Sinar matahari pagi menerobos dari jendela yang gordennya tersingkap sedikit. Mata yang masih terpejam itu bergerak-gerak karena sinar matahari yang mengenai mata itu. Tak berapa lama, mata itu terbuka. Tangan mulus terangkat untuk melindungi mata dari sinar matahari yang menyilaukan mata.
Mata biru itu mengerjap beberapa saat untuk menyesuaikan cahaya. Angela mengedarkan pandangan menyapu sekeliling ruangan yang tampak sangat asing. Gadis itu baru sadar kalau ia tidak berada di kamarnya. Tetapi di kamar orang lain. Ia berada di kamar yang disediakan oleh pemilik paviliun yang ditinggalinya ini. Ah, bukan ditinggali. Karena statusnya hanya sebagai tawanan di sini, bukan tamu apalagi menetap.
Angela mengembuskan napas. Perlahan gadis itu bangun, duduk menyender pada kepala ranjang. Sekali lagi mata biru itu menyapu ruangan. Entah sampai kapan ia berada di sini. Angela berharap tidak lama lagi agar ia bisa segera kembali ke rumahnya sendiri.
Suara pintu terbuka mengubah fokus Angela. Sosok yang sangat dirindukannya muncul di pintu. Keponakannya. Senyum Angela mengembang sempurna. Semua resah yang tadi dirasakannya menguap begitu saja. Angela membuka kedua tangan lebar menyambut Erica yang berlari kecil ke arahnya.
"Bibi Angela, selamat pagi," ucap Erica riang dengan suara khas anak-anaknya. Gadis kecil itu langsung melompat ke atas tempat tidur dan memeluk Angela, juga memberikan ciuman selamat pagi di pipi Bibinya.
"Selamat pagi juga, Sayang," balas Angela menciumi seluruh wajah Erica, membuat gadis kecil itu tertawa kegelian. "Bagaimana tidurmu, hm? Apakah nyenyak?" tanyanya.
Erica mengangguk. "Sangat nyenyak. Paman Curt memberikan banyak boneka dan mainan untukku." Erica bercerita penuh semangat.
"Benarkah?" Angela menanggapi cerita keponakannya tak kalah semangat. "Kalau begitu kalau harus mengucapkan terima kasih kepada Mr. Curt atas semua boneka dan mainan itu."
"Aku sudah melakukannya, Bibi," sahut Erica. Gadis kecil itu mengangguk, sehingga rambutnya yang dikepang dua itu ikut bergerak naik turun seiring gerakan kepalanya. "Aku sudah berterima kasih kepada Paman Curt."
"Gadis pintar." Angela kembali menciumi pipi gembil keponakannya. "Kau wangi sekali. Apakah kau akan pergi?" tanyanya.
Erica kembali mengangguk. "Kita akan pergi piknik hari ini!" seru Erica semangat. Gadis kecil itu tersenyum lebar, sampai-sampai mata bulatnya terlihat mengecil.
"Kita akan pergi piknik?" tanya Angela bingung. Sepasang alisnya terangkat. "Benarkah?"
Erica lagi-lagi mengangguk. "Tentu saja. Kalau Bibi tidak percaya tanyakan saja pada Paman Curt. Benarkan, Paman? Kita akan pergi piknik hari ini kan?"
Erica menoleh ke belakang. Tersenyum saat Curt memasuki kamar Angela.
"Selamat pagi, Angela," sapa Curt ramah. "Apakah tidurmu nyenyak tadi malam?" tanyanya.
Angela mengangguk. "Selamat pagi, Sir," balasnya. "Iya, tidurku nyenyak."
Angela tidak berbohong soal tidur nyenyaknya itu. Ia bahkan bangun kesiangan.
"Syukurlah, aku senang mendengarnya." Curt tersenyum lega. "Lalu bagaimana, apakah kau mau ikut piknik bersama kami?" tanyanya.
Angela tidak menjawab. Gadis itu hanya menatap Curt dan Erica bergantian dengan tatapan bingung dan bertanya.
"Nola juga akan ikut. Aku baru saja dari kamar Nola untuk membangunkannya," sambung Curt.
"Sungguh?" tanya Angela tak yakin.
Curt mengangguk. "Iya. Nola sangat bersemangat dengan piknik ini. Ia tidak pernah keluar dari mansion kecuali kemarin. Itu pun tersesat." Curt tertawa kecil.
Angela menundukkan kepala menyembunyikan senyum. Ia juga sebenarnya baru pertama kali keluar dari wilayahnya. Dan tersesat ke arena pertempuran juga. Benar-benar ia dan Nola sangat mirip.
"Kau mau ikut kan, Angela?" tanya Curt lagi. "Jangan khawatir, tidak akan ada yang berani mengganggumu selama ada aku," ucap Curt meyakinkan setelah melihat sinar keraguan di mata biru gadis itu.
Angela menggigit bibir. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi ia ingin ikut piknik, ia ingin bersama Erica dan Nola. Mungkin dengan menghabiskan waktu bersama mereka ia tidak terlalu merindukan rumahnya lagi. Di sisi lain ia takut untuk keluar. Entahlah, tetapi rasanya sangat tidak n baginya kalau keluar tanpa ada Rane yang menemaninya.
"Kami juga mengajak Rane."
Angela memfokuskan tatapan pada Curt mendengar perkataan pria itu.
"Tetapi aku tidak tahu dia mau ikut atau tidak. Masalahnya Rane tidak terlalu suka pada acara-acara seperti piknik itu."
Pipi Angela terasa memanas mendengarnya. Benarkah Curt juga mengajak Rane? Tetapi kenapa Curt tahu kalau ia memikirkan pemuda itu? Apakah Curt...? Angela tidak meneruskan kata-kata hatinya. Seharusnya ia sadar kalau Curt mampu membaca pikiran. Angela bodoh! maki Angela dalam hati.
"Aku memang bisa membaca pikiran, Angela," jawab Curt seolah membenarkan dugaan gadis itu.
Pipi Angela semakin terasa panas. Gadis itu meniup-niup udara dari mulutnya beberapa kali, berusaha meredam panas yang berpusat di pipinya.
"Tetapi aku tidak bisa membaca pikiranmu."
Angela mengerjap beberapa kali. Apa kata Curt tadi? Apakah ia tidak salah dengar? Curt tidak bisa membaca pikirannya? Kenapa? Lalu bagaimana pria itu bisa mengetahui apa yang dipikirkannya?
"Aku juga tidak bisa membaca pikiran Rane." Curt menoleh pada Angela. "Aku sudah berusaha tetapi tetap tidak bisa. Pertahanan Rane sangat kuat, aku tidak bisa menembusnya."
"Be-benarkah?" Angela terbata. Ia masih belum mempercayai perkataan pria yang duduk di sofa tak jauh dari tempat tidurnya.
Curt mengangguk. "Iya," jawabnya.
"Lalu bagaimana...?" Angela tidak meneruskan pertanyaannya. Sangat memalukan kalau ia meneruskannya.
Curt tertawa kecil. "Aku hanya menebak dari gerak-gerikmu saja."
Angela melongo. Hanya menebak saja? Tetapi bagaimana mungkin bisa setempat itu? Apakah ia sangat-sangat terlihat? Astaga! Angela menggeleng pelan.
"Jadi bagaimana, apakah kau jadi ikut kami piknik?" Curt mengulang pertanyaannya.
"Entahlah." Angela menggeleng. Kedua tangannya mengibas kacau. "Aku tidak tahu."
"Ayolah, Bibi, ikut saja," bujuk Erica. Gadis kecil itu sejak tadi asyik bermain dengan salah satu bonekanya. Lagipula ia tahu, tidak baik mencampuri pembicaraan orang dewasa. Papa akan marah kalau ia mendengarkan apalagi sampai ikut menyahut.
Angela menatap keponakannya yang menatapnya dengan tatapan memelas. Sungguh, Angela tidak tega melihat tatapan itu, ia selalu luluh. Seperti kemarin saat Erica mengajaknya jalan-jalan keluar area Angel Palace.
"Baiklah," jawab Angela akhirnya. Gadis itu menyerah. Ia tidak sanggup menolak kalau Erica sudah menatapnya seperti tadi. "Aku akan ikut kalian kurasa."
Erica tersenyum lebar kemudian memeluk leher Angela erat. Gadis kecil itu menciumi pipi Bibinya bertubi-tubi sebagai ungkapan terima kasih karena Angela menerima ajakannya.
"Baiklah, cukup, Sayang. Kau membuat Bibi tidak bisa bernapas." Angela tertawa kecil. Menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri menghindari ciuman Erica.
Tetapi Erica tidak menghentikannya. Sampai Nola memasuki kamar itu dan bergabung bersama mereka di atas tempat tidur.
"Kenapa kalian belum siap?" tanya Nola melihat Angela yang masih berbalut selimut dari pinggang sampai ke bawah.
"Aku tidak bisa bersiap. Gadis kecil ini terus menciumiku sejak tadi," jawab Angela tertawa kecil. Wajahnya masih bergerak ke kanan dan ke kiri. Erica masih terus berusaha menciuminya.
Erica tergelak. Tangannya memegangi pipi Angela agar Bibinya itu tidak bisa lagi menghindar.
Curt dan Nola tertawa melihat kelakuan menggemaskan Erica. Mereka juga bahagia melihat keakraban Bibi dan keponakan itu.
Curt menghampiri mereka. Kalau Erica terus mengajak Angela bercanda, bisa-bisa rencana piknik mereka tidak akan terlaksana. Curt menarik tubuh mungil Erica, menggendongnya menjauhi Angela.
"Ayo kita bangunkan Paman Rane!" ajak Curt melihat Erica yang akan protes.
Mendengar nama Rane, Erica yang tadinya cemberut kembali bersemangat. Gadis kecil itu mengangguk cepat.
"Ayo kita bangunkan Paman Rane, Paman Curt. Aku tidak mau kita terlambat!"
"Baiklah. Kita pergi sekarang ya?"
Erica mengangguk lagi. Masih secepat tadi.
"Sampai nanti, Nona-nona. Aku harap kalian sudah siap saat kami kembali nanti," ucap Curt. Pria itu melangkah menuju pintu dengan Erica yang bertepuk tangan gembira di gendongannya.
"Akhirnya." Angela mengembuskan napas lega. "Aku bisa terbebas juga dari ciuman maut Erica."
Nola tertawa mendengar perkataan Angela. Istilah ciuman maut itu sangat lucu baginya.
"Aku mau mandi dulu!" Angela bergegas turun dari tempat tidur. "Tunggu sebentar ya, Nola. Aku tidak akan lama."
Nola mengangguk. "Tentu saja!" jawabnya senang.
Nola kembali tertawa kecil melihat Angela yang setengah berlari memasuki kamar mandi. Gadis itu tentu saja lega, Angela sedikit melupakan kesedihannya sebagai tahanan di sini. Ia bahagia melihat Angela yang bercanda bersama Erica tadi. Semoga saja Angela bisa terus tertawa seperti tadi.
Nola turun dari tempat tidur setelah mengingat sesuatu. Gadis itu menuju kamarnya tergesa. Ia akan mengambilkan pakaian untuk Angela.
***
"Paman Rane, ayo bangun!"
Rane menutup telinganya menggunakan bantal. Sebenarnya bukan hanya telinganya, tetapi seluruh kepalanya. Sejak beberapa menit yang lalu Erica terus mengganggunya, memintanya untuk bangun. Rane mengumpat dalam hati, seandainya saja yang membangunkannya bukan gadis kecil ini, ia pasti sudah membakar orang itu. Karena sudah berani membangunkannya dengan cara sebrutal ini. Tidak tahukah gadis kecil itu kalau ia baru bisa tidur beberapa jam sebelum ayam berkokok?
"Ayo, Paman Rane, jangan malas. Kita piknik hari ini!" seru Erica sambil tangannya terus berusaha membuka banyak yang menutupi kepala Rane. "Paman tidak boleh terlambat, atau akan kami tinggalkan!"
Rane mengerang kesal mendengar ancaman itu. Ia masih bingung, bagaiman ia bisa menyayangi gadis kecil itu. Sampai-sampai ia tidak marah saat tidurnya diganggu seperti sekarang.
"Paman Rane, bangun!" seru Erica untuk kesekian kalinya. Sepasang tangan mungilnya terus berusaha menjauhkan bantal dari kepala Rane.
Rane menggeram kesal. Bukan pada Erica, melainkan pada kakaknya yang menonton aksi kekerasan yang dilakukan Erica. Baiklah, mungkin ia keterlaluan menyamakan aksi Erica dengan kekerasan. Tetapi apa yang dilakukan Erica tidak ada bedanya dengan para pelaku kekerasan.
"Curt, tidak kau mau membantuku?" tanya Rane kesal. Pemuda itu menyingkirkan bantal dari atas kepalanya. "Lintah kecil ini memukuliku!"
Rane segera bangun, menangkap tubuh kecil Erica kemudian menggelitiknya. Membuat Erica tertawa-tawa kegelian.
"Bukan kau yang harus kubantu, melainkan Erica," jawab Curt santai. Pria itu menyenderkan punggung pada senderan sofa yang didudukinya. Kedua kakinya saling bertumpuk dengan pandangan lurus kepada adiknya. "Kau sangat sulit dibangunkan."
Rane menghentikan aksinya. Pemuda itu duduk di tempat tidur, Erica duduk di pangkuannya.
"Apakah kau tahu kalau aku tidur menjelang pagi tadi malam?"
"Bukan urusanku," jawab Curt mengedikkan bahu tak peduli. "Yang penting kau mau bangun dan ikut dengan kami hari ini. Kita piknik!"
Sekali lagi Rane mengerang. Curt padahal sudah tahu kalau ia sangat tidak suka dengan acara-acara semacam itu. Lalu kenapa kakaknya memaksanya untuk ikut?
"Kalau aku menolak?" tanya Rane.
"Kau tidak punya pilihan untuk itu," jawab Curt.
Rane mendengus. "Kau tahu kalau aku sangat tidak suka dengan itu, kenapa masih memaksaku?" Rane tetap menolak untuk ikut. Acara-acara seperti itu sangat membosankan baginya.
"Karena kurasa kau memerlukannya."
Rane memutar bola mata kesal.
"Angela tidak mau ikut kalau kau tidak ikut."
Rane menatap kakaknya heran. Apa ia tidak salah dengar? Angela tidak mau ikut kalau ia tidak ikut? Apa hubungannya dengannya?
"Tidak ada hubungannya dengan Angela!" sentak Rane. "Itu juga terserah padanya untuk ikut kalian atau tidak. Aku tidak peduli."
"Ah benarkah?" tanya Curt. "Kau benar-benar tidak mau ikut?"
Rane menggeleng.
"Kau sudah mendengarnya kan, Erica? Paman Rane menolak ajakan kita." Curt memasang wajah sedih menatap Erica.
Erica menggeleng cepat. Ia ingin Paman Rane ikut serta. Gadis kecil itu cepat membalikkan duduknya. Sekarang ia menghadap Rane. Erica mendongak, sepasang tangan mungilnya membingkai pipi Rane.
"Paman kenapa tidak mau ikut?" tanya Erica sedih. "Aku sangat ingin Paman Rane ikut bersama kami."
"Paman ada pekerjaan yang harus diselesaikan, Erica." Rane beralasan. Padahal sebenarnya ia hanya tidak ingin ikut saja. Ia terlalu malas untuk berkumpul.
"Tapi bagaimana dengan Bibi Angela? Bibi Angela juga tidak mau ikut kalau Paman Rane tidak ikut." Bibir Erica mencebik. Gadis kecil itu hampir menangis. Tangannya yang tadi membingkai pipi Rane sekarang luruh. Kepala mungilnya menunduk sedih. "Aku ingin mengajak Bibi Angela keluar. Tetapi Bibi Angela takut kalau Paman Rane tidak ikut."
Rane menghela napas. Ia sadar, Erica sedang menggunakan kekuatannya untuk membuatnya luluh. Gadis kecil itu sepertinya tidak sadar akan kekuatannya itu. Dan Rane tidak dapat menolaknya.
"Baiklah!" ucap Rane akhirnya. Ia menyerah. Bukannya ia tidak bisa melawan kekuatan itu, tetapi ia tidak ingin. Mungkin keluar sebentar tidak masalah. "Paman akan ikut denganmu. Tetapi Paman rasa kau harus menunggu sebentar lagi, karena Paman harus mandi."
Erica mengangguk dengan mata yang berbinar gembira. "Tentu saja, Paman. Aku pasti akan menunggu!" sahutnya semangat. "Tapi Paman jangan lama ya!"
"Huh?" Rane mengernyit. Bukankah seharusnya ia yang mengancam? Di sini ia yang dipaksa.
"Kami akan menunggu di kamar Bibi Angela, Paman Rane!" seru Erica sambil turun dari atas tempat tidur Rane. Gadis kecil itu menghampiri Curt yang tersenyum lebar menyambutnya. Erica duduk di pangkuan Curt.
"Atau kita menunggu di sini saja?" usul Curt. Ia merasa kurang enak berada di dalam kamar seorang perempuan. "Setelah Paman Rane siap baru kita menjemput Bibi Angela dan Bibi Nola di kamar Bibi Angela, bagaimana?"
Erica tampak berpikir sejenak kemudian gadis itu mengangguk setuju. Sementara Rane sudah sejak tadi berada di dalam kamar mandi. Rane benar-benar akan ikut acara piknik untuk pertama kalinya.