu hanya mengintip dari sela-sela lubang udara, tidak berani mengganggu. Yuni yang memang sudah terbiasa dengan penampakan-penampakan itu pun hanya mengabaikan keberadaan mereka sambil tetap berlari. Saat ini, apa yang ada di pikirannya hanya menolong Panji. "Pak Nyoman!" seru Yuni ketika ia hampir tiba di pos keamanan. Pak Nyoman yang hendak menyeruput kopi sore, seketika langsung tersentak mendengar Yuni yang memanggilnya dengan lantang. Spontan, Pak Nyoman langsung keluar dari pos keamanan sementara Yuni segera melambatkan langkahnya ketika ia tepat berada di depan Pak Nyoman. Yuni terengah-engah, ia menunduk kehabisan tenaga. "Ada apa, Gek?" Pak Nyoman segera menghampiri dan menepuk bahu Yuni. "Anu, Pak … itu …" Yuni menunjuk ke belakang. Pak Nyoman menengok ke arah belakang punggung Yuni, namun tidak melihat apapun kecuali lingkungan kosong karena rata-rata siswa sedang berada di dalam kelas. "Apa sih, Gek, Bapak gak lihat apa-apa itu loh," sahut Pak Nyoman kesal. "Anu, Pak, saya minta kunci UKS, Pak Panji kayaknya sakit!" Yuni masih tetap menunduk, berusaha mengambil kembali nafasnya yang tercecer di jalan. "Ha? Pak Panji? Di mana Pak Panji sekarang?" Pak Nyoman ikut panik. "Di depan UKS, Pak! Makanya ayo cepetan!" Yuni mengambil nafas Panjang, lalu ia kembali berlari menuju ke ruang UKS. Pak Nyoman pun segera mengikuti Yuni dari belakang. Namun karena usia, Pak Nyoman sedikit kewalahan mengejar Yuni. Sesampainya di depan ruang UKS, Yuni melihat Panji masih tetap bersandar lemas dengan mata tertutup. Namun di samping Panji, ada sosok lelaki buruk rupa yang sedang berdiri, seakan sedang menghisap aura kehidupan Panji tepat di lehernya. Sosok lelaki itu menjulurkan lidah panjangnya hingga menyentuh tanah, sementara ada asap hitam tipis terlihat keluar dari kulit leher Panji. Lidah panjang dari makhluk astral buruk rupa tersebut bergerak perlahan menyusuri tubuh Panji dari ujung kaki, menjilati setiap jengkal dari kulitnya, menyusup ke balik celana Panji dari bawah. Lidah panjang itu kemudian muncul dari dalam kerah baju yang Panji kenakan, kemudian bergerak menjilati wajah Panji dengan perlahan. Tatapan mata dari makhluk itu tampak sayu, seakan menikmati setiap inci dari tubuh korban yang tidak berdaya di hadapannya. Sosok itu terlihat cuek ketika Yuni mendekat ke arahnya, seakan tidak ingin waktu makan siangnya terganggu. Melihat sosok buruk rupa yang berusaha mengganggu gurunya, Yuni yang sedang berlari berusaha mengusir makhluk itu. "Heh kurang ajar! Pergi kalian! Huss … huss …." Yuni mengipas-ngipaskan tangan, mengusir sosok mengerikan tersebut. Tetapi mungkin karena merasa sedang berada di tengah santap siang, sosok lelaki dengan bekas luka busuk yang memenuhi wajahnya, tidak peduli dengan ucapan dari Yuni. Menyadari jika sosok itu mengabaikannya, Yuni segera melompat dan menendang sosok tersebut. Tapi sayang, karena manusia dan sosok astral sejatinya berada pada dimensi yang berbeda, badan Yuni pun tidak bisa menyentuh makhluk tersebut dan Yuni hanya menendang angin kosong. Saat mendarat, Yuni menengok ke belakang. Yuni tahu, apa yang ia lakukan sebenarnya nyaris tidak ada gunanya. Tetapi di dalam pikirannya, hanya ini yang dapat ia lakukan. Beruntung, makhluk yang menghisap aura kehidupan Panji sudah menghilang. "Gek, tungguin nak e …," seru Pak Nyoman sambil melambaikan tangan kepada Yuni yang bangkit setelah mendarat dari lompatan. Nafas Pak Nyoman terlihat terputus-putus, usia memang tidak bisa membohongi stamina. "Ah! Ayo, Pak! Cepet, Pak!" Yuni kembali memeriksa keadaan Panji, sementara Pak Nyoman merogoh kantong celana, mencari kunci ruang UKS. Tidak lama kemudian, Pak Nyoman segera membuka ruang UKS dan Yuni memapah kembali Panji, membawanya masuk ke ruang UKS. Pak Nyoman pun ikut membantu Yuni memapah Panji setelah membuka pintu. "Pelan-pelan, Pak," ucap Yuni kepada Pak Nyoman ketika menidurkan Panji di ranjang UKS. Yuni segera berlari ke kotak pertolongan pertama, mengambil apapun yang bisa ia gunakan untuk menolong. "Lagian kenapa sih ruang UKS dikunci segala? Kalau ada yang gawat gini kan repot, Pak! protes Yuni. "Gimana lagi, Gek, kalau gak gini nanti obat di UKS bisa habis dipakai anak-anak! Tahu sendiri anak-anak gimana, kan?" ucap Pak Nyoman membela diri. "Tapi kalau kayak gini kan repot, Pak, mana kita para siswa kan gak bawa handy talky buat nyuruh Bapak ke sini!" "Ya maaf, Gek, udah aturan sekolah ini!" "Yaudah, Pak, Bapak bisa balik ke pos. Biar saya yang urus di sini!" sahut Yuni ketus. "Bener gak apa-apa, Gek?" "Iya, udah, nanti saya balikin kunci UKS ke Bapak!" Pak Nyoman pun segera beranjak setelah berpamitan kepada Yuni. Dengan cekatan, Yuni segera menghidupkan kran air hangat dan membasahi handuk yang sebelumnya telah ia ambil dari lemari yang berada di samping kotak pertolongan pertama. Panji yang sedang berbaring di atas ranjang terlihat menggigil dan lemas. Yuni segera memeras handuk yang telah basah, lalu berjalan cepat menuju ke Panji dan mengompres dahi guru BK-nya tersebut. Selama mengompres, Yuni mengisi baskom kecil dengan air yang lebih panas, lalu ia taruh di meja yang ada di samping ranjang. Yuni merawat Panji dengan sabar. Setiap ia merasa kompres yang ada di dahi Panji mulai mendingin, ia segera membasahi dengan air panas dan kembali mengompreskan kepada Panji, hingga beberapa saat kemudian badan Panji mulai terlihat tenang, tidak lagi menggigil seperti sebelumnya. Nafasnya pun mulai teratur, namun Panji masih memejamkan mata. Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, tidak ada perubahan berarti dari Panji. Di meja samping ranjang, Yuni telah menyiapkan obat pereda demam dan nyeri. Namun ia masih harus menunggu Panji bangun untuk memintanya minum obat. Namun saat Yuni memperhatikan Panji, sepertinya guru BK-nya itu sedang tertidur. Mungkin Panji merasa tubuhnya sedikit lebih baik, sehingga memilih mengistirahatkan diri. Yuni tidak bisa terus menerus membiarkan Panji tidur, setidaknya sebelum meminum obat, agar penyembuhan tubuhnya semakin cepat. Perlahan, Yuni berjalan mendekati Panji dan menggoyang-goyangkan bahunya dengan lembut, "Pak, bangun, obatnya diminum dulu." Tapi sayang, Panji tidak kunjung sadar dari tidurnya. Yuni mencoba menggoyangkan badan Panji dengan sedikit lebih keras, namun Panji belum juga terbangun. Lagi, Yuni mulai merasa khawatir. Perlengkapan di UKS yang hanya seadanya, serta Yuni yang hanya siswi SMA biasa yang tidak terlalu mengerti tentang kedokteran, membuatnya tidak bisa berbuat apapun. Yuni mencoba memegang pergelangan tangan Panji, mencari denyut nadinya sambil melihat jam dinding yang menggantung di tembok ruang UKS. "Satu, dua, tiga" Yuni bergumam sambil menghitung setiap denyut yang ia rasakan. "Aduh, denyut nadinya cuma 55 per menit, lemah banget lagi … aku kayaknya harus cari bantuan guru deh!" Yuni bergegas hendak pergi ke ruang guru. Namun ketika ia membuka pintu, rupanya ada seorang siswi berambut sebahu yang lebih pendek darinya, tengah berdiri tepat di balik pintu. Yuni mengernyitkan dahi, bingung kenapa ada siswi itu di hadapannya. "Rika, ngapain di sini?" Tanpa menjawab pertanyaan Yuni, Rika segera masuk dan melihat keadaan Panji dari dekat. Yuni pun tidak menghalangi rika untuk masuk, ia justru mengurungkan niatnya ke ruang guru dan kembali berjalan ke arah Panji. Hanya dengan keberadaan Rika di sampingnya, membuat Panji tiba-tiba kembali menggigil. Yuni yang merasa khawatir, segera bergerak hendak mengambil kain yang mengompres dahi Panji dan menggantinya menghangatkannya kembali menggunakan air yang ada di baskom. Tapi, baru saja Yuni bergerak, Rika langsung menghentikan Yuni agar tidak mendekati Panji. "Heh kenapa sih? Itu Pak Panji menggigil, kasihan!" Yuni sedikit berontak, namun Rika masih tetap bersikeras menghentikannya. Sementara itu, Panji terlihat semakin gemetar dan menggigil, membuat Yuni semakin memaksa untuk mendekati Panji karena ia merasa sudah merawat Panji sejak menemukannya kesakitan di lorong. "Rika! Kamu ngapain sih?!" Yuni kembali mendorong tangan Rika yang menghalanginya, namun rika terlihat lebih kuat dari Yuni. "Diamlah! Dia akan keluar!" ucap Rika perlahan namun tegas sambil melirik sinis kepada Yuni yang tampak khawatir terhadap Panji. Sesaat kemudian, Panji tiba-tiba kejang. Matanya melotot, mulutnya terbuka. Yuni berontak semakin keras, ingin menyelamatkan Panji. Yuni khawatir jika ini adalah saat terakhir bagi Panji dan ia akan merasa sangat berdosa jika tidak berhasil menyelamatkan gurunya tersebut. Namun Rika juga masih bersikeras menghentikan Yuni agar tidak mendekat ke arah Panji. Wajah Rika terlihat tenang tanpa ekspresi, namun tangannya tampak kuat menahan beban tubuh Yuni yang melawan. Panji kejang semakin kencang, setelah itu dari mulutnya keluar asap tipis berwarna putih disertai pekikan keras. "Kkk … kenapa kau harus muncul di sini, gadis nakal!" Suara yang keluar dari mulut Panji, tidak terdengar seperti Panji yang sedang berbicara. Suara itu lebih terdengar seperti seorang wanita tua dibanding pria dewasa, serak, basah, namun sangat tidak nyaman didengar. Menyadari hal itu, membuat Yuni sedikit gemetar. Meski ia sudah biasa menghadapi penampakan-penampakan aneh di sekolah ini, namun ia tetap takut jika ada makhluk astral yang sanggup merasuki tubuh manusia seperti ini. Mungkin karena makhluk itu sempat menghisap aura kehidupan dan ketakutan dari Panji, sehingga ia seakan memiliki kekuatan lebih untuk menggoda manusia. Belum lagi, keberadaan Panji yang merupakan orang baru di Tumimbal, membuatnya menjadi mangsa empuk untuk makhluk-makhluk tidak jelas ini. Yuni yang awalnya hendak menolong Panji, sekarang justru mundur teratur. Hal-hal supranatural bukanlah sesuatu yang bisa ia atasi seorang diri. Yuni hanya menatap Rika yang terlihat santai, seakan apa yang ada di depannya bukanlah masalah besar. “Kau yakin ingin tetap ada di tubuh ini?” tanya Rika dengan santai. “Kkk … kurang ajar kau, bocah tengik! Awas kau!” Suara perempuan tua itu terdengar menggema, kemudian suaranya terdengar menggerutu semakin pelan hingga akhirnya tidak terdengar lagi. Panji berangsur-angsur membaik, nafasnya mulai teratur meski masih terengah-engah. Keringat di dahinya mengucur deras, matanya masih belum terbuka, Panji belum sadarkan diri. “Pak Panji!” Yuni segera menghampiri Panji setelah Rika mengendurkan tangan yang menghalangi Yuni. Dengan cekatan, Yuni segera memeriksa keadaan seluruh tubuh Panji. Mulai dari suhu tubuh, detak jantung, hingga kecepatan nafas. Sayangnya, Yuni tidak bisa memeriksa tekanan darah karena UKS tidak memiliki alat untuk memeriksanya. Sebenarnya, sekolah memiliki alat tersebut. Namun guru-guru menyimpannya dari para murid karena takut disalahgunakan. “Suhu tubuhnya berangsur turun, detak jantungnya pun mulai naik,” gumam Yuni sambil memeriksa keadaan Panji. Tanpa mengucapkan apapun, Rika melangkah pergi dari UKS. Yuni bahkan tidak menyadari jika rika telah hilang dari hadapannya karena ia terlalu fokus terhadap Panji. “Makasih ya, Rik ….” Yuni menoleh ke belakang, namun ia tidak bisa menemukan Rika di sana. Yuni hanya menghela nafas, lalu bibirnya mengembangkan senyum. Ia sebenarnya ingin berterima kasih kepada Rika yang telah membantu menyelamatkan Panji. Namun sifat misterius Rika membuatnya sangat sulit untuk digapai, bahkan bagi Yuni sekalipun. Tidak lama kemudian, Panji terdengar melenguh sambil menggerakkan kepalanya perlahan. Matanya terbuka perlahan, samar-samar ia mulai bisa melihat lingkungan di sekitarnya. Saat Panji melihat ke samping, perlahan siluet dari seseorang yang bergerak mulai terlihat. Semakin lama, penglihatan Panji semakin jelas, hingga ia bisa melihat Yuni yang menatapnya dengan mata khawatir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN