Percaya

2061 Kata
Kita semua bisa dengan mudah menghancurkan diri sendiri dan orang-orang yang berada di sekeliling, hanya dengan ucapan yang dipenuhi dengan kebencian dan kekecewaan. Semua ini, sama efektifnya dengan ketika kita menggunakan bom, dan hasilnya adalah menghancurkan semua yang ada. Marah, guruh di hati Rania memang terus bersuara keras dan menyambar. Namun ia berusaha untuk bertahan, dan memilih pergi, sebelum bertanya dengan kalimat-kalimat tajam yang dapat menyakiti kakaknya. Meskipun terluka hati, tetapi ia berusaha untuk sabar. Sebab, Rania tak ingin kehilangan dua sosok yang begitu ia cintai. Perlahan, wanita lumpuh itu menarik sebagian tubuhnya semasa masih di bawah kolong tempat tidur, dengan mengandalkan kekuatan tangannya yang penuh. Bersama mulut yang dibungkam, Rania menahan kesakitan di dalam dirinya. Ketika manik mata Rania mulai dapat menangkap cahaya, kolam kecil yang ia bendung sejak tadi pun meleleh begitu saja. Bahkan, kedua tangannya masih bergetar hebat, begitu juga dengan bibirnya. 'Ya Tuhan ... sakit sekali.' Keluh Rania tanpa suara dan ia berusaha untuk kembali ke atas kursi roda miliknya. 'Sttt!' Berhasil, untuk pertama kalinya Rania mampu memanjat kursi roda tanpa bantuan dari siapa pun. Namun setelahnya, tubuh mungil itu bergetar hebat dan wajahnya tampak pucat. Perlahan, Rania meninggalkan kamar kakaknya dan kembali pada Elo. Hatinya kian terusik dan sangat ingin sekali melihat rahasia apa yang sedang suaminya sembunyikan di dalam tas kerja. Pada saat ia menuruni tangga khusus untuknya, Rania melihat Elo bergerak cepat ke arah pintu utama. Biasanya, Rania akan memanggil ataupun menyapa. Setidaknya, ia juga sangat ingin tahu kemana suaminya akan pergi dan kembali pukul berapa. Tetapi malam ini, ia hanya menelan air liur yang terasa berat, sambil menahan perasaannya. 'Diam, Rania! Mungkin, ini adalah kesempatan untukmu.' Ucapnya tanpa suara dan terus menatap. Elo seperti pria buta yang tidak berniat untuk melihat ke kiri ataupun ke kanan. Seolah ia telah bosan, dan muak dengan segala yang ada, serta ingin bebas menikmati waktu tanpa Rania. Sesaat setelah pintu utama merapat, Rania menggerakkan tangannya untuk melaju di atas kursi roda. Dari balik jendela, ia mengintip suaminya yang telah bergerak bebas tanpa dirinya. Laki-laki berkulit putih itu menunggangi mobil berwarna hitam milik Rania yang merupakan kado ulang tahun dari papanya, lima tahun yang lalu. Tanpa ada rasa malu ataupun segan, Elo menggunakan fasilitas milik istrinya dan tetap menganggap bahwa Rania adalah wanita yang penuh dengan kekurangan. Setelah yakin bahwa Elo telah pergi, Rania langsung ke kamar dan mencari tahu tentang apa yang ada di dalam tas kerja suaminya. Mata bulat besar itu menatap ke segala arah, sebab ia tidak menemukan posisi sang suami meletakkan benda yang ia cari. Rasa penasaran di dalam hati Rania bertambah dalam. Apalagi ketika ia mendapati kenyataan bahwa suaminya telah menyembunyikan tas kerja tersebut. Namun ia tak patah arang, dan terus berpikir keras tentang di mana tempat teraman, bagi Elo saat menyimpan buntangnya. "Sesuatu yang tidak bisa aku pikirkan dan sebuah tempat yang tidak pernah bisa aku jangkau," gumam Rania sambil menatap ke arah cermin di hadapannya. Saat itu, pikiran Rania hanya satu. Yaitu telah terjadi skandal hebat antara suami dan juga kakak kandungnya. Tapi, ia tidak bisa mengatakan apa pun sebelum mengetahui kebenarannya. Tak lama, wanita manis itu mengendus aroma kebusukan suaminya. Ia pun segera mendongak dan percaya bahwa di atas lemari jati yang sangat tinggi itu lah, Elo memendam rahasianya. Rania menarik ponsel miliknya dari meja rias. Kemudian ia menelepon pak Adi agar bisa membantunya. Tak butuh waktu yang lama, laki-laki baya tersebut datang dan langsung mengerjakan apa yang Rania titahkan. "Yang hitam ini, Nyonya muda?" "Iya, Pak. Benar sekali," jawab Rania setelah pak Adi menyingkirkan sebuah koper kosong yang berada di atasnya. "I-ini ... loh, ini bukannya tas kerja tuan Elo?" tanyanya yang sangat hafal karena Elo memang suka mengenakannya. "Letakkan di sini saja, Pak," tunjuk Rania tepat di ujung tempat tidurnya. "Dan tolong, tinggalkan aku!" "Baik, Nyonya." Pak Adi bergegas keluar dari kamar Rania, dan tentu saja dengan banyak pertanyaan di dalam hatinya. Perlahan, Rania membuka tas tersebut dan mulai mengeluarkan semua isinya. "Laptop ini dikunci," decak kesal terdengar menyeret dari bibir Rania yang ranum. Sebab, ia tidak bisa mengorek isinya. "Heeeh ... ," keluhnya makin penasaran. Kesal, tetapi ia tidak dapat melakukan apa pun. Hingga Rania sangat geram, lalu mengangkat tinggi tas kosong yang menganga tersebut, dan mengguncangnya. Tanpa sengaja, sebuah busana dalam terjatuh dari bagian dalam dan melewati wajah Rania. Perempuan itu sangat terkejut, dan ia seakan tak menyangka dengan apa yang ia lihat. Samar-samar, Rania seperti melihat cukup jelas tentang benda tipis berenda yang sempat menyentuh wajahnya. Rania mengatur napas yang sudah terengah-enah. Ia pun merasa sudah sangat lelah dan telah mencapai batasnya. Namun ketika melihat dan menyentuh kain ekstra tipis dan terkesan nakal itu, api kemarahannya semakin berkobar. Bukan tanpa alasan, Rania tahu persis bahwa busana dalam ini bukanlah miliknya. Dan ia juga begitu yakin, bahwa aroma yang bersarang pada susunan benang tipis dan transparan tersebut, merupakan milik kakaknya, Kalila. "Ya Tuhan ... ," bisik Kalila sambil menyeka air matanya. Rania mengatur napas dan menutup kedua matanya. Rasanya, hari ini begitu berat. Ia sama sekali tidak ingin bertemu dengan siapa pun. Hanya mengurung diri di dalam kamar adalah caranya untuk bertahan dari luka. Namun, ketika ia mengingat bahwa Elo akan kembali ke kamar ini. Rania menjadi kacau dan ia tidak sanggup untuk diam saja. Merasa tidak memiliki pilihan dan serba salah, Rania memutuskan untuk menemui Kalila dan mengajaknya untuk bicara. Setidaknya, ia bisa meminta kepada kakaknya untuk mengalah karena ia lebih sempurna. Toh, masih banyak pria di luar sana yang tak kalah memesona dibandingkan dengan suaminya. Jika tidak berhasil, Rania mungkin akan mengambil jalan pintas untuk menarik Elo kembali ke sisinya. Keputusannya sudah bulat, dan Rania pun memberanikan diri untuk kembali ke kamar kakaknya. Masih dalam usahanya seorang diri, Rania yang sangat lemah berusaha untuk tampil kuat demi keutuhan rumah tangganya. Tanpa pikir panjang, ia pun mendekati Kalila dan menepuk pundak kakaknya dengan lembut. "Kak!" panggilnya dengan suara yang gelisah dan terdengar ragu. Di sisi lain, Rania sangat senang melihat sang kakak tenang dan damai bersama tidur dan mimpinya. Namun di sudut yang lain, ia juga ingin segera menyelesaikan urusan ini, sebelum kedua orang tua mereka tiba. "Kak Lila!" panggil Rania terdengar manja, sekaligus resah di telinga kakaknya. "Emh ... ." Kalila yang begitu menyayangi adiknya, langsung terbangun setelah nama kesayangan itu diucapkan dengan suara yang gamang. "Ra? Kamu di sini?" tanya Kalila sambil merapikan wajah dan terduduk menghadap adiknya. "Sejak kapan coba?" tanyanya terdengar peduli. "Kakak ... ." "Iya, kenapa? Kamu sakit? Mau dipanggilkan dokter?" Rania menggeleng berulang, tapi matanya yang memerah, basah, dan kuyu membuat Kalila khawatir. "Apa yang Kakak lakukan semalam?" tanya Rania terdengar sinis dan dingin, di dalam tatapan penuh ketakutan. Kalila yang tengah bahagia hatinya, tak dapat membaca mimik wajah adiknya dengan baik. Yang ada, ia malah menahan senyum karena pikiran itu langsung menancap pada sosok Ken Arashi. "Aku sedang bertanya, Kak!" Mata Rania berkaca-kaca, hatinya semakin sakit dan terluka. "Katakan dengan jujur! Apa yang Kakak lakukan semalam?" "Haaah ... ." Kalila menghela napas panjang, lalu kembali menatap adiknya dengan penuh senyuman. "Aku bersama seseorang yang bisa melepaskanku dari belenggu mimpi buruk tentang Devan." "Seseorang?" tanya Rania semakin ingin mengoyak bilik rahasia di hati kakaknya. "Jangan menatapku seperti itu! Dia sangat tampan dan hangat," puji Kalila tanpa henti. "Apa itu suamiku? Tolong, jujur saja!" Senyum di bibir Kalila memudar. "Elo?" tanyanya heran, bersama dahi yang terlipat. "Apa ... ." Rania langsung salah sangka. Padahal Kalila tengah bertanya. Kalila bingung dan langsung menepis pikiran adiknya dengan cepat. "Hahaha, astaga. Mereka sama sekali tidak mirip, Rania," tukas Kalila dalam mode tawa dan Rania malah semakin terdiam dan terhenyak. Rania tampak geram karena berpikir bahwa kakaknya hanya berputar-putar dan mempermainkan perasaannya. Sangking emosinya, tanpa sengaja Rania meremas ujung jari kaki Kalila dan itu membuat sang kakak menjerit kesakitan. "Auh! Sttt ... ," keluh Kalila terdengar nyata. Rania yang begitu menyayangi kakaknya, langsung melepaskan genggaman tangan yang sangat erat tersebut. Meskipun tidak sengaja menyakiti Kalila, ia tetap merasa bersalah. "Ma-maaf, Kak?" pintanya sambil menahan segudang perasaan kecewa. Kalila yang memang tidak menyimpan apa pun dari adiknya, langsung menyingkap selimut yang semula menutupi kedua kakinya. Setelah itu, tampak jelas beberapa luka dan goresan pada telapak kaki wanita pemilik lesung pipi dalam tersebut. "Ini ... ." Rania menekuk kedua alis matanya dengan tajam. "Tenang saja, Ra!" pinta Kalila sambil melengkungkan bibir. "Ini sudah diobati kok. Tapi ya gitu, masih perih banget." "Kena apa sih, Kak?" Perempuan yang kini berada di atas tempat tidur yang sama dengan Kalila ini tampak bingung, sebab titik lukanya tidak berada di tumit, tempat bagian tinggi alas kaki yang mungkin saja menyakiti. Menurutnya, luka ini lebih seperti sisa berlari di atas pecahan kaca dan kerikil tajam di dalam ketakutan. "Hmmmh," keluh Kalila sambil menyentuh bagian yang paling terkelupas dan tercungkil dalam. "Semalam, entah bagaimana. Aku seperti berada di dalam sebuah komedi putar dalam waktu yang lama," beber Kalila dan senyumnya langsung memudar. "Saat itu, ada seseorang yang mendekap perutku dari belakang, seperti ini." Kalila mencontohkan gerakan tangan pria asing yang ingin menyentuhnya. Padahal, laki-laki tersebut adalah suami Rania. "Apa?" Rania pun tampak serius ketika mendengarkannya. Seketika, pikiran buruk tentang Kalila, sirna begitu saja. "Merasa ada yang tidak beres, aku langsung menghantukkan bagian belakang kepala dan terdengar keluhan dari pria asing itu. Kalau tidak salah, sepertinya dia terluka. Sebab, tiba-tiba saja, ada bau anyir yang terasa di hidungku." Kalila berusaha menjelaskan tentang apa yang ia rasakan dan alami. Saat ini, memorinya tampak mulai pulih. Rania melipat dahi. "Lalu?" "Sangking ketakutannya, aku berusaha untuk meraba dan bergerak cepat supaya bisa keluar dari tempat itu. Di dalam lift, aku disapa oleh laki-laki lain yang juga tidak aku kenali. Dia terdengar baik, tapi tidak berani mengambil resiko. Dan dialah yang membawaku pada mobil taksi dan berpesan untuk mengantarkanku pulang atau ke rumah sakit." Kalila menghela napas panjang. "Sayangnya, sopir itu malah ingin menjamahku." "Astaga, Kakak serius?" Rasa sakit di dalam hati Rania memudar. Ia lebih khawatir, dan perduli dengan perasaan, serta cerita dari bibir Kalila. Sebab, selama ini sang kakak tak pernah mengeluh dan berdusta. "Iya," jawab Kalila sambil menggenggam kedua tangan Rania dan menatap dengan mata bulat yang tampak membesar. Saat itu, Rania terkenang masa beberapa tahun yang lalu saat mereka masih remaja. Yaitu saat-saat keduanya saling menceritakan apa saja dengan perasaan yang jujur dan sungguh-sungguh. Melihat ekspresi wajah Kalila, Rania pun percaya bahwa sang kakak sama sekali tidak sedang berbohong. "Aku berjalan dan meraba seperti orang gila. Mataku sama sekali tidak bisa melihat, Ra. Seperti ditutupi oleh selaput berwarna putih, tapi ketika aku memeriksa bagian kepala, sama sekali tidak ada kain yang mengikat kepalaku," jelas Kalila dengan gestur tubuh yang semakin menegang. "Kenapa bisa begitu? Terdengar sangat aneh bagiku." "Entahlah, baru kali ini terjadi kepadaku." Kalila kembali menghela napasnya. "Rania, malam tadi kamu ke mana? Aku mencarimu, tapi ranjang saat kamu berbaring terasa kosong saja," jelas Kalila, tampak sungguh-sungguh. "Saat bangun, aku berada di kamar yang sama dengan ketika kita terlelap, Kak. Aku sama sekali tidak meninggalkanmu." Rania tampak sangat yakin dan penuh rasa percaya diri. "Agh, semakin aneh." Kalila memasang wajah bingung dengan kerutan di dahi yang semakin jelas. "Tunggu-tunggu! Bagaimana Kakak bisa selamat dari sopir itu?" "Emmmh." Kalila mengulum senyumnya. "Ada seorang teman yang datang dan membantu. Namanya Ken Arashi dan itu adalah pertemuan kedua kami." "Beneran?" "Iya," jawab Kalau dengan banyak anggukan. "Pertemuan pertama, saat aku keluar dari kantor. Hari itu, kakaknya mengalami luka tembak dan membutuhkan donor darah. Mobilnya melaju dengan cepat dan gilasan ban besar itu memercikkan air kotor di blazer yang aku kenakan. Dia turun dan meminta maaf, sambil menceritakan kondisinya. Saat itu, aku tergerak untuk ikut dan ingin membantunya karena golongan darah kakaknya juga A." "Sama seperti kita," kata Rania yang terus memperhatikan penjelasan dari kakaknya. "Benar banget. Tapi sayang, kakaknya tidak tertolong." "Kasihan sekali, Kak. Terus?" "Kemudian aku kembali ke kantor dan mendapat kemalanganku." Kalila tampak kesal sekaligus sedih. "Tiba-tiba, malam kemarin, aku mendengar suaranya. Dia datang dan memberi jaketnya untuk menyelimutiku." "Wah ... seperti drama romantika." "Benarkah?" Kalila terkekeh kecil dengan wajah yang memerah. "Oh iya, kenapa tadi membangunkanku?" "Emgh, tidak. Hanya saja, aku ingin mengobrol banyak dengan Kakak. Rasanya rindu sekali," kata Rania yang terus menutupi pikirannya sendiri. 'Maaf, Kak! Aku hanya tengah bingung. Mungkin, aku harus menyelidikinya dengan cara yang berbeda. Tapi, setelah obrolan ini, aku yakin sekali kalau kak Kalila tidak bermain curang di belakangku.' Kata Rania tanpa suara. Bersambung. Jangan lupa untuk meninggalkan komentar, tab love, dan follow aku ya. Makasih...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN