"Tadi emangnya Olivia bicara apa?" Oliver bertanya setelah beberapa menit saling diam. Keduanya sekarang ada di ruang kerja laki-laki itu setelah Jelita tidak mau menjawab pertanyaan Oliver dan meminta pulang. Akhirnya Oliver mengajak Jelita masuk ke ruang kerjanya untuk bicara.
"Nggak perlu dibahas lah, aku mau pulang aja. Udah nggak mood juga lihat soufenir. Kamu juga pergi lama banget." Jelita menggerutu kesal sambil melipat tangannya di d**a. Wajahnya terlihat benar-benar kesal.
"Masalah kecil kaya gini bisa jadi masalah yang menyebalkan di masa depan kalau kita nggak menyelesaikannya sekarang Ta. Aku nggak akan antar kamu pulang sebelum kamu bilang sama aku apa yang dikatakan Olivia." Balas Oliver tegas. Menciptakan kerutan di dahi Jelita.
"Dia tidak suka aku jadi istrimu. Katanya dia lebih suka Rembulan yang jadi istri kamu. Dia juga bilang kalau Rembulan jauh lebih cantik, jauh lebih dewasa dan jauh lebih baik dalam segala hal dibanding aku. Katanya wajahku kaya tokoh antagonis." Jawab Jelita tidak sepenuhnya berbohong. Ini adalah kalimat yang dikatakan Olivia dimasa depan saat Bulan sudah kembali. Melihat mimik wajah Oliver berubah Jelita tersenyum di dalam hati. Laki-laki itu tidak menyangka topik tentang Bulan akan keluar dari mulut Jelita.
"Aku akan bicara sama Olivia nanti." jawab Oliver setelah diam beberapa saat.
"Tidak perlu, lagipula aku tidak peduli."
"Bulan itu cuma mantan aku Ta. Itu juga udah lama banget. Dan sekarang aku udah nggak ada hubungan apapun lagi dengannya." Ucapan Oliver yang tidak menyinggung kematian Bulan dan bahkan mengatakan tidak ada hubungan apapun lagi itu justru membuat Jelita seperti mendapatkan jawaban dari pertanyaanya yang tadi dia lontarkan di dalam hati. Oliver sudah tahu jika Bulan masih hidup karena itu Oliver menjelaskan tentang wanita itu seperti sekarang.
Mengingat banyak hal yang berubah mungkin bisa saja pertemuan Oliver dan Bulan yang seharusnya hari ini datang lebih cepat sehingga hari ini Oliver tidak meninggalkan Jelita hingga sore seperti masa depan. Kemungkinan ini membuat Jelita merasa tercubit dan kesal. Karena tanpa sadar wanita itu sempat berharap bahwa Oliver mungkin saja sudah berubah dan bisa dia selamatkan. Jelita bahkan sempat berharap bahwa dia bisa hidup bahagia bersama Oliver kelak. Semua mimpi itu runtuh seketika bersama kemungkinan yang ada di kepala Jelita.
"Aku tidak bertanya dan aku tidak peduli. Untuk apa kamu menceritakan mantanmu padaku? seandainya kamu masih mencintainya pun aku tidak peduli. Malah bagus, bukankah itu bisa jadi alasan kita untuk tidak menikah?"
"Kenapa kamu seperti ini sih Ta? kenapa kamu ingin sekali membatalkan pernikahan kita? Aku bersumpah Bulan itu bukan siapa-siapa lagi dan tidak akan pernah jadi alasan aku untuk memutuskan hubungan sama kamu. AKu cuma mau menikah sama kamu." Balasan Oliver terdengar tegas. Jelita hanya tersenyum saja. Tidak lagi menimpali. Karena itu Oliver mendengus kesal dan beranjak dari duduknya lalu keluar dari ruangan itu. Lalu beberapa menit kemudian laki-laki itu kembali sambil menyeret Olivia.
"Minta maaf sama Jelita!" Perintah laki-laki itu tegas.
"Aku nggak mau!" Olivia berteriak kencang. Jelita sendiri hanya diam saja sambil memasang wajah tidak peduli.
"Olivia! mau sampai kapan kamu kekanakan gini? Udah berapa kali kakak bilang, jangan membandingkan semua wanita dengan Bulan." Oliver terdengar marah.
Olivia tersenyum sinis sambil berusaha melepaskan cekalan Oliver di lengannya. Kemudian mengambil napas untuk kembali berteriak. "Soalnya nggak ada yang bisa dibandingin sama mbak Bulan! dia adalah wanita terbaik. Terutama jika nenek sihir ini yang jadi pembandingnya."
Jelita tersenyum mendengar teriakan Olivia yang menggelegar. Wajahnya memerah dan matanya melotot tajam menunjukkan amarah. Sesekali dia memicing ke arah Jelita dengan ekspresi meremehkan. Jika dulu maka Jelita akan merasa tidak enak karena membuat calon adik iparnya seperti itu, tapi Jelita sudah mati rasa. Dia sudah tidak peduli lagi dengan pandangan orang lain. Karena itu Jelita berdiri dengan malas sambil menatap Oliver.
"Sudah dengar kan? tidak ada yang lebih baik dari Rembulan. Kalau gitu aku tunggu di rumah bersama orangtua kamu untuk membicarakan pembatalan pernikahan kita." Balas wanita itu sambil tersenyum manis kemudian berbalik hingga pergi.
"Sampai matipun aku tidak akan pernah membatalkan pernikahan kita." Oliver berteriak lantang membuat Olivia langsung diam. Jelita sendiri tidak peduli dan terus berjalan keluar. Dia ingin pulang dan keluar dari rumah yang sejujurnya tidak ingin dia datangi ini. Tapi ketika dia membuka pintu, Desita terlihat berdiri di sana dengan tatapan sedih. Matanya memerah dan air matanya nyaris jatuh.
"Jelita sangat ingin pulang, karena itu Jelita pamit yah Tan." Ucap Jelita tenang. Desita mengangguk dan air matanya jatuh. Dante terlihat marah di sofa dekat meja makan. Laki-laki itu juga terlihat menatap Jelita dengan tatapan sedih dan tidak enak.
"Biar Oliver yang antar Ta." Ucap Dante lembut.
"Tidak masalah om, Jelita naik taksi saja." Balas Jelita kemudian mencium tangan orangtua Oliver.
"Aku antar pulang." Oliver tiba-tiba saja keluar dari ruangan itu dan menarik tangan Jelita. Laki-laki itu juga terdengar marah.
"Aku mau sendiri dulu, silahkan kamu selesaikan masalah kamu sama Olivia dulu. Kalau kamu sudah tenang silahkan datang kerumah." Tolak Jelita halus. Sejujurnya dia lelah karena semua emosi yang berkecamuk di dadanya.
"Aku mohon Ta, biar aku yang antar kamu pulang."
"Aku juga mohon, aku ingin pulang sendiri." Tolak Jelita lagi dengan lebih tegas, Membuat Oliver akhirnya melepaskan tangan Jelita dengan tidak rela.
Setelah itu Jelita benar-benar keluar dari rumah itu dan pergi naik taksi. Beberapa kali wanita itu meenghembuskan napasnya lelah.
"Mau kemana Neng?" suara supir taksi membuyarkan pikiran berat Jelita.
"Taman kampus dekat kantor bank pak." jawab Jelita dan setelah itu tidak ada lagi percakapan hingga Taksi berhenti di taman yang Jelita sebutkan.
Matahari terlihat sangat terik, tapi Jelita tetap berjalan menyusuri jalanan kecil yang ada di taman itu. Langkah kakinya baru terhenti ketika dia menemukan sebuah bangku di dekat pohon yang rindang dan memutuskan untuk duduk di sana. Jelita masih ingat bahwa di kota tempatnya tinggal bersama Oliver di kehidupan yang dia mimpikan ada taman seperti ini.
Dulu Jelita sering pergi sendiri ketaman itu dan menangis disana sambil makan es krim. Pernah saking banyaknya makan es keesokan harinya Jelita batuk pilek parah. Memikirkan semua hal berat itu membuat tanpa sadar air mata Jelita jatuh.
"Dasar takdir sialan!" Gerutunya kesal. Kakinya menghentak dengan kuat ke tanah sebagai bentuk pelampiasan rasa marahnya.
"Memarahi takdir tidak akan membuat masalahmu selesai." Ucapan seseorang yang tiba-tiba saja duduk di samping Jelita membuat wanita itu menoleh dengan tidak suka. Setelahnya dia buru-buru menghapus air matanya.
"Bukan urusan anda." Balas Jelita ketus. Laki-laki dengan setelan rapih dan membawa dua bungkus es krim itu tertawa.
"Sedang apa adiknya Chiko ada disini? Putus cinta lagi?" kekehnya geli. Leki-laki ini bernama Detrich, dia adalah salah satu dosen muda di kampus tempat Chiko bekerja. Laki-laki ini hampir menjadi salah satu kandidat yang hendak dijodohkan dengan Jelita tapi batal karena Oliver dan keluarganya lebih dulu memperjelas maksud mereka ingin meminang Jelita.
"Ka Richi juga ngapain disini? bukannya ngajar." Ucap Jelita sambil menerima uluran es krim dari laki-laki itu dengan tidak tahu malu.
"Aku suka kamu panggil aku Richi daripada Detri seperti cara kakak kamu memanggilku." Detrich berkomentar membuat Jelita terkekeh. Dulu Jelita juga tidak suka di panggil Felicia karena Oliver memberinama kuda hitamnya dengan nama yang sama untuk meledek. Karena itu Jelita bisa memahami perasaan Detrich. "Hari ini aku cuma ngajar dua kelas jadi udah selesai. Terus pas pulang mobil mogok di depan dan sekarang lagi di bengkel. Karena itu aku ada di sini sambil nungguin mobil." Jawab laki-laki itu.
"Jadi Dosen seru nggak kak?"
"Seru banget lah, buktinya kakak kamu aja sampai ninggalin profesinya jadi artis kan? kamu minat?"
"Pernah kepikiran sih, tapi belum sampai ke tahap pengen seriusin sih. Tapi ngelihat mas Chiko kelihatan bahagia aku juga jadi tertarik lagi. Cuma tahu sendiri sekarang lagi sibuk mau nikah dan nggak tahu deh nanti habis nikah akan gimana."
"Nggak boleh kerja sama calon suami kalau habis nikah?"
"Belum pernah nanya sih kak."
"Kenapa kamu nggak bikin perjanjian pranikah aja soal keinginan kamu. Bukannya nggak percaya sama calon suami kamu, tapi aku pikir kamu berhak memiliki kepastian terhadap hal-hal yang kamu inginkan. Karena semua orang bisa berubah bukan? tapi kalau sebelumnya sudah membuat perjanjian yang sah bukankah itu bisa jadi pegangan buat kamu menghadapi perubahan itu." Ucap Detrich terdengar ringan tapi Jelita seperti menemukan jalan keluar yang selama ini tidak dia pikirkan. Kenapa dia tidak terpikirkan perjanjian pranikah ini untuk menyelamatkan masa depannya?
"Makasih loh kak karena kita ketemu disini." Jelita tersenyum sumringah membuat Detrich terkekeh.
"Jaman sekarang perempuan udah pinter-pinter kok Ta. Perjanjian pranikah itu udah bukan hal yang tabu. Udah banyak yang pakai kok. Jadi jangan merasa nggak enak. Yang penting kamu diskusikan dengan matang sama calon suami kamu."
"Iya kak, nanti Tata pikirin dulu. Btw makasih es krimnya. AKu harus pulang kak soalnya udah mulai panas banget."
"Maaf nggak bisa anterin soalnya mobil di bengkel."
"Santai aja kak, aku duluan yah!" pamit Jelita ramah sambil melambaikan tangannya. Detrich tersenyum lebar dan membalas lambaian tangan Jelita.
Setelah mendapatkan taksi, Jelita memutuskan untuk berputar-putar di kota sambil melihat-lihat desain-desain rumah dan baru pulang jam tiga sore. Hal itu lumayan menghibur pikirannya yang berantakan. Dan ketika dia sampai di rumah, wajah Oliver yang terlihat kesal adalah hal yang pertama kali dia lihat. Di sampingnya ada Chiko yang sedang mengajaknya bicara.
"Dari mana?" tanyanya tegas.
"Muter-muter." jawab Jelita santai.
"Kemana?"
"Ke taman, muterin kota lihat-lihat rumah." Ucap Jelita lagi.
"Sama siapa?"
"Sendirian. Tapi tadi sempat ketemu kak Richi di taman." Jawaban Jelita membuat Oliver terlihat lebih marah. Tapi Jelita tidak peduli.
"Ayo kita bicara Ta."
"Oke, tapi aku mau mandi dulu. Kamu tunggu dulu sama mas Chiko."
Oliver mengangguk dan kembali duduk bersama Chiko sementara Jelita masuk ke kamar dan mandi.
"Kelihatannya udah nggak marah kok, Jelita bukan tipe orang yang ngambekan nggak jelas kok Ol." Ucap Chiko berkomentar. Tadi Oliver memang sudah mengatakan bahwa dia dan Jelita sempat bertengkar. Tapi tidak menjelaskan lebih detail tentang kelakuan Olivia pada Jelita. Oliver belum berani mengatakan hal itu karena takut pernikahannya akan dibatalkan. Dan entah kenapa Oliver juga yakin Jelita tidak akan membicarakan masalah ini dengan keluarganya.
"Iya Chick. Btw Richi itu Detrich kan?"
"Iya bener, temen gue di kampus. Dia dosen juga."
"Dia deket sama Jelita?"
"Enggak lah, cuma kenal aja. Pernah gue ajak kerumah juga anaknya dan Jelita juga beberapa kali ke kampus buat datang ke Festival jadi mereka cuma sekedar kenal dan ngobrol aja." Chiko menjelaskan tapi tidak membuat perasaan Oliver lebih baik. Oliver tetap merasa tidak suka Jelita bertemu dengan laki-laki lain.
***
"Mau bicara apa?" Tanya Jelita. Keduanya sekarang ada di taman belakang sambil minum teh.
"Aku minta maaf soal kejadian tadi. AKu belum bisa bikin Olivia suka sama kamu tapi aku akan berusaha buat lindungi kamu supaya adik nakalku itu tidak lagi mengganggu kamu." Ucap Oliver terdengar tulus.
"Aku tidak bisa membuat semua orang menyukaiku karena itu aku sebenarnya tidak terlalu peduli. Tapi melihat dia sampai seperti itu sama aku nggak ada jaminan bahwa kedepannya dia nggak akan bikin masalah sama aku. Ada beberapa hal yang aku juga butuh jaminan dari kamu jika kamu ingin pernikahan ini tetap berjalan. Karena itu, ayo kita diskusikan perjanjian pranikah." Jelita berbicara dengan tenang. Sebisa mungkin wanita itu ingin memegang kendali pernikahan itu kelak agar Oliver tidak seenaknya.
Oliver yang merasa bahwa perjanjian itu bisa membuat Jelita lebih tenang dan tidak lagi ingin membatalkan pernikahan mereka beranggapan bahwa ini adalah solusi yang terbaik.
"Oke, ayo kita diskusikan perjanjian pranikah. Kamu mau kapan? pernikahan kita sudah mepet jadi sebaiknya secepatnya bukan?" Persetujuan Oliver yang terlalu mudah membuat Jelita bersorak senang di dalam hati. Wanita itu tidak menyangka bahwa Oliver akan menyetujuinya dengan semudah ini.
Oliver jelas sangat berubah dibanding dirinya yang dulu sangat egois. Tapi Jelita tidak bisa terlalu berharap bahwan laki-laki ini memang lebih baik. Jelita beranggapan bahwa kemungkinan perubahan sikap OLiver ini terjadi karena pilihan-pilihan berbeda yang Jelita ambil sehingga masa depan perlahan berubah.
"Oke, kalau gitu aku perlu bicara sama pengacara dulu. Kemungkinan dalam dua hari aku kasih tahu kamu waktunya."
"Oke aku siap kapanpun." Ucap Oliver sambil tersenyum. Laki-laki itu merasa perjanjian ini juga bisa menguntungkannya. Misalnya dia bisa memasukan pasal tentang mengontrol Jelita agar tidak berhubungan dengan laki-laki lain.
"Aku jadi tidak sabar." Ucap laki-laki itu dalam hati.
***