Klara bergerak refleks, mendekati Sang Kakak dan Cowok itu. Mereka bertemu di tengah-tengah sebab Kedua Orang itu juga terus berjalan ke arahnya. Klara berusaha mengabaikan perasaan kurang nyamannya mendapati tatapan Cowok itu kepadanya.
Dasar nggak pernah berubah itu pembawaan dan sikapnya. Dalam keadaan berduka macam ini saja masih bisa menatapku dengan tatapan macam itu. Sudah deh, aku yang ngalah. Kan sesuai istilah yang berlaku umum : yang waras yang harus mengalah. Ya, aku kan waras. Kamu? Terserah waras atau nggak, kata Klara dalam hati.
“Kamu kok lama amat sih sampainya kemari, Ra? Ke mana dulu, hah?” omel Irene seenaknya.
Klara menyabar-nyabarkan dirinya.
Kalau saja bukan tengah berada di area pemakaman, mungkin dia sudah tak tahan untuk menyahut ketus, “Dipikirnya singgah ke mana dulu, Kak? Ke salon untuk betulin riasan wajah? Ke mall dulu, beli baju? Atau yang lebih parah dari itu, ngopi-ngopi cantik di kafe?”
Klara tak menggubris pertanyaan mengintimidasi dari Sang Kakak.
Dia memilih untuk mengulurkan tangannya kepada Cowok itu dan berkata, “Turut berduka cita ya Ran. Semoga Tante Virny bahagia selalu di sisiNya. Semoga Om dan kamu serta semua Orang tercinta yang ditinggalkan, mendapatkan penghiburan dan kekuatan dalam melalui semua ini.”
Sang Cowok menyambut uluran tangan itu dan menyahut singkat, “Terima kasih.”
Klara buru-buru mengurai jabatan tangannya.
Dia pura-pura tak menyadari tatapan tak suka dari Randy, yang jelas-jelas tertuju ke arah blus yang ia kenakan. Namun justru Irene yang menanggapinya. Entah karena memergoki tatapan Randy ke obyek itu ataukah memang mulutnya sendiri sudah gatal untuk merangkai kata omelan.
“Rara! Kamu ini bagaimana sih? Sudah datangnya terlambat. Nggak ke rumah duka, nggak menghadiri misa pelepasan, masih juga pakai pakaian warna merah jambu begitu. Nggak pantas, Ra! Apa kata Om Suwandi nanti?” omel Irene seenaknya.
Klara menelan ludah yang terasa pahit. Dia sudah menduga bakal seperti ini kejadiannya. Yang tak diperkirakan olehnya adalah, Sang Kakak mengomel di depan Randy. Alangkah menyebalkannya!
“Aku ke Om Suwandi dulu, ya,” ucap Klara pada Randy dan Irene sekaligus. Dia tak mau memperpanjang masalah. Itu sungguh tak perlu dan tak patut, menurutnya.
Tak menunggu jawaban mereka, Klara beranjak.
Cukup berjalan beberapa langkah saja, Klara sudah tiba di hadapan Pak Suwandi.
Klara langsung menyalami Lelaki yang tampak amat terpukul itu. Kini Klara baru tersadar, Papanya tercinta ternyata berada di sebelah Pak Suwandi, sebagai bentuk dukungan yang nyata. Sedangkan Sang Mama, tampak sedang menghampiri Irene bersama dengan Dhika, Sang Menantu. Tadi karena pikirannya terlalu berfokus kepada Pak Suwandi, jadilah yang tertangkap oleh matanya hanya Pak Suwandi seorang. Apalagi, Para Pelayat juga silih berganti menyalami Pak Suwandi dan menghalangi pandangan matanya.
“Om Suwandi, saya turut berduka cita ya Om. Tante Orang baik, kita doakan bersama supaya jalannya lancar menghadap Tuhan dan mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan. Om yang kuat, ya.”
“Amin. Terima kasih, Ra.”
“Sama-sama Om. Mohon maaf atas keterlambatan kedatangannya ya Om. Pesawatnya delay.”
Klara bicara selembut mungkin. Bagi dirinya pribadi, itu lumayan ampuh untuk mengurangi kadar rasa bersalahnya karena tak sempat menyaksikan kala peti mati Belahan Jiwa dari Pak Suwandi dimasukkan ke liang lahat.
“Nggak apa-apa, Ra. Om tahu kamu sedang sibuk. Katanya Papamu kamu sedang ada event di luar kota, kan? Dan belum selesai. Kamu tinggalkan begitu saja?” tanya Pak Suwandi.
“Sudah dititipkan ke yang lainnya Om.”
“Sekali lagi terima kasih atas kedatanganmu.”
Klara jadi tak enak hati mendengar ucapan Pak Suwandi. Ucapan yang dirasanya begitu tulus. keluar dari hati. Karenanya, ketika pak Suwandi menatap ke arah blusnya, Klara cepat bereaksi.
“Om, maafkan juga karena tadi itu nggak sempat untuk berganti blus yang lebih pantas untuk pemakaman, ya. Ini..., ini sungguh nggak sengaja.”
Pak Suwandi yang melihat kerikuhan Klara langsung menyahut ringan, “Jangan dipikirkan, Ra. Kamu sampai memaksakan diri untuk datang kemari di tengah kesibukanmu saja Om sudah sangat berterima kasih.”
Klara tak mampu lagi berkata-kata. Dia merasakan ucapan Pak Suwandi tidak dibuat-buat alias tulus. Ini sanggup membebaskan diri Gadis itu dari rasa tak enak hati yang membebaninya sedari tadi. Setidaknya dia tahu, tidak sia-sia usahanya menyingkirkan hambatan demi hambatan demi hadir di pemakaman Orang yang dia hormati.
Saat itulah, dia merasa ada tangan yang menariknya dari belakang. Dia segera menoleh. Didapatinya Mama dan Kakaknya menatapnya tajam. Entah apa yang telah dikatakan oleh Irene kepada Sang Mama. Klara sungguh sedang tak berminat untuk memikirkannya. Sementara agak di belakang sana, dia melihat Dhika mendampingi Randy yang berjalan mendekati Pak Suwandi.
“Lihat nih Ma, Anak Mama yang satu ini. Sudah nggak menampakkan batang hidungnya dia di rumah duka, nggak secepatnya datang untuk mengikuti misa pelepasan. Eeeh... masih juga pakai pakaian warna terang begitu. Kan nggak pantas, Ma. Bikin keluarga kita malu. Seperti nggak pernah diajari tata Krama saja,” ucap Irene kepada Bu Ellen dengan gaya mengadu.
Klara memejam mata sesaat.
“Ra, kamu kenapa pakai blus warna begitu, Sayang?” tegur Sang Mama.
Klara bahkan sempat memergoki adabias kecewa dalam tatapan mata Sang Mama. Seakan-akan, dia baru saja melakukan kesalahan besar yang sulit untuk dimaafkan. Melebihi ekspresi Seorang Ibu yang memergoki nilai ulangan Sang Anak dengan skor 'E" yang disembunyikan di bawah tempat tidur.
“Ma..,” ucapan Klara terhalang.
Dia kalah cepat. Ada yang lebih dulu bersuara.
“Mau alasan apa? Ya memang dia mau memberikan kesan buruk ke Randy. Biar Randy semakin sebal sama dia. Nggak usah begitu amat, Ra! Lihat-lihat dong, momennya nggak tepat. Orang lagi berkabung begini. Semestinya tunjukkan etika dan empati!” sela Irene.
Lancar nian, bagai aliran air di kran air yang sudah dol.
Klara hampir terpancing rasa sebal dan ingin meladeni. Menurutnya Sang Kakak kelewatan.
Tetapi itu belum seberapa.
Ada yang lebih mengesalkan lagi.
“Apa benar yang Kakakmu bilang, Ra?” selidik Sang Mama.
Klara sampai refleks menahan napas sejenak. Hampir saja keluhnya terlepas.
“Ma.., Mama mau Rara jelaskan sekarang atau nanti, di rumah? Yang jelas ini bukan unsur kesengajaan. Sama sekali tidak.”
Sang Mama manggut kecil.
Dan itu memancing reaksi Irene.
“Kamu membela diri, Ra?” Ucapan Irene terdengar menghakimi.
Sang Mama terusik.
“Dengarkan Adikmu dulu, Ren. Kamu tolong jangan bicara terus.”
“Kalau begitu nanti saja, Ma. Sepertinya nggak sopan kita merngurusi hal kecil, sementara kehadiran kita di sini semestinya untuk mendukung Keluarganya Om Suwandi.”
“Hm. Lagi cari alasan yang tepat, ya.”
Celetukan Irene seringan kapas.
“Iren!”
“Dia kan memang begitu, Ma. Dia pikir biar Randy makin alergi sama dia. Dan biar Om Suwandi juga mulai terpengaruh lalu akhirnya bersikap sama.”
“Ma..,” ucap Klara dengan nada rendah.
“Ma, bagaimana kalau kita bantu-bantu apa yang bisa kita bantu? Kerabatnya Om Suwandi kan nggak banyak,” ucap Klara.
Sang Mama diam sesaat.
“Oke, tapi nanti kamu terangkan di rumah, apa yang sebenarnya terjadi.”
“Pasti, Ma.”
Irene yang tak puas dengan ‘ujung’ percakapan yang tak sesuai dengan kemaiannya, tampak mencebik. Klara tak peduli. Dia bersyukur, Sang Mama bersikap cukup bijak barusan.
*
Bu Ellen menatapi wajah kedua Putrinya secara bergantian. Seakan-akan, dia tengah menimba sejauh mana kejujuran yang terpancar di sana. Pasalnya, dia baru saja mendengarkan uraian yang saling berbeda dari kedua belah Pihak.
“Benar yang kamu ucapkan, Ra?”
Klara mendesah enggan.
“Mama silakan menilai sendiri deh. Dari awal juga Kak Iren itu sudah memberikan informasi yang salah. Akibatnya, jadi sia-sia deh, sudah memajukan jadwal kepulangan juga,” kata Klara.
Irene meradang.
“Hei! Maksud kamu apa? Itu sama saja kamu nggak rela untuk datang, tadi.”
Klara mendengkus.
“Bukan begitu, Kak. Coba kalau dari awal kasih tahu aku jadwal yang akurat mengenai pemakamannya, aku kan masih bisa mencari cara yang lebih baik.”
“Kamu jangan melempar kesalahan ke aku, dong.”
“Siapa yang melempar kesalahan, Kak? Aku hanya mengklarifikasi.”
“Ya jangan karena mau membenarkan dirimu terus jadi menyeret-nyeret aku.”
“Ih. Apa sih Kak?”
“Tahu ah! Selalu saja aku yang disalahkan.”
“Ya memang Kak Iren yang salah sih.”
“Ma! Tuh, Rara itu terlalu dimanjakan, jadi selalu menganggap dirinya yang benar.”
“Ren, kamu juga jangan begitu dong.”
“Mama selalu deh, belain Rara! Tegur dong sesekali. Jangan didiamkan terus.”
Klara memegangi kepalanya.
“Ma, ini masih harus diperpanjang? Sepertinya nggak perlu, kan? Rara kan sudah jelaskan apa yang terjadi. Sekarang, boleh kan, Rara pulang ke apartemen? Rara capek sekali. Setelah itu, Rara juga harus mengecek situasi di tempat pameran,” pinta Klara memelas.
Mendengarnya, Irene bagaikan mendapatkan amunisi baru untuk menyerang Sang Adik.
“Dengar sendiri kan, Ma? Dia itu selaluuuu saja seperti itu! Terlalu mengganggap remeh detail kecil. Selalu mengganggap tidak ada masalah dengan perasaan Orang lain. Yang ada di kepalanya hanya urusan bisnisnya, pekerjaannya. Dia terlalu egois, Ma!” kecam Irene.
Bu Ellen mengernyitkan keningnya. Begitu pula dengan Klara.
“Terus maumu apa, Kak?” tanya Klara dengan putus asa.
“Ya kamu itu nyadar, sedikit dong Ra, bahwa hidup kamu itu bukan untuk diri kamu sendiri. Jangan asyik dengan urusanmu saja dan sibuk mengerjar keinginanmu tanpa peduli Orang lain.”
Klara makin bingung dengan kalimat Irene yang bersayap.
“Kamu ngomong apa sih, Ren? Kok jadi melebar kemana-mana begitu?” tanya Sang Mama lirih.
Irene berdecak kesal.
“Mama ini pura-pura nggak tahu atau bagaimana sih? Kan sudah jelas sekali harus bagaimana?” protes Irene.
Sang Mama terdiam.
Saat itulah, masuk Dhika.
“Hai Sayang, kita pulang sekarang yuk? Kamu juga harus istirahat, kan? Kamu kan saat ini sedang program..,” Dhika menggantung kalimatnya.
Mata Klara membulat. Dia langsung menduga-duga apa yang sebetulnya hendak disampaikan oleh Dhika, tetapi mendadak diurungkan di tengah jalan.
Irene merengut dan menghambur ke pelukan Sang Suami.
Ekspresi wajah Irene saat ini persis ekspresi wajah Seorang Bocah yang pulang ke rumah dalam keadaan menangis lantaran es krim potong yamg baru digigit ujungnya sama dia terjatuh karena tak sengaja tersenggol Bocah lain yang sedang bermain lari-larian di dekatnya. Dan sialnya, itu merupakan es potong terakhir. Sang Penjual sudah duduk santai di bawah pohon rindang, bersandar pada batang pohon yang kokoh sembari mengipas wajah dengan topinya, setelah merasa puas menghitung hasil penjualan hari ini. Sudah barang tentu Si Bocah kesal dan perlu sepasang telinga untuk mendengar aduannya.
Tak perlu lama menunggu kelanjutannya, segera saja terdengar suara Irene yang meminta pembelaan itu.
“Rara tuh nyebelin banget, Honey! Dia nggak pernah mau dengar apa kataku. Padahal aku ini kan Kakaknya. Dan apa yang aku bilang ke dia kan untuk kebaikan dirinya juga. Kesal aku tuh lama-lama sama dia,” rengek Irene, yang berbuah elusan sayang Sang Suami di punggung nya.
"Sabar ya Sayang. Sudah, sudah. Cup, cup," kata Dhika lembut lantas menepuk pipi Irene dan mengecup dahinya.
Klara menyipitkan matanya mentski adegan itu.
Terlebih kala Sang Mama jadi menatapnya dengan pandangan yang sulit diterjemahkan oleh Klara.
Lho, lho! Kenapa jadi begini ya? Drama banget. Dan kenapa tahu-tahu aku yang dijadikan tokoh antoganisnya sih? Tanya Klara tanpa suara.
Lalu Klara hanya mampu menghela napas panjang dan memutuskan untuk membayangkan, saat ini dia tengah menyabarkan dirinya dengan cara mengelus d**a. Baginya itu pilihan terbaik saat ini agar suasana hatinya tidak semakin memburuk.
Apa sebaiknya aku anggap kasus ini selesai alias case closed saja? Kayaknya Kak Irene itu kan memang sudah bawaan Orok, seperti itu dari sananya. Setiap kali terbukti bersalah, ada saja ulahnya buat membenarkan dirinya. Ada saja caranya. Biar deh, baiknya aku kasih senang saja. Masih banyak yang harus aku lakukan ketimbang meladeni dia. Soalnya percuma. Nggak akan berimbang apalagi memang. Dan jelas nggak akan ada habisnya,, hibur Klara pada dirinya sendiri, di dalam diamnya.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $
Fan page B!telucy