chapter 04

1873 Kata
Suara berisik mesin bus umum terdengar memekikan telinga. Siluet cahaya mentari menerobos pada kaca yang menghalangi bagian luar dan dalam. Sesosok gadis terpaku sendirian sambil memandang keluar, menimbangkan keramaian. Pertama kali untuknya naik kendaraan umum, berdesakan saat masuk dan baru dapat duduk setelah beberapa penumpang lain turun. Ia tidak suka, namun harus melakukannya. Pandangan Inge beralih pada pergelangan tangannya yang terbungkus hoodie merah maroon. Saat ia sibakan, sebuah kapas putih menekan indah hasil perbuatannya semalam. Luka sayat yang ia kehendaki sebagai isyarat lelah dirinya hidup. Mungkin jika Mama tidak mendobrak pintu kamar dan menghentikan pendarahan Inge, ia sudah bertemu Ayahnya. Lagi, semesta masih ingin mengolok-oloknya dengan takdir sialan ini. Inge kembali menyembunyikan bekas lukanya dengan hoodie setelah kenek bus berkata bahwa sebentar lagi sampai di pemberhentian dekat SMA Mahardika. Inge turun di sana, melangkah dengan kepala hoodie menutupi seluruh rambutnya. Bahkan sebagian pipi mulusnya hanya terlihat sedikit. Mahardika punya aturan ketat tentang dilarangnya memakai sesuatu yang bukan atribut sekolah, terutama jaket atau hoodie. Namun persetan, bagi Inge semua larangan Mahardika adalah kesenangan baginya. Hanya dengan melanggar, ia merasakan dirinya masih seperti yang dulu. Inge yang kuat, Inge yang bisa menindas siapa saja menggunakan tangannya sendiri. Saat melewati gerbang utama Mahardika, bahu gadis itu ditepuk. Ketiga sahabat karibnya menghentikan langkah Inge yang terkesan begitu buru-buru. "Mobil lo masih di bengkel, Nge?" Shaen bertanya, membuat Inge memandang sahabatnya itu dan sempat melepaskan kepala hoodie. "Gue naik taksi." Satu kebohongan pertama Inge di pagi hari. "Kalau gitu, tadi bareng aja. Supir Kirey bisa jemput ke rumah Inge." Kirey, gadis yang menurut Inge tak punya beban dalam hidupnya itu tersenyum sumringah. "Key, lo pikir sahabat lo ini nggak sanggup bayar argo taksi?" sahut Shaen sambil menepuk bahu Inge. Entah mengapa Inge ingin menunduk, karena buktinya hari ini ia tidak bisa ke sekolah memakai taksi. Bukan apa-apa, uang cash-nya habis dan credit miliknya sudah tidak bisa dipakai terhitung dari seminggu yang lalu. "Hari ini kita mau ke fashion show Tante Adina, lo ikut kan?" Shaen bertanya. "Nyokap lo punya new desain, Rhe?" Inge malah menatap Rhea yang sejak tadi sibuk dengan akun **, namun mengangguk kepada Inge. Kirey menjerit heboh, "Bakal banyak desain baru! Nggak sabar ah... mau belanja!" Ibu Rhea memang seorang desainer ternama, dan biasanya Inge dan kawan-kawannya selalu hadir saat fashion show lalu pulang membawa setidaknya pakaian paling mahal dan mewah dari butik keluarga Rhea. Inge yakin, untuk kesempatan kali ini pasti para sahabatnya akan membeli minimal satu gaun, dan ia akan gengsi jika hanya datang tetapi tidak membeli, bukan? Katakan aja lo nggak mampu, Nge. Uang lo udah habis! "Oke, gue dateng." Namun Inge paling tidak bisa dipermalukan apalagi di hadapan sahabatnya. Inge tahu percis Shaen punya segalanya. Sesuai nama belakang Shaen, gadis itu adalah princess di Argadhika family dan tentu saja Rhea serta Kirey sama tajir dengan Shaen. Inge belum siap didepak hanya karena... sekarang ia tidak punya apa-apa. Keempat gadis idola Mahardika itu beriringan menuju kelas. Kebetulan Inge dan Shaen satu kelas sehingga mereka berdua langsung masuk, berpisah dengan Kirey dan Rhea yang kelasnya berbeda satu pintu. Bel masuk berbunyi, namun kali ini ditambah dengan pengumuman. Dari suaranya terdengar dari bagian kesiswaan, dan itu panggilan yang ditunjukan untuk Inge. "Kesiswaan manggil lo? Bukannya harusnya guru BP?" tanya Shaen kebingungan, Inge pun sama. "Ya udah, gue ke sana dulu." Inge melangkah keluar kelas, masih mengenakan hoodie, tidak peduli jika nanti bagian kesiswaan memarahinya atau apa pun. "Inge, masuk," ujar Bu Sukma, bagian kesiswaan yang juga mengurusi siapa saja murid yang belum membayar iuran sekolah. "Pasti kamu sudah tahu mengapa saya panggil?" Inge duduk di hadapan Bu Sukma, menggeleng bingung. "Nggak tahu." Bu Sukma sedikit menaikan alisnya, lalu menunjukan beberapa kertas ke hadapan Inge. "Inge, kamu belum membayar iuran sekolah selama empat bulan. Sekarang kamu sudah masuk kelas 11, bahkan biaya pendaftaran ulang saja belum kamu bayar." Inge membaca kertas berisikan angka-angka yang harus ia lunasi dengan ekpresi wajah tidak paham. Ini keliru, tidak mungkin Inge menunggak. "Bu, iuran saya selalu dibayar tepat waktu oleh Pak Bari, orang kepercayaan almarhum Papa saya," kata Inge memberi tahu apa yang terjadi. "Nggak mungkin saya nunggak. Bahkan saya selalu melebihkan uang bayaran. Buat pembangunan Mahardika." Bu Sukma menghela napas. "Masalahnya, kamu belum membayar satu peser pun, Inge. Terhitung sejak empat bulan lalu." Ini pasti kesalahan... "Mungkin ibu salah? Mungkin bukan Inge saya?" "Kamu Ingesti Gloria, kan? Kelas 11-1. Hanya kamu di Mahardika yang mempunyai biodata ini, Inge." Rasanya kepala Inge hendak pecah, situasi ini tak bisa tercerna oleh otaknya. "Kalau kamu tidak bayar sampai akhir bulan ini, maaf kamu tidak bisa bersekolah di Mahardika lagi---" "Ibu pikir saya nggak mampu?!" Inge berteriak, memotong ucapan Bu Sukma. "Ibu tenang aja, saya akan bayar semuanya! Jangan kan iuran, saya bayar gaji Ibu sekalian!" Setelah menggebrak meja dan membuat Bu Sukma semakin menghela napas, Inge keluar dari ruang kesiswaan. Langkahnya begitu cepat, ia benar-benar harus segera mendapatkan jawaban mengapa iuran sekolah sampai menunggak. Pak Bari selalu memberi bukti transfer, dan ia percaya pada orang yang selalu berada di dekat Papanya saat masih hidup itu. Dengan tergesa-gesa, Inge mengeluarkan ponsel yang terselip di kantung hoodie. Mencari kontak Pak Bari, menunggu tersambung. "Non Inge? Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" "Pak, kenapa iuran sekolah saya bisa nunggak empat bulan? Bukannya Bapak membayarnya tepat waktu?" tanya Inge langsung. "Saya membayarnya, Non... tidak mungkin menunggak." "Tapi bagian kesiswaan memanggil saya dan mengatakan bahwa Bapak sudah berhenti transfer semenjak empat bulan lalu. Bapak mengambil uang yang harusnya Bapak bayarkan?!" Sambungan terputus tiba-tiba, membuat Inge kalap. Dia yakin ada yang tidak beres sehingga langsung mengambil langkah menuju gerbang Mahardika, tidak peduli jika setelah ini dihukum karena membolos sejak pelajaran pertama. Inge menghentikan taksi, meminta diantar ke perusahaan milik keluarga  Papanya. Ia bahkan membayar argo menggunakan jam tangan miliknya karena tidak membawa uang. Seperti kesetanan Inge masuk ke perusaahan meski ditahan satpam pun ia kekeuh berlari menuju lift. Menekan tombol ruangan yang dulu menjadi tempat Papanya bekerja setelah resepsionis mengatakan Pak Bari ada di sana. Pintu ruangan dibuka keras, Inge melihat kursi kebesaran Papanya diduduki oleh seseorang yang memegang gelas mewah. Orang itu tampak pura-pura terkejut pada kedatangan Inge. "Non Inge?" Bari bangkit dari kursi, badannya membungkuk namun entah mengapa Inge muak. "Bapak mengkhinati kepercayaan saya? Bapak bawa kabur uang saya?!" Inge berteriak, tak bisa dicegah. "Tidak, Non, tentu saja tidak. Saya sangat menghormati keluarga Non dan bertanggung jawab penuh atas kebutuhan Non Inge..." Setelah mengatakan itu, dengan perlahan Bari berdiri tegak, menatap Inge dengan pandangan berbeda. "Hei anak sombong, lo berharap gue bilang seperti itu kan? Hahaha, jangan ngimpi! Lo nggak bisa sombong lagi karena Bapak lo yang udah mati itu bangkrut. Sebelum mati, saham perusahaan ini anjlok dan gue belum digaji! Ah... atau jangan-jangan Papa lo itu sengaja menabrakan diri karena belum siap melarat? Lebih milih mati dibandingkan jatuh miskin?!" Amarah Inge langsung terkumpul di sepanjang tangannya. Terkepal kuat, gemeletuk giginya juga sudah terasa ingin memberontak. "Gue emang pake duit iuran sekolah lo! Salahkan Papa lo yang belum menggaji gue. Bahkan besok, perusahaan ini akan resmi ditutup! Semua pegawai yang ada di sini bakal kehilangan pekerjaannya gara-gara Papa lo!" Inge menggeleng kuat, tidak mungkin Papanya sengaja membuat perusahaan bangkrut apalagi mencoba bunuh diri ketika kecelakaan itu terjadi. Karena Inge berada di sana, ia tahu jelas mobil yang dikendarai Papanya ada yang menabrak dari depan. "Balikin duit gue yang lo pake! Atau gue laporin lo ke polisi!" Inge kembali berteriak, sedikit mengancam namun ia tidak main-main. Bari tertawa mengejek, ia bertepuk tangan sembari melangkah mendekati Inge. "Udah miskin masih aja sombong. Hei, yang ada lo dan keluarga lo yang gue laporin ke polisi karena gara-gara ketelodoran Papa lo, perusahaan ini hancur! LO PIKIR GUE NGGAK PUNYA SAHAM DI SINI, HAH?!" "Berhenti nyalahin Papa!" Inge mengambil miniatur asbak dari meja panjang di dekat sofa, melemparkan itu tepat pada wajah Bari. Dahi pria berusia empat puluh lima tahun itu berdarah. Amarah Bari tersentil, pria itu melangkah dengan cepat kepada Inge dan melayangkan sebuah tamparan keras sampai tubuh gadis itu terjatuh pada lantai. "Anak sombong seperti lo patut diberi pelajaran!" Kesetanan, Bari mendorong d**a Inge menggunakan sepatu pantopelnya. Tiga injakan, membuat d**a Inge begitu sesak dan juga tamparan lain membuat cairan asin itu semakin keluar deras dari sudut bibir Inge. Tak banyak yang Inge ingat. Ia hanya merasakan pandangannya semakin kabur saat sepatu Bari terasa menendang bagian tubuhnya yang lain. Sampai kegelapan tak berujung mengelilingi penglihatan Inge.... ❄ "Jangan gerak dulu." Suara familiar mendengung di telinga Inge. Apa yang terjadi sehingga rasanya seluruh tubuh Inge retak? Mengambil napas saja ia kesusahan. "Maxon?" panggil Inge secara perlahan ketika beberapa siluet abstrak terkumpul menjadi satu wajah utuh. "Lo dirampok, untung pegawai Papa lo segera bawa lo ke rumah sakit." Dirampok? "Nggak ada yang patah, tapi luka memar lo banyak," tambah Maxon. Inge bertanya, "Kenapa lo di sini?" "Rumah sakit ini tempat Bokap gue kerja. Gue sering ke sini buat makan siang bareng dan tadi liat lo di pintu UGD." Inge memalingkan wajah, menatap sekitar dan ternyata ia berada di sebuah ruang rawat berisi pasien yang lain juga. "Lo pingsan selama lima jam," Maxon menjelaskan lagi. Inge menjawab ketus, "Gue nggak mau tahu." "Oh, ya udah. Tapi kenapa lo bisa dirampok?" Bahkan Inge yakin bahwa yang membuatnya sampai masuk rumah sakit bukan karena insiden dirampok melainkan penganiayaan. "Orang bernama Pak Bari yang nolong lo. Katanya dia udah lapor polisi. Tenang aja, lo aman." Inge berdecak, merasa muak mendengarnya. Dan Maxon cukup bodoh karena percaya pada ucapan pria ular itu. Inge tidak habis pikir orang yang paling keluarganya percaya bisa melakukan hal ini. "Gue yakin dia nggak akan lapor polisi," gumam Inge membuat Maxon bertanya apa gadis itu mengatakan sesuatu. "Lupain. Berapa biaya yang harus gue bayar? Kayanya gue udah sehat. Gue mau pulang." Inge turun dari ranjang, sakitnya tidak ia rasa meski Maxon berkata jangan turun. "Pak Bari udah bayar biayanya dan dia minta gue jagain lo. Lo belom sehat," ujar Maxon pelan. "Lo bukan temen gue, jadi nggak usah sok care! Gue baik-baik aja!" Dengan tertatih-tatih gadis itu membawa langkah lemahnya keluar dari ruangan setelah melepas infus. Baju seragamnya berganti menjadi baju khusus pasien, membuatnya frustasi karena tidak mungkin Inge bisa pulang dengan keadaan seperti ini. Mamanya akan panik. "Baju lo penuh darah, Nge. Jadi dibawa Pak Bari buat jadi bukti---" "Stop!" teriak Inge marah. Ia tak mengerti mengapa Maxon mengikutinya dan cowok ini banyak omong sekali. "Gue nggak jadi balik, gue cuma mau cari angin. Dan berhenti ngikutin gue!" Maxon terpaku di tempatnya, memperhatikan Inge yang berjalan entah ke mana. Namun bukan Maxon jika tidak kepo. Dia mengendap mengikuti Inge yang ternyata pergi ke atap rumah sakit. Dari belakang Maxon melihat Inge berdiri di pembatas sambil menunduk lemah seperti memikirkan sesuatu. Dari semenjak gadis itu masuk UGD, Maxon ingin menghubungi teman-teman gadis itu, namun Maxon menahan dirinya. Takutnya, Inge tidak suka Maxon terlalu ikut campur. Dan sepertinya benar.... Maxon mendengar isak tangis Inge, cowok itu tak bergerak dari posisinya. Hanya diam, memperhatikan. Namun ketika Maxon melihat kaki Inge secara perlahan menaiki pembatas, ia tidak mungkin hanya diam saja. Apalagi saat gadis itu benar-benar sudah berdiri di ujung gedung seolah-olah akan loncat. Maxon tidak tahu jelas mengapa ia langsung berlari dan mendekap tubuh Inge dari belakang. Yang Maxon tahu, ia baru saja menyelamatkan hidup seseorang yang ternyata... tidak ingin diselamatkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN