Malam menjelma membingkai secercah cahaya yang hanya serpihan. Hati Rania yang tadinya sempat terluka, kini sedikit terobati dengan penjelasan Kalila yang terlihat nyata tanpa sandiwara. Meskipun semula jiwanya dipenuhi dengan tanda tanya, namun kini Rania sedikit lega karena lukanya terbilas dengan air tawar nan jernih.
"Senang sekali bisa mengobrol dengan Kakak," kata Rania sambil melanjutkan tatapannya. "Mungkin sekali-sekali, aku harus lebih berani untuk mengajak Kakak berbincang. Dengan begitu, aku bisa menilai sendiri bagaimana Kak Kalila sekarang ini."
"Iya, aku rasa juga begitu. Maaf ya, Rania!" pinta Kalila dalam senyum sambil mengusap punggung tangan adik satu-satunya itu.
"Hem," gumam Rania yang kini juga tengah merasa bersalah terhadap kakaknya karena memikirkan hal yang tidak-tidak.
"Sejak kematian Devan, aku memang malas sekali untuk mengangkat bibir, sekedar untuk bercerita. Padahal, sebenarnya aku tahu kalau sebenarnya kamu juga membutuhkanmu. Meskipun kamu sudah memiliki seorang suami yang begitu perhatian, menyayangi, dan setia kepadamu."
"Kalau boleh jujur, semua itu tetap berbeda," timpal Rania yang sebenarnya sangat ingin mengatakan bahwa sikap Elo telah berubah beberapa hari terakhir ini. "Terkadang, dia seperti bosan kepadaku."
"Benarkah?" tanya Kalila yang juga ingin tahu cukup banyak. "Sejak kapan kamu merasakannya?"
"Sudah satu minggu terakhir ini, Kak. Elo terlihat sedang kesal terhadap sesuatu dan dia tidak lagi melakukannya."
"Hmmm, mungkin dia kelelahan. Beberapa bulan terakhir ini, perusahaan ditangani oleh Elo. Menurut Kakak, dia kelelahan."
"Kakak yakin?"
"Iya, Ra," jawab Kalila yang kembali tersenyum dan merapikan anak rambut adiknya. "Kamu adalah wanita yang sangat beruntung." Kalila menatap Rania dengan wajah yang cerah. Saat ini, sama sekali tidak terlihat kecurangan dan kebohongan di dalam matanya.
"Kalau begitu, lakukan sesuatu untukku, Kak!" pintanya setengah mengiba.
Kalila menekuk dahi, lalu ia langsung memikirkan banyak hal. "Apa itu?"
"Bantulah suamiku untuk bekerja di perusahaan papa! Dengan begitu, semua masalah akan terselesaikan. Kakak tahu sendiri kan, jika Elo sangat sulit percaya kepada orang lain? Itu sebabnya, ia menanggung beban ini sendirian," keluh Rania sambil berusaha untuk membujuk.
"Huuuh." Kalila menghela napas panjang. "Sebenarnya, kamu itu perwakilan papa atau Elo sih?" Kalila menguncir bibir, pura-pura kesal kepada adik kesayangannya.
"Hahaha." Rania menutup mulut dengan tangan kanan dan jari yang terbuka, namun saling melekat. "Ayolah, Kak!"
Sedang asik berbincang dan bercanda, ponsel Kalila bernyanyi. Wanita pemilik lesung pipi dalam itu, langsung melirik untuk mengetahui siapa yang menghubunginya pada pukul segini. Sebab, setelah kematian Devan, tidak ada siapa pun yang meneleponnya. Jika pun ada, Kalila pasti membuang atau memblokir nomor tersebut.
"Egm!" deham Rania dan itu terdengar seperti menggoda.
"Apa?" tanya Kalila dengan wajah yang memerah.
"Kakak ingin aku tinggalkan sendirian?"
"Pertanyaan bodoh."
"Hahaha, baiklah. Selamat malam Kakak kesayanganku."
"Selamat malam adikku yang manja."
Rania keluar dari kamar Kalila dan langsung menelepon pak Adi agar kembali membantunya membereskan tas kerja milik suaminya. Elo tidak boleh tahu soal ini dan Rania ingin bermain cantik. Ia sadar, bahwa Elo adalah orang yang pintar. Dia tidak akan mudah dikorek, apalagi dijebak.
Sembari memperhatikan waktu yang terus bergulir, Rania bergerak cepat dan kembali mengatur diri ke mode istri pendiam, lemah, dan penurut. Hal penting yang ingin ia ketahui malam ini adalah jam berapa Elo akan pulang dan ke mana ia pergi. Untuk itu, sang suami tidak boleh menaruh curiga segores pun.
Di dalam kamarnya, Kalila mulai mengangkat telepon dengan senyuman yang manis. Ia terdengar menyapa lebih dulu dengan mimik wajah yang tampak malu-malu.
"Hai!"
Ken melengkungkan bibir, membentuk sebuah senyuman hangat. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar lebih cepat dari pada sebelumnya. "Ya," jawabnya yang kini sudah merebahkan diri di atas ranjangnya.
"Ya?" Kalila tidak tahu harus mengatakan apa.
"Ya?" Ken membalik sahutan singkat dari wanita favoritnya.
"Hmmm," keluh Kalila terdengar manja.
"Kenapa rasanya jadi aneh sekali ya?" tanya Ken sambil memegang dadanya. Malam ini, terasa begitu panas dan ia memutuskan untuk tidak mengenakan pakaian.
"Apa?"
"Entahlah, tapi panas sekali."
"Benarkah? Nyalakan saja pendingin ruangannya!"
"Iya, sebentar ya!" Ken berdiri, menarik remote AC dan mulai menghidupkannya. "Lila!" panggilnya setelah tiba kembali di atas ranjang."
"Iya, bagaimana sekarang?"
"Sudah lebih sejuk."
"Baguslah." Kalila kemudian membungkam mulutnya. "Oh iya. Kata satpam, kamu mencariku malam itu. Apa benar?"
"Agh, iya. Benar banget, ya ampun."
"Kenapa?" tanya Kalila bingung.
"Sebentar!" pinta Ken yang memutuskan untuk mengambil bros milik Kalila yang berada di dalam saku pakaian dinas. Kemudian, ia mengambil gambar dan mengirimkan foto tersebut kepada Kalila. "Lihat!" Ken memberi sinyal agar Kalila membuka pesan masuk darinya.
Mata indah itu terbelalak. "Ini ... ."
"Dan anehnya lagi adalah ketika aku sudah bertemu dengan pemiliknya, setelah perjalanan dan pencarian panjang, aku malah tidak menyerahkannya. Aneh, bukan?" ucapkan dalam tawa yang terdengar seru.
"Ternyata ada padamu, Ken," timbal Kalila yang masih merasa tidak percaya bahwa bros pemberian dari Devan masih berjodoh dengan dirinya. "Padahal, aku pikir. Bros itu sudah hilang."
"Kamu tidak mencarinya?"
"Tidak terpikirkan olehku, di mana letak jatuhnya bros baju itu. Lagipula menurutku, siapa pun yang menemukannya, akan sulit untuk mengembalikan."
"Bros sini ada di dalam mobil tepat di sisi kaki. Pasca penguburan abangku, aku membersihkan mobil dan melihat milikmu bersinar dari bawah. Saat memperhatikannya, aku langsung bisa membayangkan wajahmu, Kalila."
"Apa itu benar?" tanya wanita berlesung pipi dalam tersebut, sembari mengulum senyumnya.
"Tentu saja. Apakah aku memiliki tampang seorang pembohong?"
"Tidak, bukan seperti itu. Tapi kalau dipikir-pikir kembali, rasanya cukup sulit untuk kita bertemu karena tidak saling mengenal. Bahkan, waktu itu aku sama sekali tidak mengetahui namamu, begitu juga sebaliknya. Benar, kan?"
"Kamu benar soal itu, tapi aku tidak putus asa untuk mencari tahu pemilik bros yang terlihat elegan ini. Rupanya, sang pemilik jauh lebih indah dari pada perhiasan yang kini berada di genggaman tanganku," puji Ken hingga berhasil membuat Kalila tersipu malu.
"Jangan menggombal! Itu tidak mempan terhadapku."
"Siapa yang melakukannya? Aku hanya mengatakan apa yang ada di dalam hati dan pikiranku." Ken mengangkat tangan kanan, lalu ditimpa pada dahi. Ia pun mulai mencari cara untuk menciptakan jalan pertemuan kembali dengan Kalila. "Kapan lagi aku bisa bertemu denganmu? Dengar! Ini bukan hanya soal brosnya, tetapi juga mengenai sopir nakal itu. Kamu harus selesaikannya!"
Kalila menunduk sembari berpikir. "Baiklah, aku akan melakukannya. Besok, sekitar pukul 08.30 WIB, aku akan ke kantor polisi untuk membuat laporan dan memberi kesaksian."
"Biarkan aku yang menjemputmu! Bagaimana?"
"Tidak, jangan begitu! Semua ini hanya akan membuatmu repot dan menghabiskan waktu. Sebaiknya, aku pergi sendiri saja dan kita bertemu di sana."
"Jujur saja, aku sama sekali tidak merasa terbebani. Yang ada, aku malah sangat senang bisa kembali bertemu denganmu, Lila."
"Benarkah?" Suara Kalila menggambarkan tingkat grogi yang tinggi. Ken pun akhirnya terpancing untuk tersenyum karena ia juga merasakan hal yang sama dengan wanita pemilik lesung pipi dalam tersebut.
"Ya sudah, sebaiknya kamu istirahat dulu! Besok pagi, aku akan menjemputmu dan tunggu saja jika sedikit terlambat, ya?!"
"Baiklah, aku mengerti."
"Good night," ucap Ken yang sama sekali tidak ingin mematikan ponselnya. Tetapi dia sudah tidak bisa lagi menahan debar-debar istimewa di dalam hatinya. Lagipula, tidak bagus jika langsung menyergap mangsanya. Rasanya, ini terlalu muda. Sebab, Ken membidik hati bukan raga.
"Good night," jawab Kalila sambil tersenyum, sembari menutup ponselnya.
Setelah ponsel ditutup, Kalila mutuskan untuk mengunci pintu kamarnya dan langsung memejamkan mata. Rasanya, seluruh rasa lelah dan jerih payahnya selama dua tahun terakhir ini menumpuk dan membebani tubuhnya, sehingga tercipta rasa kantuk yang teramat dalam.
Sementara di halaman rumah, terdengar suara tuan dan nyonya Husein yang baru saja tiba. Rupanya mereka tidak sendiri, melainkan bersama Elo. Ketika Rania mengetahui hal tersebut, semua perasaan gundah, curiga, dan gelisah, seketika menghilang. Yang ada, ia malah merasa bersalah karena sudah berpikir buruk tentang suaminya.
Senyum Rania pun kembali mengembang dan ia langsung merapikan diri supaya terlihat cantik di hadapan elo. Meskipun tidak berniat untuk meminta maaf demi menjaga agar tidak terjadi pertengkaran di antara mereka, tetapi Rania berjanji tanpa suara, bahwa ia akan lebih berhati-hati dalam menilai suaminya.
'Ya ampun, iblis apa yang sudah menghantui jiwaku? Bagaimana bisa aku curiga terhadap kakak kandung yang selama ini begitu menyayangiku, dan juga suami yang sudah mencinta, serta menerima diriku apa adanya.' gumam Rania di dalam hati dan ia tampak menyesali pikiran buruk yang sudah tercipta sejak tadi.
Bersambung.
Bagaimana kelanjutan kisah ini? Apakah Rania benar-benar menepis pikiran buruknya terhadap sang suami? Dan apakah Kalila akan bergabung di perusahaan tuan Husain, serta bekerjasama dengan Elo? Sebab, hal ini persis seperti yang laki-laki berkulit putih itu impikan. Bukan tanpa sebab, dengan cara seperti ini, ia bisa lebih dekat dengan Kalila bahkan pergi ke berbagai tempat hanya berdua dengannya. Kesempatan emas pun lebih terbentang luas bagi suami dari Rania tersebut.
Jangan lupa untuk meninggalkan komentar, tap love, dan follow aku ya, makasih.