Kejutan Di Pagi Hari

2380 Kata
“Woyyyy! Itu punya gue, Jon! Taruh! Balikin ke dalam kulkas! Now!” Seru Vino ketika memasuki ruang makan tempat kost-nya yang bersatu dengan area dapur itu. Itu lantaran dia melihat Jono, Salah Satu Teman Kost-nya yang mengeluarkan potongan besar kue tart dari dalam kulkas. Kue tart yang dikirimkan oleh Mirna, Salah Satu staf Kreatif di Channel 789 yang ada hati padanya. Kue tart itu baru dikirim kemarin pagi melalui kurir dan baru dinikmatinya barang satu dua potong. Yang Diteriaki oleh Vino hanya meringis. Tidak memperlihatkan rasa malu karena terpergok mengambil milik orang secara ilegal, apalagi menampilkan raut wajah yang menunjukkan penyesalan. “Ya elah! Ketahuan deh! Baru juga mau nyicip, sedikit!” ujar Jono, masih saja tanpa rasa bersalah. “Hm..! Ketahuan sekarang! Pantas makanan di kulkas suka menghilang secara gaib selama ini. Ternyata oh ternyata.... Ini dia Pelakunya! Kirain digondol tuyul aneh yang spesialis nyuri makanan, ternyata tuyul kepala hitam,” cetus sebuah Suara di belakang Vino. Vino menoleh mendengar diksi yang menggelikan itu. Sejarak satu meter di belakangnya, berdiri Julian yang tampak sudah tampil rapi mengenakan setelan kerjanya, kemeja polos lengan panjang berwarna hijau pucat dipadu dengan pantolan berwarna gelap. “Heh. Pagi amat berangkatnya sih? Kayak mau ambil gaji!” olok Vino. “Salah. Mau mengkalkulasi ulang gaji harian Orang Proyek dan mempersiapkannya, sebelum gue bagi-bagiin ke Para Mandor yang bakalan datang menjelang sore nanti. Tahu sendiri mereka nggak sabaran selama menyangkut urusan fulus,” ralat Julian kalem. Jono menatap mereka berdua. “Vin, bagi ya, sedikiiiit, aja. Kan elo tuh sering banget dikirimi makanan sama Para Cewek yang naksir elo,” kata Jono dengan ekspresi ‘muka pengen’, menatapi kue tart yang ada di tangannya. Julian yang berdecak dan mendahului langkah Vino menuju ke kulkas. Jono segera menyingkir. “Jon, sebenarnya kita semua di Pondokan ini sama sekali nggak keberatan kok, kalau urusannya berbagi makanan doang. Tapi jangan mencuri.” “Wah, mencuri? Istilah yang berlebihan, Jul,” protes Jono. “Berlebihan dari mana? Itu lihat, Jon! Apa gunanya Teman-teman kita semua kasih tulisan di post it, ditempelin di pintu kulkas, yang isinya kurang lebih sama, supaya jangan sembarangan makan makanan yang bukan punyanya. Dan lihat, itu di alas kue tart ada tulisan juga, ‘Kue tart punya Vino. Kalau mau minta, bilang. Jangan main habisin seenaknya. Nggak ada Orang Primitif yang tinggal di Pondokan ini. Semua punya etika.’ Elo bisa baca, kan? Nggak buta huruf?” sahut Julian. Vino segera mendukung pendapat Julian dan mengatakan, “Ya. Kita semua sampai harus menuliskan kata-kata serupa. Bukannya apa, Jon. Kita di sini tuh profesinya beda-beda. Ada yang Mahasiswa semester akhir. Ada yang kerja kantoran. Ada juga yang kerjanya pakai sistem shift. Yang model Julian, pulang kerja masih bawa tugas kantor juga banyak.Bisa aja dia malam-malam kelaparan sewaktu ngerjain tugasnya. Itu yang Mahasiswa juga begitu. Mungkin mereka harus bergadang mengerjakan tugas akhir. Bisa jadi perlu makanan yang praktis dan siap buat disantap. Makanya tolong hargai. Nggak semua Orang mau-maunya keluar rumah buat beli makanan kalau sudah masuk ke rumah. Rata-rata sudah capek. Nggak jarang buat sekadar pesan makanan secara on line juga malas buat mikir apalagi nunggu makanannya datang. Gimana nggak sebal kalau pas buka kulkas, cari makanan darurat yang buat sekadar ganjal perut, makanannya sudah raib entah kemana.” “Ah. Itu mah dasar pemikiran Julian yang pelit aja. Cuma makanan, diributin sampai begini. Kebawa-bawa tuh sama kerjaannya yang ngitungin duit Orang. Namanya juga bagian payroll,” sahut Jono seenaknya. “Elo tuh ya Jon! Sudah jelas-jelas salah malahan masih membantah dan meremehkan urusan. Titik beratnya bukan pada makanan, tapi kebiasaan elo yang salah dan merugikan Orang. Ini kalau yang lain tahu, bahwa selama ini Pelakunya adalah elo, bakalan nggak baik deh. Elo ubah tuh sikap elo yang salah,” balas Julian serius. “Ada apa ramai-ramai pagi begini? Padahal gue baru baru bangun tidur agak siangan. Gue lagi off nih hari ini.” Sebuah Suara terdengar dari arah luar ruangan makan tersebut. Julian yang sudah sebal akhirnya memalingkan wajah ke arah belakangnya dan berkata kepada Si Pemilik Suara, “Ron, ketahuan Tuyul yang suka makanin makanan kita tanpa minta ijin duluan. Ketangkap basah.” Si Empunya Suara bergegas memasuki ruang makan. Kamarnya yang berada paling dekat dengan area ruang makan dibandingkan dengan Penghuni Kost Pria yang lainnya, seperti mendapatkan ‘clue’ atas teka-teki yang terjadi selama sekitar setengah tahun terakhir ini. Waktu yang kurang lebih sama dengan masuknya Jono ke tempat kost mereka. Pun begitu, sejauh ini tidak ada yang bertindak gegabah dengan langsung menuduh tanpa bukti. Mereka pantang berprasangka terhadap sesama Penghuni Kost sebenarnya. Namun kini, demi menyaksikan Jono masih memgang ‘barang bukti’ di tangannya, Roni menatap sinis. “Jon, Jon, elo bikin kita di sini salah sangka. Sempat kita mencurigai Keanu, yang masuk kemari sebelum elo. Soalnya kita lihat, dia itu kalau makan banyak banget, sampai badannya gede begitu. Keanu baru dua minggu lalu pindah dari tempat kost ini karena mengikuti pelatihan di luar negeri selama setengah tahun. Anehnya kasus makanan hilang masih saja terjadi. Eeeh..., ternyata misteri hilangnya makanan terungkap dengan sendirinya. Jadi enggak enak hati sama Keanu. Untung kita semua cuma bahas sambil lalu dan belum nekad buat celetak-celetuk ke dia.” Roni menuding wajah Jono. “Makanan beginian doang elo nggak mampu beli? Bukannya Orang tua elo tajir melintir? Nah elo kan juga ada kerjaan paruh waktu jadi ilustrator, selama elo kuliah S-2 di sini. Kurang apa sih?” kritik Roni yang rupanya masih belum sirna rasa ngantuknya. “Heh. Nggak usah melebar kemana-mana deh. Sorry, kalau selama ini gue bikin Kalian di sini nggak nyaman.” “Sorry sih gampang. Berubah dong. Itu poin penting nya,” Vino yang menyela. “Dan ganti makanan kita semua yang sudah elo habiskan selama ini,” tambah Julian. Jono terpojok. Tak dapat menghindari kewajiban yang disodorkan kepadanya. “Iya. Sekali lagi gue minta maaf. Nanti sore gue isi kulkas sama makanan buat Kalian. Bebas buat kalian habiskan,” kata Jono pasrah. “Catat tuh. Rekam Vin, Julian! Dan besok-besok juga. Elo lakukan sampai kita semua bosan. Gila..., nyaris setengah tahun elo buat kita sebal.” Jono menarik kursi dan duduk. “Ini sekarang boleh nggak gue minta, Vin? Gue kepengen banget,” kata Jono dengan wajah sepolos bayi. Vino dan Julian saling berpandangan. Nyaris saja mereka berdua terbahak. “Boleh. Tapi sedikit. Gue mau mandi terus sarapan. Lagi nggak punya ide jadi mau sarapan kopi sama kue tart itu doang,” kata Vino kalem. “Besok pagi gue bangun rada pagi deh. Kerjaan gue kan sudah tuntas semua. Gue masakin Kalian nasi goreng,” ucap Jono dengan nada penuh sesal. “Rekam lagi Vin, Julian, biar jadi barang bukti supaya dia nggak bisa ngelak,” suruh Roni. Julian tersenyum dan menepuk bahu Jono. Dicermatinya ekspresi wajah Jono. Sampai-sampai Jono risih. “Eh gila! Ngapain elo ngelihatin gue sampai begitu? Naksir lo? Penyimpangan orientasi ya? Ngeri! Harus gue pastikan kamar gue digerendel dobel mulai nanti malam. Gue takut kalau tahu-tahu elo nyelonong masuk ke kamar gue pas gue lagi tidur dan tahu-tahu menindih badan gue.” Julian tersenyum sinis. “Amit-amit! Gue masih doyan Cewek. Lagi pula andai pun penyimpangan, dan amit-amit banget, ogah gue, naksir elo. Tukang nyuri makanan. Nggak berkelas,” cetus Julian dengan mimik muka macam Orang yang hendak muntah karena keracunan makanan. “Terus kenapa ngelihatin gue begitu?” Roni dan Vino tertawa. “Hei, elo ada masalah? Kok kalau klepto, klepto nya itu nggak berkelas? Nyolongin makanan begitu?” tanya Julian langsung. Sebagai Seorang yang kerap berinteraksi dengan Para Mandor dan Orang Proyek, dia jadi terbiasa mengamati gerak-gerik mereka. Dia juga jadi sering membaca apakah mereka jujur atau tidak. Itu membuatnya terlatih membedakan laporan yang benar serta yang sudah di mark up, dari kebutuhan dana untuk proyek, permintaan uang untuk pembelian material yang mendesak dan tak mungkin lagi menunggu dari kantor pusat, dan sebagainya. Jono tersenyum masam. Vino tergerak. “Hei. Kita semua di sini sudah seperti Saudara. Bilang aja terus terang. Nggak cuma Penghuni Kost Cewek yang bisa kompak. Kita-kita juga kok.” “Tuh, dengar apa kata Penghuni paling lama di tempat kost ini. Dari tempat kost ini masih baru, sampai sudah ada penambahan kamar dan tentunya penyesuaian tarif, ha ha ha...” Roni terbahak. Sontak Vino menutup mulutnya. “Ebuset, belum sikat gigi ya? Bau naga.” Roni mengangkat bahu dan berkata ringan, “Siapa suruh berisik di ruang makan pagi-pagi. Kan ganggu tidur Orang.” Julian mesem kecil, lalu menepuk lagi pundak Jono. “Hei, jawab pertanyaan gue. Gue yakin deh, elo itu ada masalah. Uang kan bukan masalah buat elo. Elo kerja paruh waktu juga buat senang-senang doang kok biar nggak jenuh. Elo dapat beasiswa untuk program S-2 elo. Orang tua elo juga rajin ngirimin elo duit. Malahan setahu gue, elo itu sudah bayar uang kost enam bulan di muka, sampai jadi Kesayangannya Ibu kost.” “Nah, itu dia, yang bikin kita jadi anggap keanu sebagai Tersangka Utama karena kita nggak kepikiran elo bisa melakukan hal murahan begini,” timpal Roni, yang segera diangguki oleh Vino. “Ngomong aja sama Julian. Dia kan berbakat jadi Psikolog tuh. Mana tahu bisa bantu cari solusi,” ucap Vino kemudian. “Gue sambil makan, ya. Biar bisa mikir,” kata Jono sambil memotong kue tart milik Vino. “Boleh,” sahut Julian, Roni dan Vino serentak. Jono tak segera menjawab seusai mengembalikan sisa kue tart Vino ke dalam kulkas. “Eh, cepat. Gue harus buru-buru berangkat. Sudah jam berapa ini,” kata Julian tak sabar. Jono mengusir sisa-sisa keraguannya. “Gue..., gue enggak tahu saja, kayaknya kok gue merasa makanan yang gue makan itu lebih nikmat kalau gue ambil dari Pemiliknya dan tanpa setahu Kalian. Tuh, kan, rasa kue tart ini rasanya jadi hambar, karena gue sudah minta ijin.” Roni tertawa, tetapi tidak demikian halnya dengan Vino dan Julian. “Itu soal serius. Entar sorean kita ngobrol. Tapi terima kasih ya, sudah mau jujur sama kita,” kata Julian penuh respek. “Kalian mau memaafkan gue?” “Ya. Tapi elo harus biasakan untuk nggak melakukan lagi apa yang selama ini elo lakukan. Biarpun elo merasa makanan itu hambar, biasakan juga menikmatinya. Pakai teknik tukar gambar dan seolah lagi makan kue terenak di dunia. Nanti lama-lama elo bakalan sembuh dari jenis klepto elo yang unik itu,” saran Julian. “Nanti kita semua bantu elo selama prosesnya,” dukung Vino. Jono tak dapat berkata-kata. Ia menatap Ketiga Kawannya secara bergantian. Ada rasa terima kasih terpancar dalam tatap matanya. “Oke, gue berangkat dulu,” kata Julian. “Sip,” balas Ketiga Kawannya. Julian bergegas meninggalkan ruang makan dan melangkah ke depan. Hanya satu setengah menit kemudian, terdengar seruannya dari arah luar, “Vinooooo! Ada yang cari elo. Buruan ke depan! Gue harus langsung berangkat soalnya.” “Siapa sih?” gumam Vino. “Cari tahu lah Vin, ke depan! Gue mau nambah tidur ah!” kata Roni dan berlalu. Vino melangkah cepat untuk mengetahui Siapa yang hendak menemuinya sepagi ini. Dia bertanya-tanya dalam hati, apakah Lyrna, Salah Satu Figuran dalam sebuah program drama keluarga yang pernah diproduksi oleh Channel 789 yang tergila-gila kepadanya dan berhasil mendapatkan alamat tempat kost-nya entah melalui Siapa dan rajin mengiriminya berbagai makanan enak setelahnya? Ataukah Derra, Salah Satu dari Peserta Audisi program lainnya yang tampak malu-malu kucing tetapi pernah secara mengejutkan mengikuti dirinya ketika pulang ke tempat kost, dan esok paginya mendadak muncul di tempat kost-nya lantas memaksa untuk mengajaknya sarapan bersama? Dan selagi dia memikirkan hal itu, terpikir juga olehnya, barangkali yang datang justru Roffie, Salah Satu Bintang Tamu dalam acara bincang-bincang pagi yang mempunyai ketertarikan kepda sesama jenis dan naksir kepada dirinya sejak pandangan pertama lantas mengirimkan sinyal-sinyal suka dan mengirimkan sebuah telepon genggam keluaran terbaru yang gilanya, telah diisinya dengan berbagai foto dirinya ketika tidak mengenakan pakaian? Vino bergidik ngeri, teringat pesawat telepon yang segera dibantingnya itu lantas segera dia kembalikan melalui jasa kurir ke Sang Pengirim. Tindakan yang tak segera berbuah hasil, sebab Roffie masih berusaha mengejarnya dengan berbagai cara. Sampai-sampai Vino sempat berpikir untuk mengundurkan diri dari Channel 789. Untung saja, rasa gengsinya yang besar menghalanginya. Sampai kini. Mengundurkan diri terus balik ke rumah, dan kerja satu kantor sama Si Laki-laki bejad itu? Juga ada resiko ketemu si Betina jalang dan Anak-anak iblis yang mungkin saja sesekali diajak main ke kantor? Huh! Bisa pendek umur, gue! Ogah! Mendingan gue hidup seperti sekarang. Hidup dari keringat sendiri. Dan punya harga diri. Eh harga diri? Iya lah, gue kan nggak seperti apa kata Julian. Kalau gue dapat banyak kemudahan karena pesona atau kepintaran gue membawa diri, terus berkah berdatangan ke gue, bukan morotin dong namanya? Para Cewek itu pada ngasih kok ke gue, tanpa diminta. Ada yang rajin kirim makanan, coklat, kirim arloji, pakaian, sepatu, barang-barang lucu. Yang kalau gue tolak juga malah nyakitin hati mereka, kan? Dan barang yang mereka kasih juga bukan kualitas abal-abal. He he he..., mereka juga paling gengsi kalau lagi pas makan bareng gue yang bayarin. Mana makannya di tempat wah semua lagi. Itu namanya keberuntungan dong buat gue. Sama-sama happy. Apa lagi kalau kebetulan yang kasih kode ke gue Tante kesepian, waduuuh..., murah hati banget.... Cuma sebatas gue kasih rayuan, kasih perhatian, sentuh sana sentuh sini, raba-raba sebentar, cium-cium dikit, peluk kalau situasi memungkikan, sudah pada mabuk kepayang. Apalagi kalau sempat ngerasain senjata andalan gue. Bisa-bisa Suaminya dihempas sama mereka. Ha ha ha. Menang banyak, kan, gue? Yang penting sejauh ini hanya gue yang tahu. Eng..., Si Julian juga sih, biarpun sifatnya menduga-duga sejauh mana yang gue lakukan, pikir Vino geli. Julian sudah duduk di atas sepeda motornya. Siap untuk berangkat. “Tuh, yang cari elo! Gue jalan sekarang ,ya!” kata Julian seraya menunjuk pada Tamu yang mencari Vino. Terdengar suara klakson sepeda motor sebelum Julian pergi. Sontak Vino terbengong. Tatap matanya tertaut dengan tatap mata Sang Tamu. * $ $ Lucy Liestiyo $ $ Fan Page B!telucy
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN