Rey puas berceloteh hingga datang waktunya makan, Rey dan Fitri keluar dari kamar bergandengan tangan layaknya seorang lelaki yang sangat menjaga wanitanya. Senyum tulus melengkung indah dari bibir Fitri, betapa beruntungnya ia mempunyai anak yang sangat menyayangi dan mencintainya dengan sepenuh hati.
Mereka masih bercanda berjalan ke dapur. Terlihat Mbok sedang berdiri di samping wastafel. Fitri melanjutkan langkah kakinya seraya mendekat pada Mbok degan senyum yang masih merekah. Namun, tiba-tiba Rey menghentikan langkahnya dan menahan genggaman tangan mungilnya itu. Fitri menoleh ke Rey.
Rey mulai mundur beberapa langkah, Fitri semakin dibuat bingung oleh perubahan sikap anaknya itu. Tatapan matanya masih menatap lekat anak sulungnya dan Mbok secara bergantian namun kakinya ikut melangkah mundur mengikuti langkah Rey.
Ada apa ini? Kenapa Rey terlihat aneh sekali? Ya Allah. Apa mereka datang lagi? Ya Allah … kenapa menjadi seperti ini? Aku hanya ingin hidup tenang sebentar saja, ucapnya dalam hati.
"Bang, kenapa?" tanyanya mencoba menghentikan langkah anaknya.
"Bang, kita 'kan mau makan, kenapa mundur?" tanyanya lagi karena Rey tak menjawab pertanyaannya.
"Sayang, ayolah! Jangan bercanda seperti ini! Ini sudah waktunya Abang makan loh," bujuknya agar anak sulungnya tidak bersikap aneh.
"Rey! Tolong, sebentar saja, Nak! Jangan bersikap seperti ini! Ibun takut kalau Rey terus bersikap seperti ini!" bentaknya dengan suara bergetar karena tak tahu lagi harus berbicara seperti apa pada anaknya itu.
"Ibun, maaf," ucapnya lirih mendongakan kepalanya tatapan mata mereka bertemu dan saling mengunci.
"Ibun, kita kembali ke kamar saja," ajaknya dengan suara yang masih terdengar lirih.
"Kenapa, Nak? Ada apa?" tanyanya bingung. Ia memandang Mbok yang saat ini sudah membelakangi mereka.
"Ayo, Bun," tariknya sengan sedikit memaksa. Mau tidak mau, Fitri menuruti keinginan anak sulungnya itu.
Fitri merasa sikap Rey berubah secara tiba-riba pasti bukan tanpa sebab, jadi sikap yang diambil olehnya saat ini adalah mengalah. Genggaman tangan Rey semakin kuat dan langkahnya makin cepat, Fitri mengikuti saja kemana langkah kaki mungil itu, hingga tiba-tiba mereka berpapasan dengan Mbok yang baru saja turun dari tangga.
Mereka berdua menghentikan langkahnya, Fitri menolehkan kepala kebelakang dan kembali lagi menatap Mbok yang ada di hadapannya. Dua kali ia lakukan, dan yang terakhir Mbok yang berada di dapur berbalik berhadapan dengan Fitri, senyum menyeringai lalu menghilang.
"Astaghfirullah," lirihnya.
"Tuh 'kan, Ibun," seloroh Rey tanpa beban.
"Nyonya," panggil Mbok.
"Nyonya, kenapa?" Mbok mengibaskan tangannya tepat di wajah Fitri.
"M-mbok? Kok? Ada disitu?"
"Hah? Memang kenapa Nyonya?"
"Mbok darimana?"
"Dari kamar Aden, habis beresin kamar. Nyonya butuh sesuatu?"
"Gak mungkin! Jelas-jelas Mbok ada di dapur tadi!" serunya tak percaya.
"Ya Allah, Nyonya. Sumpah, Mbok habis dari kamar atas. Nih, lihat Mbok bawa sapu dan lap pel," unjuknya.
Fitri melihat kedua benda yang ada di tangan Mbok dan benar adanya. Ia memijat keningnya, rasanya pusing sekali, bisa-bisanya di kerjain di rumah sendiri!
"Itu iblis! Bukan Mbok, Ibun!" seru Rey lantang.
"Rey?" Fitri bingung dengan ucapan anaknya itu dan seakan meminta sebuah penjelasan.
"Ibun, Sayang. Di dapur itu, Iblis bukan Mbok, makanya Abang jalan mundur dan ajak Ibun pergi."
"Astaghfirullah …."
"Iblis itu, inginkan adik bayi," selorohnya membuat Fitri dan Mbok terbelalak.
"Astaghfirullah."
Lagi-lagi kenyataan membuat Fitri pusing, ia tak percaya sebenarnya dengan ucapan sulungnya itu tetapi rasa takut perlahan mulai menyergap hati, pikiran dan jiwanya. Tiba-tiba ia merasa sangat pusing, lututnya bergetar hebat dan merasa lemas, hampir daja ia terhuyung kebelakang. Namun, Mbok dengan sigap melempar semua barang bawaannya dan berlari untuk menahan Nyonyanya agar tidak jatuh.
"Ibun, maaf."
Rey dan Mbok memapah Fitri menuju ke ruang keluarga. Mbok bergegas kebelakang, mengecek apakah ada sesuatu seperti apa yang di ucapkan oleh Rey dan tidak lupa mengambilkan air minum untuk Fitri. Sesampainya di dapur, Mbok tidak menemukan apapun tetapi merasa bulu kuduknya tiba-tiba berdiri.
"Nyonya, minum dulu ya, biar tenang."
Fitri langsung menyambar gelas tersebut, tenggorokannya terasa tercekat saat tadi mendengar penjelasan dari Rey. Seketika, air dalam gelas tersebut tandas dan Fitri bisa bernafas dengan tenang lagi.
"Mbok …," ucapnya lirih, memberikan tanda mempertanyakan apakah benar ada sesuatu atau tidak di dapur.
Mbok menggeleng.
"Iblis itu sudah pergi, Bun. Mbok gak akan bertemu dengannya. Iblis itu pergi saat kita melangkah mundur. Untung Abang cepat sadar, Bun. Kalau kita tetap melangkah maju dan mendekatinya, pasti dia akan nyerang Ibun dan Adik bayi dengan ganas! Abang tidak akan membiarkan itu terjadi! Akan abang bakar langsung iblis itu! Selama gak ada ayah, abang yang akan jaga Ibun dan adik! Tenang ya, mereka pasti akan jadi abu kalau macam-macam sama abang!"
"Mereka?" ulangnya.
"Iya! Mereka! Gak cuman satu, Bun! Tapi banyak! Tenang ya, Rey pasti lindungi Ibun," ucapnya tulus memeluk Fitri dengan penuh cinta.
Sikap Rey seperti ini bukan hanya sekali dua kali saja terjadi dan juga bukan hanya ditunjukan pada Ibun dan adik bayi yang di dalam kandungan ibunya. Tetapi, ia juga pernah membela Mbok dengan tegas, saat itu Mbok hampir saja kehilangannya nyawanya karena di serang oleh salah satu makhluk yang menjijikan.
Menurut penuturan Rey, makhluk itu sebenarnya ingin menyerang Ibunnya tetapi malam itu terdengar suara orang mengaji dan ternyata itu Mbok. Lantunan ayat suci tersebut menggagalkan sosok tersebut dan sosok tersebut murka hingga berani menunjukkan diri pada Mbok.
Jangan ditanya, bagaimana nasib sosok tersebut. Sosok tersebut langsung menjadi abu dan sama rata dengan debu yang tak terlihat. Mbok dan Fitri tak pernah menyangka kekuatan Rey justru sangat luar biasa. Ketika Fauzi mengetahui semua itu, ayahnya itu hanya tersenyum bangga dengan sikap anaknya.
Gila bukan! Musuh mereka bukanlah manusia tetapi makhluk tak kasat mata! Dimana-mana orang itu takut jika di bunuh oleh manusia, tetapi keluarga Sukmaya justru takut jika berhadapan dengan makhluk tak kasat mata karena mereka mengharuskan membunuh jika tak ingin mencelakakan diri sendiri.
Fitri menggelengkan kepalanya saat mengingat kejadian mengerikan itu. Menatap lekat anak lelakinya dengan penuh cinta dan sayang. Berkali-kali mencoba memberi pengertian namun selalu nihil.
"No, Rey."
Lagi-lagi, Fitri mencoba untuk memberi pengertian pada anaknya, bahwa membunuh mereka yang tak kasat mata itu tidak boleh.
"Harus, Ibun! Siapapun yang berani menyakiti keluargaku, maka dia harus siap menjadi abu! Rey gak akan tinggal diam! Rey pasti akan membantu kalian! Rey akan memanfaatkan kemampuan ini untuk melindungi kalian dan yang pasti melindungi Ibun dan Adik Bayi," ucapnya berapi-api.
Sorot mata itu berubah menjadi kilatan api membara. Sorot mata yang meneduhkan sekarang justru terlihat sangat menakutkan. Mata elang itu seakan bersiap menikam kapan saja.
"Melindungi kami memang sudah menjadi kewajibanmu, Sayang. Tetapi, menjadikan mereka abu itu tidak baik, Nak," tuturnya dengan lemah lembut dan senyum menenangkan.
"Mereka itu halal untuk dijadikan abu, Ibun! Sekali mereka menyentuh kalian, mereka tak akan punya kesempatan lagi untuk hidup dan mengganggu kita semua. Janji Rey pada diri sendiri akan selalu melekat dalam hati," ucapnya dengan rasa percaya diri. Rey, bocah kecil, mungil dan tampan tapi mampu berpikir secara dewasa seperti itu.
"Siapa yang bicara dan mengajarkan seperti itu?"
"Ayah!"
Fitri kembali menggeleng, memang susah jika sudah ajaran ayahnya itu! Pasti keras! Dan tak ada yang mampu untuk menahannya.
"Ya Allah, Nyonya, beruntung sekali keluarga ini mempunyai anak luar biasa seperti Aden, suatu hari keluarga ini akan semakin lengkap dengan kehadiran Nona kecil dan suatu hari mereka berdua akan saling mencintai dan menjaga satu sama lainnya."
"Pasti, Mbok. Abang akan selalu jaga adik sampai kapanpun. Abang juga akan selalu jaga Ibun dan Ayah, mereka adalah harta abang."
"Jaga Mbok juga gak, Den?"
"Pasti dong, Mbok! Semua keluarga abang pasti akan dijaga, titik!"
"Ibun percaya, Nak. Dan ternyata anak Ibun ini sudah besar ya," ledeknya sembari menoel hidung mancung Rey.
"Ya dong, masa Abang kecil terus!" selorohnya membuat mereka terkekeh bersama.
"Aden, mau makan?"
"Ah iya, Mbok. Tadi kami ke dapur niatnya ingin ambil makan untuk Rey."
"Hu hu hu, iya, abang lapar sekali," selorohnya.
Mereka terkekeh mendengar ucapan Rey yang biasa saja namun membuat mereka merasa geli. Iya jelas merasa geli, karena Rey itu bisa berubah sikapnya kapan saja. Ada kalanya ia akan berubah menjadi sangat dewasa sekali dan ada kalanya juga ia akan berubah menjadi sangat manja sekali.
***