“Tunggu sebentar Ma,” kata Irene lalu menghabiskan sisa potongan rujak di hadapannya.
Usai dengan itu, dia lekas mencuci tangannya di wastafel dan membersihkan mulutnya.
Bu Ellen sabar menunggu, walau dia merasa hatinya berdebar-debar.
Irene yang rupanya sudah tak sabar. Dia mengeringkan tangannya secara serampangan dengan serbrt yang tergantung dekat wastafel lalu mendekati Bu Ellen.
Irene membisikkan sesuatu kepada Bu Ellen.
“Ah? Masa?”
“Iya.”
“Kamu nggak bohong?”
“Yang begitu mana berani aku bohong, Ma?”
“Itu lumayan penting lho, kenapa Papa nggak langsung bilang ke Mama, ya?”
“Nggak tahu deh. Justru mungkin karena super penting, Papa berpikir mau membicarakan secara langsung dengan Mama.”
“Mama agak ragu deh. Kamu bilang mendengarnya sedikit-sedikit kan?”
“Ih, Mama! Tapi apa yang aku bilang itu benar seratus persen. Tanya Papa saja kalau Mama nggak percaya.”
Bu Ellen mengernyitkan dahi.
Saat itu pula Irene berubah pikiran.
“Eh tapi Ma, sebaiknya jangan tanya deh, ya. Nanti jadi ketahuan dong, Mama tahunya dari aku. Nanti aku dibilang tukang nguping, lagi. Padahal kan enggak sengaja dengarnya.”
“Dasar kamu itu!”
“Jadi sebaiknya begini, Mama diam-diam saja sampai Papa yang menyampaikannya ke Mama. Nah, nanti pas Papa cerita, Mama pura-pura kaget saja,” kata Irene, mengajari Sang Mama bak berkata kepada Seorang Anak kecil.
“Terus Ma, besok Mama cerita ke aku ya. Mama telepon aku pas jam makan siang. Atau, aku deh yang telepon ke Mama. Besok Mama nggak ada rencana kemana-mana, kan?”
“Besok pagi Mama ada pertemuan di kantor Yayasan. Ada beberapa hal yang mau dibicarakan bersama.”
“Seharian?”
Sang Mama mengeleng.
“Enggak. Hanya beberapa jam. Tapi biasanya disambung sama brunch atau makan siang bersama.”
“Ya sudah, aku kirim pesan teks saja ke Mama pas jam makan siang.”
Irene meneguk minuman di gelas hingga tak bersisa.
Lalu ia menghela tangan Sang Mama agar dapat melakukan cipika cipiki.
“Hei, kamu mau kemana?”
“Balik ke kantor, Ma.”
“Lho, kamu kan belum makan siang.”
“Kan sudah dimasukkan ke dalam boks sama Si Mbak. Tadi aku lihat dia kasih ke Supir untuk dimasukkan ke mobil. Aku cerdas, kan, Ma, sebelum kemari, aku sudah kirimkan dulu pesan yang rinci ke Si Mbak. Nanti kalau aku lapar, tinggal dimakan di mobil. Aku nggak bisa makan sekaligus banyak. Malahan mual, nanti.” Irene beralasan.
“Ya masa begitu buru-burunya? Ngobrol dulu sebentar sama Mama, sambil tunggu makanannya turun.”
Irene terkekeh.
“He he he..., Mama penasaran, ya? Kan Mama tinggal tunggu nanti malam Papa pulang. Seingatku nanti Papa masih ada rapat di kantor Klien juga sih. Mungkin sampai malam. Mama silakan deg deg an ya, selama menunggu.”
Bu Ellen berdecak gemas.
“Kamu ini ada-ada saja. Mama baru ingat. Sebentar Mama ambilkan sesuatu. Kamu duduk dulu.”
“Jangan terlalu lama ya, Ma.”
“Sabar,” seru Sang Mama dari arah pantry.
Tidak sampai lima menit kemudian, Sang Mama sudah kembali dengan tas karton di tangannya.
“Apa itu, Ma?” tanya Irene penasaran.
Bu Ellen menghampiri Sang Putri Sulung dan menguak tas karton yang ia bawa.
Diambilnya satu buah kotak plastik transaparan dai dalam kotak.
“Ini uyen, oleh-oleh dari Tante Risma. Baru kemarin sore diantar kemari. Nanti kalau kamu sampai di rumah, kamu minta tolong ke Si Mbak untuk digoreng. Renyah sekali, lho. Sambalnya juga enak.”
Mata Irene bak bintang, bercahaya terang.
“Wah! Sudah nggak sabar buat sampai ke rumah rasanya. Pasti enak itu. Buat dimakan sambil nonton teve dan ngobrol sama Dhika nanti malam.”
“Iya, Mama ingat kamu suka sekali ngemil uyen.”
“Terus, di bawahnya apa? Ada satu kotak lagi itu. Jangan bilang aku disuruh antar ke Mama Mertua deh. Aduh, lagi malas dikasih wejangan tentang menjaga kehamilan yang nggak ada habisnya, Ma. Sampai hafal rasanya. Baru tahu aku positifhamil saja wejangannya sudah bisa dijadikan beberapa chapter n****+. Nah kalau ditambah sama segala aturan yang dibuat, bisa jadi satu n****+ penuh deh.”
“Waduh! Mama lupa. Ini soalnya cuma sedikit, jadi Mamanya Dhika nggak kebagian. Mungkin lain kali, ya. Rara saja Mama kirimi yang matang, tadi. Mama suruh ojek daring antar ke kantornya. Nggak tahu Anak itu, sempat atau ngak untuk makan.”
Irene mencibir.
“Tuh kan Mama curang. Buat aku dikasih yang belum digoreng. Sementara buat Rara yang sudah siap dimakan.”
“Bukannya curang. Kamu seperti nggak tahu Adikmu satu itu. Dia itu pasti lebih sering beli makanan matang, nggak sempat masak. Kalau kamu kan ada Mbak di rumah. Terus masa Dhika nggak kamu kasih juga? Mau habiskan sendiri? Nanti kalau Mama yang goreng, kamu complain lagi, bilang kurang renyah, terlalu renyah atau apalah. Sama kamu kan apa-apa harus pas.”
Irene memasang mimik muka lucu.
Dia mengorek-ngorek sendiri isi tas karton dan matanya mengerjap kala meliaht isi box plastik yang di bawah.
“Horeeeee! Mpek-mpek. Ini Mama beli di Tante Debby, kan?”
Sang Mama mengangguk. Nama yang disebutkan oleh Irene memang merupakan langganan mereka jika hendak membeli Mpek-mpek. Sebab, Bu Debby yang asli Palembang itu memang kalau membuat Mpek-mpek dan berbagai kuliner khas kota yang terkenal dengan ikon Jembatan Ampera dan pulau Kemaro itu, paling enak cita rasanya.
“Yuk, Mama antar ke depan. Ini biar Mama yang bawakan,” kata Bu Ellen.
Irene melirik manja.
“Senangnya jadi Orang hamil. Disayang kanan kiri,” ucapnya.
*
Seorang Irene rupanya tak dapat menunggu hingga ‘waktu makan siang’ tiba.
Pagi-pagi sekali setibanya dirinya di kantor, yang pertama kali dia lakukan adalah mengirim pesan teks untuk Sang Mama yang berbunyi, “Ma, benar kan? Papa sudah cerita ke Mama, kan? Lengkapnya bagaimana, Ma?”
Dan lantaran pesan tersebut tak kunjung dibaca oleh Sang Mama, Irene berpikir bahwa kemungkinan besar Sang Mama sedang rapat dengan Para Pengurus Yayasan yang lain. Dia tak punya pilihan selain menyabarkan dirinya.
“Nanti deh, agak siang saja. Sekitar jam 10 atau 11. harusnya Mama sudah selesai urusannya sama Teman-temannya,” gumam Irene lalu membuka dan menyalakan laptopnya.
Sambil menunggu laptop-nya memuat data, Irene mengeluarkan toples-toples kecil dari tas karton yang tadi diletakkan oleh Sang Supir. Kiriman dari Sang Mama Mertua yang isinya berbagai kue kering dengan bentuk dan warna yang cantik dan mengundang selera makannya. Kata Sang Mama Mertua, Irene akan kerap merasa lapar dan dia tak boleh menunda untuk makan dengan alasan sedang tanggug mengerjakan sesuatu.
Itu sebabnya Sang Mama Mertua tak bosan menanyakan apa yang hendak dimakan oleh Irene. Sejauh ini, Irene belum pernah tergugah untuk menjawabnya karena merasa dia dapat meminta kepada Dhika, Sang Suami, atau kepada Sang Mama. Tak heran kalau akhirnya Sang Mama Mertua mengirimkan apa saja yang menurutnya enak dan cukup sehat untuk Sang Menantu serta Sang Calon Cucu yang tengah dikandung oleh Sang Menantu. Kadang-kadang mengiriminya sup hisit (sirip ikan hiu) yang walau rasanya enak namun Irene masih ragu untuk mencicipinya karena takut ada kandungan merkuri di dalamnya. Ada kalanya Sang Mama Meruta juga mengirimi Irene makanan kecil serta berbagai puding buah segar baik ke kantor maupu ke rumah.
Irene tersenyum kecil kalau mengingat ulah Mama Mertuanya.
Disusunnya semua toples kecil itu di meja samping.
“Senangnya jadi Menantu yang disayang, biarpun kadang terganggu juga sih, sama euforia-nya yang berlebih. Seolah-olah sudah menunggu untuk menimang Cucu ribuan tahun cahaya,” gumam Irene lagi.
Lantas Irene membenamkan dirinya dalam rutinitas harian. Dia sedikit terlupa dengan rasa penasarannya.
Pekerjaannya lumayan lancar. Telepon seluler yang sengaja dia set ke dalam mode silent juga memudahkannya untuk berkonsentrasi penuh.
Namun ketika Sang Jabang Bayi memberikan ‘alarm rutin’ berupa rasa lapar yang disertai dengan sedikit pening, pertanda dirinya harus jeda sesaat, beristirahat sembari memakan sesuatu, dia kembali teringat untuk mengecek telepon selulernya. Satu yang paling dia tunggu, abar dari Sang Mama!
Irene menatap penunjuk waktu yang tercantum di layar laptopnya. Sudah menjelang pukul setengah sebelas sekarang. Pening di kepalanya emakin menjadi. Tidak ada pilihan baginya selain menyimpan hasil kerjanya dan menyempatkan untuk memakan kudapan yang disiapkan oleh Asisten Rumah Tangga-nya di dalam lunch box. Dia makan sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
Dielusnya perutnya yang sama sekali belum membukit. Dia juga agak bingung, sebab sebetulnya semenjak hamil porsi makannya cukup besar.
“Dek, makannya nanti, ya. Sekarang ngemil makaroni skotel dulu ya,” ucap Irene sambl menatap ke arah perutnya.
Sebelah tangannya yang lain langsung mengecek telepon selulernya.
Pesan yang masuk dari nomor telepon genggam Sang Mama langsung di-kliknya.
“Papa nggak bilang apa-apa tuh. Tadi malam Papa pulang mukanya kelihatan sudah capek sekali. Jadi Mama juga nggak tanya. Bukannya kamu bilang Mama harus pura-pura? Oh ya, bagaimana? Kamu mau mama pesankan es kacang merah sama Tekwan nggak di tempatnya Tante Debby? Mau dikirim kemana? Kabari Mama, ya,” itu saja pesan teks yang ia terima dari Sang Mama.
Irene mendengkus.
“Ya ampun, nggak Mama, nggak Mama Mertua. Makanan melulu yang ditanyain. Mau bikin aku segendut apa memangnya?” keluh Irene.
Setelah menghabiskan seperempat dari makaroni skotel-nya, Irene serasa mendapatkan cukup energi. Tidak pikir panjang lagi, dia langsung menghubungi nomor telepon seluler Sang Mama.
Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Belum juga bersambut.
Irene jadi merasa geregetan.
Dia melirik jam.
“Gimana sih Si Mama! Jam segini pastinya sudah selesai dong urusannya sama Orang-orang di Yayasan. Kan sudah hampir jam sebelas, ini. Kalau disambung sama Brunch juga pastinya nggak cocok. Ini sudah mendekati ke jam makan siang,” gerutu Irene sendirian.
Ketika dia akan menghubungi Sang Mama untuk keempat kalinya, telepon genggamnya berbunyi lebih dulu. Ada panggilan telepon dari Sang Mama. Dia mesem kecil.
“Hallo, ada apa Ren? Mama baru saja selesai rapatnya.”
Sapaan Sang Mama membuat alis Irene terangkat.
“Baru selesai, Ma? Kok tadi sudah sempat balas pesan teks aku?”
“Iya tadi pas lagi break sebentar. Kalau sekarang, benar-benar sudah rampung. Ini sebentar lagi Mama sama yang lainnya mau ke mobil masing-masing, mau ke resto terdekat untuk makan siang bersama sebelum pulang.”
Irene tak dapat menunggu lagi.
“Ma, serius Papa belum bilang apa pun ke Mama? Kok bisa sih?”
“Papa mungkin capek sekali.”
“Mama coba deh, pancing-pancing Papa nanti sore. Hari ini kan Papa nggak ke kantor tuh, karena memang ada di kantor Klien. Kelihatannya sampai sore.”
“Iya, nanti Mama coba.”
“Mama jangan lupa kabari aku, ya.”
“I... ya.” Sang Mama tertawa renyah.
“Ma, ini urusan serius lho, kok Mama bisa sesantai itu sih?”
“Ren, kamu ingat lho, kamu itu lagi hamil. Sudah, jangan mikirin yang lainnya dulu.”
“Justru karena aku lagi hamil, Mama itu jangan kasih aku beban pikiran dengan membiarkan aku penasaran lebih lama.”
Sang Mama mengerutkan kening. Lalu ia menggelengkan kepala. Dia merasa menyesal karena salah ucapnya.
“Kamunya yang nggak usah terlalu penasaran. Santai saja. Memangnya kalau kamu tahu bahwa apa yang kamu bilang ke Mama itu sudah pasti benar, kamu mau apa?”
“Ya ditindaklanjuti dong Ma. Gerak cepat, gitu lho. Kalau sudah tahu rinciannya dan kebenarannya, kan bisa dijadikan landasan,” sahut Irene penuh keyakinan.
Sang Mama terpelongo.
Seakan baru tahu saja Irene seperti itu.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $