Hari libur adalah hari yang sangat ditunggu oleh siapapun, sebab mereka bisa berkumpul bersama dengan keluarga. Meluangkan waktu untuk bersama, bercanda, bercengkrama satu sama lainnya. Sama seperti keluarga Sukmaya, biasanya mereka ada rencana untuk pergi ke suatu tempat, tetapi berhubung libur kali ini adalah waktunya Tata bercerita, mereka lebih memilih untuk berlibur di rumah yang aman tanpa gangguan.
Pagi-pagi sekali setelah shalat subuh, Ibun sudah berada di dapur bersama Mbok, membuat beberapa makanan untuk sarapan dan juga cemilan untuk berkemah di taman belakang. Sedangkan kedua anaknya kembali tidur, jika hari libur seperti ini mereka akan bangun pukul delapan atau sembilan pagi. Dan ayahnya, sedang asik duduk di taman belakang sambil menunggu terang untuk mengeset taman menjadi tempat bermain.
Sedang asik duduk dan minum teh manis hangat sambil membolak-balikkan koran, beberapa kali Fauzi melihat ada sekelibat bayangan yang sepertinya memang sengaja bolak-balik untuk memantau rumahnya. Awalnya, Fauzi tak menggubris dan berpikir mungkin hanya sekedar untuk lewat saja, tapi ternyata ia salah. Beberapa kali memang terlihat menunjukkan diri.
Matanya langsung meneliti setiap sudut taman dan mulai waspada. Perasaannya mulai tak enak karena pasti ada sesuatu buruk yang akan terjadi. Jika kejadiannya hanya menimpa dirinya itu tak masalah, tetapi jika sudah keluarganya yang ikut terseret maka tidak akan tinggal diam.
"Jika hanya ingin mengganggu, pergilah! Aku tak minat untuk berurusan sepagi ini!" tuturnya lantang dan kembali membuka korannya.
Sosok itu masih terus mengganggu hingga membuat Fauzi kesal dan murka. Ia bangkit dan berjalan ingin masuk ke dalam rumah, namun tiba-tiba ada kepulan asap yang muncul tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia melirik ya sekilas lalu melanjutkan kembali langkahnya, merasa tak ingin basa-basi dengan makhluk tak kasat mata.
Duar.
Duar.
Dua ledakan terdengar nyaring saat langkahnya masuk ke dalam rumah. Pintu belakang yang menuju ke taman itu dekat sekali dengan dapur dan membuat kedua wanita yang sibuk dengan memasak menoleh saat mendengar ledakan.
"Ayah, ada apa?"
"Biasa!"
"Ya Allah, ini masih pagi. Siapa, sih, yang mengganggu! Heran!"
"Sepertinya ada kaitannya dengan masalah Mawar," tukasnya.
"Mawar?"
"Iya, Ayah pikir ia dibunuh bukan hanya karena gengsi dan malu tapi ada sebab lainnya."
"Ma-maksudnya?" ucapnya terbata ikut duduk di kursi.
"Tumbal."
"Astaghfirullah. Ayah yakin?"
"Baru kemungkinan, tapi kita bisa tanyakan nanti sama Tata."
"Tata? Apa hubungannya?"
"Ini pasti ada hubungannya sama tuh bocah, Bun. Dan tiba-tiba dia kemarin rogo sukmo juga pasti ada hubungannya. Bocah itu sekarang mulai berani maju, pasti ada dukungan dari abangnya. Memang abang sama adik benar-benar bebal!"
"Apakah Tata nantinya akan bermasalah?"
"Tidak! Selama ada abangnya dan Nyainya. Kita lihat saja nanti dan tonton, ulah apa yang akan mereka lakukan."
"Kenapa kita cuman diam dan nonton? Mereka anak kita! Aku tak ingin ada apa-apa dengan mereka!"
"Tenang! Mereka pasti akan baik-baik saja. Kita sudah mulai harus berusaha melepas tapi tetap mengawasi. Ini adalah awal mereka menguatkan mental dan maju untuk kebenaran! Kurasa, Abangnya tidak akan tinggal diam jika adiknya bermasalah, apalagi kawannya si Nyai. Mereka pasti akan bersatu, Bun."
"Ayah yakin?"
"Yakin, Sayang."
"Aku pegang ucapanmu, Yah. Tapi, jika terjadi sesuatu pada kedua anakku, lihat saja apa yang akan aku lakukan pada kalian!" ancamnya.
"Hei, tenang! Kau sungguh mengerikan jika marah seperti ini! Kontrol emosimu, jangan sampai mereka yang bergerak! Ingat kau tetap Ratunya disini selama Tata belum tujuh belas tahun!"
"Aku tak peduli, Fauzi!"
"Baiklah, Fitri. Maafkan aku," ucapnya lirih.
"Jangan terus menggodaku, lebih baik kau tata itu taman agar anak-anak nyaman bermain!" perintahnya.
"Baiklah, Tuan Putriku."
Fauzi berlalu pergi kembali ke taman belakang untuk mengeset menjadi tempat bermain yang asik. Ia melihat ada asap yang keluar dari tempat tadi ledakan. Ia hanya menggelengkan kepala saja dan berlalu pergi.
Taman sudah dirubah menjadi tempat bermain, ada tenda, api unggun dan yang lainnya. Padahal ini di taman tapi berhasil di sulap menjadi indah. Liburan kali ini ala-ala di pinggir pantai, dan pantainya adalah kolam renang. Lucu sekali bukan?
Rey dan Tata sudah bangun, lalu segera sarapan. Mereka sarapan dengan penuh bahagia, setelah selesai langsung menuju taman belakang. Mengganti baju untuk renang, Rey dan Tata tampak bahagia walaupun hanya liburan di rumah saja. Fauzi ikut serta masuk ke dalam air untuk berenang.
Ayah dan kedua anak itu berenang dengan penuh kebahagiaan, saling mencipratkan air dan dorong-mendorong. Tawa bahagia pun ikut menghiasi aktivitas mereka. Ibun dan Mbok menata segala macam makanan yang sudah dimasak, melihat suami dan anaknya bermain itu membuat hati Fitri bahagia.
Puas berenang, mereka naik dan langsung bergegas mandi lalu makan makanan yang sudah disediakan. Masuk ke dalam tenda, saling bercerita satu sama lainnya seperti biasa. Sengaja mengulur waktu agar anaknya tak langsung bercerita, biar senang dulu.
"Dik," panggil Ayah. Tata melirik sekilas lalu melanjutkan kembali ngemilnya.
"Aletta Putri Sukmaya," panggilnya lagi.
"Yes, Ayah."
"Kenapa pertama dipanggil diam saja, sih, Dik!"
"Iya Ayahnya tuh kenapa, sih, panggil-panggil Adik aja?"
"Kok Adik begitu, sih, dipanggil sama Ayah malah begitu ngomongnya. Gak suka?"
"Ya Ayahnya, tuh, mau tanya apa, sih?"
"Kemarin Adik kemana?"
"Sekolah atuh, Ayah. Terus kemana lagi, coba?"
"Bukan, Adik tiba-tiba hilang kemana?"
"Oh, gak tahu, Ayah. Adik tuh ya, lagi bobo terus tiba-tiba eh gelap dan ada yang bangunin Adik."
"Siapa?"
"Makhluk jelek, seram banget, Ayah."
"Memang gimana bentuknya?"
"Nih, ya, tinggi sekali, gede, hitam, ada bulunya, terus matanya merah melotot ke Adik dan giginya ada taringnya. Pokoknya seram sekali."
"Terus?"
"Dia serang Adik. Bodoh banget setannya, Ayah."
"Bodoh?" tanya abangnya bingung.
"Iya, Bang. Dia lempar-lemparin Adik bola api tapi gak kena," ceritanya.
"Kok bisa?"
"Bisa dong, Ibun. Adik 'kan bikin lingkaran pagar gaib."
"Apa?" ucap Fitri dan Fauzi bersamaan. Keduanya terkejut, sebab bagaimana bisa Tata sekecil itu sudah bisa bikin pagar gaib.
Keduanya melirik ke arah Rey, tetapi yang diliriknya cuek saja seakan tak ada apa-apa. Padahal, mereka yakin sekali kalau Tata ini di ajarkan oleh Rey.
"Siapa yang ajarin?" tanya Ibun tak suka.
"Abang, dong! Kalau Ibun sama Ayah mana mungkin, pasti gak boleh," selorohnya membuat Ibun menggelengkan kepala saja.
"Abang!" sentak Ayahnya.
"Apa, Yah?"
"Kenapa?"
"Gak pa-pa, belajaran aja, biar Adik bisa jaga diri."
"Tapi gak sekarang juga, Bang!" tegur Ibun.
"Sudah terlanjur, Bun!"
"Pasti sudah banyak yang kamu ajarkan ya, Bang?"
"Gak, Ibun. Belum semua."
"Keterlaluan kamu, Bang! Adik itu belum waktunya belajar semua itu! Ya Allah," keluhnya mengusap kasar wajahnya frustasi.
"Ibun, maaf. Tapi, Abang hanya berjaga-jaga agar Adik tidak kenapa-kenapa."
"Adik akan baik-baik saja kalau gak belajar semua itu!"
"Siapa yang bisa menjamin, Bun? Kita gak pernah tahu 'kan kapan mereka semua mencelakai Adik? Abang gak mau Adik kenapa-kenapa, makanya diajarkan sejak dini."
"Tapi--"
"Sudah-sudah, cukup! Kenapa jadi ribut, sih! Sudah, Bun, jangan marah terus! Dan, Abang, lain kali harus bicarakan dulu sama kami! Jangan main gerak sendiri!" tegur Ayah.
"Maaf, Yah, Bun. Abang salah," ucapnya lirih.
"Percuma, Bang! Semua sudah terjadi! Kamu sudah mendidik Adikmu dengan caramu! Jadi, kamu harus bertanggung jawab nantinya!" tukas Ibun tegas.
Rey hanya menunduk, ia mengakui kesalahannya dan tahu pasti Ibunnya sangat marah sekali. Ia tak menyangka rasa sayangnya terhadap adiknya justru membuat adiknya terperosok ke dalam dunia yang seharusnya belum boleh didatangi oleh Tata.
"Jadi, apa yang terjadi, Dik?"
"Setan itu marah-marah, bilang Adik anak kecil gak boleh ikut campur. Katanya, Mawar milik mereka, gak boleh ada yang bantu."
"Mawar?" tanya Ayahnya.
"Iya. Mawar tumbal papinya, Yah."
"Astaghfirullah. Benar dugaan Ayah berarti, Dik."
"Lebih baik, urungkan saja membantu bocah itu!" ucapnya Fitri datar.
"Tapi, Bun. Kita sudah terlanjur janji."
"Lalu, siapa yang akan bertanggung jawab jika ada apa-apa sama kamu, Dik? Abangmu? Mawar? Nyai? Atau siapa?"
"Lagian, kamu itu masih kecil! Gak usahlah, main-main yang seperti itu! Usiamu saja masih lima tahun setengah tapi sudah urusan dengan gaib! Jujur, Ibun gak suka! Ini masalahnya sudah di ancam, bukan berarti takut, tapi jaga-jaga agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan! Ibun gak mau salah langkah!"
"ini yang sangat Ibun khawatirkan dan juga sangat tidak diharapkan! Ibun tidak mau kalian harus menjalani kehidupan yang seperti ini! Ibun hanya ingin kalian itu hidup damai, tenang seperti anak-anak seusia kalian! Jika seperti ini, justru kalian di paksa untuk dewasa sebelum waktunya!" Suaranya mendadak parau, Fitri berusaha untuk menahan tangis agar tidak pecah dan memang dirinya tak ingin menangis di hadapan kedua anaknya.
"Sayang, tenang, kendalikan dirimu. Jangan seperti ini." Fauzi mencoba menenangkan hati dan pikiran istrinya itu.
"Gak bisa! Aku gak bisa mengendalikan diri jika semua ini mengancam jiwa dan keselamatan kedua anakku! Kamu ngerti gak, sih, Ay!"
"Iya, aku ngerti! Aku paham! Tapi tolong jangan seperti ini! Kendalikan dirimu!"
"Tidaaakkk! Aku pokoknya tidak pernah terima jika nasib kedua anakku sama denganku! Aku ingin mereka hidup normal!" teriaknya tak terkendali.
Tangisnya pecah tak karuan, mereka bingung bagaimana lagi harus menenangkan Fitri agar kembali stabil. Ia menutup kedua telinganya dan menarik rambutnya yang tak tertutup hijab. Berteriak histeris, Mbok sampai mengejar ke taman dan berusaha membawa Fitri masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamar, keadaannya masih juga tidak stabil, keadaannya yang seperti ini itu sama seperti dulu saat banyak sekali orang yang menggunjingnya dengan kata-kata menyakitkan. Menyebutnya anak setan, anak s**l dan masih banyak lagi. Dengan terpaksa, Fauzi menggunakan kekuatannya seperti sebelumnya, membuat istrinya tertidur dengan caranya sendiri.
Mereka berempat menatap nanar tubuh yang tak berdaya itu di atas ranjang. Ada rasa sesak menjalar di dalam hati melihat kesayangan mereka bisa sehisteris tadi, tak pernah terbayangkan di pikiran kedua anaknya bahwa Ibunnya akan menjadi seperti ini.
"Ayah, Ibun kenapa?" tanya Tata sedih.
"Gak pa-pa, Sayang. Nanti juga setelah bangun udah tenang dan lupa. Sudah ya, jangan dipikirkan."
"Kasihan Ibun, Ayah," lirihnya.
"Kalian berdoa saja ya, semoga keadaan Ibun semakin membaik dan bisa menerima keadaan ini."
"Apa dulu Ibun seringkali seperti ini, Ayah?" tanya anak sulung.
"Hm … tidak tapi terkadang memang seperti ini."
"Kenapa?"
"Ibun kalian hanya ingin hidup normal tanpa bayang-bayang semua makhluk tak kasat mata, Nak. Maka dari itu, Ibun seringkali tidak terima jika kalian berurusan dengan makhluk tak kasat mata. Ibun seakan kembali ke masa lalu, dimana ia mengalami guncangan mental akibat ucapan orang lain yang menyakitkan dan ia tak ingin nasib kalian sama sepertinya dahulu."
"Ya Allah, kasihan, Ibun," balas Tata terisak.
"Jadi, kalian kalau bisa kurang-kurangin berinteraksi dengan yang gaib, Nak. Kalian juga masih kecil, masih jauh dari kata pantas untuk berurusan dengan mereka. Terlebih kamu, Rey! Sudah cukup ajari Adikmu ilmu-ilmu yang belum harus dimiliki olehnya."
"Maaf, Ayah. Rey janji gak akan ajarin Adik lagi. Rey akan menjaganya saja."
"Adik juga minta maaf, Ayah."
"Sudahlah. Kalian lupakan itu semua. Dan untuk masalah Mawar, kita bicarakan nanti saja jika Ibun sudah kembali tenang ya, Nak. Bahaya juga jika kita memaksa menolong, tapi Ibun tak ridho, khawatir nantinya akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan."
"Iya, Ayah," jawab mereka serempak.
"Maaf ya, liburannya jadi gagal. Sekarang kalian masuk ke kamar masing-masing ya."
"Iya, Ayah."
Keduanya keluar dari kamar utama dan kembali ke kamar masing-masing ditemani oleh Mbok.
'Sayang, maafkan, aku,' ucapnya dalam hati.
'Sayang, tolonglah belajar. Belajar untuk bisa menerima kenyataan bahwa memang anak-anak kita bukan seperti anak biasanya. Mereka berbeda karena sangat istimewa, aku tak ingin kau terus lari dari kenyataan ini.'
'Aku harap, setelah kau sadar, mulai bisa memahami keadaan kita yang berbeda dari keluarga lainnya dan tidak lagi memaksakan diri untuk tidak menerima yang seharusnya kita terima, Bun. Aku dan anak-anak sangat menyayangi dan mencintaimu, Bun.'
***