Investment in Stocks

1000 Kata
Hari liburnya hanya diisi dengan pekerjaan rumah. Janice sibuk membersihkan pakaian-pakaian, dan Lucian sibuk menyiram tanaman di luar. Awalnya, Janice sudah mengajarkan Lucian menyapu, mengepel, dan tugas-tugas lainnya. Namun, gerakannya sangat lambat, menghambat pekerjaan Janice. Sudah lebih dari seminggu Lucian hidup di masa depan. Tidak lagi terkejut dengan banyak hal karena dia telah beradaptasi dengan baik. Ketika Janice mulai mencuci pakaian dan memasukkannya satu per satu, koin-koin yang tersembunyi dalam lipatan kain jatuh berhamburan. Ada banyak koin jatuh berhamburan, Janice menyadari bahwa ini adalah emas murni milik Lucian. "Lucian!" panggil Janice. "Lucian! Cepat kemari!" serunya. Lucian datang dengan pakaiannya yang sedikit basah. "Ada apa?" tanyanya panik. Janice menunjukkan barang di tangannya. "Lihat!" Lucian mengangkat alis. Dia kira Janice memanggilnya karena ada keadaan darurat. "Kenapa dengan uangku?" Dengan senyum lebar, Janice berkata, "Ini emas." "Lalu?" Lucian mengernyit bingung. "Kamu tahu, kamu bisa menjadi kaya dengan ini!" Janice melompat-lompat kecil sambil menyentuh lengan Lucian. Namun, Lucian tampak lebih fokus pada sentuhan tangan Janice. Selama ini, dia hanya pernah disentuh oleh ibunya. Tapi perempuan di hadapannya ini berbeda. Dia merasa risih, tapi tidak menolak sentuhan itu sama sekali. "Hei Lucian, aku punya ide!" Janice menarik Lucian menuju kamarnya. Laki-laki itu hanya pasrah mengikutinya. Janice membuka laptop dan menganalisis berat emas serta harga terkini. Mulutnya menganga lebar ketika hasil perhitungannya muncul. "Aku tidak yakin, tapi lebih baik kita menjual semuanya dan mendapatkan uang tunai, bagaimana?" Lucian hanya mengangguk. Ketika Janice senang, dia hampir memeluk Lucian. Namun, melihat ekspresi Lucian, dia menarik tangannya ke belakang. Berdehem malu, Janice berkata, "Ayo, kita harus bersiap." *** "Bagaimana kamu bisa mendapatkan koin langkah seperti ini, nona?" tanya penjual dengan rasa heran. Janice berpikir sejenak. "Mm, ketika—" dia ragu ingin berkata seperti apa. Matanya mengode Lucian agar diam, karena laki-laki itu tampak akan menjawab. Namun, Lucian tampak tidak paham dan berkata, "Dari kerajaanku," dengan datar. Janice berdecak. Dia mengubah ekspresinya menjadi tertawa. "Ahahaha, adikku memang suka melawak tiba-tiba, tuan," katanya sambil mendorong pelan bahu Lucian agar tetap diam. "Koin-koin ini sudah turun-temurun sebagai peninggalan keluargaku," bohongnya lancar. Dalam keadaan panik seperti ini, dia berhasil berbicara dengan percaya diri. "Oh begitu," kata penjual, yang tampaknya mempercayainya. Janice merasa lega. "Baiklah, ini silakan dihitung kembali." Penjual memberikan satu koper besar berisi uang-uang milik Lucian. Janice menggeleng. "Tidak usah, aku percaya padamu. Terima kasih, tuan." Dengan senyum tertahan, Janice menerima koper itu. Dia menarik Lucian cepat menuju bank terdekat. *** "Huh, akhirnya ..." Janice terkekeh senang. Saat ini, mereka berada di halte, menunggu bus datang. "Lihatlah nominal saldoku, Lucian." Lucian mengernyit. Dia menghitung banyak angka di belakang saldo itu, sekitar sembilan digit. "Untuk apa saldo ini, Janice?" "Untukmu lah," jawab Janice. Tangannya membuka dompet, terlihat banyak kartu di dalamnya. Dia memberikan salah satu kartu itu ke tangan Lucian. "Ini kartu milikku, kamu bisa menggunakannya." "Sudah kuberitahu 'kan tadi bagaimana cara mengambil uang di mesin ATM dan menggunakan p********n digital," kata Janice. "Ya," jawab Lucian. "Jika kamu ingin keluar sendiri, bawalah kartu ini ke mana saja." Namun, Lucian menggeleng. "Tidak, aku tidak akan menggunakannya. Buat dirimu saja." Janice mengernyit. "Ini milikmu, terima saja." Tangannya menarik lengan Lucian, mencoba membuka kepalan tangannya secara paksa, tapi Lucian menahannya. Hingga bermenit-menit, Lucian tetap menolak. "Baiklah, aku akan menggunakan uangmu untuk investasi," kata Janice. "Investasi?" "Ya, semacam tempat untuk menyimpan uang dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa depan," jelasnya. "Aku ingat kemarin ada perusahaan temanku yang sedang mengalami kesulitan keuangan. Tapi dia menolak bantuanku. Mungkin jika mengatasnamakan dirimu, dia akan menerimanya," Janice terlihat bersemangat dengan uang milik Lucian. Berbeda dengan Lucian yang hanya menampilkan wajah datar. Dengan cepat dia menghubungi temannya. "Halo, Albert," Tersambung. "Ya, ada apa, Janice?" "Ada temanku yang ingin membantumu," kata Janice langsung to the point. Dari seberang sana, Albert mengernyit bingung. "Bantu apa maksudmu?" "Tuan Whitemore, salah satu kerabat ayahku, ingin berinvestasi pada perusahaanmu." Albert membelalak. Perlahan wajahnya menampilkan senyum lebar. "Iyakah???" "Iya." "SUNGGUH?!" Janice memutar bola matanya malas. "Sungguh," tetapi tetap membalas dengan lembut yang terlihat sarkas. "Baiklah, terima kasih, Janice! Atur pertemuan kami jika Tuan Whitemore memiliki waktu luang ya!" Janice tanpa mengiyakan langsung mematikan teleponnya. Tetapi wajahnya berubah tersenyum saat melihat Lucian. Sepertinya Janice sudah mulai luluh dengan keberadaan Lucian dan menganggapnya seperti adik sendiri. "Lucian," "Ya?" Dengan senyum misterius, Janice berkata, "Ada hal yang harus kamu pelajari lagi sekarang." *** Mereka berada di perpustakaan kota. Janice membawanya ke lantai teratas dengan membawa banyak tumpukan buku yang diserahkan semua ke tangan Lucian. Lucian terlihat tidak keberatan. Sebenarnya, awalnya Janice yang membawa setengah buku di tangan Lucian. Tetapi laki-laki itu memaksa Janice, agar Lucian saja yang membawanya. Sungguh perhatian sekali. "Aku suka di sini, karena sepi dan tidak banyak orang," kata Janice. "Apalagi bisa melihat pemandangan dari atas," ucapnya sembari menatap langit cerah dan banyaknya mobil yang berlalu-lalang. Mereka duduk di tempat yang tidak terkena sinar matahari, terasa sejuk untuk diduduki. "Baiklah, sekarang kamu harus membaca buku-buku ini!" kata Janice. Lucian patuh, karena membaca adalah kegiatan sehari-harinya. "Buku apa saja ini?" tanyanya. "Baca saja, ini sangat membantumu di masa depan, jika kamu tidak mau kembali ke kerajaan," jawab Janice. Lucian menghela napas. "Baiklah." Sebelumnya, Lucian pernah bertanya, "Menurutmu, jika portal itu terbuka, apa aku harus kembali?" "Jika kamu ingin kembali, kembalilah. Jika tidak, kamu bisa hidup di zaman ini," kata Janice. "Jika aku kembali, aku hanya akan mati dan dikenal sebagai penghianat selama berabad-abad," gumam Lucian, yang masih terdengar oleh Janice. "Tidak juga, kamu mungkin bisa mengubah takdirmu jika kembali," jawab Janice seadanya. "Jika tidak?" tanya Lucian dengan dingin. Janice mengendikkan bahu. "Ya sudah, tinggal saja di sini. Kamu tidak perlu mencemaskan hal itu lagi." Mendengar itu, Lucian terdiam dengan pikirannya yang penuh. Selama berhari-hari, di setiap malam, dia termenung. Tidak pernah bisa berhenti memikirkan keputusan yang akan dia ambil. Tetapi akhirnya, dia berkata, "Aku akan tinggal di sini." Semoga pilihannya tidak akan membuatnya menyesal. "Jika kamu tidak paham beberapa kata, tanyakan saja. Biar aku jelaskan," kata Janice sambil membaca dan membuka laptopnya untuk mengerjakan tugas kuliah dan pekerjaannya. Lucian hanya diam menganggapi, larut dalam bacaan yang dia miliki.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN