"Kalau ada yang berani untuk mengunggah apa yang terjadi di tempat ini, maka akan saya pastikan kehidupan orang itu akan hancur di tangan saya." Ancam Narendra yang membuat semua orang yang ada di tempat itu bergidik ngeri.
Para pelaku yang merekam adegan itu pun segera menghapus semua video yang tersimpan di perangkat telepon pintar masing-masing. Begitupun yang melakukan siaran langsung, segera menghentikannya.
Aura mencekam pun tercipta di dalam halte TransJakarta itu, melihat semua orang yang hanya terpaku di tempatnya masing-masing membuat Narendra segera menarik Dinara untuk menuju mobilnya.
Setidaknya Dinara bersyukur karena Narendra berinisiatif untuk meninggalkan tempat ini sebelum menciptakan kehebohan dan kemacetan yang lebih parah.
"Kenapa kamu pergi tidak bilang-bilang sama saya?" tanya Narendra dengan nada menuntut ketika keduanya sudah berada di dalam mobil pria itu.
"Karena saya pikir sudah ada Bu Bonita yang menemani Bapak," jawab Dinara dengan susah payah.
"Tapi kamu berangkat dengan saya jadi pulangnya harus bersama saya juga," ucap Narendra yang membuat Dinara semakin merasa bingung.
Jelas-jelas Bonita adalah tunangan dari Narendra, seharusnya pria itu bertanggung jawab untuk mengantarkannya pulang. Tapi dari gelagatnya Narendra justru menganggap Dinara adalah kekasih dari pria itu.
"Bapak aneh," celetuk Dinara yang lagi-lagi disesali oleh wanita itu.
Di dalam hatinya Dinara merutuki mulut lancangnya yang telah mengatai Narendra, padahal dia sudah melihat sendiri betapa menyeramkannya pria itu jika sedang marah. Dan sekarang bisa-bisanya Dinara bersikap ceroboh seperti itu.
"Terserah kamu mau mengatakan saya apa, yang terpenting sekarang saya akan mengantarkan kamu pulang," ucap Narendra dengan nada yang tidak ingin terbantahkan.
"Kalau begitu biarkan saya yang mengemudikan mobil Bapak." Tawar Dinara yang merasa tidak enak dengan atasan barunya yang setengah gila ini.
"Tidak perlu, kamu duduk saja di samping saya," sahut Narendra dengan dingin.
"Tapi Pak, di sini Bapak adalah bosnya dan kewajiban saya sebagai sekretaris Bapak adalah memastikan keamanan dan kenyamanan Bapak," kata Dinara yang mendebat argumen Narendra.
"Seperti kata kamu barusan kalau saya adalah bosnya. Jadi ini saya bebas untuk memerintah kamu, sekarang cepat duduk di samping saya." Titah Narendra yang mau tak mau harus Dinara ikuti.
"Pak apa kita bisa batalkan kesepakatan ini?" tanya Dinara yang mencoba mengubah jalan pikiran Narendra.
Pria itu sejenak menoleh ke arah sekretarisnya sebelum bertanya, "Sudah saya bilang pilihannya ada 2, kembali kepada pria pemabuk dan penjudi itu atau melayani saya."
"Berapa kali dipikirkan saya tetap tidak mengerti, Pak. Padahal Bu Bonita jelas lebih seksi daripada saya. Tapi kenapa Bapak menginginkan tubuh saya?" tanya Dinara dengan lirih.
"Memang dia lebih seksi tapi hanya kamu yang murni saat saya memasuki kamu," ucap Narendra yang membuat pipi Dinara bersamu merah.
Entah harus bagaimana Dinara menanggapinya. Apakah itu sebuah pujian ataukah sindiran? Bisa-bisanya Narendra menginginkan tubuhnya karena alasan seperti itu. Pikir Dinara.
Seketika Dinara mencelos di dalam hatinya, kalau Narendra bisa berkata seperti itu artinya sang atasan sudah berbagi peluh dan cairan tubuh dengan Bonita. Tadinya dia berharap menyukai itu hanya sekadar asumsi nya saja.
"Kenapa mukamu masam sekali?" tanya Narendra saat menoleh ke arah Dinara.
"Saya hanya teringat akan komik Korea yang saya baca, Pak. Di mana pemeran utama prianya sangat menyebalkan sekali, sehingga membuat saya ingin menghajarnya habis-habisan," ucap Dinara yang menganalogikan Narendra sebagai karakter komik yang dia baca.
"Saya tebak pasti penggambaran tokoh utama prianya sangat tampan dah menawan," sahut Narendra yang kini mengalihkan pandangannya ke arahnya depan.
Lampu-lampu kota yang bertaburan semakin menambah gemerlap suasana kota yang semakin merangkak malam ini. Dinara memilih untuk mengabaikan Narendra dan memejamkan matanya.
Dia sangat mengantuk karena dua hari ini tidak dapat tidur dengan nyenyak memikirkan bagaimana melalui hari-hari ke depannya setelah bertemu kembali dengan pria yang mengambil mahkotanya.
Terlalu lelah membuat Dinara segera terlelap dan menuju alam mimpinya. Narendra yang melihatnya hanya membiarkan saja. Dia teringat kenangan empat tahun yang lalu saat membawa kabur di dari Anthony.
"Sekarang kamu terlihat lebih cantik dan meskipun lebih kurus, Putri Tidur," ucap Narendra yang memainkan rambut Dinara dengan jari telunjuknya.
Tak ingin terpancing gairahnya membuat Narendra menghentikan perbuatannya, belum saatnya dia bermain kembali dengan tubuh Dinara. Wanita itu masih terlalu rapuh dan ringkih untuk mengimbangi kekuatannya.
"Sebelum pulang kita mampir dulu ke supermarket untuk membeli bahan makanan untuk kamu," ucap Narendra yang otomatis membangunkan Dinara.
Terbangun secara tiba-tiba membuat kepala Dinara merasa pusing dan berdenyut.
"Tidak usah, Pak. Kontrakan saya kecil dan kulkasnya juga tidak bisa muat banyak-banyak," tolak Dinara yang segera mengambil tumbler dari tasnya dan meneguk habis isinya.
"Tidak ada penolakan, Putri Tidur. Ingat tubuh ini adalah milikku, jadi aku akan merawatnya hingga siap aku nikmati," ucap Narendra dengan nada dingin.
"Apakah yang ada di dalam pikiran Bapak hanya itu?" tanya Dinara dengan nada tajam, dia kesal karena tidurnya terganggu bahkan kepalanya belum juga membaik.
"Tentu saja tidak, Putri Tidur. Kenapa kamu menganggap saya serendah itu?" Narenda balik bertanya dengan menyunggingkan senyum sinis.
"Wajar saja saya berpikir seperti itu karena setiap kali kita bicara Bapak selalu mengungkit hal itu, padahal kita seharian berada di ruangan yang sama," ucap Dinara yang mencoba menghilangkan rasa sakit dengan melakukan konfrontasi dengan Narendra.
"Sudah saya bilang tidak ada penolakan. Silakan pilih mau ikut saya atau kembali kepada pria pemabuk dan penjudi itu." Ancam Narendra yang membuat nyali Dinara seketika menciut.
"Dih, mainannya mengancam," sindir Dinara dengan nada pelan.
"Terima kasih, saya anggap itu adalah pujian," kata Narendra yang mengukir senyum kemenangan.
Tak butuh waktu lama bagi Narendra untuk melajukan mobilnya menuju supermarket dan karena hari yang sudah malam membuat pengunjung sudah semakin sepi. Dengan telaten narendra memasukkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk menambah stamina tubuh.
Dinara yang melihat sang atasan bersikap seperti itu menimbulkan senyum kecut pada bibir wanita itu. Mungkin dalam pandangan orang banyak, Narendra adalah suami ideal yang bersedia berbelanja menemani istrinya.
Narendra dengan sigap memilih bahan makanan yang dia inginkan, membuat seorang ibu paruh baya memandang Narendra dengan penuh kekaguman.
Tapi jika mereka mengetahui yang sebenarnya, Dinara yakin orang-orang itu akan mengutuk dirinya yang menggadaikan tubuhnya untuk menjadi pemuas nafsu pria itu.
"Ayo kita pulang Putri Tidur, mulai besok kamu harus sarapan dan makan malam dengan bahan yang sudah saya sediakan." Suara Narendra membuyarkan lamunan Dinara dengan tergesa dia mengikuti langkah kaki pria itu.
"Kamu tunggu dulu di sini, saya mau mengambil mobil dulu," ucap Narendra saat keduanya sudah berada di luar supermarket.
Dinara hanya menatap ngeri barang-barang yang memenuhi troli yang ada di hadapannya. Berbagai aneka makanan dan minuman kesehatan terpampang nyata di matanya. Ini terlalu banyak dan Dinara tak yakin apakah sanggup menghabiskannya atau tidak.
Apalagi Narendra juga berkata akan membelikannya bahan makanan seperti ini setidaknya sebulan sekali.
"Halo Manis, sendirian aja nih?" Dinara tersentak saat mendengar sebuah suara pria asing dekat dengan telinganya, saat menoleh wanita itu menikah melihat seorang pria yang sedang mabuk. Bau alkohol yang menyengat menguar dari tubuh pria itu.
'Bagaimana bisa supermarket sebagus ini melonggarkan pengawasannya sehingga pria mabuk ini bisa masuk ke sini?' tanya Dinara di dalam hatinya.
Dinara hanya mengabaikan pria yang kesadarannya semakin menipis itu. Dan lagi-lagi merutuki kesialannya yang terus datang semenjak berjumpa lagi dengan Narendra.
Rupanya tindakan Dinara yang diam itu semakin memantik amarah pria pemabuk itu. Tak lama kemudian Dinara didorong hingga hampir terjungkal jika tidak segera menguasai keseimbangan tubuhnya.
"Heh, dasar wanita sombong! Padahal niat awal gua mau bermain lembut, tapi sepertinya lo lebih suka bermain kasar ya!" bentak pria pemabuk itu.
"Seharusnya lo juga tahu diri kalau gua nggak mau bicara dengan lo, asal tahu saja gua bisa melaporkan lo atas pelecehan dan tindak kekerasan!" Tantang Dinara dengan telunjuk yang mengacung.
"Oh begitu ya, aduh ... gua takut. Hahahaha, lucu sekali omongan lo. Lihat saja di sini tidak ada siapapun, jadi tidak akan ada yang menolongmu," sahut si pemabuk yang membuat Dinara seketika menciut nyalinya.
Kemana pula Narendra, katanya mau mengambil mobil tapi kenapa bisa selama ini. Rutuk Dinara di dalam hatinya.
"Ayo Manis, ikut gua," ucap si pemabuk yang segera menarik tangan Dinara.