"Sial! Kalau seperti ini aku harus mandi lagi," gerutu Narendra sembari memegang tengkuknya yang terasa berat.
Padahal hari sudah mendekati tengah malam tapi dia harus mandi untuk menenangkan juniornya yang menggeliat atau kepalanya akan pusing dan dia tidak dapat tidur semalaman. Sementara pada esok harinya Narendra ada jadwal meeting untuk pertama kalinya dengan klien pada jam 11:00, tentunya dia akan membawa Dinara untuk menemaninya.
Setelah mandi selama 20 menit Narendra merasa tubuhnya jauh lebih segar meskipun merasa menggigil, karena tidak mau berpikir mengenai Dinara yang akan kembali membangkitkan gairahnya membuat Narendra memutuskan untuk tidur. Tak butuh lama bagi pria itu untuk menjemput mimpi sebelum aktivitas yang padat menunggunya pada besok hari.
Sementara itu Dinara yang belum pernah tidur di kasur empuk tidak dapat langsung terpejam. Apalagi dia memiliki kebiasaan harus meminum s**u pada malam hari agar dapat terlelap. Meminta minuman itu kepada Narendra tentu saja tak berani dia lakukan, karena Dinara takut dianggap kurang ajar oleh sang atasan. Akhirnya hanya bergerak ke sana ke sini dan menyusuri seluruh kasur yang Dinara lakukan sampai dia lelah dan terlelap dengan sendirinya.
Alarm jam 05.00 pagi membangunkan Dinara, wanita itu segera membuka mata dan memindai sekeliling ruangan. Seketika saja Dinara merasa terkejut karena mendapati dirinya bukan berada di kamar kontrakannya yang sederhana. Dan setelah mengumpulkan kesadaran selama beberapa menit akhirnya Dinara mengingat kalau sedang menginap di apartemen Narendra.
"Aduh, aku harus cepat bangun pagi untuk menyiapkan sarapan buat Pak Narendra, biar bagaimana dia itu 'kan tinggal sendiri," gumam Dinara yang memutuskan untuk mandi karena tidak betah dengan tubuhnya yang lengket.
Akhirnya setelah melakukan mandi yang singkat, Dinara keluar dari kamar tamu dan menuju ke dapur. Narendra pun sepertinya masih tertidur karena Dinara tidak mendengar suaranya sama sekali di balik pintu kamar pria itu. Dengan mengumpulkan keberanian Dinara membuka pintu kulkas dan tertegun saat menyadari jika pria itu tidak memiliki bahan makanan sama sekali.
Dinara pun merasa dilema apakah harus membuka bahan makanan yang diberikan Narendra untuknya atau tidak. Saat akan membuka salah satu kemasan itu, peringatan Narendra yang terngiang-ngiang dalam benaknya akhirnya mengurungkan niat nya Dinara.
"Itu semua saya beli hanya untuk kamu, jadi harus kamu sendiri yang menghabiskannya," ucap Narendra saat pria itu baru selesai membayar belanjaannya di supermarket kemarin.
Helaan nafas kasar Dinara lakukan sebagai tanda jika dia bingung harus memasak apa untuk sarapan mereka berdua pagi ini, di tengah kebingungan itu tak lama Narendra keluar dari kamarnya dengan masih memakai piyama berbahan satin yang malah semakin membentuk tubuhnya yang kekar.
Dinara hanya dapat meneguk salivanya dengan kasar saat menyadari betapa kekar dan berototnya badan Narendra.
"Kamu sedang apa bengong di depan kulkas?" tanya Narendra yang bingung melihat kelakuan Dinara.
"Eh eh, anu Pak. Saya mau memasak untuk sarapan kita berdua tapi sepertinya Bapak tidak memiliki bahan makanan sama sekali. Jadinya saya bingung mau masak apa," jawab Dinara dengan sedikit terbata.
"Masak aja sarden kalengan itu dan campur dengan telur orak arik," ucap Narendra yang lalu mengambil air minum dari dispenser.
Bukannya kembali ke kamar setelah minum Narendra justru duduk manis di meja makan yang memang menyatu dengan dapur. Meskipun membelakangi pria itu Dinara dapat merasakan tatapan tajam yang dilayangkan sang atasan..
Karena merasa risih terus-menerus diperhatikan membuat Dinara berbalik lantas bertanya dengan ketus.
"Bapak ini kenapa sih? Saya mau masak rasanya tidak tenang karena Bapak ngeliatin saya kayak maling begitu."
"Kamu 'kan memang maling," ucap Narendra dengan santai.
"Pak, jangan bercanda deh! Saya ini bukan maling dan lagian barang apa yang saya maling?" Protes Dinara yang merasa tidak melakukan apa yang dituduhkan oleh Narendra kepadanya.
"Kamu 'kan malingnya hati saya," sahut Narendra yang membuat pipi Dinara bersemu merah.
"Jangan bercanda deh, Pak. Banti Ibu Bonita pasti akan mengamuk kalau mendengar Bapak berbicara itu sama saya," sentak Dinara yang tidak ingin terbawa perasaan karena mendengar gombalan Narendra.
"Kalau saya tidak bercanda," kata Narendra dengan nada serius.
"Kalau Bapak tidak bercanda seharusnya Bapak memilih salah satu dari kami, tapi kenyataannya Bapak malahan mencari keuntungan dari kami berdua," sahut Dinara dengan air mata yang mulai menggenang.
Sungguh dia tak dapat membayangkan, bagaimana marahnya Bonita jika mereka melakukan hubungan terlarang di belakang tunangan Narendra itu.
"Putri Tidur. Bukankah sudah saya katakan jika kamu tidak memiliki hak untuk mengajukan protes, di sini yang bisa kamu lakukan hanya melaksanakan apa yang saya perintahkan," kata Narendra dengan rahang mengeras.
Dinara pun terdiam saat mendengar ucapan yang seperti ancaman itu, kepalanya pun tertunduk dia merasa harga dirinya semakin jatuh di hadapan Narendra.
"Putri Tidur, hentikan lamunan kamu dan fokus ke masakan kamu. Apa kamu nggak mencium aroma gosong di sini," hardik Narendra yang membuat Dinara tersadar dan kembali berkutat dengan masakannya.
Di dalam hatinya Dinara menangis karena dia tidak memiliki apapun untuk membela diri dari Narendra, pria itu selalu dapat menyentil dan mencabik-cabik perasaannya.
"Ingat kamu harus makan yang banyak supaya berat badan kamu kembali ke asal," ucap Narendra dengan dingin saat Dinara menyajikan sarapan berupa telur orak arik campur ikan sarden kalengan.
Dinara yang tak terbiasa makan telur dan ikan sebagai menu sarapan langsung bergidik ngeri, dia hanya ingin minum teh tawar hangat dan memakan lontong sayur sebagai menu sarapan.
"Saya nggak biasa makan telur dan ikan untuk sarapan," tutur Dinara yang persis seperti balita yang sedang tantrum.
"Kalau begitu, mulai sekarang kamu harus membiasakan diri dengan makanan yang saya kasih untuk kamu," tukas Narendra.
Dengan memaksakan diri, Dinara mulai menyuap makanan. Meskipun aroma telur dan ikan cukup membuatnya mual. Dinara juga tak tahu mengapa pada siang menuju tengah malam dia bisa sanggup menghabiskan makanan apapun bentuk dan rasanya.
"Paling tidak makanlah sedikit supaya kamu tidak kekurangan energi," ucap Narendra yang menatapnya dengan tajam.
"Saya butuh merica," ujar Dinara yang berpikir jika rasa pedas akan membantunya untuk menghabiskan
"Tapi saya nggak punya merica," sahut Narendra yang semakin asyik memakan sarapannya.
"Kalau begitu saya butuh saus sambal," kata Dinara yang masih mencoba mendapatkan keinginannya.
Narendra yang kesal akhirnya membanting sendoknya dan menatap tajam Dinara seraya berkata. "Makanlah Selagi saya masih bisa bersabar."
Nyali Dinara menciut setelahnya dan dia terpaksa untuk memasukkan makanan itu meskipun perutnya mulai bergejolak. Aroma telur bercampur ikan semakin tercium di hidungnya.
"Kamu ini agak lain, ya. Padahal jelas-jelas kemarin makan ikan dan telur, tapi kenapa pagi ini kelihatannya seperti mau muntah," tanya Narendra menyebalkan.
"Saya sudah tidak tahu kenapa pagi-pagi nggak bisa makan yang beraroma menyengat seperti ini," jawab Dinara dengan wajah tersiksa.
Narendra yang melihatnya hanya mengulas senyum lebar, tadi malam dirinya yang tersiksa karena menahan gairah dan sekarang Dinara yang merasakannya karena makan di dalam tekanan. Bukankah itu cukup adil ujar Narendra di dalam hatinya.
Dalam diam Narendra mengamati Dinara yang kesusahan untuk menghabiskan makanan itu. Entah mengapa hatinya gembira saat melihat wajah cantik yang menampilkan raut wajah tersiksanya.