Penjagaan Ketat

1147 Kata
Keseharian Fitri menjelang persalinan sungguh semakin banyak sekali ujian dan cobaannya. Makin banyak juga para makhluk tak kasat mata yang secara terang-terangan mengganggu dan menampakkan diri. Heran! Mereka dengan beraninya menampakkan diri tanpa merasa apa gitu. Tapi, semua berhasil di halau di kala ada Fauzi dan juga Rey. Namun, belakangan ini mereka semua selalu hadir di saat yang tidak tepat. Sejak seminggu yang lalu kehadiran Mbok yang ada dua, sejak saat itu pula sosok wanita cantik yang bernama Dewi Anjani itu pun selalu datang untuk sekedar menemani ataupun menolong di kala Fitri di kepung oleh yang tak kasat mata. Tak tanggung-tanggung, Dewi Anjani pun membawa beberapa anak buahnya untuk berjaga-jaga di rumah. Diantaranya ada empat pasukan bersenjata bambu runcing tepat di balik pagar dan juga pintu masuk. Mereka berpakaian seperti prajurit jaman dahulu dan tak lupa juga sosok bersisik seperti ular yang berada di halaman rumah. Bagaimana bisa Fitri mengetahui semua itu? Rey yang menceritakan semuanya, awalnya ia merasa risih dan terlalu berlebihan tapi dengan kejadian beberapa kali hampir saja terbunuh sia-sia membuatnya pasrah. Namun, ia juga tetap minta perlindungan pada Gusti Allah, sebab Gusti Allah adalah pelindung paling utama. Fauzi merasa biasa saja dan sepertinya tidak terganggu dengan semua aksi Dewi Anjani. Lelaki itu beranggapan ini adalah bentuk kasih sayang mereka untuk menjaga anaknya dari segala macam bahaya yang salah satunya adalah untuk tumbal. Rupanya sebelum bertindak jauh, Dewi Anjani sudah lebih dulu meminta izin pada Fauzi. Malam itu, di saat semua anggota keluarga sudah tertidur pulas dan Fauzi masih sibuk dengan pekerjaannya. Ia merasakan ada sesuatu yang datang bahkan mendekat dan ternyata itu adalah Dewi Anjani. "Assalammualaikum. Mohon maaf, apabila aku menganggu." "Waalaikumsalam, oh Nyai. Kupikir siapa, tidak kok, tidak mengganggu. Ada apa, Nyai?" "Mohon maaf, jika aku datang malam-malam, Tuan," ucapnya menangkupkan kedua tangannya. "Kedatanganku kesini menemui Tuan, hanya untuk meminta izin bahwasannya akan membawa beberapa anak buah untuk berjaga-jaga di rumah ini. Mengingat, semakin mendekati persalinan banyak sekali iblis yang mendekat dan berusaha menyakiti Putri dan Nona kecil. Jadi, Nyai berencana untuk menugaskan beberapa anak buah untuk berjaga-jaga." "Silahkan jika memang itu menurut kalian baik. Yang terpenting adalah kegiatan kalian tak mengganggu anak dan istriku, itu saja." "Baik, Tuan. Ini semua juga atas perintah dan izin karuhun. Terimakasih." "Sama-sama. Tolong aku titip mereka ya, Nyai. Aku juga sebenarnya khawatir dengan keadaan Fitri, semakin hari rasa takut sepertinya menjalar ke seluruh hati dan pikirannya." "Tenang saja, Tuan. Aku akan berusaha semaksimal mungkin agar Putri merasa nyaman dan tidak takut lagi. Wajar, jikalau Putri merasa takut, sebab memang semakin banyak saja yang menginginkan mereka berdua, Tuan." Fauzi menghela nafas panjang. "Jujur, aku takut kehilangan mereka." "Nyai dan yang lain akan berusaha sebaik mungkin, Tuan." "Aku percaya itu!" "Kalau begitu, Nyai mohon izin pamit, Tuan. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Memang, luar biasa sekali bayi kecil itu! Masih berada di dalam kandungan saja sudah banyak yang menginginkannya untuk dijadikan tumbal dalam sebuah pesugihan apalagi kelak saat dewasa, mungkin akan semakin banyak manusia berhati iblis yang tega menyakitinya. Dan pasti tidak akan semudah itu, karena banyak sekali mereka tak kasat mata yang menjaganya. "Kenapa? Kenapa kalian terlalu berlebihan pada anakku?" tanya Fitri tiba-tiba saat ia berada di kamar dan Dewi Anjani sedang asik melenggak-lenggokan tubuhnya menari. Wanita itu terpaksa menghentikan tariannya dan berbalik arah menatap Fitri dengan tatapan yang ah sulit dijelaskan dengan kata-kata. Keningnya berkerut dan bingung harus bagaimana lagi memberikan pengertian padanya. "Kenapa kau masih saja mempertanyakan sesuatu yang seharusnya tidak kau tanyakan, Putri?" tanyanya lembut. "Aku harus menanyakannya, Nyai! Karena ini semua menyangkut anakku! Bahkan kedua anakku!" "Apakah kau tak bisa mengambil pengalaman dari dirimu sendiri?" tanyanya balik. "Maksudmu?" Dewi Anjani menghembuskan nafas kasar, tersenyum lalu berjalan ke arah Fitri. Ia duduk di bibir ranjang sambil memandang lekat Tuan Putrinya tersebut. "Putri, bagaimanapun ini semua demi kebaikan kalian! Karuhunmu tak ingin jika keturunannya akan bernasib sama sepertimu yang selalu lari dari sebuah kenyataan dan juga dikejar-kejar oleh semua manusia iblis!" "Hah?" "Kenapa? Bukankah kau selalu lari dari sebuah kenyataan bahwa kau berbeda? Kau selalu tak bisa menerima bahwa kau itu istimewa? Kau selalu tak ingin menerima semua amanah yang telah diberikan padamu? Kau selalu menolak hati dan pikiranmu karena kau merasa takut juga terpukul dianggap sebelah mata oleh para manusia? Bukan begitu?" "Oh ayolah, Putri! Jangan biarkan nasib anakmu itu sama sepertimu! Terlebih lagi nanti dia akan terlahir sebagai perempuan! Ujiannya akan lebih berat! Aku janji, aku dan yang lain tak akan berada terlalu dekat di sekitarnya." "Tapi, kenapa kalian tidak nanti saja bersikap seperti ininya?" "Maksudmu saat nanti bayi ini lahir baru kami bersikap protect seperti ini?" tanyanya sekali lagi. Fitri mengangguk. "Tidak bisa! Kau tahu? Ada lebih dari sepuluh dukun santet juga pesugihan yang menginginkan anakmu!" "Hah? Apa?" "Iya! Kenapa kau terkejut? Itulah kenyataannya, Putri! Saat ini, mereka sedang berlomba satu sama lainnya, menghancurkan satu sama lainnya, memperkuat ilmu satu sama lainnya hingga ada satu diantara mereka yang berhasil menguasai aura dan juga jiwa anakmu!" "Kenapa harus anakku?" "Entahlah! Mana kutahu! Kau tanyakan saja pada Allah! Aneh kau ini! Kau saja tak pernah mendapatkan jawaban mengenai dirimu sendiri tapi malah menanyakan mengenai anakmu!" ketusnya. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Rey masuk setengah berlari ke dalam kamar. "Selama siang Tuan Muda." "Nyai?" "Yes, Sayang. Bagaimana kabar Tuan Muda hari ini?" "Nyai apakan Ibunku?" tegasnya. "Hah?" "Nyai marahin Ibunku! Iya? Beraninya!" serunya melotot. "Mohon maaf, Tuan Muda. Aku tak bermaksud memarahinya. Aku hanya memberikan pengertian. Mohon ampun," ucapnya lirih menangkupkan kedua tangannya. "Ibun gak pa-pa, Bang. Ada apa?" "Bener? Ibun kalau di jahati oleh Nyai, laporan sama Abang ya," pintanya dengan tulus dan suara yang lembut. "Iya anak ganteng. Ada apa Abang sampai masuk ke kamar Ibun?" "Makan ayo, Ibun. Abang lapar, ini 'kan sudah siang," ajaknya. "Ah iya, Ibun lupa. Maaf ya, Nak." "It's oke, Ibun. Ayo kita makan." "Nyai! Mau makan gak?" tawarnya. "Mana bisa Nyai makan, Tuan Muda," kekehnya. "Loh? Kalau gak makan, nanti mati, Nyai!" sergahnya. "Bukannya sekarang Nyai sudah beda alam dengan kalian ya, Tuan Muda?" tanyanya bingung. "Ah, iya," ucapnya menepuk keningnya. "Abang lupa, haha," tawanya terdengar renyah sekali. Nyai mengulum senyum melihat tingkah Tuan Mudanya. "Ya sudah ikut aja gak pa-pa, Nyai. Tapi nonton kita makan saja ya," ajaknya. "Baik Tuan Muda." Mereka jalan beriringan menuju dapur, anak dan ibu itu saling bergandengan tangan sedangkan Nyai berjalan dengan sangat gemulai sekali. Sesampainya di dapur, Mbok terkejut dan hampir saja menjatuhkan piring yang berada di tangannya. "Astaghfirullah!" serunya. "Mbok, tenang! Ini teman adik bayi!" "Teman adik bayi?" tanyanya lagi tak percaya. "Hai, Mbok! Aku Dewi Anjani, salam kenal! Aku adalah teman Nona kecilmu kelak! Maaf jika mengejutkan, ini kali pertama aku menampakan diri dihadapanmu ya, hehe," kekehnya. "I-iya, Non." "Non? Haha, panggil aku Nyai, ya!" perintahnya. "Ba-baik, Nyai!" "Bagus!" "Nyai, mau ikut makan juga? Mbok siapkan piringnya." Dewi Anjani menggeleng. "Kenapa?" "Aku tak bisa makan makanan manusia, Mbok. Jadi aku nonton saja, seperti perintah Tuan Muda." "Oh begitu." Mbok mengangguk-anggukan kepalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN