Yang aku sadari, aku tipe cewek yang nggak mudah menangis. Walaupun sejatinya menangis adalah bentuk dari reaksi terhadap suatu hal yang menyakitkan ataupun mengharukan.
Tetapi untuk sekarang. Puncak dari semua hal yang menyakitkan adalah mendengar semua ucapan si boss. "Kamu saya berhentikan.."
Begitu katanya.
Aku mencoba untuk tidak terlihat lemah apalagi memelas di depannya. Hingga aku pun hanya mampu menunjukkan reaksi tersenyum seolah-olah menganggap semua itu cuma B aja.
"Baik, Boss."
Akhirnya aku membalikkan badanku. Dengan punggung yang tegap seolah-olah akun ini kuat. Padahal dalamnya sudah hancur berkeping-keping. Di sakitin suami, dikekang, tidak di nafkahi, dzolim iya. Sekarang di pecat pula.
Dengan lemas aku masih memegang 5 lembar duit ratusan ribu di tanganku. Aku berjalan keluar bahkan aku sendiri tidak percaya masih bisa sekuat ini berpijak di atas bumi di tengah-tengah ujian hidup yang luas binasa.
Aku menghentikan langkahku sejenak. Menoleh ke belakang karena biar bagaiamana pun dia pernah baik selama aku bekerja disini.
"Ada pertanyaan?" jawabnya padaku.
Aku menggeleng dan tersenyum tipis dengan perasaan terluka.
"Terima kasih, Keenan."
Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama bertemu menjadi mantan. Aku menyebut namanya. Tetapi tiba-tiba, waktu seperti berhenti berputar. Apa yang aku lakukan sekarang, benar-benar mengulang sejarah masalalu.
Dulu, terakhir kami bertemu di hotel setelah malam yang panjang itu. Aku juga begini. Menoleh kebelakang dan menatapnya sambil berucap Terima kasih Keenan.
Dan sekarang, aku kembali melakukannya. Aku harap ini semua akan menjadi penghujung dari kisahku dengan dia. Tidak ada lagi situasi dimana kita kembali bertemu dan berakhir menjadi teman atau lebih dari teman.
Karena yang namanya pernah menjadi mantan itu selalu berakhir dengan cerita yang pahit.
Aku pun keluar dari toko itu bertepatan saat Ansel datang menghampiriku sambil mengantongi ponselnya.
"Akting kamu bagus. Aku yakin, saat ini kamu sudah jadi pengangguran."
"Aku mau pulang."
"Pulang sendiri ya. Aku mau ngedate sama pacar baru. Kayaknya dia bakal jadi junior kamu."
Aku mengepalkan tanganku. Seandainya membunuh tidak masuk penjara, aku sudah melakukannya sejak dulu! Tetapi tidak, aku masih waras dan berharap kewarasan ini tetap terjaga demi Azhar yang tidak mengerti apa-apa.
Aku menghubungi taksi online dengan sisa uang yang ada. Menuju rumah dengan hati yang sudah capek sama keadaan tetapi aku di paksa untuk tetap kuat.
Sesampainya di rumah, aku menidurkan Azhar di ranjang kamarku terlebih dahulu. Kemudian segera mengemas barang-barangku ke dalam koper.
"Kak, mau kemana?"
"Minggat."
"Terus aku gimana?"
Aku menghentikan gerakan tanganku yang sejak tadi sibuk melipat baju kedalam koper. Saat ini aku tidak ingin berdebat dengan adikku yang bodoh ini.
"Irfan.."
"Hm.. "
"Mulai sekarang belajar mandiri ya. Kamu anak laki-laki. Seharusnya lebih unggul dari Kakak."
"Jangan bilang Kakak mau ajak aku LDRan?"
Aku mengacak-ngacak rambutnya. "Kakak mau nenangin diri pulang kampung. Kakak nggak bisa bertahan di kota ini yang penuh dengan kepahitan. Kesehatan mentalku lebih penting."
"Tapi, Kak-"
"Kamu pasti bisa Ir, terkadang situasi harus memaksa kita untuk beradaptasi. Kakak percaya kalau kamu akan didewasakan oleh keadaan."
Aku kembali sibuk mengemas pakaianku seadanya. Aku yakin, saat ini aku dan adikku yang pintar ini sama-sama tidak bisa berbuat apapun.
"Aku ikut Kak!"
Aku langsung protes. "Ir, jangan ninggalin rumah ini. Kalau Bapak tiba-tiba datang terus ambil rumah ini gimana?"
"Ya nggak bisa dong kak. Surat rumahnya kan sama kita. Toh Kakak juga yang pegang."
"Tapi Ir-"
"Aku akan jagain Kakak kemanapun Kakak pergi. Selama ini aku emang nyusahin. Tetapi paling enggak, izinkan aku berbakti sama Kakak."
Aku tidak tahu harus berkata apa lagi.
Emang sih dia nyusahin. Tetapi jika dia mau berbuat baik sama Kakaknya yang menyedihkan gini, sebenarnya semua itu sudah lebih dari cukup buat aku.
Tiba-tiba kedua mataku langsung berkaca-kaca lagi. Aku hanya speechless. Tidak menyangka kalau di dunia ini masih ada cowok yang pengertian meskipun adikku sendiri.
Tepat saat itu, air mata menetes di pipiku. Irfan langsung menyentuh air mata ini dan menghapusnya.
"Udah Kak. Jangan sedih. Aku tahu kok, selama ini Kakak melewati masa-masa yang sulit"
"Makasih."
"Makasih doang?"
Aku langsung mendelik tajam. Bisa-bisanya dia malah merusak momen seperti ini.
"Nggak usah ngelunjak ya."
"Pangsit dong Kak. Laper banget nih. Belum makan dari tadi."
Aku menghela napas. Adikku minta semangkok pangsit. Yaudahlah.. Nggak masalah. Apalagi dia belum makan. Sedangkan aku malah sudah makan.
****
Saat ini aku sudah didalam taksi online untuk menuju stasiun kereta api surabaya. Perjalanan kereta kami nantinya akan memakan waktu kurang lebih 2 jam untuk tiba di kampung halaman kota nganjuk.
Tetapi sebelum tiba di stasiun, aku menyempatkan diri berziarah ke pemakaman. Setibanya disana, aku membayar taksi online terlebih dahulu.
"Kak, yakin nih kita bakal pergi dari kota ini?"
"Kenapa? Kamu ragu?"
"Bukan begitu Kak. Kalau kita pulang ke kampung, berarti Kakak bakal jarang ke makam ini atau mungkin nggak bakal kesini lagi."
"Suatu saat masih bisa kesini. Toh rumah kita masih ada disini kan? Lagian Nenek bisa menjaga rumah kita dengan aman."
Setelah itu kami tidak berbicara lagi. Aku memasuki area pemakanan dengan situasi yang berat seolah-olah apa yang di katakan adikku tadi ada benarnya. Tidak sulit mencari gundukan tanah yang berukuran kecil ketika kami sudah berada di hadapannya.
Citra Faliisha.
Meninggal di usianya yang masih 2 bulan.
Aku pun akhirnya duduk berjongkok sambil mengusap batu nisan ini yang sudah berusia 8 tahun. Jika dia hidup, usianya saat ini sudah 8 tahun. Anak cantik ini adalah putri pertamaku yang meninggal setelah di culik.
"Assalamu'alaikum, cantik." ucapku pelan sambil tersenyum mengusap batu nisan.
"Kali ini mama datang sama om kamu."
"Hai.."
Aku melihat Adikku ikut menyapa sambil mengusap batu nisan ini. Sekarang Citra sudah bahagia di surga-Nya Allah. Sementara Ibunya disini masih menjadi hamba Allah yang penuh dosa tetapi tidak pernah putus mengirimkan doa untuknya.
Terkadang aku sering berpikir. Apakah di akhirat nanti aku bisa bersama Citra yang sudah jelas jaminan surga untuknya atau tidak bertemu sama sekali dengannya karena akhir dari keputusan hidupku ada di neraka? Naudzubillah min dzalik. Jangan sampai.
Akhirnya kami pun membaca doa untuk Citra. Tak lupa menaburkan bunga di atas pusaranya. Sebelum benar-benar pergi dari sana, aku mencium batu nisan ini.
"Nak, Mama pergi dulu. Walaupun kamu sudah ninggalin Papa dan Mama, Mama tidak akan pernah lupa untuk kesini hanya untuk menjenguk tempat istirahatmu."
"Tante Rissa?"
Aku pun refleks langsung menoleh ke belakang. Rupanya ada Shafira dan Ayahnya kesini. Tapi kuburan siapa yang dia datangin? Tetapi aku tidak perduli dan langsung berdiri bersiap untuk segera pergi dari sana.
"Tante, kuburan kecil ini siapa? Wah ternyata sebelah nih sama kuburan Mama aku.."
Tiba-tiba shafira menegurku. Padahal aku sudah ingin pergi. Mau tidak mau aku tersenyum.
"Hm dia-"
"Dia adekmu. Puas lu bocil?"
Aku melotot Irfan dengan tajam. Bahkan aku mencubit lengannya kuat-kuat. Bisa-bisanya dia berkata kasar sama Shafira. Tetapi bukan itu maksud sebenarnya. Malah aku takut kalau..
"Adek aku?" Shafira terlihat bingung. "Loh, Ibu aku kan cuma punya aku. Aku tidak punya saudara. Iya kan Ayah?"
"Tanya aja sama Bapakmu itu. Dasar bocil. Kak ayo pergi! Nanti keburu telat ke stasiun."
Aku di landa kebingungan dan was-was setelah ucapan Irfan. Tapi ajakannya benar-benar membuatku kehabisan cara sehingga aku pun cuma bisa menurut saat Irfan menggandeng lenganku.
"Rissa.."
Aku nggak dengar..
Aku nggak dengar..
"Riss.."
Abaikan aja. Please abaikan..
"Rissa!"
Aku mencoba tidak perduli dan tetap melangkah menjauh. Tetapi tiba-tiba dia memegang ujung tas slempang yang aku pakai hingga aku ikut berhenti.
"Apa maksud ucapan Irfan tadi?"
****
? niatnya mau pergi keluar kota ngindarin mantan malah takdir mempertemukan mereka kembali..
Makasih ya udah baca..
Sehat selalu.
With Love, Lia
Instagram : lia_rezaa_vahlefii