Kabar Buruk Di Tengah Malam

1719 Kata
Vino masih diam. Dia hanya mengamati Julian yang juga ikut-ikutan diam sebagaimana dirinya. Julian terlihat mempercepat menghabiskan mie instan di dalam mangkuknya. Lalu diteguknya minuman di gelasnya hingga tuntas. Lalu tanpa mengatakan sepatah kata pun kepada Vino, dia beranjak dan menaruh mangkuk kosong itu ke tempat cucian piring begitu saja. Masih tanpa kata, Julian memenuhi isi gelasnya dengan air dari dispenser, bahkan membawa pula satu botol minuman dari dalam kulkas. Julian melenggang meninggalkan ruang makan tanpa menoleh barang sekejap saja pada Vino. Vino terusik seketika. Tak menyangka akan dianggap sepi oleh Julian. “Jul, mau ke mana tuh?” tanya Vino tak enak hati. “Ke kamar,” sahut Julian singkat. “Yee! Cepat amat sih. Baru kelar makan juga. Nah kita kan belum kelar ngobrol juga, tadi.” Julian hanya tersenyum miring menanggapi ucapan Vino. “Nggak mungkin langsung tidur juga, kan? Bisa buncit lho itu perut. Mending lanjutin obrolannya yuk.” Julian tampak mengerling sesaat pada Vino. “Memangnya apalagi yang perlu buat diomongin? Kan elo sudah yakin bahwa apa yang elo lakukan itu nggak salah. Kelihatan banget nggak ada beban begitu, kok.” Vino menelan ludah. “Masa elo sampai semarah itu ke gue sih, Jul? Biasanya juga enggak.” Dahi Julian mengernyit. “Marah? Punya hak apa gue marah ke elo? Itu kan hidupnya elo,” kata Julian acuh tak acuh. Vino mengikuti Julian. Dipikirnya Julian bakalan melunak. Tapi dia keliru. Julian malahan mengabaikannya. Lantaran Julian tak menoleh kepadanya, Vino jadi semakin tak enak hati saja. Dia sangat jarang berkonfrontasi dengan Julian. Sejak kuliah dulu mereka berdua memang sudah berteman akrab, walaupun dirinya dan Julian berbeda fakultas. Julian adalah Satu-satunya Teman yang mengerti ‘sejarah’ keretakan rumah tangga Orang tuanya. Julian pula yang merupakan Orang pertama yang terpikir oleh Vino, sebagai tempatnya berkisah tentang pertengkaran hebat Papa dan Mamanya, karena tak mungkin untuk mengisahkannya kepada Linda pada malam itu juga. Dan Julian pula yang menghibur dirinya kala itu. Pun ketika Vino mulai bersikap buruk, bertingkah seperti Bad Boy, Julian juga yang tak henti memperingatkannya. Malahan tak jarang, mengomelinya. Tapi barusan itu apa? Dia bersikap rada cuek begitu ke gue, batin Vino. Saat Julian masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya tanpa memedulikan Vino yang masih mengikutinya, Vino tersadar, Temannya satu itu benar-benar marah. Vino membalikkan badan dan menuju ke kamarnya sendiri. “Kenapa jadi nggak enak begini sih? Padahal dari pagi semua oke-oke saja. Pekerjaan oke, banyak kabar baik mendatangi. Terus masih ditambah lagi ketemu sama Klara juga bikin tambah semangat. Cewek itu kelihatannya sudah benar-benar dalam genggaman, biarpun terkesan malu-malu kucing,” kata Vino setengah bergumam. Vino mengempaskan pantatnya di kursi yang ada di depan kamarnya. Saking kerasnya dia mengempaskan pantatnya, kursi itu sampai bergeser dan menimbulkan suara derit yang cukup berisik. Ketika ada notifikasi pesan masuk pada telepon genggamnya, dia tidak antusias. Tak tertarik untuk mengecek Siapa yang mengirimkan pesan teks padanya larut malam begini. Paling juga Si Klara. Mau apa? Paling mau gantian ngucapin Good Night? Baru dicium pipi sudah mabuk kepayang dia. Belum kalau nanti dikasih yang lain, wah, bakalan klepek-klepek tuh dia. Alamat ketagihan dan susah buat ngelepas aku. Aku bisa bayangkan, dia pasti malam ini bergadang, mencari ide dan konsep yang kira-kira sesuai untuk diajukan ke Channel 789, pikir Vino. Sebagai Cowok yang punya jam terbang tinggi dalam bidang merebut hati Wanita dan menaklukkan mereka untuk kemudian dapat dikendalikannya sesuai kemauannya, Vino sudah dapat memperkirakan, Klara saat ini pasti sedang dibuai asmara. Dia yakin, Klara takkan mungkin mengecewakan dirinya dan akan melakukan apa saja untuk menyenangkan hati Cowok yang dicintainya. “Dan kalau sudah begitu, perjalanan karirku di kantor bakalan semakin mulus. Dan akan terus menanjak. Terus pada puncaknya, aku akan tunjukkan ke Laki-laki Tukang Selingkuh itu, bahwa aku, yang merupakan akibat dari dia meniduri Mamaku, justru bisa jauh lebih berhasil dari dia. Aku mau tunjukkin, begini cara jadi Cowok. Mandiri. Bisa berdiri di atas kaki sendiri. Bukannya nebeng sama Mertua, sama Istri, eeh..., selingkuh pula,” gerutu Vino sebal. “Heh, elo ngapain ngomong sendirian? Kesambet? Perasaan selama gue tinggal di rumah kost ini nggak pernah ada dengar yang aneh-aneh,” cetus sebuah Suara yang diiringi dengan suara anak kunci diputar serta pintu yang terkuak. Vino menoleh dengan malas. Tomo, Rekan Kost yang kamarnya bersebelahan dengan kamarnya, menatapinya selagi berdiri di ambang pintu. “Heh. Belum tidur lo, Tom?” “Tadinya sudah mau tidur. Tapi karena dengar suara berisik disambung ada Orang yang lagi ngomong sendirian, jadi batal. Gue takut ada yang kesambet.” “Garing banget. Resek lo!” Tomo mengangkat bahu. “Baru pulang?” tanya Tomo, seraya memperhatikan penampilan Vino yang masih mengenakan pakaian seragam khas kru Channel 789. “He eh.” “Banyak kerjaan, sampai jam segini baru pulang?” Bertanya begini, Tomo langsung duduk di kursi yang berbatas meja kecil dengankursi yang diduduki oleh Vino. “Enggak juga.” “Lho terus? Oooh..., iya, iya. Kencan sama Salah Satu dari Cewek-Cewek itu, ya. Sama yang mana?” korek Tomo iseng. Vino menggeleng enggan. “Kencannya nggak sukses nih, makanya itu muka kusut.” “Sok tahu. Bukan itu. Tadi gue agak kles sama Julian.” “Kok bisa elo kles sama dia? Tapi dari dumalan elo, topiknya bukan kesal sama Julian, tapi..., eng..., Bokap elo, kan?” Vino tersenyum kecut. “Semua masalah, semua kesialan yang ada di dalam hidup gue, termasuk klesnya gue sama Julian tadi itu faktor penyebabnya sama. Ya Si Tukang Selingkuh itu.” Tomo menatap dengan prihatin. Walau tidak sedalam Julian, dia juga tahu betapa bencinya Vino pada Sang Papa. Itu diketahuinya lantaran dia penasaran mengapa Vino amat betah berada di tempat kost tersebut sementara Penghuni Kost yang lainnya telah berganti-ganti. Sebagai Teman yang bersebelahan kamar dengen Vino, Tomo juga sering mendengar sambil lalu percakapan Julian dengan Vino yang biasa dilakukan di teras kamar, tempat di mana mereka berdua berada sekarang. "Heh, Bro, sorry deh kalau gue terkesan ikut campur. Tapi menurut gue, enggak sepantasnya elo marah ke Bokap elo sampai bertahun-tahun begini." Vino mengangkat bahu. "Enggak ikut campur juga. Elo kan juga sudah pernah dengar gue maki-maki Bokap gue di elepon. Dan suara gue juga kencang. Gue juga pernah mengusir Si Pak Asep waktu itu. Pokoknya, selama dia masih sama Si Betina jalang itu, ya gue tetap nggak bisa memaafkan dia. Titik." Tomo menggeleng-gelengkan kepala. "Vino, Vino, ya nggak bisa begitu dong. Kan mereka sudah menikah secara resmi. Memangnya barang, main tinggal doang," kata Tomo hati-hati. "Tinggal dicerai. Gampang. kasih duit yang banyak. Itu kan yang dicari. Atau pilihannya, ceraiin Nyokap gue." "Ini Anak ngawur. Elo sudah capek itu. Mandi pakai air hangat gih, terus cepetan istirahat sana. Nanti makin error itu otak kalau nggak elo ajak istirahat. Bisa-bisa jadi jam tujuh lewat lima alias miring," kata Tomo seraya menoyor kepala Vino. "Apa sih," dumal Vino sebal dan menepis tangan Tomo. "Eh. Itu nggak baik buat elo sendiri. Coba deh elo ingat-ingat, semua kebaikan Bokap elo. Dari sebelum perselingkuhan itu terjadi, sampai setelah Bokap elo itu berjuang lagi memperbaiki apa yang sudah dia rusak." "Dan gagal." "Terserah elo deh. Dikasih tahu kok susah. Vin, kehidupan rumah tangga tuh enggak sesimpel kehidupan kita-kita yang Bujangan ini. Maaf ngomong ya ini, menurut gue sih, kalau dari yang gue dengar-dengar, Bokap elo sudah cukup adil dan cukup berusaha menyatukan lagi Keluarganya. Elo sambutlah, usahanya." "Cih! Dengan cara berbagi badan dia ke Dua Wanita berbeda. Gue kok jijik ya ngebayanginnya. Sebentar meniduri Nyokap gue, sebentar Si Betina Jalang itu." Tomo kehabisan kata-kata. Nih Anak. Namanya juga sudah sah. Nah elo, yang gue dengar dari selentigan katanya suka dijadiin hadiah arisan Tante-Tante, apa ngak lebih menjijikkan? BUkannya elo juga ganti-ganti? Baik-baik lo, kenapa penyakit, sahut Tomo. Tapi tentu saja hanya di dalam hati. Mendadak Vino juga kehilangan selera untuk menggerutu atau menyahuti. Saat itulah, telepon genggamnya berdering. "Siapa sih, malam-malam begini? Masa iya Si Yayang Klara?" Vino setengah bergumam. "Wow. Siapa lagi itu Yayang Klara? Target baru, ya?" Usik Tomo, bagai baru mendapatkan sebuah celah untuk menetralkan suasana. Vino merogoh saku kemejanya dan menatap layar telepon genggamnya. Dahinya langsung mengernyit melihat nama Penelepon di sana. Mbak Linda? Malam-malam begini? tanya Vino dalam hati. "Hallo Mbak? Ada apa kok malam-malam begini telepon?" tanya Vino langsung. Yang Ditanya tampak terkejut. "Lho, Vin, kamu nggak baca bebrapa pesan teks yang sudah Mbak kirim tadi? Apa kamu sudah tidur? Atau malah masih ada tugas dan belum pulang?" Alih-alih menjawab pertanyaan Sang Adik, Linda justru balik bertanya. Vino menggaruh-garuk kepalanya yang tidak gatal. Jadi dari itu itu Mbak Linda yang kirim pesan? Bukan Klara? Dan kenapa Suara Mbak Linda terdengar panik dan sedih? Ada apa? Apa Mama baik-baik saja? Selaksa pertanyaan memenuhi kepala Vino. "Vin. kalau kamu belum ngantuk, langsung susul ke rumah sakit, ya. Tadi Mbak sudah kirimkan alamatnya. Kalau kamu ngantuk, naik taksi saja. Hati-hati di jalan, ya." "Nyusul ke rumah sakit sekarang? Mbak Linda, ada apa? Mama baik-baik saja? Atau Siapa yang sakit?" teriak Vino. Tomo ikut mengernyitkan kening. "Kamu baca pesan teks yang Mbak kirimkan saja. Sudah ya Vin. Kita ketemu di sini. Bye." Telepon ditutup begitu saja. Vno berusaha untuk menghubungi kembali, tetapi tidak ada respons dari Linda. Jantung Vino seperti mau meloncat keluar dari tempatnya. Wajahnya sudah langsung memucat. Bayangan-bayangan buruk mendadak memenuhi benaknya. Susah payah dia menghalau segala rasa yang berkecamuk. "Kenapa, Vin? Siapa yang sakit? Ayo gue temani ke rumah sakit. Biar gue antar pakai mobil gue. Elo nggak boleh nyetir dalam keadaan begini. Bahaya," kata Tomo dengan mimik.muka sangat serius. Vino tak menjawab. Dengan d**a yang berdegup kencang, jemarinya digulir di atas layar telepon genggamnya. Dia langsung membuka pesan teks dari Linda. Ternyata bukan hanya satu, melainkan ada beberapa pesan tertera di sana. * $ $ Lucy Liestiyo $ $ Fan Page B!telucy
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN