Panji dan Rika

1850 Kata
Panji berlari sekencang-kencangnya ketika ia dikejar oleh gerombolan makhluk astral menyeramkan saat akan melewati koridor panjang menuju ke kompleks apartemen. Pandangan mata yang mulai buram karena tenaga yang belum pulih pasca kejadian yang menyebabkan Panji masuk UKS, serta kelelahan akut yang masih menjangkiti, membuatnya tidak sanggup lagi untuk berlari. Di pelupuk mata, samar-samar Panji dapat melihat seorang perempuan berdiri di tengah jalan. Panji tidak tahu, apakah perempuan itu manusia atau bukan. Satu hal yang ia tahu, perempuan itu berdiri menghalangi jalan. Panji terus saja mencoba berlari, ia berusaha tidak memedulikan kehadiran siapapun di sekitarnya karena ia berusaha sekuat tenaga untuk sampai ke pos keamanan, guna meminta bantuan kepada Pak Nyoman. Saat ini, hanya Pak Nyoman lah satu-satunya yang Panji pikirkan untuk mencari bantuan. Tidak menyadari kehadiran Rika di sana, Panji terus saja berlari melewati Rika, hingga ia sadar jika makhluk-makhluk aneh itu tidak lagi mengikutinya. Beberapa langkah kemudian, Panji pun berhenti. Nafas Panji terputus-putus, kelelahannya sudah mencapai puncak. Panji menoleh ke belakang, di mana Rika sedang menghadang semua makhluk-makhluk aneh yang berkeliaran di sekolah. Pandangan mata Panji masih saja buram. Apa yang terlihat hanyalah seorang perempuan berseragam putih abu-abu yang berdiri tegak di hadapan belasan atau bahkan puluhan makhluk astral. Panji sudah tidak sanggup berbuat apa-apa. Satu kedipan kemudian, makhluk astral itu sudah menghilang dari pandangan mata Panji. Rika pun berjalan menjauh dari Panji. Tapi, Panji yang sedang dalam keadaan hampir pingsan lagi, sedang membutuhkan bantuan. Rika tampak tidak peduli dengan Panji, berbeda dengan Yuni yang tampak sangat telaten merawatnya. "Hei!" seru Panji lirih. Tenaganya yang habis membuat suara Panji nyaris tidak terdengar. Perlahan, badan Panji merosot. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menyangga badannya yang hampir ambruk. Tangannya berusaha menggapai Rika yang berjalan semakin jauh. "Siapapun kamu, tunggu, tolong saya!" Suara Panji terdengar semakin serak dan lirih, hingga akhirnya, ia kembali tidak sadarkan diri. "Hei, Tuan Putri, manusia itu tidak sadarkan diri di sana," bisik sesosok makhluk astral berwujud anak lelaki berusia 7 tahun yang mengenakan seragam sekolah zaman kolonial kepada Rika. "Biarlah. Rasa takut manusia satu itu memang selalu menarik perhatian kalian bukan? Jika ia pingsan, maka kalian bisa bebas menghisapnya. Salah sendiri berkeliaran di waktu senja," sahut Rika tanpa menoleh ke belakang. "Ahhh … kau benar sekali, Tuan Puteri, aura rasa takut manusia satu itu sangat kuat dan nikmat," jawab bocah astral itu sambil menggaruk-garuk pipinya menggunakan kuku tangan yang tajam, namun tidak menggores kulit wajahnya yang tampak putih dan pucat. Raut wajahnya pun menunjukkan jika ia sangat bernafsu ingin menikmati aura rasa takut dari Panji. Sesekali, bocah astral itu mencuri-curi pandang kepada Panji yang tergeletak tidak berdaya. "Tapi, jika memang kau membiarkan kami menghisapnya, kenapa kau menghalangi kami saat mengejar pria itu?" ucap bocah astral sambil memutar-mutar badan, bertingkah selayaknya anak umur 7 tahun. "Aku hanya kebetulan lewat," jawab Rika sambil mengalihkan wajah dari makhluk astral itu. "Tuan Putri …." Bocah astral itu berjalan menjauhi Rika, lalu berbalik dan tersenyum, menunjukkan taring merahnya yang mungil namun mengkilat tajam. "Kau tahu jika aku sebenarnya jauh lebih tua darimu. Aku tahu apa yang kau rasakan. Lebih baik, siapkan kebohongan yang jauh lebih baik dari ini," ucap bocah itu sebelum akhirnya keberadaannya memudar perlahan, seiring senja yang tenggelam sepenuhnya. Lampu-lampu yang ada di koridor pun mulai dihidupkan, menemani kesendirian Rika yang berdiri di bawahnya. Perkataan bocah astral itu membuat Rika berpikir, apakah pantas jika ia meninggalkan pria dewasa yang sedang pingsan itu sendirian? Mungkin sekarang, keadaan pria itu masih aman. Tapi tidak ada jaminan ia akan terus aman, apalagi jika Rika benar-benar meninggalkannya. Karena bagaimanapun, makhluk-makhluk astral kelas teri masih mencoba mengintip Panji dari sela-sela lubang udara, menunggu Rika pergi lalu mereka akan kembali menyerbu dan menggerogoti aura kehidupan milik Panji. "Rajungan rebus!" Rika mengumpat kepada dirinya sendiri yang tidak tega meninggalkan Panji sendirian. Setelah berdiam sejenak, Rika pun akhirnya melangkah mendekat ke arah Panji. Rika menatap Panji yang tergeletak di lantai dengan mata dingin. Berbeda dengan Yuni yang menolong, Rika hanya menunggu Panji sadar sambil duduk di lantai dan bersandar. Ia terus saja menatap wajah Panji yang terlelap. Di dalam hati, Rika berkata, "kenapa aku justru diam di sini? Kenapa aku menolong pria ini? Bahkan dua kali aku menolongnya hari ini. Bahkan sekarang, aku menunggunya terbangun. Cih! Sejak kapan aku peduli kepada orang lain? Padahal aku bisa saja membiarkannya menjadi korban selanjutnya. Apa pikiranku ternodai oleh perkataan Keblek?" Rika teringat dengan burung hantu yang muncul di atap ketika ia pertama kali bertemu dengan Panji. Saat itu, Rika berada di antara dua sisi yang saling ingin tahu. Keblek yang ingin tahu tentang Panji, dan Panji yang ingin tahu misteri di sekolah ini. Pikiran Rika sedang berputar saat ini, kerumitan yang ada di dalam pikirannya bertolak belakang dengan raut wajahnya yang selalu datar di manapun ia berada. Keblek adalah sosok makhluk astral yang menjadi pemimpin para makhluk astral yang menghuni wilayah udara Tumimbal International School. Makhluk yang biasanya dipanggil untuk ritual pesugihan ini, selalu datang disertai dengan aroma pandan yang menyengat. Di Tumimbal, beberapa makhluk astral mendiami satu tempat dan menjadikannya wilayah kekuasaan. Seperti Keblek yang mendiami atap sekolah, lalu perempuan mengerikan berbaju putih lusuh dan berkuku panjang yang mendiami ruang kepala sekolah, hingga perempuan dengan kelopak mata kosong yang menghuni ruang BK tempat Panji bekerja. Mereka yang tidak memiliki kekuasaan, hanya hidup mengikuti di mana pemimpin mereka tinggal, atau mereka akan mendiami sela-sela lubang udara dan menunggu manusia-manusia lemah untuk mereka santap aura kehidupannya. Ada juga makhluk astral yang mampu berkeliling sekolah, seperti bocah lelaki bertaring merah yang bertemu dengan Rika sebelumnya. Beberapa dari makhluk itu hanya mampu menunjukkan wujud, beberapa hanya mampu menunjukkan suara tanpa wujud, beberapa dari mereka yang cukup kuat mampu menunjukkan wujud dan mengeluarkan suara, makhluk yang lebih kuat lagi mampu merasuki manusia, sedangkan yang terkuat, mampu berkomunikasi dengan manusia. Keblek dan bocah bertaring merah adalah contoh dari makhluk astral yang terkuat. Selain menguasai satu wilayah, mereka juga mampu berkomunikasi dua arah dengan Rika. "Emhh …." Panji tiba-tiba melenguh, membuyarkan lamunan Rika. Gadis berambut pendek sebahu itu hanya menatap Panji dengan sinis, tanpa mendekat apalagi peduli. Panji mulai mendapatkan kesadaran, namun kepalanya masih terasa berputar dan berdenyut. Hari pertama mengajar, benar-benar terasa seperti neraka. Panji masih tidak ingin bangkit, badannya terasa sangat lemas. Ia hanya mencoba memutar badan, hingga berada di posisi terlentang. Langit-langit sekolah yang diterangi lampu berwarna putih, menjadi teman Panji malam ini. Sepertinya sudah terlalu gelap untuknya kembali ke kompleks apartemen. Sejenak kemudian, Panji teringat jika ia harus menuju ke pos keamanan, guna meminta bantuan kepada Pak Nyoman. Namun ingatannya berputar kembali saat ada seorang perempuan yang menghalangi makhluk astral yang mencoba menangkapnya. Panji menghela nafas lega, setidaknya ia masih hidup saat ini. Mungkin di malam hari, makhluk astral tidak seganas waktu senja. Panji mencoba menoleh ke kanan, samar-samar terlihat segitiga biru muda yang terpampang di antara dua kaki. Rasanya seperti mimpi, Panji melihat pemandangan tersebut. Namun saat menyusuri dari bawah ke atas, seorang gadis berbaju seragam sedang memeluk lutut sambil menatap lurus ke depan, tidak peduli jika bawahannya terbuka dan area pribadinya terpampang. Panji belum bisa bereaksi, otaknya masih mencerna apa yang sedang terjadi. Saat sadar jika seharusnya ia berada di tempat ini sendirian, "aaargh!!" Panji berteriak sekencang kencangnya saat menyadari ada perempuan di samping kanannya. Rika tidak terkejut dengan reaksi Panji yang tiba-tiba, ia hanya melirik sejenak lalu kembali memandang kosong ke arah depan. Sepertinya Rika sadar jika area pribadinya terekspos, hanya saja ia tidak peduli. Panji mencoba bangkit sekuat tenaga. Tangannya menopang badan ke lantai, lalu ia menarik badan perlahan agar duduk. Tapi, baru saja ia bangkit, kepalanya kembali berputar, membuatnya hampir tidak sanggup berdiri. "Aw … aw … aw …," keluh Panji sambil memegangi kepala. Panji berusaha mengatur nafas, perlahan pandangannya kembali pulih. "Sudah sadar? Kalau begitu saya akan pergi. Tugas saya selesai di sini," ucap Rika sambil berdiri dan hendak berlalu. "Hei, tunggu!" seru Panji yang tidak dipedulikan oleh Rika. Gadis itu terus saja berjalan, tanpa menghiraukan Panji yang berkali-kali berteriak menghentikannya. Panji pun berusaha sekuat tenaga untuk bangkit, lalu berlari tertatih mengejar Rika. "Hei tunggu!" Panji menepuk bahu Rika setelah berhasil mengejarnya. Rika menoleh dengan wajah datar, membuat Panji gemetar karena teringat dengan semua penampakan menyeramkan di sekolah ini. "Eh … ka–kamu manusia kan?" ucap Panji terbata. Rika tidak mengindahkan perkataan Panji dan melanjutkan langkahnya. Panji mencoba mengingat-ingat, sepertinya wajah gadis itu tidak asing. "Ah, iya!" Akhirnya Panji ingat dengan wajah gadis di depannya. Panji kembali berjalan tertatih, mengejar langkah gadis di depannya yang berjalan santai. "Eh kamu cewek yang kemarin di atap, kan? Siapa namamu? Ria? Ika? Rita? Aduh … siapa?" Rika menghentikan langkah, lalu menghela nafas kesal. "Rika, Pak Guru BK!" sahutnya tegas. Rika sangat kesal terhadap orang yang tidak bisa mengingat namanya, karena ia sangat jarang memperkenalkan diri kepada orang lain. Setelah menjawab pertanyaan Panji, Rika pun kembali melanjutkan langkahnya. Panji merasa semakin kesal, karena gadis di depannya terkesan tidak ingin diajak berbicara. "Ah … iya, Rika! Aku pengen bilang makasih ke kamu, udah nunggu sampai aku bangun tadi!" ucap Panji sambil kembali mengejar Rika. Namun rupanya Rika kembali bungkam, ia tidak ingin terlibat banyak percakapan dengan orang lain. Panji pun hanya menyerocos sepanjang jalan, ia mengikuti ke manapun Rika pergi karena sejujurnya saat ini Panji sedang takut berjalan sendiri. Sayangnya, di depan muridnya, Panji ingin berlagak pemberani. Rika hanya berjalan berkeliling, mengelilingi lingkungan sekolah, berjalan dari koridor ke koridor, menyusuri gelapnya malam. Selama perjalanan, Panji heran dengan keadaan bahwa mereka tidak diikuti dan ditakut-takuti oleh makhluk astral sama sekali, berbeda dengan ketika Panji berjalan sendirian atau berjalan dengan orang lain. Panji merasakan ada sesuatu yang aneh dengan Rika, namun ia tidak berani mengungkapkannya sekarang karena takut menyinggung perasaan Rika. "Sudah sampai," ucap Rika tiba-tiba. Panji mengangkat sebelah alisnya, lalu melihat ke arah mereka berjalan. Rupanya, Rika membawanya berkeliling hingga berakhir di ujung koridor tempat kompleks apartemen berada. Panji pun terkejut, ia tidak menyangka bisa sampai di kompleks apartemen dengan selamat. Panji menoleh ke belakang, ke arah koridor panjang nan mengerikan yang menjadi jalan satu-satunya menuju ke kompleks apartemen. Panji bertanya-tanya, "aneh banget, aku gak ketemu setan sama sekali! Padahal lorong itu adalah tempat paling serem di sekolah ini!" batin Panji. Tanpa mengucapkan apapun, Rika berbalik dan melangkah pergi. "Hei Rika, makasih ya!" seru Panji sambil melambaikan tangan. Kini dirinya hanya harus beristirahat dan memulihkan diri di apartemen. Saat tiba di depan pintu kamar, Panji melihat ada satu nampan penuh berisi satu set makan malam. Panji baru ingat, jika ia belum mengonsumsi apapun sejak makan siang, kecuali obat yang diberikan oleh Yuni. Panji hanya menghela nafas, ia merasa hari pertama di sekolah sangat berantakan. Setelah membuka pintu kamar, Panji pun menyantap makan malamnya dan merebahkan diri di kasur. Panji merasa badannya sangat hancur. Ia masih tidak menyangka, bisa masuk di sekolah yang mengerikan seperti Tumimbal. Di sela-sela lamunan sebelum tidur, Panji sempat berpikir. Jika memang sekolah ini memiliki kamera pengawas yang diawasi selama 24 jam, kenapa tidak ada orang yang menolong saat Panji dalam bahaya? Tetapi ketika Panji melakukan sesuatu yang melanggar peraturan, pihak sekolah terkesan bergerak cepat untuk mengungkapnya. Bukankah seharusnya kamera pengawas bisa digunakan untuk membantu penduduk Tumimbal yang sedang kesulitan? Atau … mereka hanya peduli kepada para pelanggar peraturan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN