Saat pintu terbuka setelah pemiliknya menekan digit sandi, suara menyuruh masuk langsung terdengar. Dia menjauh dari pintu, badannya masuk setengah ke dalam supaya orang yang ia ajak bisa menikmati hangat apartemen miliknya.
"Masuk aja, ini kosong kok," ujar Maxon setelah Inge mulai melangkah meski ragu. "Ini apartemen gue, belinya pake uang sendiri."
Inge mendengkus, meski begitu ia sedang mengamati setiap detail dari apartemen Maxon.
Rapi, amat sangat.
"Keluarga lo kaya banget?" tanya Inge penasaran karena Maxon punya satu tempat pribadi di dalam gedung bertingkat mewah pinggiran Jakarta.
"Papa mungkin punya uang, tapi apartemen ini hasil gue bikin video di YouTube." Cowok itu menjawab.
"Gamers?"
Dan Maxon hanya tersenyum.
"Gue tidur di mana?" Inge bertanya lagi, menurutnya Maxon harus bertanggung jawab karena membawanya pergi dari rumah sakit setelah berdebat panjang lebar di atap. Inge tidak sadar bahwa ia menangis di sana dan Maxon membujuknya agar tidak melakulan hal gila. Memang benar, Inge berniat loncat dari atap jika saja Maxon tidak datang.
Inge dan percobaan bunuh dirinya yang terus menerus....
"Cuma ada satu kamar, lo bisa pake itu. Gue tidur di sofa aja karena mau main PS juga." Maxon menunjuk pintu putih di dekat sofa empuk yang hanya ada satu buah. Apartemen Maxon memang cukup kecil, namun begitu rapi dan barang-barang yang ada di sini semuanya seperti hotel bintang lima.
Ada juga mini kitchen set di bagian kanan, sengaja tanpa ada tembok pembatas sehingga jika ada orang yang berkunjung bisa melihat kegiatan masak-memasak.
Inge mengambil langkah untuk membuka pintu kamar, ia seharusnya tidak terkejut melihat betapa tertatanya ruangan ini mengingat ruang utama saja sudah begitu menakjubkan. Tapi dirinya masih ingin mengangkat jempol untuk nilai kerapian Maxon. Inge perempuan, tapi tidak begitu detail seperti ini dalam masalah menaruh barang-barang.
Kasur empuk dengan sprei coklat almond menarik perhatian Inge. Ia langsung tertidur di sana, menghirup napas dalam-dalam saat aroma sprei menyambutnya. Wangi yang begitu tenang dan damai. Melengkapi rapinya kamar ini.
Dan tanpa memperdulikan si pemilik, Inge mulai terlelap.
❄
"Lo udah bangun?" Cowok dengan seragam lengkap namun bercelemek polkadot itu bersuara ketika tamu yang datang ke apartemennya duduk di depan meja makan yang terhubung langsung dengan kitchen set.
Inge berdeham melihat Maxon tersenyum lebar, menyuguhkan piring berisi nasi goreng yang tampak lezat.
"Pas seragamnya?" tanya Maxon, melirik kepada Inge yang sudah rapi memakai seragam baru yang ia beli pagi-pagi sekali. Untung hari ini Kamis, jadwal memakai baju pramuka sehingga Maxon tidak kelimpungan mencari. Masalahnya, seragam Mahardika termasuk batik dan pakaian wajib, hanya dijual di koperasi sekolah.
"Lo memperlakukan gue baik banget dari semalem. Bilang, tujuan lo apa?" Inge menyindir sambil menyuapkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya.
Setelah menyiapkan sarapan untuknya sendiri, Maxon mencuci tangan serta melepas celemeknya. Ikut makan dengan Inge dan selama itu senyumnya tidak luntur.
Entah mengapa, Inge selalu was-was jika Maxon melengkungkan bibirnya. Cowok itu memang gampang tersenyum tapi menurut Inge ada beberapa senyum aneh dari Maxon yang membuat otak Inge takut. Masalahnya, perbuatan Maxon terkadang di luar batas manusia normal.
Bagaimana jika sebenarnya Maxon itu psikopat?!
Jangan salah, cowok ini jenius parah, satu Mahardika tahu itu dan bukannya psikopat mempunyai IQ tinggi?
"Inge..." Maxon memanggil, membuat gadis di hadapannya menaikan sebelah alis. "Inge, tolong bantuin gue jadi jahat, ya?"
Inge sempat menahan napas, lalu membuangnya perlahan.
Psikopat jahat dari awal, Nge. Kalau dia minta diajarin jadi jahat, berarti bukan psikopat. Tenang, Nge....
"Lo masih mau jadi jahat?" Inge pura-pura memasang wajah berpikir, satu suapan lagi lolos ke mulutnya. Inge akui masakan Maxon enak.
Maxon mengangguk semangat. "Please! Gue pengen balas dendam sama mantan gue!"
"Nanti gue pikirin. Kalau sekarang gue laper dan nggak bisa mikir. Jadi, mending lo diem dulu."
Cowok itu berbinar senang, bahkan sekarang ia memberikan piring berisikan nasi goreng utuh miliknya kepada Inge. Berkata, "Makan yang banyak, Nge. Lo perlu berpikir! Yo, yo, makan, yo!"
Dan Inge hanya menggeleng pelan dengan disertai kekehan. Ia yakin, Maxon benar-benar bad genius.
❄
Saat tadi pagi Inge masuk ke kelas dan duduk di tempatnya, kepala gadis itu langsung kena toyor Shaen sambil ditanya ke mana Inge pergi kemarin. Bolos seharian sampai Shaen harus membawa tas gadis itu pulang.
Melihat luka di sudut bibir Inge, Shaen langsung punya spekulasi, "Tuh kan bener lo tauran lagi! Lo nggak tahu ya gue semalem kelimpungan pas Nyokap lo nelepon? Gue bilang aja lo nginep di rumah dan kecapean karena dihukum Pak Giri. Langsung tidur, nggak bisa ngabarin. Untung Tante Delima percaya!"
Inge hanya terkekeh, berterimakasih kepada Shaen yang rela berbohong.
"Fashion show Tante Adina sukses kemaren. Ada satu outfit yang gue keep buat lo karena look-nya gaya lo banget. Sepuluh juta doang, Inge. Lo bakal ambil kan?"
Salivanya terasa mengalir susah payah di tenggorokan, Inge bahkan kehilangan kata-kata mendengar ucapan Shaen. Mungkin jika dulu, berapa pun harganya akan Inge beli. Tapi sekarang...
Uang SPP lo pikirin, Nge!
"Gue kayanya lagi nggak mau beli baju deh, Sha. Gue lagi pengen ngoleksi sepatu," jawab Inge dengan nada meyakinkan.
Untungnya, Shaen mengangguk tanpa curiga.
Namun Inge sadar, nggak selamanya dia bisa bertahan hidup dengan terus berbohong.
Saat Shaen sibuk di kursinya dengan majalah Gucci dan Louis Voitten, diam-diam Inge mengeluarkan ponsel untuk mencari lowongan kerja part-time di sekitar tempatnya tinggal.
"Nge, gue kepengen Starbucks, deh. Jalan, yuk?" Shaen merapikan seluruh barang-barangnya ke laci, lalu menepuk bahu Inge. Mereka sudah biasa jajan ke luar, satpam jadi bosan melarang.
Inge mengangguk, mereka berdua melangkah dengan santainya ke luar gerbang menuju tempat ngopi yang tak jauh dari Mahardika.
Saat tangan Shaen hendak membuka pintu, seseorang keluar. Menyenggol bahu Shaen sehingga Inge langsung berteriak, "Kalau jalan yang bener, lo nyenggol temen gue!"
Merasa tidak ada apa-apa, Shaen bertanya, "Lo ngomong sama siapa, Nge?"
"Sama orang yang nyenggol---" Lalu Inge tersadar, dia berpikir lagi.
Orang?
"Nggak ada siapa-siapa, Nge. Lo haus ya makanya punya khayalan berlebih? Yok, masuk!" Shaen menarik lengan Inge, sedangkan gadis yang tengah memantapkan hatinya pada sesuatu itu melirik ke belakang namun tak menemukan apa-apa.
Jadi benar, pria berjubah hitam lengkap dengan penutup kepala berwarna senada yang tadi menabrak bahu Shaen itu... bukan manusia?
Harusnya gue nggak terkejut lagi. Inge bergumam cuek dalam hati.
❄
Ada satu mobil mewah berwarna hitam di depan rumah. Inge hapal plat nomornya sehingga ia bergegas untuk membuka pintu utama. Gadis itu mempercepat langkahnya saat mendengar isak tangis Mama. Dan benar, ada pria berengsek itu juga. Ongkang-ongkang kaki, seperti raja.
"Pak Bari, kalau begitu saya mohon tetap biayai sekolah Inge. Rumah ini akan disita, saya tidak khawatir. Saya bisa tinggal di mana saja, namun bagaimana dengan Inge? Saya mohon, jangan berhenti membiayai---"
"Ma!" Dengan emosi Inge memotong. Dia menghampiri Delima, lalu melirik Bari yang tersenyum sok baik. Palsu!
Delima melanjutkan, "Tolong pertimbangan permintaan saya. Saya mohon---"
"Berhenti memohon, Ma!" Inge menjerit, mengguncang bahu Delima dengan kuat. "Berhenti minta sama orang yang udah bikin anak Mama masuk rumah sakit! Inge nggak nginep di rumah Shaen semalem, melainkan harus dirawat karena dianiaya pria sialan ini!"
Mata Delima membulat, berbeda dengan Bari yang masih amat sangat tenang. Pria itu berkata, "Anakmu melemparkan asbak sehingga hidung saya berdarah. Saya hanya memberi Inge pelajaran. Saya adalah Paman yang baik."
Jujur saja Inge muak mendengarnya. Dia ingin menampar Bari dengan sangat keras.
"Tapi karena Inge tidak sopan, saya malas menolong kalian. Saya tidak akan membayar sekolah Inge dan... silakan kalian pergi dari sini. Rumah ini sudah disita Bank, bukan?" Bari berkata dengan nada meremehkan.
Delima mendekati Bari, langsung bersujud di sana sehingga Inge makin kalap. Ia menangis bercampur marah, menarik lengan Delima agar berdiri.
"Inge, Mama melalakukan ini demi kamu!" ujar Delima keras, sama sakitnya.
"Inge nggak butuh pertolongan dari pria sialan ini, Ma! Ayo pergi, kita cari tempat tinggal baru!"
Bari bertepuk tangan memberi kode, lalu dari lantai atas datang dua anak buahnya membawa koper berisikan barang-barang Inge dan Delima. Dilemparkan koper itu di hadapan mereka berdua.
Inge mengambilnya kasar, sebelum pergi dia mensejajarkan tubuhnya dengan Bari yang berdiri angkuh. Membuang ludah di hadapan Bari, pria itu emosinya tersentil lagi.
Delima membawa pergi putrinya, sebelum hal buruk terjadi. Mereka menelusuri jalanan Jakarta, dengan keadaan diam dan bingung. Sampai ada satu kamar kontrakan kosong yang berniat mereka sewa.
Inge memgamati rumah kontrakan ini, dan sepertinya harus terbiasa. Begitu kecil bahkan dapur rumahnya dulu lebih besar dua kali lipat dari ini.
"Mama istirahat ya," ujar gadis itu sembari mengelus bahu Delima.
Delima bertanya, "Inge bisa tinggal di sini?"
"Bisa kok, Ma. Jangan perduliin Inge. Sekarang Mama istirahat, ya."
Setelah membiarkan Delima tidur di kamar depan, Inge melangkah menuju kamar yang lain. Sangat sempit, hanya ada satu tempat tidur reot dan lemari dari plastik.
Inge menendang kopernya entah ke mana, sedangkan dirinya menutup pintu dan langsung meluruh di baliknya. Dia memeluk kedua kakinya, bahkan sesekali memukul dadanya dengan kuat.
"Pa, Inge harus gimana?"
Saat Inge sedang menumpahkan segala rasa sakitnya, ponsel yang berada di rok seragamnya bergetar.
Maxon : Gimana, Nge? Udah bisa mikir?
Ingesti : Imbalannya apa kalau gue bisa bikin lo jahat?
Maxon : Lo kan kaya, emang mau kalau gue bayar? Kayanya lo nggak butuh duit deh
Gue bahkan amat sangat butuh...
Inginnya, Inge berteriak seperti itu namun gengsi lagi-lagi datang.
Ingesti : HAHAHA. Lo pikir gue nggak punya duit?
Maxon : Terus gimana dong?
Ingesti : Lupain aja, Max. Gue nggak mau bantu lo
Maxon : Jahad syekali kamoe inieeee
Entah mengapa, Inge merasa geli dan tidak sadar terkekeh padahal beberapa detik lalu dia seperti berada di pusaran badai terhebat dalam hidupnya.