Hidup bukanlah koridor yang lurus dan mudah untuk dilalui dengan bebas tanpa hambatan, melainkan seperti labirin lorong. Untuk dapat melaluinya, kita harus mencari jalan yang benar agar tidak tersesat dan bingung. Meski begitu, terkadang kita bisa salah dan harus memeriksa jalan buntu demi mendapatkan jalur keluar.
Sambil menatap jalanan yang ramai, namun terasa sepi. Kalila menelaah ulang perkataan Ken Arashi kepadanya, beberapa menit yang lalu. Rasa marah dan cinta pun berkecambuk di dalam sukma. Bahkan, bibir itu sampai merintih akibat menahan kegelisahan yang tidak dapat digambarkan dengan kata-kata.
Setelah lebih dari dua tahun lamanya, akhirnya Kalila kembali dapat merasakan kegalauan cinta yang sebenarnya. Tanpa sadar, Ken sudah mendapatkan pengakuan dari bilik hatinya yang paling dalam.
Wajah yang tadi sempat ceria dan terlihat sangat bercahaya, kini tertinggal bayangan. Bahkan senyum itu berubah kecut dan matanya tampak basah. 'Jika benar kamu menyayangiku, jauhi aku! Aku tidak ingin melihat batang hidungmu lagi!' kalimat yang keluar dari bibirnya tadi, kembali mencambuk jiwa hingga membuat Kalila menyesal dan hampir menangis.
"Kita hampir sampai, Mbak," kata sopir taksi yang wanita cantik itu tumpangi.
"Tolong berputar sekali lagi, Pak!" pinta Kalila yang tampak membutuhkan waktu lebih, untuk menenangkan diri.
"Baik, Mbak."
"Terima kasih."
Setelah menambah waktu perjalanan sekitar 15 menit. Sopir taksi mengangkat bibirnya. "Saya ini seorang ayah," katanya sembari menatap mata merah milik Kalila, dari kaca tengah mobilnya. "Jika boleh menasihati. Sebaiknya, apa pun yang menyebabkan kamu menahan air mata, lepaskan saja! Kemarahan, ketakutan, penyesalan. Sebab, air mata adalah cara yang bagus, agar kamu bisa memaafkan diri sendiri dan kembali mencintai."
Sesaat setelah mendengar kalimat tersebut, tangis Kalila pecah. Jiwanya yang begitu manja, menjerit hingga kepalanya terasa sakit. Seharusnya, kalimat seperti ini keluar dari bibir orangtuanya. Tetapi yang ada, mereka hanya menghujat dan mendesak agar Kalila segera menuntaskan pencarian, dan menikah, serta melakukan semua keinginan mereka.
Saat ini, sopir taksi melihat getaran di tubuh penumpangnya yang tampak kuat. Meskipun ia tidak tahu, seberapa besar masalah dan beban di hati Kalila, tetapi secara tidak langsung ia telah memberi jalan keluar untuk wanita berparas bidadari tersebut.
Bukan hanya sekali putaran, bahkan lelaki baya yang rambutnya telah dipenuhi dengan helaian berwarna salju itu, terus menginjak gas mobilnya secara perlahan supaya Kalila bisa puas menumpahkan air matanya.
Tanpa terasa, perjalanan singkat ini malah seperti tengah bergerak ke luar kota. Dua jam tanpa henti, dan terus berjalan hingga akhirnya Kalila bilang telah siap kembali ke kediamannya.
Waktu magrib pun tiba dan Kalila diturunkan di depan pagar rumahnya. Tanpa memperhatikan kiri dan kanan jalan, ia memutuskan menarik pagar putih besar yang masih tertutup rapi. Mata Kalila yang masih sayup, memancing tanya di hati para asisten rumah tangga, di rumah mewah milik tuan Husain.
"Nona!" sapa pak Adi yang baru keluar dari dapur. "Kenapa?"
Kalila memaksakan senyumnya. "Tidak, Pak. Hanya ingin istirahat saja."
"Baiklah. Jika ada apa-apa, panggil saya!"
"Emh," jawab Kalila bersama anggukan.
Setelah Kalila meniti anak tangga, pak Adi meminta kepada bibi agar menyiapkan buah potong segar untuk Kalila. Ia berencana untuk mengantarkannya ke atas.
"Silahkan! Semua buah ini pasti Non suka."
"Makasih, Bi."
"Sama-sama, Pak. Kasian non Kalila, padahal tadi pagi ia tampak sangat cerah."
"Iya, Bi. Saya ke atas dulu."
Sesampainya di muka pintu kamar Kalila, pak Adi mengetuk lembut sambil memanggil. Jika Kalila dalam kondisi seperti ini, tidak ada satu pun asisten rumah tangga yang berani menyambanginya. Oleh sebab itu, pak Adi lah yang maju, seperti biasanya.
"Siapa?" tanya Kalila dari dalam, tanpa membuka pintu.
"Non ... ."
Mendengar suara pak Adi, Kalila terpaksa membuka pintu kamarnya. Sebab, laki-laki ini merupakan salah satu orang terdekat di hati Kalila. "Ada apa, Pak?" tanyanya terdengar malas, sambil menarik pintu kamar.
"Maaf mengganggu, Non!" pinta pak Adi dengan kepala tertunduk, lalu kembali menatap. "Bapak membawakan ini," katanya sambil terus memperhatikan wanita berlesung pipi dalam tersebut.
Udara membawa aroma khas buah mangga yang ia petik dari rumah Ken Arashi. Ia pun langsung tersadarkan dan bertanya tentang asal buah-buahan yang berada di hadapannya saat ini.
"Ini, tadi diantar sama pak polisi yang padi sempat menjemput Non Lila," jelas pak Adi sambil merangkai senyum.
Kalila terhenyak. "Apa?"
"Tadi, saat Non masuk ke dalam pagar rumah ini, pak polisinya masih ada kok berdiri di pohon besar di seberang jalan," kata pak Adi dan ia sama sekali tidak berbohong.
Ken memang langsung menyusul Kalila, sesaat setelah wanita ini meninggalkan kediamannya. Namun, ia tidak berani masuk dan menunggu di dalam. Sebab, Kalila tidak ingin lagi melihat wajahnya.
Mata kalila membulat dan terbuka lebar. "Ken?"
"Iya, Non. Mungkin, sekarang masih ada di luar."
Wanita berlesung pipi dalam itu segera berlari ke arah jendela dan menyingkap tirai kamarnya untuk mengintip. Benar saja, Ken masih berdiri di trotoar seberang jalan dalam posisi berdiri dan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya.
Bunga-bunga di hati Kalila kembali merekah, sama seperti senyumnya. Tidak ingin kehilangan momen dan kesempatan bagus ini, Kalila pun langsung memotong ruang dan menerobos sisi kanan pak Adi untuk keluar. Sebab, ia mau menemui Ken dan meminta maaf kepadanya.
Namun sayang, setibanya di luar pagar. Sosok laki-laki yang ia cari telah pergi. Bibir Kalila yang semula tersenyum, kini berubah kecut. Ia pun menunduk, sambil mengatur napasnya berulang.
"Ken ... ," gumamnya yang langsung memilih masuk ke dalam rumahnya, dengan langkah malas.
Kalila yang tadinya sempat bersemangat, kini menjadi lesu. Ia berpikir bahwa Ken mungkin saja masih marah dan kecewa terhadap kata-katanya yang menyakitkan tadi. Padahal, Ken baru saja mendapatkan telepon dari Jami yang sudah mendapatkan secercah titik terang atas tragedi yang menimpa Kalila beberapa malam yang lalu.
Untuk itu, kakinya segera berlari ke arah rekannya tersebut untuk segera mencocokkan antara firasat, serta fakta di lapangan, demi melindungi Kalila. Namun kali ini, Ken akan menggunakan cara yang berbeda untuk meyakinkan wanitanya tersebut, bahwa dia memang berada dalam zona yang sangat bahaya.
"Jam!" Ken menepuk pundak rekannya yang saat ini masih mengalisis sesuatu di belakang meja kerjanya.
"Ya," jawab Jami sambil menurunkan tangan yang semula menyanggah dagunya. "Tunggu sebentar! Tim sedang memperbaiki tampilan visualnya. Duduk!"
"Boleh aku lihat selintas?"
"Sebaiknya tidak! Bersabarlah, beri kami waktu beberapa menit lagi!"
Ken menghela napas panjang. "Baiklah," jawabnya yang sama sekali tidak bisa tenang.
Setelah lebih dari 100 menit menunggu, akhirnya Jami mendapatkan transfer data mengenai CCTV yang telah diperbarui dan diperjelas gambarnya. Dari sini, mereka dapat melihat semua sudut seperti sedang menonton acara televisi tanpa tersendat-sendat.
"Ken!" Panggil Jami yang tampak sudah siap memberikan laporannya atas kerja keras mereka sejak pagi tadi. "Coba lihat ke layar! Apa kamu mengenal laki-laki itu?" tunjuknya tepat ke wajah Elo.
"Agh, benar dugaanku." Ken meninju meja kerja rekannya hingga berbunyi keratan, seakan hampir patah.
"Ada yang kamu ketahui?" tanya Jami, sesaat setelah melihat reaksi dari Ken Arashi yang begitu marah, dengan warna wajah yang merah padam.
"Di malam kejadian, ketika aku menemukan Kalila. Kami sempat berdamai dengan ketenangan malam di sebuah tempat. Jangan berpikir macam-macam, oke!?" Ken memberi peringatan keras dan tidak membiarkan Jami untuk menjawab ataupun mengajukan pertanyaan berikutnya. "Paginya, aku melihat bekas jarum suntik di lengan Kalila," beber Ken yang mulai menceritakan alasan kecurigaannya.
"Ini barangnya," ujar Jami sambil mengeluarkan barang bukti berikutnya, yaitu sebuah jarum bekas yang ditemukan di tempat sampah dalam kamar hotel, di mana Kalila bertemu dengan Rania.
"b******k!" pekik Ken sambil mencoba untuk menenangkan diri dan mengambil udara sebanyak-banyaknya.
"Berdasarkan CCTV yang berhasil kita kumpulkan, bisa dipastikan bahwa ini semua adalah tindak kejahatan dalam kesengajaan."
"Terencana," timpal Ken terlihat sangat kesal.
"Yap," jawab Jami yang langsung menyandarkan punggungnya di kursi. "Dari sisi cairan itu, dapat dipastikan bahwa laki-laki ini berniat untuk menikmati korban secara fisik."
"Bajingaaan!" pekik Ken, lalu kembali berusaha untuk mengatur napasnya dengan cepat. "Jadi, malam itu Kalila bertindak aneh karena obat itu? Ha?"
"Tenang!" pinta Jami yang langsung berdiri.
"Bagaimana bisa tenang?" tanya Ken terlihat panik. "Laki-laki itu serumah dengan Kalila. Aku yakin, selama ini dia juga sudah berusaha untuk menjamah Kalila."
"Tenang! Tenang! Dan tenang!"
"Tidak bisa karena Kalila tidak percaya lagi kepadaku dan dia berpikir bahwa aku ingin menjauhkannya dari keluarga sendiri."
"Ken, dia tidak akan mengatakan hal itu lagi, jika kita menunjukkan bukti-bukti ini secara langsung. Mata siapa pun pasti terbuka lebar, jika dihadapkan dengan kenyataan seperti ini."
"Haaah ... ." Ken yang panik berusaha mengatur napasnya berulang.
"Besok pagi, aku akan menelepon dan meminta Kalila untuk melihatnya sendiri. Tapi untuk malam ini, kamu harus bisa menjaganya!"
"Dia tidak bersedia bertemu denganku lagi," ujar Ken sambil memijat dahi.
"Hei! Berapa usiamu saat ini? Ayolah!" Jami meninju dadaa Ken agar pria itu mampu berpikir keras. Sebab, ia harus bisa kembali masuk ke dalam kehidupan Kalila. "Kamu menyukainya, bukan? Jika benar, berjuanglah! Pikirkan caranya atau siapa yang bisa kamu percaya untuk melindunginya!"
"Baiklah."
Ken berencana untuk kembali ke kediaman Kalila dan meminta kepada pak Adi untuk menjaga wanitanya menjelang pagi. Besok, ia baru akan menemui Kalila untuk merayu dan mengajaknya melihat hasil penyelidikan tersebut.
Sebenarnya, Jami bisa saja menelepon dan memaksa Kalila untuk datang ke kantor polisi. Namun, Ken sangat tahu situasi Kalila di dalam keluarganya. Semua ini hanya akan menyakiti, bukan menjadi jalan keluar baginya. Kalila membutuhkan Ken, itu sebabnya ia menahan saran yang rekannya berikan.
Setibanya di kediaman tuan Husain, Ken langsung memanggil pak Adi dengan suara yang rendah. Ia tidak ingin mengganggu, tapi membutuhkan pertolongan.
"Aden? Kaget Bapak ini." Pak Adi mendorong pagar, perlahan.
"Maaf!" Ken mendongak, menatap ke arah kamar Kalila.
"Mau dipanggilin Non Kalila?"
"Tidak, ini sudah larut."
Pak Adi mengangkat tangan kanannya untuk melihat waktu. "Oh iya, sudah pukul 23.20 WIB," jawab pak Adi.
"Apa Rania sudah pulang dari rumah sakit?"
"Katanya tuan Elo besok pagi, Den."
Ken menghela napas panjang. "Jadi, semua orang masih berada di rumah sakit?"
"Tuan dan nyonya iya, Den. Tapi kalau tuan Elo, ada di dalam. Tadi, sekitar pukul 22.10 WIB, dia tiba. Katanya, besok ada meeting penting, jadi disuruh pulang sama tuan besar," jelas pak Adi yang langsung membuat Ken kembali khawatir.
"Tolong dengarkan aku kali ini, Pak!"
"Iya, Den. Ada apa?"
"Tolong jaga Kalila dengan sangat hati-hati! Bagian depan sini, biar aku yang mengurusnya."
"Oh." Pak Adi terlihat bingung. "Memangnya, ada apa, Den?"
"Bapak akan segera tahu, jika berhasil menjalani misi ini."
"Jadi ... ?"
"Iya, Bapak berjaga di dalam saja. Lebih bagus jika di sekitar kamar Kalila!" saran Ken karena ia masih bisa mengawasi bagian jendela, dari luar (Seberang jalan).
"Emh ... baik, Den. Apa pun itu, asalkan demi kebaikan non Kalila, pasti akan Bapak kerjakan," kata pak Adi yang menggadaikan pekerjaan dan gaji besarnya, demi kasih sayang terhadap Kalila.
Bukan tanpa alasan, jika ada yang mengadu bahwa pekerjaan pak Adi buruk dengan membiarkan pintu gerbang kosong tanpa penjagaan. Maka ia akan kehilangan pekerjaannya. Sebab, pak Adi sudah mendapatkan dua kali teguran langsung dari tuan Husain. Semua karena ulah Elo dan Sutini yang sudah sejak lama, berusaha keras untuk menyingkirkan laki-laki yang setia ini.
Bersambung.
Jangan lupa untuk meninggalkan komentar, tab love, dan follow ya, makasih.