Pertimbangan Vino (1)

1720 Kata
Hati Vino semakin gentar. Ada rasa penolakan dalam dirinya jika harus mengetahui sebuah kabar buruk dari pesan teks. Dia masih tergoda untuk menghubungi Sang Kakak lagi. Tapi usahanya percuma. Nihil hasilnya. “Ini kenapa sih Mbak Linda bukannya diangkat teleponnya,” gerutu Vino dalam rasa putus asa. Dia merasa akan sia-sia saja kalau terus menghubungi Sang Kakak. Maka mata Vino mulai menelusuri pesan yang pertama. From : Mbak Linda Vin, kamu lagi ada di mana sekarang? Santi kasih kabar kalau Papa mengalami kecelakaan lalu lintas sepulang dari menghadiri makan malam dengan relasinya. Keadaan Supirnya kabarnya cukup parah, tetapi dia belum merinci keadaan Papa. Kamu aktifkan terus telepon genggammu ya. Nanti Mbak kabari terus perkembangannya sambil menunggu kabar selanjutnya dari Santi. Pesan teks tersebut segera disambung dengan pesan teks berikutnya dari Linda, yang terpaut sekitar sepuluh menit kemudian. From : Mbak Linda Santi barusan kasih kabar ke Mama, Papa dan Supirnya dilarikan ke rumah sakit ‘Raharja Progress’ yang tidak terlalu jauh lokasi kejadian. Santi juga sudah menyusul ke sana naik taksi. Dan dia bilang sudah tiba. Menurut Santi, keadaan Papa masih sadar, dan hanya mengalami luka di kaki kanannya karena terjepit. Aku, Mama dan Mas Helmi sedang bersiap-siap untuk berangkat. Lalu pesan berikutnya, yang terpaut sekitar dua puluh menit kemudian : From : Mbak Linda Mbak sengaja nggak telepon kamu, selain takut ganggu kalau kamu lagi kerja, juga karena nggak mau bikin Mama panik kalau dengar isi percakapan kita nanti. Kami semua sudah hampir tiba di rumah sakit walau sampai sekarang sengaja belum kasih tahu ke Mama detail kejadian yang menimpa Papa. Santi sudah kasih kabar lagi bahwa luka di kaki kanan Papa harus segera dioperasi dan dia sedang mengusahakan untuk mencari persediaan darah untuk golongan darah Papa. Tadi dia sudah mengecek di bank darah dan katanya stock darah untuk golongan darah tersebut sedang menipis. Ada lagi pesan yang lain dari Sang Kakak : Vin, Mbak Linda dan Mas Helmi sudah berusaha untuk broad cast pesan ke Teman-teman yang barangkali mempunyai golongan darah serupa dengan Papa, sayangnya lokasi mereka juga jauh. Santi dari tadi sudah histeris karena dia menganggap cobaan ini terlalu berat. Apakah kamu bisa bantu Vin, barangkali Rekan kerjamu ada yang bisa menolong? Supaya Papa bisa segera ditangani. Thanks, ya. Pada akhirnya, setelah beberapa pesan teks yang kurang lebih senada isinya, ada pesan yang terakhir dari Sang Kakak : From : Mbak Linda Vin, saking kita semua panik, sampai melupakan satu hal : Golongan darah kamu dan Papa kan sama. Karenanya, kalau kamu memang bisa meluncur ke rumah sakit sekarang, tolong dibantu ya Vin. Mbak tunggu. Thanks. Vino tertegun. Tomo yang tidak sabar, menepuk punggungnya. “Malahan pakai bengong begitu? Mama elo kenapa? Ayo cepat berangkat sekarang, gue temani!” Vino menghela napas dengan berat dan menyahut pelan, “Bukan Mama gue. Tapi Papa gue. Kecelakaan, katanya.” Meski Vino sudah lebih sopan dengan menyebut Orang tua kandungnya dengan sebutan ‘Papa’, bukan lagi ‘Si Tukang Selingkuh’seperti yang kerap dia lontarkan, Tomo tetap saja menatap Vino dengan gemas. “Ya sama Vin. Orang tua elo juga namanya. Gimana sih nih Anak. Elo itu hadir di dunia ini bukan karena andil Mama elo seorang, tapi kerja sama dengan Papa elo. Juga dalam mendidik dan membesarkan elo. Hhh! Ayo cepat! Waktu itu berharga banget!” Usai berkata panjang begitu, Tomo segera masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil kunci mobilnya. Tidak sampai satu menit, dia sudah berdiri di sebelah Vino yang masih saja terbengong. Lantaran terlampau jengkel, ditariknya tangan Vino. “Ayo! Malah matung segala!” Vino menurut saja. Ia malah menyodorkan kunci mobilnya pada Tomo. Tomo menolaknya. “Nggak usah. Simpan saja. Pakai mobil gue.” Vino diam saja. Mereka berdua menuruni tangga menuju base ment. “Eh, ada mobil baru. Siapa punya, ya? Perasaan nggak ada Anak Kost baru yang masuk hari ini,” komentar Tomo kala melihat mobil baru Vino. Mama gue yang kirim buat gue tadi pagi,” jawab Vino lemah. “Oooo..” Tomo lekas duduk di belakang kemudi dan menyalakan mesin mobilnya dengan tergesa. Vino duduk diam di jok sebelah Pengemudi. Ketika kendaraan telah mulai meluncur di jalan raya, Tomo mulai bertanya kepada Vino. “Rumah sakit nama, Tom?” “Raharja Progress, kata Mbak gue di smsnya dia tadi.” “Raharja Progress yang di mana? Kan ada yang di pinggiran Jakarta sana, ada juga yang si tengah kota. Malahan ada yang nggak jauh dari sini, sekitar lima belas menit lah sampai, kalau malam begini mah. Sudah lancar, jalanan.” Vino menepuk jidatnya.Dia baru ingat kealpaannya. “Itu dia yang gue belum tahu. Cuma dikasih tahu yang terdekat dari lokasi kecelakaan. Tapi Mbak Linda juga nggak bilang kecelakaannya di mana.” “Elo telepon lah ke Kakak elo.” “Nggak diangkat kan, dari tadi.” Tomo hampir mendesah kesal namun ditahannya keinginan itu. “Sms, ” suruh Tomo Vino menuruti saran Tomo. Dia segera mengetik dan mengirimkan pesan teks kepada Linda dan juga Helmi, berharap siapa saja yang tercepat memberi pesan balasan. Linda tidak menjawab. Kemungkinan terbesar adalah, Linda harus terus mendampingi Sang Mama dan menenangkannya. Pesan dari Helmi masuk sekitar satu setengah menit kemudian. From : Mas Helmi Vin, yang cabang Jalan Raya Kejora. Arah ke tempat kost-mu. Jadi menurut penuturan Santi, seusai jamuan makan malam dengan relasinya, Papa sengaja mau melintas di tempat kost-mu untuk menengok keadaanmu. Dan seandainya tidak memungkinkan pun, Papa mau sekadar menanyakan kabarmu lewat Penjaga Kost. Kamu kemari, kan? Hati-hati di jalan. “Yang jalan Kejora, Tom.” “Hah?” “Kenapa hah?” Tomo mengerling sesaat, bagai berpikir. “Papa elo berusaha menemui elo, ya?” tanya Tomo. Tebakan Tomo sungguh telak. Namun Vino tak berminat untuk membahasnya. “Vin,” ucap Tomo pelan. “Apa sih?” tanya Vino dalam enggan. “Elo jangan terlalu keras hati, ya? Bagaimanapun, itu Papa elo. Ingat Vin, manusia itu tempatnya salah, makanya wajib saling memaafkan.” Vino menatap dengan pandangan kesal. Dasar sok tahu! Belum mengalami sendiri ya, bagaimana kasih sayang Orang tua elo mendadak direbut sama Wanita Iblis dan Mama elo terpaksa harus menerima kenyataan harus berbagi perhatian, berbagi Suami, berbagi harta juga mungkin, ke depannya, sama Perusak rumah tangga Orang tua elo? Nah, jangan seenaknya membuat pernyataan makanya, dumal Vino dalam hati. “Kalau gue keras hati, sekarang gue lebih pilih tidur. Dan gue akan biarkan itu Si Betina Jalang kesusahan cari Donor darah.” Perkataan Vino teramat datar. Tomo malah tak melihat atau bahkan merasakan lagi, adakah Vino sungguh mencemaskan keadaan Orang tuanya. Tomo terbungkam, walausebetulnya dia masih ingin bertanya tentang banyak hal. Pasalnya selama ini, baik dirinya maupun Julian, sebenarnya menaruh iba pada cara hidup Vino yang dinilainya lebih banyak merusak diri sendiri ketimbang membuktikan diri bahwa dia mampu berdiri di atas kaki sendiri itu. Vino sendiri yang justru memerinci hal yang ingin diketahui Tomo. “Dia kecelakaan. Dan katanya perlu dioperasi secepatnya. Sementara stock darah dengan golongan yang sama menipis. Dan karena terlalu panik, Keluarga gue malah lupa kalau golongan darah gue sama.” Tomo tersentuh mendengarnya. Refleks, tangannya menepuk bahu Vino. “Gue bangga sama elo. Sorry kalau gue sudah berburuk sangka, tadi. Semoga Papa elo baik-baik saja.” Vino tak menyahut. Di dalam hati Vino, ada pergumulan sendiri. Pergulatan yang lumayan hebat. Sejatinya dia masih enggan untuk bertemu muka dengan Sang Papa. Namun bagaimanapun bencinya dia terhadap Sang Papa dan perselingkuhan yang dilakukan Sang Papa dengan Santi yang pada akhirnya berujung dengan ‘adanya dua rumah tangga’ yang dimiliki oleh Sang Papa, sangat tak mungkin dia membiarkan kondisi Sang Papa kian memburuk. Lantas, tanpa dikehendaki oleh Vino, kenangan manis yang terukir dalam masa di mana Santi belum datang merusak kedamaian di kediaman serta keharmonisan keluarga mereka, terbayang begitu saja. Vino teringat masa kecilnya, yang hampir selalu penuh tawa. Dia tak mungkin dapat melupakan bagaimana menghabiskan waktu bersama nyaris di setiap akhir minggu rutin diusahakan oleh Kedua Orang tuanya. Hanya saja, ada masa-masa di mana Linda sudah mulai memasuki masa remaja dan mulai ‘memisahkan diri’. Linda mulai sibuk dengan sederet acara dengan Teman sebayanya. Pergi hang out kesana kemari. Ikut kegiatan ekstra kurikuler di Sekolah. Mengikuti camping ini, camping itu, pelatihan ini maupun itu. Apalagi saat beranjak dewasa dan mulai mengenal Helmi sehingga akhirnya dekat satu sama lain. Tentu saja Linda mulai banyak menghabiskan waktu baik berdua dengan Helmi maupun keluarga Helmi.Meskipun, Helmi juga kerap melibatkan diri dengan keluarga Linda. Vino lantas ingat bagaimana dirinya bisa bercanda dengan Sang Papa, yang kerap mengolok dirinya bilamana dia kalah bermain cashflow quadrant di Minggu sore sembari menikmati kudapan istimewa yang dipersiapkan oleh Sang Mama. Dia juga ingat, bagaimana dirinya bisa balas mengejek Sang Papa yang selalu saja kalah darinya apabila mereka menyempatkan untuk menunggang kuda. Ya, menunggang kuda. Hal yang sudah sekian lama tak lagi dia lakukan. Tepatnya setelah pertengkaran kedua Orang tuanya yang terdengar olehnya. Sebab setiap kali hendak menunggang kuda, yang terbayang olehnya adalah tawa kemenangannya yang sengaja dibuat berlebihan di depan Sang Papa. Betapa dia benci mendapati semua takkan pernah sama lagi. Betapa dia tak dapat menyangkal, ada lubang hitam besar di hatinya semenjak itu. Dan kini mendadak dia terkenang bagaimana Sang Papa terkadang mau melibatkan diri merawat tanaman hias kesukaan Sang Mama padahal bukan maunya mengingat-ingat masa lalu. Vino menggoyangkan kepalanya, berharap kenangan itu tak mengintimidasi dirinya. Apa daya, semakin keras dia mengusir bayangan kemesraan kedua Orang tuanya yang sangat kompak di matanya, bayangan itu kian gencar menggoda nya. Sebab biasanya, saat-saat yang demikian itu merupakan momen yang sangat berharga bagi Seorang Vino. Sebab nya adalah, Vino yang sudah mulai memasuki usia belasan kala itu, mulai mengidolakan Sang Papa. Dia ingin seperti Sang Papa yang dianggapnya ‘sempurna’. Sang Papa yang dianggapnya dapat mendukung usaha yang digagas bersama dengan Sang Mama dan kemudian justru bagai seorang diri menjalankan operasionalnya setelah Sang Mama semakin mengurangi dan akhirnya menghentikan sama sekali kegiatannya di kantor. Sang Papa yang dinilainya tak hanya Seorang Suami yang terbaik bagi Sang Mama, tetapi juga Menantu Kesayangan dari Sang Opa, sekaligus Papa terbaik bagi dirinya serta Kakaknya. Dia bahkan sempat secara dism-diam menobatkan Sang Papa sebagai The Best Daddy in the world. Dan dia percaya, Linda juga akan setuju kalau tahu pemikirannya itu. Sayang seribu sayang, perjalanan waktu kemudian menguak fakta yang berbeda. * $ $ Lucy Liestiyo $ $ Fan Page B!telucy
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN