Eksekusi Yang Tertunda

1978 Kata
      Bu Ellen menghela napas panjang.  Dan seolah Irene adalah Anak kecil yang mudah untuk dibohongi serta dialihkan perhatiannya, Bu Ellen berusaha memutar otaknya, mencari ide yang tepat untuk sedikit ‘membatasi gerak’ dari Irene.           Bagaimanapun, akhir-akhir ini Bu Ellen mempunyai pemikiran yang agak berbeda.           Jika sebelumnya dia sendiri lebih cenderung untuk memihak ke Irene ketimbang Klara pada saat terjadi perbedaan pendapat diantara kedua Putri yang disayanginya dengan segenap hati itu, kini seiring semakin jarangnya Klara bertandang apalagi menginap di rumah pada akhir pekan, mau tak mau membuat dirinya melakukan introspeksi diri.          Dia memang agak terusik dengan kemandirian Klara yang menurutnya semakin menjadi-jadi di matanya.          Bu Ellen tak hendak menampik, sebagai Seorang Ibu, dia juga mempunyai rasa rindu untuk dijadikan sebagai Teman bicara setiap kali Klara mempunyai masalah atau cerita apa pun. Atau bahkan sekadar melai obrolan ringan sambil menonton televisi, memasak bersama atau menikmati kudapan dan mengomentari nya. Hal-hal yang masih kerap dilakukan oleh Irene kepadanya, terutama di bagian berbagi kisah.           Akan tetapi faktanya, Klara memang bukan Irene. Mereka berdua sama-sama lahir dari rahimnya, melewati masa kecil hingga menjelang dewasa bersama di rumah yang sama dan mendapat didikan serupa dari dirinya serta Sang Suami.          Namun, pembawaan Dua bersaudara itu memang berbeda.          Dan kian dewasa, perbedaan itu kian tampak nyata.           Irene bagai halaman buku yang terbuka. Mudah terbaca.           Sementara Klara, tidak selalu mau mengungkapkan isi hatinya, pemikirannya sampai kemauannya.         Dan awalnya memang lantaran Irene memang terlalu 'ramai' sehingga Klara terkondisi untuk lebih menjadi Pendengar atau yang menimpali ucapan Irene saja. Siapa sangka, kebiasaan itu jadi terbentuk dari hari ke hari sampai-sampai kadang perbedaan Irene dengan Klara jadi terasa begitu kontras.          Jangankan meminta sarannya untuk segala keputusan penting tentang prospek klien dan semacamnya, berkisah tentang Siapa Sosok Lelaki yang tengah dekat dengannya juga tidak dilakukan Klara kepadanya. Dalam komunikasi mereka, setiap kali Bu Ellen memancing Sang Putri Bungsu untuk bertutur tentang kegiatan sehari-harinya, Klara lebih suka menyebutkan hal-hal lucu dan unik yang terjadi. Itu juga hanya sepotong saja.         Setelah itu Klara justru berbalik menanyakan tentang keseharian Sang Mama pada hari tersebut serta keadaan di rumah. Seingat Bu Ellen, nyaris tidak ada keluhan tentang pekerjaan yang dilontarkan Klara kepadanya. Ini membuat Bu Ellen merasa kurang dibutuhkan sebagai Ibu. Dan meski dia membawa keresahannya itu ke dalam doa, tak jarang dia tetap merasa khawatir apakah benar Klara baik-baik saja dan sekuat itu menghadapi semua permasalahan dalam hidup ini. Lebih-lebih dalam usia yang sekarang dan menjalankan usaha sendiri pula.          Bu Ellen memang memaklumi bahwa Klara memang sedang super sibuk dengan segala urusan pekerjaan dan bisa jadi urusan personalnya yang tidak sedikitpun ‘bocor’ ke telinganya. Namun sebersit pemikiran melintas juga di benaknya.          Walau Klara bukanlah Seseorang yang begitu sering dan terlalu spontan mengekspresikan perasaannya, bisa jadi Klara juga sedikit terganggu dengan sikap Irene yang terlalu banyak mencampuri urusan pribadinya. Ini membuat Bu Ellen timbul curiga, jangan-jangan Klara juga sedang membentengi diri.           Di lain pihak, mempertimbangkan keadaan Irene yang mulai hamil, dia juga merasa sebaiknya Irene memang lebih mengutamakan mengurusi dirinya, Anak yang dikandungnya, serta Suaminya dulu, daripada menggerecoki urusan Sang Adik yang tiada habisnya. Maklum, sikap Irene nyaris bertolak belakang dengan Klara. Merenungkan sejenak semua itu, Bu Ellen menarik napas panjang. Irene terheran.          “Ma, kok menghela napas panjang begitu? Ada apa? Tadi yang diperbincangkan dalam rapat mengesalkan dan nggak ada titik temu?” tanya Irene yang merasa terusik.           Sang Mama pantang menyia-nyiakan kesempatan baik ini.           “Ya, biasalah, Ren. Namanya beda kepala kan pasti beda pemikiran. Kadang-kadang nggak ada yang mau mengalah. Maunya ya ide mereka yang diaplikasikan. Makanya Mama lagi agak capek dan malas berpikir yang berat-berat atau ruwet dulu,” sahut Bu Ellen.           Irene agak kecewa mendengarnya, sekaligus kasihan kepada Sang Mama. Dia seperti mendapatkan penghalang untuk mendesak Sang Mama jadinya.           “Kamu sudah makan belum?” tanya Bu Ellen kemudian.           “Wah, sudah berkali-kali. Bawaannya lapar melulu nih, Ma. Tapi nggak bisa makan terlalu banyak. Sebentaran sudah mulai berasa mual kalau kekenyangan. Seperti Orang yang sakit maag saja deh.”          Ucapan bernada keluhan itu menjadi umpan yang baik bagi Bu Ellen.           “Memang seperti itu. Nggak apa repot sedikit. Yang penting ada makanan bergizi yang masuk ya Sayang. Ada sebagian Calon Ibu yang justru nggak bisa makan sama sekali pada saat hamil muda karena makanan apa pun yang masuk ke mulutnya selalu dimuntahkan. Sampai-sampai ada yang diinfus segala. Kamu harus bersyukur ya, karena Anakmu ini super pengertian ke kamu. Pasti nanti dia akan menjadi Anak yang kuat dan patuh sama Orang tuanya ketika sudah lahir nanti.”           “Amin.”           “Dan kemungkinan Anakmu ini Laki-laki ya Sayang.”           “Kok Mama bisa bilang begitu?” tanya Irene penasaran.           “Feeling saja.”           “Wah, Dhika bakalan senang sekali kalau Anak pertamanya Laki-laki. Kalau aku sih, sebenarnya lebih suka Anak perempuan. Soalnya kan bisa didandani, Ma. Terus, model bajunya lucu-lucu, warna-warni. Nggak membosankan.”           “Anak Laki-laki atau Perempuan sama saja, Sayang. Yang penting sehat. Lagi pula kalau soal model dan warna baju, jaman sekarang kostum untuk Anak Lelaki dan Anak Perempuan itu sama-sama bervariasi, kok. Ada yang berbentuk kostum super hero segala. Namanya juga masih Anak-anak, pakai pakaian apa saja ya cocok-cocok saja.”           “Iya juga sih, Ma. Eh, tapi aku masih penasaran soal tebakan Mama. Soalnya Dhika juga bilang begitu. Mamanya juga.”           “Oh, ya?”           “Iya. Kata Dhika, semenjak hamil aku jadi malas dandan. Nggak terlalu ribet sama penampilan. Dan sialnya, itu malah membuat dia senang. Soalnya menurut Dhika, lagi sebelum aku hamil itu, kadang-kadang dia sampai bosan menunggu aku kelar berdandan dan memilih pakaian yang cocok untuk berangkat kerja. Itu kalau kebetulan aku lagi menumpang mobilnya karena pas nggak ada Supir. Sekarang aku lebih praktis, katanya. Nyebelin juga. Jujur sih boleh. Tapi jangan menyinggung perasaan Istri juga dong, ya.”           Sang Mama tertawa geli mendengar curahan hati Sang Putri Sulung.           “Yang penting dia tambah sayang dan tambah mengalah kan, seperti maumu?” goda Sang Mama.          “He he he. Iya.”           “Dan konon kalau yang dikandung itu Anak Lelaki, fisik Ibu hamilnya lebih kuat. Beda dengan pada saat mengandung Anak Perempuan.”          “Masa sih, Ma? Mama dulu bagaimana?”           “Wah..., lumayan repot di awal-awal. Malahan Mama sempat dianjurkan untuk melakukan bed rest sewaktu mengandung kamu.”           “Aku sebegitu merepotkannya, Ma? Tapi Klara enggak?” Bu Ellen menangkap ketersinggungan yang mencuat.          Bu Ellen segera meralat kalimatnya.          “Enggak begitu juga. Kamu salah paham, deh. Mungkin karena sewaktu hamil kamu kan itu pengalaman pertama buat Mama, jadi masih serba bingung dan nggak tahu apa-apa. Dan kondisi Wanita hamil itu beda-beda, Sayang. Mau Anak pertama, Anak kedua, bahkan meski jenis kelaminnya sama, bisa saja ‘bawaan’nya berbeda. Orang ngidamnya saja bisa beda, kok. Kamu jangan terlalu sensitif dong,” bujuk Bu Ellen lembut.           “Hm.”          “Dan ingat ya Ren, kamu harus selalu sedia makanan ya, di dekatmu.”           Irene tertawa menimpali ucapan Sang Mama. Sepertinya rasa tersinggungnya sudah mereda dengan cepatnya.          Sang Mama menarik napas lega.           “Ini aku dibawain sama Si Mbak makanan macam-macam. Terus Dhika sama Mama-nya juga nggak bosan untuk mengecek dan menanyakan aku mau makan apa. Sama persis deh sama Mama. Sudah begitu, tadi aku juga dikirimi kue kering.“           “Oke kalau begitu, nggak lama lagi Mama bakal sampai di restaurant lho ini. Nanti lagi ya ngobrolnya. Kamu jaga kesehatan terus. Kalau kamu merasa capek langsung istirahat. Terus kalau merasa ada yang aneh dan nggak biasa pada kondisi badan kamu, harus cepat-cepat telepon Dhika atau Mama.”           “Atau Mamanya Dhika sekalian, biar semakin heboh. Pasti bakalan ada yang langsung meluncur ke kantor dan jemput aku deh. Bisa-bisa sudah bawa Perawat sekalian. Dasar Calon Oma yang hiper aktif,” sambar Irene, bernada keluh. Sang Mama tertawa kecil. I         tu kamu tahu, kalau ada Orang yang terlalu mengatur kehidupanmu tanpa seijinmu meski niatnya buat kebaikanmu, tetap saja akibatnya membuat kamu merasa nggak nyaman. Terus kenapa kamu juga begitu aktifnya melakukan hal itu kepada Adikmu? Sedangkan kamu tahu sendiri, Adikmu itu nggak selalu bisa mengungkapkan isi hatinya. Sudah keduluan sama kamu dia mau mengeluh apa juga, bisik hati Bu Ellen.           “Oke, sampai nanti ya Sayang.”           “Oke Ma. Mama juga selamat bersenang-senang.”           “Lho, kok? Bersenang-senang?”           “Ah, enggak. Daagh Mama.”           Irene tak menunggu sampai Sang Mama menyahutinya. Dia langsung saja menutup pembicaraan via telepon mereka.           Usai meletakkan telepon genggamnya di atas meja, barulah dia tersadar ada yang terlupa.           “Ye, gimana sih! Malahan tujuan utama aku menghubungi Mama tadi nggak tercapai. Duh Sayang, kamu bikin Mama jadi pelupa deh,” kata Irene lirih sambil menatap ke arah perutnya.           “Lain kali nggak boleh begitu ya, Sayang. Kamu juga kepengen kan, Tante Rara kamu yang cantik itu punya Pacar yang ganteng dan baik? Hm, pasti nanti Om Randy juga sayang sama kamu deh,” kata Irene lagi. Kali ini, disertai dengan gerakan tangannya mengelus perutnya.           Tak berapa lama kemudian, rasa kantuk yang hebat menyerang Irene secara tiba-tiba. Dia tak sanggup melawannya dan memilih untuk memejamkan matanya.          *          “Selamat Siang, Om,” sapa Rosalia ketika berpapasan dengan Pak Suwandi di depan lift.          Pak Suwandi yang baru keluar dari lift hanya mengangguk singkat, tanpa membalas sapaan Rosalia.         Dia sudah hampir berlalu dan membiarkan Rosalia memasuki lift, jika saja Rosalia tidak keburu mencegahnya. “Om, ini. Saya ada belikan ini untuk Om sewaktu dalam perjalanan kemari tadi. Kata Randy, setelah kepergian Tante Virny, Om agak kesulitan dengan pengelolaan toko kue dan roti milik Tante Virny. Nah, barangkali ini bisa sedikit menjadi pertimbangan untuk Om meluncurkan jenis produk yang baru di sana,” kata Rosalia sambil mengulurkan sebuah tas karton bertuliskan nama toko kue ‘Wilton Bakery’ yang tak lain adalah toko kue yang diklaim Pemiliknya sebagai toko kue yang selalu melakukan terobosan baru dalam hal varian rasa maupun bentuk.          “Terima kasih atas perhatiannya,” kata Pak Suwandi.           Rosalia mencari adakah senyum di wajah itu. Sayangnya, tidak. Dia bahkan dapat membaca bahwa wajah itu menyiratkan rasa bosan dan ingin segera berlalu dari hadapannya.           "Om," panggil Rosalia takut-takut.          “Begini, saya harus pergi ke cabang restaurant saya yang lain. Boleh saya minta tolong untuk kamu titipkan ini ke Randy saja? Atau kamu titipkan ke Helena,” kata Pak Suwandi.           Tak urung Rosalia menelan rasa kecewanya. Dia langsung berpikir negatif. Dia pikir, pasti itu alasan dari Pak Suwandi saja. Tujuannya, bukan sekadar untuk menolak tetapi terang-terangan mau menyakiti hatinya. Dan meski dirinya juga telah mengenal Helena sebagai Asisten pribadi dari Pak Suwandi, rasanya dia enggan untuk menitipkan apa yang telah dibelinya itu. Dia ragu, akankah titipan itu bisa sampai ke tangan yang dituju nantinya, secara tepat waktu.            Nggak ngerti juga sih nih Orang tua satu. Satu sudah meninggal. Yang ini kapan menyusul? Gerutu rosalia dalam hatinya.” “Om, tapi ini kan hanya kue kecil yang bisa dinikmati sama Om dalam perjalanan. Yang untuk Randy sudah saya siapkan juga. Ini, di tas karton yang satunya lagi,” kata Rosalia dengan setengah mendesak. Ditunjuknya tas karton yang satunya lagi.           Ekspresi wajah Pak Suwandi agak berubah. Dia memaksakan sedikit senyum.           “Tolong titipkan saja, ya. Saya nggak akan sempat. Banyak yang harus dilakukan selama di perjalanan. Saya jalan dulu,” kata Pak Suwandi dan segera meninggalkan Rosalia.          Tidak menunggu barang satu detik saja untuk mendengar sahutan dari Rosalia. Mungkin dia memandang itu tak perlu. Rosalia terbengong sesaat. Sebelah tangannya yang bebas sontak mengepal. Dia hanya sanggup memandangi punggung Pak Suwandi yang menjauh.          “Huh!” dengkus Rosalia dalam dongkolnya.           Dia memonyongkan mulutnya lantas menggerak-gerakkan bibirnya seakan-akan dengan begitu tuntas sudah keinginannya untuk meluapkan semua rasa sebal yang mengendap di dalam hatinya.          Beberapa saat Rosalia melakukan hal tersebut, sampai-sampai niatnya untuk segera memasuki lift tertunda. Dia terkejut luar biasa ketika ada tepukan di pundaknya. Dirasakannya badannya seketika menegang.            Mampus deh. Ketangkap basah ini judulnya. Terciduk. Sial, sial, sial, pikir Rosalia dalam panik yang merasuk.          *          $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN