“Selamat Pagi, Mas Vino,” sapa Sang Tamu sopan begitu melihat Vino.
Vino mengenalinya sebagai Salah Satu Pegawai Pak Danang. Pegawai lama, yang tentu juga lumayan dekat dengan Keluarganya.
“Pagi. Ngapain kemari pagi-pagi, Pak Asep? Ada apa?” tanya Vino malas.
Justru saya sengaja diutus datang pagi-pagi begini, untuk memastikan Mas Vino masih di rumah, jawab Asep di dalam hati.
“Mama baik-baik saja, kan?” tanya Vino selanjutnya, karena mendadak sebuah pemikiran terlintas olehnya.
“Ibu baik-baik saja, Mas. Saya datang sama Seto, buat mengirimkan mobil dan STNK mobil buat Mas Vino,” kata Asep sambil menatap ke arah luar.
Vino mendapati, ada sebuah mobil baru yang terparkir di pingir jalan, tepat di depan tempat kost-nya. Sebuah sepeda motor ada di belakang mobil itu. Seto, yang duduk di atas jok sepeda motor, mengangguk hormat kepadanya.
“Saya nggak butuh. Bilang sama yang kirim, saya nggak butuh pemberian dari dia. Bawa pulang lagi sana!” kata Vino sebal.
Ini memang bukan pertama kalinya Sang Papa mengirimkan kendaraan kepada Vino, semenjak rujuk kembali dengan Sang Mama. Jenis kendaraannya juga selalu terbaru. Seolah-olah, itu tindakan untuk membujuknya agar sedikit melunak dan menerima keadaan, bahwa sekarang Kedua Orang tuanya sudah kembali bersatu, walau keadaannya jauh berbeda. Sang Papa hanya menginap dari hari Kamis malam hingga Senin pagi di rumah kediaman mereka. Sedang pada hari lainnya, menginap di rumah Istri mudanya, Santi.
Butuh waktu yang lama untuk membuat Bu Astri akhirnya mau menerima kembali Pak Danang dan bahkan memberikan ijin untuk berpoligami. Dengan hati bersihnya, Bu Astri memikirkan tentang status dari Anak yang dikandung oleh Santi, sehingga akhirnya menyetujui Suaminya menikahi Santi secara resmi dua bulan sebelum kelahiran Anak mereka. Saat itu juga dia memperkenankan Sang Suami kembali ke rumah.
Pertimbangan Bu Astri cukup banyak, dan tidak semuanya dapat dimengerti oleh Anak-anaknya. Dia bahkan mempertimbangkan pula kelangsungan operasional perusahaan. Meski Linda turut memberikan pandangan kepada Sang Mama. Dan akhirnya, sejumlah perjanjian yang dianggap oleh Linda dan Helmi dapat lebih melindungi kepentingan Mama mereka serta Vino, yang belum menikah, diajukan sebagai persyaratan menrima kembalinya Pak Danang ke dalam Keluarga.
Pak Danang yang tampaknya sadar kesalahan besar yang dia lakukan, menyetujui semuanya. Juga satu syarat yang terberat, bahwa tidak boleh ada satu asset pun yang diperkenankan dibeli atas nama Santi, mengingat betapa jahatnya hati Perempuan itu. Ada perjanjian permisahan harta di antara mereka, yang jelas-jelas menyatakan bahwa Santi memang tidak memiliki apa-apa sebelum menikah dengan Pak Danang. Dan perjanjian itu ada di tangan Linda, sebab Sang Mama tak mau menyimpannya, sekaligus tak berdaya melawan kemauan keras Anak-anaknya. Sepertinya itu jalan tengah yang harus dijalani, agar Anak-anaknya dapat berbesar hati menerima kembali kehadiran Papa mereka. Jalan tengah yang juga mahal bagi Pak Danang.
Linda yang didukung oleh Helmi juga mengusulkan pembatasan penggunaan uang perusahaan oleh Sang Papa, sehingga memperkecil kemungkinan akan ada penyalah gunaan pemakaian uang perusahaan untuk kepentingan pribadi Santi. Sudah begitu, Santi juga tidak diijinkan untuk turut campur dalam kegiatan operasional Perusahaan.
Satu hal yang membuat Vino sedikit merasa puas adalah, bagaimana Linda bersikap tegas dengan otak cerdasnya, tampil ke muka dan membela kepentingan Sang Mama dengan cara cerdas, bukan seperti dirinya yang agak bar-bar dan tiada gunanya. Linda yang sakit hati dengan pengkhianatan Sang Papa dan Santi, mengusulkan agar ada perubahan sistem di perusahaan. Akses Sang Papa terhadap uang perusahaan semakin terbatas dengan ditempatkannya Internal Auditor yang secara rutin melaporkan hasil temuan kepada Sang Mama dan ditembuskan kepadanya.
Akibatnya, dapat dikatakan bahwa secara kasar Sang Papa harus cukup berpuas dengan penghasilan bulanan yang disebut gaji serta pembagian deviden saja. Itu pun, harus dibagi secara adil kepada Dua rumah tangga yang dimilikinya.
Memang, betapa pun itu mirip sebuah penghinaan berat atas dirinya, kelihatannya rasa sesal Pak Danang bicara. Dia ingin merangkul kembali Istri dan Anak-anaknya, tetapi tanpa menanggalkan tanggung jawabnya atas Santi. Dan memang masih terdapat celah baginya untuk mendapatkan penghasilan lain dari gratifikasi dan sebagainya, tetapi sepertinya Linda juga mempunyai mata yang awas untuk itu. Linda yang tak lagi bekerja kantoran, sesekali datang mengecek ke kantor, mewakili Sang Mama yang tak dapat mencegah kemarahan dan kewaspadaan Anak Perempuannya itu. Bu Astri membiarkan tindakan Linda, seperti ingin menebus kesalahaannya sendiri, yang terlalu naif, menganggap Semua Orang baik adanya.
Tak kurang-kurang usaha yang telah dilakukan oleh Pak Danang untuk merengkuh kembali istri dan Anak-anaknya. Sikap Linda sudah agak berubah kepadanya semenjak dia kembali ke rumah. Sedikit berjarak. Dan dia sadar jarak itu harus direngkuh dengan sabar, dan tentunya perlu proses dan waktu yang memadai di samping usaha yang konsisten. Sementara Vino, tetap pada keputusan untuk tidak tinggal satu atap dengannya. Itu pun, dia tak dapat memaksa.
Vino hafal hari apa Pak Danang tidak ada di rumah. Karenanya, itu adalah hari yang dia paksakan untuk menengok keadaan sang Mama, meski tetap saja belum mau menginap sampai sekarang.
Dan soal membelikan mobil, jika dihitung-hitung, ini sudah keempat kalinya. Jenisnya pun berbeda. Vino jadi tergelitik, sebab selama ini dia menolak pemberian Sang Papa. Timbul pemikiran buruk di benaknya.
“Ngomong-ngomong, itu mobil-mobil yang dulu saya tolak, apa setelahnya dipakai sama Si Betina jalang itu? Atau jangan-jangan dijual dan dibelikan perhiasan buat dia pamer, atau apa?” korek Vino dengan hati bergetah.
Asep menggeleng.
“Maaf Mas Vino. Saya terpaksa mengatakan hal ini. Bukan karena pesan dari Bapak. Tapi saya melihat Bapak memang sudah menyesal. Dan bahkan untuk menghindari kesalah paham, ketiga mobil yang terdahulu, yang satu dititipkan di rumah Mbak Linda. Satunya memang diberikan untuk Mbak Linda. Sementara satunya lagi..,” Asep menjeda kalimatnya.
“Diberikan kepada Si Jalang satu itu?” potong Vino dengan perasaan muak. Dia benar-benar tak rela. Bahkan jika mungkin, dia ingin melihat kehidupan mereka melarat selamanya karena telah menyakiti Keluarganya.
“Enggak, Mas. Ditaruh di kantor, untuk menambah jumlah kendaraan inventaris. Mas Vino bisa tanyakan ke Mbak Linda karena Mbak Linda melihat sendiri. Sepertinya Bapak nggak mau ada salah paham yang nggak perlu terjadi.”
Vino manggut kecil. Dia percaya pada Kakaknya.
Itulah gunanya punya Kakak Seorang Akuntan. Susah buat dibohongi. Ya meski sudah nggak bekerja lagi di kantor setelah mendapati dirinya mengandung Lando. Toh, dia masih bisa membantu menjaga keuangan perusahaan milik Keluarga, walau nggak perlu setiap hari datang ke kantor. Juga bisa memberikan ide-ide yang baik kepada Mas Helmi yang merintis usaha pribadinya, batin Vino.
“Bagus kalau begitu. Pak Asep tolong ya, Pak Asep ini kan termasuk Orang lama. Bantu-bantu lah, buat menjaga asset perusahaan dalam kapasitas yang Pak Asep punya.”
“Baik, Mas.”
“Jangan sampai, nanti tahu-tahu Si Jalang itu sudah menempati rumah megah. Huh! Saya nggak rela. Itu uang Mama saya, Mendiang Opa saya.”
Asep mengangguk pendek.
“Mas Vino tenang saja. Bapak masih tinggal di rumahnya yang dulu itu, kok. Hanya saja, sekarang memang sudah membeli kavling kosong di sebelahnya dan mendirikan paviliun bertingkat. Ya kan rumahnya nggak muat karena Anaknya sudah dua, terus ada baby sitter juga untuk menjaga yang kecil.”
“Malas sekali Si Jalang kampungan itu pakai baby sitter segala. Mamaku saja yang semenjak lahir sudah berada dalam Keluarga berada, membesarkan Mbak Linda dan aku hanya dibantu Asisten Rumah Tangga. Sok manja dia itu.”
Asep terdiam.
“Maaf Mas, bukannya membela. Tetapi Anak pertama bapak yang dari sana kan memang perlu penanganan khusus karena mengidap autisme. Jadi mungkin Ibunya agak repot mengurus dua Anak dan hanya dibantu oleh Asisten Rumah Tangga yang juga mengurus kebersihan rumah. Terus..., eng maaf lagi, dua kali hamil juga kata Bapak, payah hamilnya menjelang kelahiran. Yang kedua malahan lebih parah dan pendarahan terus. Sewaktu melahirkan juga susah dan hampir saja ... eng maaf.., lewat, Mas.”
Vino sudah pernah mendengar hal ini dari penuturan Sang Mama, yang lagi-lagi malahan tersentuh hatinya dan mengirimkan sejumlah makanan kesehatan untuk Santi. Hal yang bukan saja membuat Vino gemas, tapi juga terheran dan bertanya saat itu, “Mama itu sebenarnya Manusia atau Malaikat, sih? Yang benar saja! Sudah disakiti sampai seperti itu, masih saja baik sama dia. Ma, Ma, bisa nggak sih, Mama itu baiknya bukan sama Iblis? Itu sama saja kejahatan namanya. Baik kok ke orang jahat.”
KIni, mendengar ‘siaran ulang’ dari mulut Asep, Vino berkata, “Harusnya langsung mati saja dua-duanya. Itu kalau sakit-sakitan begitu kan jadi menghabiskan uang saja.”
Asep terbungkam.
Dia dapat memaklumi betapa dalam kebencian yang tertanam di hati Vino, meski dia sendiri dapat menyaksikan bagaimana kehidupan yang cukup kontras, antara Keluarga dari Istri Pertama dengan Keluarga dari Istri Kedua Pak Danang. Yang satu tinggal di rumah mewah, satunya di rumah sederhana. Yang satu memiliki kuasa di perusahaan, satunya tidak. Yang satu mempunyai harkat dan martabat tinggi, mempunyai usaha sampingan yang sesuai hobby-nya di rumah, mempunyai Anak-anak yang sudah dewasa dan dapat melindunginya, satunya sebaliknya. Dan terkadang, dia sendiri juga merasa iba dengan perkembangannya, meski dia tahu mungkin ini hukuman dari semesta atas perbuatan laknat Santi dan Pak Danang di masa lalu.
“Ini kunci mobilnya, Mas. Kalau Mas Vino masih ada waktu, mohon diperiksa sebentar, kalau ada apa-apa yang kurang, biar saya urus. Mungkin perlu tambahan ini itu. Dan sekiranya Mas Vino nanti tidak sempat untuk servis rutinnya, mas Vino tinggal hubungi saya saja,” ucap Asep pelan.
“Kata Siapa saya mau terima mobilnya?” sentak Vino tiba-tiba.
“Maaf Mas Vino, Bapak dan Ibu khawatir kalau Mas Vino pakai sepeda motor terus. Mereka memikirkan bagaimana kalau sedang hujan, bagaimana kalau sedang panas terik atau sedang musim angin kencang..,” bujuk Asep gigih.
Vino bergeming.
Dia masih terlalu gengsi untuk menerima kiriman mobil ini. Walau lagi-lagi, warnanya adalah sesuai dengan apa yang Ia bayangkan. Dan dia ingat sendiri, Sepeda motornya dari dulu, meski sudah tiga kali ganti menjelang kisruh rumah tangga kedua Orang tuanya terkuak, bukanlah sepeda motor sembarangan. Semuanya sepeda motor balap. Yang pertama dibelikan oleh Sang Papa, tepat sebelum pengakuan Sang Papa kepada Sang Mama yang berujung diusirnya Sang Papa dari rumah. Sepeda motor yang langsung dirusaknya karena kebencian yang besar kepada Pemberinya. Sepeda motor yang kemudian digantikan dengan Sepeda motor pemberian Sang Mama. Lantas yang ketiga, juga dibelikan oleh Sang Mama saat dirinya diterima bekerja di Channel 789 sebagai hadiah atas keberhasilannya mendapatkan pekerjaan dengan usaha sendiri. Sedangkan yang sekarang dia pakai, murni dibelinya dari hasil keringatnya sendiri.
‘Mas Vino..., tolong Mas...,” ucap Asep dengan nada rendah.
Dia bahkan sudah berniat untuk mengikuti saran Sang Majikan, yaitu berbohong, supaya mobil itu diterima oleh Vino dan tak harus dibawanya kembali seperti yang sudah-sudah.
Vino bersedekap tanpa mengucapkan apa-apa.
Ini membuat Asep lancar untuk berdusta.
“Mas Vino, masa Mas Vino tega mengecewakan Ibu? Sebenarnya kali ini yang membelikan Ibu. Ibu sendiri yang menyuruh saya untuk mengurus semua surat-suratnya. Kalau Mas nggak percaya, lihat nih, STNK-nya, semua atas nama Mas Vino. Ibu sudah menyediakan waktu, repot-repot ke ruang pamer untuk memilih sendiri mobil ini. Kata Ibu, cocok untuk menemani kegiatan Mas,” kata Asep persuasif.
Vino menyipitkan mata, menimbang-nimbang sejauh mana kebenaran yang terkandung dalam perkataan Asep.
“Serius?”
Asep menganggukinya.
Yang langsung terbayang oleh Vino adalah bagaimana antuasiasnya Sang Mama yang tentunya tak mengerti apa-apa tentang mesin, mendengarkan penjelasan dari Salesman di ruang pamer. Sebuah pengorbanan yang menurutnya patut untuk diapresiasi.
Lantas terbayang seraut wajah yang belakangan ini semakin sering hadir dalam mimpi-mimpinya. Tidak semuanya mimpi biasa. Sebagian besar dari mimpi tersebut adalah mimpi yang membuatnya terbangun dari tidur dengan pakaian dalam yang basah. Malahan terkadang sampai ke sprei segala. Meninggalkan jejak-jejak noda berbentuk pulau-pulau abstrak yang berbau khas. Apalagi saat bercak itu mulai mengering. Aromanya sulit untuk disamarkan dengan parfum miliknya.
Sampai-sampai Sarinah, Salah satu Asisten Rumah tangga yang hanya datang di pagi hari dan pulang menjelang sore hari karena tinggal di rumah Pemilik Kost yang hanya berada di seberang rumah kost tersebut, kadang mesem kecil karena Vino termasuk Penghuni Kost yang belakangan ini terlalu sering memasukkan sprei ke dalam keranjang cucian yang diletakkan di depan kamarnya. Meski untuk itu, jika mereka berdua sempat bertemu atau berpapasan, Vino akan menempelkan jari telunjuknya di depan bibir dan menyelipkan uang lebih ke tangan Sarinah karena cucian pakaian kotornya ‘melebihi kuota gratis’ yang diperkenankan untuk Penghuni kost. Sikap tubuh dan tindak nyata agar Sarinah tak perlu banyak bicara. Apalagi, mencuci serta mengeringkan pakaian toh dilakukan dengan mesin cuci semua. Hanya masalah jumlah setrikaan saja yang bertambah.
Sehari-hari, Sarinah dan kadang bergantian dengan Lilih, memang bertugas membersikan area tempat kost, mencucikan dan menyetrika pakaian mereka dan menaruhnya di depan kamar mereka masing-masing setelah disetrika, serta mencuci peralatan makan dan peralatan dapur yang dipakai. Dua hingga tiga hari sekali, adalah tugas Sarinah ataupun Lilih untuk membersihkan kamar Para penghuni kost dan kamar mandi mereka, yang biasanya menitipkan kunci kepada mereka dan akan diambil saat mereka pulang bekerja.
“Mau ya Mas? Tolong jangan kecewakan perasaan Ibu. Kan tempat kost ini juga area parkirnya cukup luas, di base ment. Bisa parkir di depan situ juga,” sambung Asep.
Vino masih diam.
Bayangan Gadis yang sudah beberapa kali ini makan siang bersamanya menggoda Vino lagi. Poninya yang menjuntai menutupi dahi. Riasan wajahnya yang selalu simpel tapi tak dapat menutupi kecantikan paras nya. Senyumnya yang manis, tawa riangnya. Cara Gadis itu bicara di depan Anggota Timnya, wawasannya yang luar biasa, dan betapa menariknya Gadis itu walau dalam beberapa kali kesempatan mereka bertemu, selalu terbalut pakaian kasual dan make up super minimalis. Seakan pancaran kecantikan yang terbias di parasnya memang sungguh-sungguh sebuah refleksi dari kemurnian hati yang dimilikinya.
Gadis yang semakin dekat dengannya. Gadis yang tidak terkejut ketika dirinya mengungkapkan perasaan setelah makan malam romantis yang Ia gagas, akhir pekan lalu. Gadis yang tidak menolaknya, tetapi juga tidak langsung menerima ungkapan perasaannya pada malam itu juga. Tetapi dari bahasa tubuh serta sikapnya setelahnya, Vino yakin seyakin-yakinnya, dia telah memenangkan Gadis itu. Terlebih, pendekatan yang telah dia lakukan selama ini, tepatnya sejak mereka bertemu di bandara, sungguh intens dan berkelanjutan. Seolah tak mau kehilangan peluang.
Dia saja pernah mau aku boncengkan dengan sepeda motor sewaktu aku menjemputnya untuk minum kopi bersama di kedai kopi yang sejarak enam kilometer dari apartemennya. Ah. Kasihan dia. Pinggang dan punggungnya pasti pegal. Dan pasti nggak nyaman. Alangkah baiknya memang setiap kali aku ada janji dengan dia ke depannya, aku memakai mobil. Memang sedikit nggak nyaman buatku karena nggak bisa selap-selip di antara kendaraan lain, dan juga nggak merasakan lagi nikmatnya lingkaran tangannya di pinggang ku selama perjalanan. Juga nggak bisa merasakan serunya sengaja sering mengerem untuk mereguk sensasi bukit kembarnya menyundul punggungku. Ah, tapi demi dia. Dan juga banyak hal yang lainnya di depan nanti, pikir Vino.
Vino menatap lurus pada Asep.
Asep berharap-harap cemas menanti jawaban dari Vino.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $
Fan Page B!telucy