Expressing Feelings

1011 Kata
Matahari merayap menuju cakrawala, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan. Janice dan Lucian berjalan beriringan, alunan musik di telinga Janice mengiringi langkah mereka. Lucian, sang pangeran yang terdampar dari abad ke-15, telah menghabiskan hari ini dengan membaca buku-buku di perpustakaan, mencoba memahami dunia modern yang begitu berbeda. Janice, yang praktis dan penuh perhatian, telah membimbingnya dengan kesabaran. Dia mengajarkan Lucian tentang teknologi, norma sosial, dan kehidupan sehari-hari. Bagi Janice, efisiensi adalah segalanya. Dia menghargai rutinitasnya, termasuk ketenangan di perpustakaan yang menjadi tempat favoritnya. Kini, mereka hampir sampai di rumah. Tubuh mereka lelah, tetapi Lucian tampaknya tidak menyadarinya. Bagi pria itu, semua ini adalah tantangan baru. Dulu, dia hanya meneruskan apa yang sudah ada, sekarang, dia harus menciptakan semuanya dari nol. Saat mereka memasuki rumah, Lucian dengan sopan membuka pintu untuk Janice. Mereka duduk di sofa, dan Janice mengeluh karena bahunya pegal. "Aku—" Namun ucapannya terpotong ketika Lucian tiba-tiba memijit bahunya. "Sudah diamlah," kata Lucian, mengabaikan ekspresi aneh Janice. "Kamu tidak sedang kerasukan, kan?" tanya Janice, mengernyitkan dahi. Lucian hanya memijit baju Janice seperti seorang ahli. Janice pasrah dan menikmati perlakuan baru ini. "Pangeran Luciano beralih profesi menjadi tukang pijit," goda Janice. Lucian mengabaikannya. "Apa sudah enak?" "Terimakasih, lumayan atas pijit gratismu. Sebagai bayaran aku akan memijitmu juga oke?" Lucian hanya diam saja sebagai jawaban. Tidak menolak untuk di pijit. Janice mencoba memijit baju Lucian yang lebar, tapi tangannya terasa lemas. "Kamu ini manusia berdaging atau berbatu?" tanyanya heran. Tetapi saat sadar, Janice menatap tangannya yang menyentuh bahu tegap Lucian dan pikirannya langsung menerawang jika tidak memakai lapisan kain, bahu itu akan terlihat sangat sexy. Janice menggeleng cepat, memalingkan wajah merah. Lucian mengerutkan dahi. "Ada apa denganmu, Janice?" Dia menarik wajah Janice agar menghadapnya. Namun Janice tetap menoleh asal, enggan menatap Lucian. Wajahnya memerah saat menyadari bahwa tubuh Lucian memang penuh otot. "Kenapa mukamu merah?" tanya Lucian. Tetapi saat tersadar tatapan Janice jatuh pada otot tangannya. Dia memaksa Janice menatapnya, dengan senyum miring. "Berhentilah, Lucian!" Janice terlihat sebal. Lucian mendekatkan diri, merangkul Janice dari belakang. "Bagaimana, terasa daging atau batu menurutmu?" "Aishh, berat!" Janice sedikit salah tingkat saat dirangkul seperti itu. "Diamlah!" "Tidak, Janice," kata Lucian dengan tegas. "Asalkan—" "Asalkan apa?" potong Janice, berusaha memindahkan tangan Lucian. Tersenyum miring. "Asalkan-kamu ingin merasakan batu ini menindihmu." *** Malam itu, Janice berlari terbirit-b***t memasuki kamarnya, lalu menguncinya dari dalam. Keringat mengalir di wajahnya, dan napasnya terengah-engah. Kerasukan setan apa yang membuat Lucian terlihat m***m begitu? Menyeramkan sekali! Janice bergidik ngeri, tiba-tiba saja berubah agresif seperti itu, padahal sebelumnya terlihat pasif. Benar kata orang, sifat manusia mudah berubah. Lucian, yang awalnya hanya penasaran dengan pengetahuan jaman ini, kini menjadi sosok yang menggoda dan membingungkan. Dan Janice menutup seluruh tubuhnya dengan selimut saat sudah menuju kasur. Dia mencoba menghilangkan kegilaan Lucian dari pikirannya, tetapi entah mengapa, perasaan aneh itu masih menghantuinya. Sedangkan Lucian sendiri, hanya terkekeh kecil. Entah ada apa dengan dirinya. Memang benar seperti bukan Lucian sekali, tetapi melihat Janice yang seperti barusan, membuat nalurinya gemas ingin menggoda perempuan itu. Selama berhari-hari hidup bersama, Lucian merasa sudah nyaman berada di dekat gadis itu. Secara tidak sadar, dia merubah sikapnya jauh dari kepribadiannya. "Janice," Lucian kembali memanggil gadis itu di balik pintu kamarnya. "Kamu tidak ingin makan malam?" Namun, Janice menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, tidak mau mendengar suara laki-laki m***m itu! Mencoba membuka pintu, yang ternyata tidak terkunci. Janice berdecak mendengar deritan pintu terbuka. Padahal sebelumnya dia sudah menguncinya. Menyibak selimutnya, matanya menyorot sebal pada laki-laki yang menyender pada pintu dan menyilang tangan di d**a itu. Ia bangkit dan keluar melewati Lucian begitu saja. Menaikkan alis, Lucian berlalu mengikuti gadis itu dari belakang. Lucian duduk diam, tidak seperti tadi yang terlihat agresif. Tapi di balik itu, dia menahan senyum. Entah mengapa perasaan yang tidak pernah dia rasakan membuatnya hilang akal, ingin melakukan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan. "Aku hanya masak mie, makanlah," kata Janice, terlihat menghindari tatapan Lucian. Yang biasanya mereka duduk berdampingan, Janice memilih duduk jauh dari tempat Lucian berada. Namun, Lucian memilih pindah dan duduk dekat dengan Janice. Sesaat Janice tersedak. Panik, Lucian langsung memberikan air miliknya untuk diminum oleh Janice dengan cepat. Raut wajahnya khawatir. "Apa masih sakit?" tanya Lucian. Setelah Janice merasa lebih baik, dia mengangguk. "Lebih baik, terima kasih." Dia tidak menatap Lucian sama sekali, membuat laki-laki itu sedikit kesal tapi menahannya. "Habiskan, Janice." Melihat Janice yang belum selesai makan, Lucian menahan tangannya. "Aku sudah kenyang," ucap Janice dengan gugup. Lucian menarik bahu Janice agar duduk kembali. "Habiskan." Tetap bergeming, Lucian mengambil piring itu dan menyuapkan sesendok mie ke mulut Janice. "Cepat, buka mulutmu." Janice merasakan perasaan aneh. Dia ingin menolak, tetapi tatapan tajam laki-laki di hadapannya membuatnya membuka mulut terpaksa. Lucian tiba-tiba menjatuhkan jari jempolnya di bibir samping Janice, mengusap noda bumbu. "Makanmu berantakan." Janice menunduk malu. Entah kenapa dia jadi seperti ini di hadapan Lucian?! "Berhentilah, ada apa denganmu?" ujar Janice gugup. Lucian terkekeh. "Entahlah, aku hanya ingin mengekspresikan diriku, seperti halnya kamu bisa mengespresikan emosimu." Semua ini berawal di taman ketika Lucian begitu intens menatap Janice yang tertawa lepas. Itu menarik perhatiannya. Dengan sikap Janice yang seperti itu, dirinya ikut tertarik ingin melepaskan semua emosinya yang tertahan selama ini, bisa keluar dengan lepas juga. "Tapi kamu bersikap m***m!" Delik Janice saat mengingat kejadian sebelumnya. "Aku hanya mengekspresikan apa yang ada di pikiranku," jujur Lucian. Wajah Janice memerah. Ternyata Janice salah mengira, bocah 17 tahun itu tidak terlihat polos, polos yang berartikan jauh dari pikiran kotor. Ternyata pikiran laki-laki itu sangat kotor! Janice harus paham, laki-laki yang berdekatan dengan perempuan pasti menimbulkan hawa nafsu. "Apa sebaiknya kamu menyewa rumah untuk dirimu sendiri?" spontan Janice berbicara seperti itu. Lucian menatap dingin. "Kenapa? Apakah kamu ingin mengusirku?" "Aku tidak akan macam-macam denganmu. Tetapi jika kamu memperbolehkan, baru aku akan melakukannya," lanjutnya. "Hei!" Wajah Janice seperti kepiting rebus. Entah menahan gejolak aneh, atau emosinya. "Kita tidak memiliki hubungan sedekat ini, hingga kamu bisa berkata seperti itu," ketus Janice. Lucian terdiam mendengarnya, tetapi pemikiran ini tiba-tiba muncul. "Ayo menikah." Apalagi ini?! Lucian menatap lamat mata hazel gadis itu. "Aku menyukaimu, Janice." Lucian mengucapkan itu dengan ekspresi santainya!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN