Dimensi Lain

1700 Kata
Sudah dua hari berturut-turut Ibun mengantar Tata tapi tak juga bertemu dengan maminya Mawar. Entah apa yang terjadi sebenarnya hingga dalam dua hari ini justru supirnya yang terus mengantar. Terlihat sekali kalau Mawar sangat sedih dan tak b*******h, sorot matanya menunjukkan kekecewaan. "Sabar ya, Mawar." "Mami kenapa ya, Ibun," ucapnya dengan suara bergetar. "Mungkin sibuk atau sakit, Mawar," sahut Tata. "Nah, kenapa Mawar gak cek ke rumah saja? Melihat keadaan mami, apakah baik-baik saja atau sedang sakit." Fitri memberi usul. "Hm … itu … Mawar gak bisa masuk ke dalam rumah, Ibun." "Loh, kenapa?" "Gak tahu, pokoknya Mawar gak bisa masuk rumah dan kalau maksa masuk langsung terpental karena panas." "Hah?" Fitri dan Tata terkejut. Fitri berpikir, sepertinya kematian Mawar bukan hanya karena malu tapi ada sebab lain. Ia mencoba membuang pikiran buruk tersebut, tapi entah mengapa justru semakin curiga jika dipikirkan. Apa mungkin, ada hubungannya dengan yang lain? Gaib mungkin salah satunya. Fitri bertekad ingin mencari tahu, tapi bagaimana caranya ya. "Bun, gimana kalau kita ke rumah Melati aja!" ajak Tata. Fitri nampak berpikir. "Tapi, Dik," ucapnya ragu. "Gak pa-pa, Bun. Kita kepoin aja, kenapa Mawar gak bisa masuk." Kepoin? Bisa-bisanya ini bocah tahu arti kepo, dari mana coba? Pasti dari abangnya deh, gumam Fitri dalam hati. "Tapi caranya gimana, Dik?" "Gampang! Nanti Adik coba dekati Melati." "Ya sudah, Adik coba ajak ngobrol Melati dan kepoin kenapa dua hari ini berangkat sama supir." "Siap, Bun! Ya udah, Adik masuk kelas dulu ya, Bun." "Belajar yang rajin ya, Sayang." Tata mencium punggung tangan Ibunnya dengan takzim. *** "Mela," panggil Tata dengan senyum termanisnya. "Hai Tata." "Bawa bekal apa?" "Ini bawa roti," jawabnya dengan senyum manis. "Wah, enaknya." "Iya dong, kalau Bibi yang bikin tuh enak, Tata. Eh kamu bekal apa?" "Ini nasi goreng seafood kesukaan aku. Mau?" tawarnya. "Kayaknya enak," balasnya dengan mata berbinar. "Nih, cobain." Akhirnya mereka saling mencoba bekal makan siang mereka. Mereka sekolah PAUD tapi sampai sore karena ada jam tidur siang juga di sekolahan, jadi jika orang tuanya bekerja bisa tenang karena anaknya aman di sekolahan. Keduanya terlibat obrolan seru, ada saja yang mereka bicarakan, dari mulai liburan, film kartun dan masih banyak lagi. "Eh, Mela, kamu gak di antar sama Mami?" "Iya, Tata. Mami sedang sakit." "Sakit apa?" "Gak tahu." "Kok gak tahu?" "Iya, sakitnya aneh, Tata." "Aku sama Ibun boleh nengok gak?" "Hm … gimana ya, nanti aku bilang mami sama papi dulu ya," jawabnya ragu. "Iya deh, oke, hehe. Aku kepo juga mau main ke rumah kamu, pasti rumah kamu besar, 'kan?" "Kepo itu apa, Tata?" tanyanya bingung. "Kepo tuh apa ya, haha, aku tuh di ajarin sama Abang Rey. Katanya kepo tuh kayak mau tahu gitu, deh, iya benar begitu, hehe," kekehnya. "Wah seru ya punya Abang, aku selalu kesepian karena sendirian terus." Melati menunduk sedih. "Kamu gak punya kakak atau adik, ya?" "Aku punya kakak, tapi sudah sama Allah kata mami." "Terus gak punya adik?" "Gak punya, Tata." "Ya udah, doain aja kakak kamu biar makin di sayang sama Allah." "Memangnya bisa?" "Bisa dong dan pasti akan sangat di sayang Allah kalau adiknya dan orang tuanya selalu berdoa untuknya." "Tapi aku gak bisa berdoa di rumah, Tata." "Kenapa? Berdoa bisa dimana saja, Melati." "Gak bisa, Tata. Nanti aku dimarahi sama papi. Aku bisa sholat dan berdoa kalau di sekolah saja. Kalau di rumah, gak boleh sama papi," jawabnya sedih. "Kalau mami kamu?" "Sama aja, Tata. Pokoknya semua dilarang untuk sholat dan berdoa. Memang aneh papi, tuh," ocehnya. "Iya, aneh sekali ya." "Huum. Eh udah bel tuh, ayo kita masuk lagi," ajaknya. Mereka kembali masuk ke dalam kelas dan persiapan untuk tidur siang bersama. Tata semakin yakin ada yang tidak beres dengan keluarga Melati. Tingkat keingintahuannya sungguh luar biasa sekali. Dalam tidurnya, ia seperti masuk ke dalam lorong gelap gulita. Terkejut karena merasa berada di tempat yang berbeda, ia merasa sebelumnya sedang tertidur bersama teman-temannya yang lain tetapi kenapa dalam sekejap sudah berubah tempat. Mulai menyadari ada yang tidak beres, Tata berusaha untuk setenang mungkin. Mengedarkan pandangannya di tempat yang gelap gulita tersebut. Langkah kaki kecilnya mulai memijak, berjalan entah kemana tak tentu arah, karena memang tidak ada arah di dalamnya. "Hei anak kecil!" teriak seseorang dengan suara menggema. Tata mengedarkan pandangannya mencari asal suara tersebut tapi nihil tak ada satu pun yang terlihat. Bulu kuduknya mulai meremang, tapi dirinya mensugesti bahwa semua akan baik-baik saja. Dirinya kuat, dan yang terkuat sebagai manusia, ada abang dan keluarganya yang akan menjaga dan juga Nyai beserta anak buahnya. "Jangan pernah ikut campur urusanku!" "Dih, siapa yang ikut campur! Lagian urusan apa yang anak kecil ini lakukan? Aneh! Siapa kamu, tunjukin dong wujudnya! Jangan main belakang! Payah!" "Berani sekali kau anak kecil! Kau tidak takut padaku!" teriaknya semakin lantang. "Gak! Ngapain takut sama kamu? Aku cuman takut sama Allah!" "Ha ha ha, Allah? Mana Allah? Ha ha ha!" tawanya menggelegar membuat Tata terkejut. "Ada, di hatiku! Kau tak akan pernah bisa melihatnya karena kau bukan manusia! Oh apa jangan-jangan kau iblis ya? Kata abang, kalau iblis itu bau, jelek, menjijikan, itu sebabnya kau tidak mau melihatkan wujudmu, 'kan? Ah sudah kuduga!" ejeknya terkekeh membuat suara tanpa wujud itu murka. "Berani sekali kau, anak kecil!" "Aku sudah bilang, aku pasti berani, iblis! Aku punya Allah, abang, ibun, ayah, Nyai! Jadi aku gak akan takut sama kamu, wle!" ledeknya lagi benar-benar membuatnya muak. "Rasakan ini!" Ada sinar yang tiba-tiba mendekat, Tata dengan sigap merentangkan kedua tangannya membentuk seperti bola di sekitar tubuhnya guna untuk melindungi diri. Tata membuat pagar gaib sebagai tameng, jangan tanya bagaimana bisa anak sekecil dia dengan umur yang masih lima tahun bisa berbuat seperti ini? Jawabannya adalah karena abangnya. Selama ini, diam-diam Rey mengajarkan adiknya. Membentuk mental adiknya sedari dini dan mengajarkan yang tak pernah diajarkan oleh ayah dan ibunnya yang selalu berkata belum waktunya. Sinar tersebut terus mendekat dan ketika hampir sampai tepat di dekat Tata tiba-tiba suara ledakan terdengar sangat kencang sekali. Sinar tersebut terpelanting sangat jauh dan mengakibatkan suara ledakan dahsyat. "Haha, segitu doang? Payah!" ejek Tata dengan tawa kencang. "Kurang ajar! Rasakan ini!" Lagi-lagi ada sinar yang mendekat dengan sangat kencang, dengan santainya Tata meledek dan duduk. Dan untuk yang kedua kalinya sinar tersebut kembali meledak. "Sukurin! Haha! Makanya, jangan main-main sama Aletta Putri Sukmaya!" tukasnya dengan suara sombong. Terkadang, sesekali kita juga harus bersikap sombong agar orang lain tidak selalu meremehkan. Tetapi cukup sekali saja jangan berlebih. "Sudah segitu doang? Capek belum?" ucap Tata lantang. "Semakin kurang ajar kau rupanya!" teriaknya seraya mewujudkan dirinya. Tata terperangah melihat makhluk yang ada di hadapannya saat ini. Tinggi, besar, hitam, dengan mata merah, bertanduk, gigi bertaring dan tubuh penuh bulu lebat. Sempat merasa ngeri namun berusaha untuk tak memperlihatkan bahwa ada sedikit rasa takut yang menjalar. "Ha ha ha, kenapa? Takut?" ejeknya. "Idih! Pede sekali, gak ada rasa takut! Tata hanya takut sama Allah! Paham!" "Bagus, kalau begitu! Rasakan ini!" teriaknya melemparkan bola api namun bola api tersebut justru mental tak sanggup masuk ke dalam pagar gaib yang dibuat oleh Tata. "Hahaha, pergi deh bola apinya. Ada lagi, gak?" "s****n! Benar-benar anak kurang ajar!" "Hei makhluk jelek, tunggu!" cegahnya. "Ada apa? Hah? Ingin membuat penawaran?" "Gak! Tata cuman mau tanya," ucapnya datar. "Tanya apa?" "Kau ini siapa? Dan kenapa ajak Tata main?" "Kau sudah mulai bermain dengan kami! Jangan ikut campur urusan kami! Dia mati itu sudah seharusnya mati! Jadi, jangan coba-coba untuk membantunya!" "Siapa memang?" "Mawar! Dia adalah milik kami! Jangan kau ganggu gugat!" "Oh, kirain siapa! Tata gak ngapa-ngapain, kok. Cuman mau tolongin Mawar aja, suer, deh." "Tidak usah kau tolong lagi! Kau tidak berhak menolongnya! Dunia kalian berbeda! Jangan sampai kau yang akan menjadi tumbal selanjutnya!" "Silahkan saja, kalau bisa! Pasti kau hancur dulu, makhluk jelek!" "Kau menantangku?" "Iya! Aku menantangmu, makhluk jelek!" teriak Tata dengan suara lantang membuat makhluk itu sedikit gentar. "Kurang ajar, kau, anak kecil! Rasakan ini!" Makhluk tersebut kembali melemparkan bola api berkali-kali namun tak ada satupun yang berhasil menerobos pagar tersebut. Merasa lelah dan lawan dihadapannya sudah gelisah, Tata langsung ambil tindakan. Ia berdiri dan pasang kuda-kuda, menyatukan kedua tangannya lalu memejamkan mata. Mengucap bismillah dan beberapa doa lalu kedua tangannya seperti membuat sebuah bola. Dum! Dum! Dum! Dum! Empat bola dilemparkan tepat di kepala, d**a, perut dan kaki makhluk tersebut. Tiba-tiba makhluk menyeramkan itu terpental jauh entah menabrak apa tapi terdengar sangat nyaring lalu tiba-tiba menghilang layaknya debu. "Alhamdulillah. Akhirnya berakhir sudah drama aneh ini. Mengganggu tidur siang Tata saja! Huh!" gerutunya. Tata langsung mengambil tindakan kembali untuk kembali pada tubuhnya yang sedang tertidur nyenyak. Saat ia membuat mata, terkejut bukan main sebab sudah bukan berada di sekolah melainkan di kamarnya sendiri dan semua keluarganya sudah menantinya kembali. "Apakah sudah puas bertarungnya, Nona Manis?" tanya Abangnya sarkas. "Hah?" "Kemana saja, Dik?" "Bobo, Bang." "Bobo dalam mimpinya bertarung?" "Hehe, bukan salah Adik! Makhluk jelek itu yang ngajak Adik main. Ya sudah, Adik mau saja diajak main." "Lihat tuh Ibun, menangis terus karena kau pingsan tak sadar-sadar!" Tatapan matanya beralih pada Ibunnya yang berada di dalam dekapan sang Ayah. Terlihat sekali matanya merah dan kacau, sepertinya Ibun menangis cukup lama. "Maaf, Ibun." "Adik salah. Adik gak akan ulangi lagi, maaf," ucapnya lirih menangkupkan kedua tangannya. Sungguh, ia tak pernah bisa melihat malaikat tak bersayapnya itu tersakiti atau menangis. Rasanya sakit melihat Ibunnya menangis seperti itu, isakan masih terdengar nyaring. Benar-benar terlihat sangat kacau sekali Ibunnya. "Gak pa-pa. Yang terpenting kamu tanggung jawab dengan langkah yang kamu ambil, Dik," ucap Ayah menenangkan. "Lain kali, jangan diulangi, Dik!" tegur Rey. "Maaf, Bang. Tapi, dia duluan yang mau jahat! Dia mau lempar Adik pakai bola api!" "Iya, tapi kamu bisa berteriak minta tolong Nyai." "Tidak! Abang pernah bilang, kalau bisa diselesaikan maka diselesaikan sendiri, bukan? Dan makhluk jelek itu gampang, kok, mati di tangan, Adik!" tuturnya bangga. "Tuh, ajarannya siapa?" sindir Ibunnya melirik anak sulungnya. "Maaf, Bun. Nanti biar Abang yang kasih pengertian." "Ibun, maafkan, Adik, ya." "Jangan diulang, Dik. Sungguh, Ibun merasa sangat takut sekali. Ibun gak mau kehilangan salah satu dari kalian," tangisnya kembali pecah. Mereka menangis bersama, ah dasar wanita. Sedikit-sedikit menangis, tidak bisa sedikitpun tegar untuk menghadapi kenyataan dan keadaan ini. Malam itu mereka habiskan dengan menangis. Tata tak jadi menceritakan apa yang sudah terjadi, rencananya besok saja berceritanya saat hari libur. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN