Seorang pelayan masuk ke kamar yang dihuni Angela dan Erica setelah Rane dan saudaranya keluar dari kamar itu. Pelayan perempuan itu memberikan dua buah gaun dengan warna yang sama kepada kedua penghuni kamar untuk mereka kenakan di acara makan malam nanti.
Sungguh Angela tidak menyukai gaun berwarna merah bata itu. Ia tak pernah mengenakan gaun dengan warna merah menyolok seperti ini. Semua gaun dan pakaiannya selalu berwarna lembut. Tetapi nanti malam ia harus mengenakan gaun dengan warna itu. Warna yang sudah dipilihkan entah oleh siapa, mungkin Mr. Arnold Johnson.
"Gaunnya cantik. Iya kan, Bibi?"
Angela mengalihkan tatapan kepada keponakannya. Erica kecil tampak mengamati gaun yang diberikan padanya. Hidung mungilnya berkerut begitu juga dengan dahinya. Sementara bibirnya yang kemerahan menyunggingkan senyum ceria khas anak-anak.
Angela tersenyum melihat tingkah menggemaskan Erica. Angela menghampiri Erica, berjongkok di sisi gadis kecil itu yang masih mengagumi gaunnya. Angela mengamati gaun Erica. Gaun yang terbuat dari satin itu memang terlihat cantik. Pita-pita dan renda menghiasi pinggirannya, juga beberapa kepala kucing yang sepertinya juga terbuat dari satin. Sangat pas dan cocok dengan Erica yang memang menyukai kucing.
"Iya, gaunnya sangat cantik." Angela mengangguk. Senyum masih menghiasi bibirnya. "Apa kau menyukainya?" tanyanya sambil mengusap pucuk kepala Erica.
Erica mengangguk semangat. "Sangat suka. Apa aku boleh memakainya?" tanyanya menatap Angela.
Angela mengangguk lagi. "Tentu saja, itu kan gaunmu."
"Sungguh?" Mata bulat Erica membesar. "Benarkah gaun ini untukku?"
Angela kembali mengangguk. Tangannya berpindah ke pipi Erica, mencubit pipi chubby yang kemerahan itu.
"Terima kasih, Bibi." Erica memeluk leher Angela.
"Bukan berterima kasih pada Bibi," ralat Angela sambil mengurai pelukan. "Tapi berterima kasihlah pada Paman Curt. Bibi rasa dia yang memberikan gaun ini padamu."
"Benarkah?"
"Bibi rasa memang seperti itu. Paman Curt yang memberikan gaun ini, atau mungkin Ayahnya."
"Papa Paman Curt?"
"Hu-um." Angela lagi-lagi mengangguk. "Karena Bibi juga mendapatkan gaun dengan warna yang sama seperti milikmu."
Erica memiringkan kepala untuk mengintip apa yang ada di balik punggung Angela. Ternyata Bibinya tidak berbohong. Sepotong gaun berwarna sama persis dengan gaun miliknya tergeletak di sisi ranjang yang lain. Gaun yang lebih sederhana daripada miliknya. Tak ada hiasan apa-apa. Erica tidak menyukainya. Menurut Erica, gaun miliknya jauh lebih cantik dari gaun milik Bibi Angela.
"Hanya warnanya yang sama, tetapi gaunku lebih cantik dari gaun milik Bibi," celoteh Erica.
Gadis kecil itu berbicara sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Membuat Angela gemas bukan main. Belum ekspresinya dalam menilai gaun-gaun itu yang seperti seorang yang lebih dewasa. Angela mengecup pipi Erica kemudian mengacak gemas poni ratanya sebelum berdiri.
"Apa menurutmu Bibi akan terlihat cantik kalau mengenakan gaun ini?" tanya Angela tanpa menatap Erica. Tangannya terulur mengambil gaun, melangkah ke depan cermin besar di dekat meja rias dan mematut gaun itu di tubuhnya. Ia tahu, mungkin sedikit aneh meminta pendapat pada gadis sekecil Erica. Tetapi, bukankah anak kecil selalu jujur? Lagipula, Erica memiliki selera fashion yang bagus.
"Gaunnya sih tidak cantik. Tapi kalau Bibi yang memakainya pasti akan terlihat cantik!" puji Erica dengan mata keunguannya yang berbinar. "Bibi selalu cantik mengenakan apa pun."
Meskipun yang memujinya adalah Erica. Dan Erica adalah keponakannya yang baru berusia empat tahun. Tapi pipi Angela tetap saja memerah.
"Benarkah?" tanya Angela sambil berbalik menatap Erica. Bibir cherrynya mengulas senyum.
Erica mengangguk. "Hu-um."
Angela berjalan cepat menghampiri Erica yang duduk di sisi tempat tidur. Mengacak rambut gadis kecil itu sayang.
"Kau bisa saja membuat Bibi senang." Angela tersenyum lebar, memeluk keponakannya erat.
***
Pintu ruangan pribadi Arnold Johnson terbuka. Seorang pria bertubuh tinggi besar dengan otot-otot di lengannya yang tak tertutup apa-apa memasuki ruangan. Pria itu, Rafael Loumungga, berdiri di depan Arnold menunggu pemimpinnya memintanya duduk. Rafael memang lancang, tetapi ia masih mempunyai sedikit rasa malu untuk tidak duduk terlebih dahulu sebelum dipersilakan.
"Kalau kau datang menemuiku dengan cara yang sangat tidak sopan ini hanya untuk mengkritik apa yang kulakukan pada gadis itu sebaiknya kau keluar saja. Karena aku tidak akan mengubah keputusanku!"
Arnold sudah mengetahuinya, kalau Rafael sudah mendengar tentang tawanan dari klan Thomas yang diperlakukan layaknya tamu terhormat. Ia tahu Rafael sangat membenci klan Thomas. Ia juga tahu kalau Rafael pasti akan menentang keputusannya yang memberikan Angela sebuah kamar di paviliun Rane, bukan tahanan bawah tanah seperti yang selama ini mereka lakukan pada tawanan dari klan Thomas lainnya.
Wajah tampan Rafael mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat. Ia sangat tidak setuju dengan keputusan yang dibuat Arnold tentang tawanan baru itu. Apa hanya karena gadis itu keturunan utama klan Thomas sehingga ia diistimewakan? Lalu bagaimana dengan adiknya yang juga menjadi tawanan di klan Thomas? Apakah adiknya juga diperlakukan sama seperti gadis klan Thomas itu diperlakukan? Sepertinya tidak. Ia mengenal Ruu Thomas. Ia pernah beberapa kali bertarung satu lawan satu dengan pemimpin klan Thomas tersebut. Dan hasilnya sudah bisa ditebak, ia selalu babak belur. Ruu Thomas adalah pria itu tidak mengenal ampun.
"Tapi, Sir, adikku..."
"Masalah adikmu kita bicarakan nanti. Kita akan mengupayakan pembebasannya secepat mungkin. Ruu tidak bisa menolak untuk membebaskan Marissa. Adiknya berada di tangan kita." Mata tua Arnold menatap Rafael dengan tatapan yang menunjukkan kekuasaannya. "Sekarang keluarlah. Bersikaplah baik di meja makan nanti kalau kau tak ingin terjadi apa-apa pada adikmu!" ucap Arnold tegas.
Rafael sedikit membungkukkan badannya mohon diri. Kemudian berbalik dan meninggalkan ruangan itu disertai geraman tertahan. Ia harus menghormati keputusan Arnold, karena bagaimanapun si tua itu adalah pemimpin klan mereka. Seandainya saja ini bukan keputusan Arnold, pasti ia akan menentangnya mati-matian. Sialan gadis klan Thomas itu. Lihat saja nanti, ia akan memberikan sedikit kenang-kenangan.
***
"Angela, apa kau sudah siap?"
Angela yang sedang merapikan kepangan rambut Erica menoleh. Nola memasuki kamar yang ia dan Erica tempati dengan membawa dia buah kotak bertumpuk di tangannya.
"Sebentar lagi," jawab Angela tersenyum.
Angela menambahkan sentuhan akhir pada poni Erica dengan menyisir poni itu pelan-pelan. Dan jadilah Erica seperti boneka porselen hidup dengan mata keunguan.
"Wah Erica cantik sekali!" seru Nola kagum. Cepat Nola meletakkan kedua kotak yang dibawanya di tempat tidur, memeluk Erica dan menciumi pipi chubby Erica yang menggemaskan. "Kau seperti boneka saja."
Erica mengerjap-ngerjapkan mata biru keunguannya. Membuat Nola semakin gemas saja.
"Tunggu di sini, Bibi ada sesuatu untukmu." Nola segera berdiri, mengambil salah satu kotak yang lebih kecil. Membawa kotak itu ke hadapan Erica. "Ini untukmu, Erica kecil," ucap Nola setelah membuka kotak.
Mata Erica berbinar. Sepasang sepatu berwarna senada dengan gaun yang dipakainya mengisi kotak itu. Dengan tak sabaran seorang anak kecil, Erica mengambil sepatu itu dan mencobanya.
"Bibi, lihat! Sepatu cantik ini sangat pas di kakiku!" pekik Erica gembira. "Bibi Angela, coba lihat kemari. Lihatlah sepatuku baruku," pinta Erica dengan wajah memelas.
Gemas melihat Erica yang mencekik, Nola mencubit pipinya yang kemerahan itu.
Angela yang sedang menyisir rambutnya berbalik. Gadis itu urung menyapukan bedak di wajahnya. Tadi sebelum mereka bersiap, Nola datang dan memberikannya seperangkat alat kecantikan. Angela ingin membubuhkan bedak di wajahnya, tetapi Erica memaksanya untuk melihat sepatu barunya yang diberikan Nola.
"Wah sepatu yang sangat cantik." Angela menghampiri Erica, berjongkok di depan gadis kecilnya dengan sisir masih berada di tangannya. "Apa kau suka sepatunya? Apakah itu muat di kakimu?" tanya Angela semangat.
Erica mengangguk tak kalah semangat. Kepalanya bergoyang-goyang sehingga kuncir rambutnya ikut bergoyang.
"Kotak yang satu lagi untukmu, Angela." Nola menunjuk satu kotak yang masih berada di atas tempat tidur. "Isinya juga sepatu. Curt yang memilihkan untuk kalian."
Angela menoleh mengikuti telunjuk Nola. Gadis itu mengembuskan napas. Ternyata klan Johnson sangat baik.
"Terima kasih," bisik Angela sebelum berdiri dan melangkah menuju tempat tidur di mana kotak yang dimaksud Nola berada. Angela mengambil kotak itu dan membukanya. Sepasang sepatu sewarna gaunnya menghiasi pandangan Angela. Gadis itu meletakkan kembali kotak ke tempatnya semula dan kembali ke depan cermin.
Angela menyisir rambutnya sekali lagi. Kalau tadi siang ia mengikat rambutnya pony tail, malam ini Angela menggerai rambut pirangnya. Mungkin ia akan kelihatan lebih mencolok nanti, Angela tak peduli. Ia bangga pada rambut pirangnya, ia juga bangga pada nama klan yang disandangnya.
Angela membubuhkan bedak tipis-tipis pada wajahnya, begitu pula dengan pewarna bibir. Sesungguhnya Angela tidak memerlukannya, bibirnya sudah berwarna kemerahan secara alami. Tapi Angela tetap menyapukan pemulas bibir itu ke bibirnya.
"Nola, apakah Curt juga yang memberikan ini?" tanya Angela. Gadis itu berbalik dan memperlihatkan lipgloss yang baru digunakannya.
Nola menggeleng. "Bukan, tapi aku. Curt tidak tahu kalau masalah itu." Nola terkikik. Menutupi mulutnya dengan tangan.
Angela tersenyum manis. "Terima kasih, Nola," ucapnya.
Nola terpesona melihat senyum Angela. Gadis itu menatap Angela tanpa berkedip.
"Angela, kau sangat cantik!" pekik Nola kagum. "Benarkan, Erica?" tanyanya sambil menatap gadis kecil yang berdiri di sampingnya. Erica menggenggam tangannya erat.
Erica mengangguk lucu. Kepangan rambutnya kembali ikut bergerak seiring gerakan kepalanya.
Pipi Angela bersemu merah mendengar pujian itu. Ia tak merasa secantik itu. Angela merasa dirinya biasa-biasa saja. Bahkan Angela kerap merasa rendah diri, diusianya yang ketujuh belas ia belum memiliki kekuatan seperti remaja kain di klannya. Kadang Angela merasa iri pada mereka. Apalagi Ruu kakaknya sering membandingkannya dengan Leon, sahabatnya, yang merupakan salah satu petarung di klan mereka. Usia Leon sama dengannya karenanya Ruu sangat bangga pada pemuda itu.
"Ka-kalian bisa saja." Angela tergagap, kembali membalikkan tubuhnya menghadap cermin. Angela berpura-pura sibuk menata letak alat-alat kosmetik di meja riasnya.
"Aku tidak berbohong, Angela. Aku sungguh-sungguh, kau memang sangat cantik."
"Ka-kau juga cantik, Nola."
"Tidak." Nola menggeleng. Suaranya terdengar tidak sesemangat tadi. "Aku tidak secantik dirimu. Kau sangat cantik, bahkan dari Marissa yang mengaku sebagai gadis tercantik di sini."
Angela mengerjap beberapa kali. Tak percaya kalau ada gadis seperti itu. Sungguh gadis yang memiliki kepercayaan diri sangat tinggi.
"Benarkah?" tanya Angela heran.
Nola mengangguk lemah. "Iya."
"Ma-maksudku bukan itu, tetapi gadis itu..." Angela menjilat bibirnya yang terasa kering sebelum melanjutkan. "Benarkah ada gadis seperti itu?"
Nola mengangguk lagi. "Tentu saja ada. Marissa itu gadis yang tidak tahu malu. Dia selalu merasa kalau dirinya paling cantik di klan ini. Dia juga sangat sombong, mentang-mentang sudah bisa mengendalikan angin dia selalu mengejekku. Selalu mengolokku karena sampai sekarang aku masih belum bisa membangkitkan kekuatanku."
Angela tersenyum miris. Nasib Nola tak berbeda jauh dengannya.
"Atau aku memang tidak memiliki kekuatan sama sekali?"
Angela menggeleng. "Kita sama," ucapnya. "Aku juga belum bisa membangkitkan kekuatanku, sampai-sampai kakakku sendiri selalu membandingkanku dengan remaja lain di klan kami yang sudah dapat mengendalikan kekuatan mereka."
Nola terhenyak. Ternyata Angela lebih parah darinya. Kalau ia, hanya Marissa yang sering mengejeknya. Sementara keluarganya semua mendukungnya.
"Tapi aku yakin, kalau suatu saat aku juga akan memiliki kekuatan seperti mereka. Mungkin sekarang belum waktunya."
"Kurasa kita perlu lebih bersabar lagi." Nola tersenyum.
Angela mengangguk. Gadis itu juga tersenyum. Angela melangkah, menghampiri kotak sepatu yang masih tergeletak di ujung tempat tidur. Angela mengeluarkan sepatu itu dan mencobanya. Seketika Angela takjub. Curt sangat pandai dalam memilih sesuatu, sepatu ini sangat cocok dan pas sekali dengan ukuran kakinya.
"Bagaimana?" tanya Angela. Gadis itu berputar di depan Nola dan Erica.
"Sangat-sangat sempurna!" jawab Nola dengan binar kagum di matanya. "Kau sangat cocok dengan semua ini, Angela. Semua yang kau kenakan akan bertambah nilainya."
"Berhenti memujiku, aku malu!"
Angela menutup wajahnya menggunakan kedua tangan. Menimbulkan cekikikan dari mulut Nola.
Bukan hanya Nola yang memuji kecantikan Angela. Di tempat lain, tepatnya di dalam kamar Rane, pemuda itu juga mengagumi kecantikan yang terpancar dari dalam diri Angela. Rane membenarkan kata-kata Nola tentang apa pun yang dikenakan Angela, nilainya akan bertambah berkali lipat. Seperti halnya gaun dan sepatu yang dikenakan gadis itu malam ini.
Meninggalkan layar yang terhubung dengan kamera pengintai di kamar Angela, Rane mengambil jaket berwarna senada dengan gaun Angela dan Erica. Mengenakan jaket itu untuk menutupi kaus yang dikenakannya sebelum keluar kamar.
***
Di Angel Palace, Ruu Thomas, sang pemimpin klan Thomas berang. Adik dan putri tunggalnya tidak kelihatan sampai sekarang. Menurut penglihatan Bibi Imelda, adik almarhum Ayah Ruu, Angela dan Erica meninggalkan Angel Palace atas kemauan mereka sendiri. Tapi mereka pergi kemana Bibi Imelda tidak tahu. Erica pasti sudah memanipulasi ingatannya dan juga ingatan beberapa pengawal yang bertugas menjaga mereka. Sepertinya ingatan Angela juga demikian. Karena tidak mungkin Angela berani kekuar dari daerah kekuasaannya tanpa izin.
Ruu menggeram marah. Seharusnya ia lebih berhati-hati lagi pada putri kecilnya. Kekuatan langka yang dimiliki Erica bisa sangat berbahaya karena gadis kecilnya itu masih belum mengerti arti dari kekuatan yang mereka miliki.
"Cari mereka sampai dapat!"