Bab 1. Dijual Paman Sendiri

1267 Kata
"Cepat pakai ini!" Dinara terbangun saat merasakan wajahnya terkena lemparan. Ditambah dengan suara menggelegar yang membuat kepalanya seketika berdenyut. Setengah memaksakan diri untuk bangun dalam posisi tidurnya, Dinara kembali mendapatkan bentakan lainnya dari pria berusia 40 tahun itu, duda yang ditinggalkan sang istri karena suka berjudi dan mabuk. "Cepat bangun pemalas. Kamu harus membayar semua hutang kedua kamu sama Om mulai hari ini!" "Tapi Om, Mama itu 'kan kakaknya Om. Masa Om mau hitung-hitungan sama keluarga sendiri?" tanya Dinara di sela rasa sakit yang menghantam kepalanya. "Jangan banyak omong. Cepat ganti baju membosankan itu dengan ini!" sergah Anwar-paman Dinara dengan nada tinggi. Dinara memandang jijik pada pakaian yang teronggok di sebelahnya, sebuah pakaian lebih pantas disebut lingeri itu terpampang nyata di hadapannya. "Tapi Om ... untuk apa aku memakai baju kurang bahan seperti ini?" tanya Dinara dengan lirih. "Ckckck, selain pemalas kamu juga tuli, ya? Tadi 'kan Om sudah bilang kalau kamu harus membayar hutang kedua orang tua kamu yang sudah membusuk di tanah itu," jawab Anwar dengan sinis. "Lagi pula uang itu tidak memandang keluarga, Nara. Sekarang mau pakai sendiri atau Om yang pakaikan? Kalau Om yang pakaikan ... Om akan membawa kamu ke surga dunia untuk pertama kalinya," ucap Anwar sembari memandang Dinara penuh napsu. "Om tidak berpikir untuk melakukan hal sehina itu sama aku yang adalah keponakan Om sendiri 'kan." Sambar Dinara dengan cepat. "Kenapa tidak? Memenuhi kebutuhan biologis itu tidak memandang saudara, Nara. Jadi sekarang kamu mau ganti baju sendiri atau Om yang gantikan?" tanya Anwar dengan masih menampilkan wajah penuh napsunya. Dinara tersentak saat mendengar ancaman itu, bulu kuduknya pun meremang. Ini sih sama saja dengan memilih antara masuk ke dalam lubang buaya atau kandang singa, dua pilihan yang sama-sama merugikannya. Pikiran Dinara berkelana memikirkan bagaimana agar dia dapat lolos dari situasi ini, mana mungkin dia menyerahkan satu-satunya yang berharga dalam dirinya? Tapi apa yang bisa dia lakukan sementara Anwar tidak melepaskan pandangannya kepada dirinya. "Dinara ...." Panggilan itu membuat Dinara tersadar dari lamunannya. "Aku akan memakainya jadi Om bisa cepat keluar dari kamarku," ucap Dinara dengan susah payah. "Itu keputusan yang bagus, Om akan menunggu di luar," sahut Anwar yang lalu meninggalkan kamar sang keponakan. "Ayah, Bunda seandainya kalian berdua masih hidup, aku tidak akan bernasib seperti ini," gumam Dinara dengan lirih. Dinara akhirnya memaksakan diri untuk memakai gaun berpotongan d**a rendah dan mini itu. Dia tidak mau Anwar menikmati tubuhnya, membayangkannya saja sudah membuat Dinara mual setengah mati. Tepat setelah gaun mini itu melekat pada tubuh Dinara, terdengar teriakan Anwar yang menggelegar dengan disertai ketukan pintu yang keras. Perempuan berusia 21 tahun itu akhirnya keluar dari kamar dengan langkah gontai dan menyadari jika tidak bisa mengelak dari situasi ini. "Seperti yang telah Om bayangkan sebelumnya, kamu sangat seksi. Tidak sia-sia Om merawat kamu selama 5 tahun ini," ucap Anwar dengan decakan kagum saat melihat sang keponakan yang begitu seksi. "Kenapa kamu pakai itu?'' tanya Anwar memandang sinis Dinara yang menggunakan outer selutut dan menutupi bentuk tubuhnya. "Setidaknya biarkan aku mengenakannya sampai kita tiba di tempat tujuan, Om tidak mau 'kan jika para pria itu menatap lapar aku dan menyerang kita saat di perjalanan," jawab Dinara. Anwar menghela napas kasar, benar juga yang dikatakan Dinara. Kalau sampai para penagih hutang itu melihat gadis ini bukan tidak mungkin mereka akan membawa Dinara dan mempermainkan tubuh sang keponakan secara bergiliran. "Baik, ayo kita pergi sekarang," ucap Anwar yang berjalan terlebih dahulu meninggalkan Dinara. Anwar melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, memburu waktu karena tak sabar ingin mencicipi uang yang berjumlah fantastis itu. *** "Cepat turun!" Titah Anwar saat motornya berhenti di sebuah club malam. "Jangan lupa juga lepas baju sialan itu." Sambung Anwar yang melihat jika Dinara masih mengenakan outernya. Dengan tangan bergetar Dinara membuka outer yang melekat pada tubuhnya dan memperlihatkan lekuk tubuh seksinya yang mampu memancing gairah primitif para kaum Adam, termasuk juga Anwar. Andai saja dia tidak menyetujui tawaran sebesar Rp 750.000.000,- dari pria yang akan menikmati tubuh Dinara sepanjang malam ini, sudah Anwar terkam tubuh yang menggoda itu. "s**t!" umpat Anwar saat merasakan tubuh bagian bawahnya mengeras. Setelah selesai mengantarkan Dinara pada pria yang membayarnya, Anwar akan mencari seorang jalang untuk bersenang-senang sepanjang malam. "Ayo cepat ikut Om dan jangan perlihatkan raut wajah menyedihkan itu. Nara, kamu harus melakukan ini untuk membayar semua hutang biaya perawatan Ayahmu selama 4 tahun sebelum mampus," ucap Anwar dengan ketus. "Tapi Om ... Kenapa Om melakukan ini sama aku?" tanya Dinara yang menahan isak tangisnya. "Hanya ini satu-satunya cara untuk mendapatkan uang banyak dengan cara cepat," balas Anwar tanpa perasaan. Anwar langsung menarik kasar tangan Dinara, mengabaikan ringisan dari sang keponakan. Fokusnya hanya satu, menyelesaikan transaksi ini lalu bersenang-senang dengan wanita seksi yang ada di klub ini. Dinara merasa pusing dan sesak saat melangkah masuk ke dalam tempat yang belum pernah dia datangi sebelumnya. Dentuman musik keras langsung menyambut Dinara, ditambah dengan perpaduan asap rokok dan minuman keras adalah sebuah kombinasi yang dahsyat untuk menghantam kesadarannya. Tapi dia harus tetap mempertahankan dirinya agar tidak tumbang. Bayangan Anwar atau siapapun pria yang membayarnya yang pasti akan melakukan sesuatu padanya saat tidak sadarkan diri membuat Dinara merinding. Dinara memaksakan diri untuk memindai ke sekeliling klub ini sembari berpikir kemungkinan dirinya untuk lolos dari jamahan p****************g yang sama sekali tidak dia ketahui bentuk dan rupanya. Tapi feeling Dinara mengatakan jika pria itu sudah tua dengan perut yang membuncit dah itu membuatnya merasa mual seketika. "Pokoknya aku harus kabur dari sini secepatnya begitu ada kesempatan," ucap Dinara di dalam hatinya. "Selamat malam, Bos. Saya datang membawa gadis yang saya bicarakan kemarin, namanya Dinara." Dinara tersentak saat Anwar memanggil namanya dengan keras, bahkan dia tak sadar jika sudah berada ruangan yang sepi. Hanya ada 5 orang di dalamnya, termasuk dirinya dan Anwar. Sang paman yang masih memegang tangannya langsung menarik Dinara untuk lebih mendekat kepada 3 orang pria yang memandangnya dengan tatapan berbeda. "Bos, bagaimana dengan ini? Bukankah dia adalah pilihan yang tepat untuk selera Bos?" tanya Anwar yang lalu memamerkan Dinara layaknya barang dagangan di etalase. "Luar biasa sekali pilihanmu kali ini, War. Tidak kusangka kau dapat menemukan perempuan seseksi ini," jawab seorang pria yang duduk di tengah. Sesuai dengan dugaan Dinara sebelumnya, pria itu memang tua tapi masih memiliki bentuk tubuh yang gagah. Seperti aktor laga Andy Lau jika Dinara boleh membandingkannya. "Tentu saja saya bisa menemukannya, karena dia adalah keponakan saya sendiri," ucap Anwar dengan jumawa. Hati Dinara bagai tertikam sembilu saat mendengar percakapan yang merendahkan dirinya, perih namun tak berdarah. Rasa optimis yang sempat tercipta kini pupus dan Dinara hanya dapat mengikuti alur yang telah dibuat oleh Anwar. "Cih, ciri khas seorang penjudi dan pemabuk," timpal pria yang duduk di sebelah kiri dengan sinis lalu meninggalkan ruangan itu. Anwar menanggapinya dengan tersenyum, lagi pula bayangan uang ratusan juta sudah terbayang di pelupuk matanya. "Saya suka dia dan sesuai kesepakatan, uangnya akan saya transfer ke rekeningmu sekarang juga." Anwar tersenyum sumringah saat melihat pria itu memegang ponselnya. "Terima kasih, Bos. Silahkan nikmati malam ini dengan bahagia," ucap Anwar setelah memastikan jika ada sejumlah uang yang masuk dalam rekeningnya. Tak lama pria yang duduk di sebelah kanan pria itu keluar bersama Anwar, meninggalkan Dinara dengan pria tua yang menatapnya dengan penuh hasrat. "Siapa namamu, Manis?" tanya pria itu sembari memberi kode agar Dinara mendekat kepadanya. "Dinara, Pak," jawabnya singkat. "Nama yang bagus, bagaimana kalau kita minum dulu supaya lebih santai," ucap pria itu sembari mengelus kedua pipi Dinara. Terhina? Sudah pasti Dinara rasakan, tapi tidak ada yang dapat dia lakukan selain membiarkan tangan berkeriput itu mulai menjamah tubuhnya. Air mata mulai menetes dari pipi Dinara saat pria itu melabuhkan bibirnya pada leher jenjangnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN