"Al, tolong kesampingkan urusan pribadi sama kerjaan. Lo paham kalau kita semua dituntut profesional, kan? Lo juga udah tanda tangan kontrak, kita nggak mungkin mundur." Kedua tangan Rani menangkup wajah Alaka, memberinya segala pengertian kalau kehidupan memang keras, terkadang setiap orang perlu melumpuhkan ego masing-masing demi kebaikan bersama. "Kita di sini cuma dua minggu, lakukan yang terbaik, kasih akting lo yang paling keren ke sutradara. Setelah itu, semuanya berakhir." Rani benar-benar menaruh harapan pada Alaka meski ia tahu masalah paling krusial yang dihadapi gadis itu, tapi tetap saja, dunia kan panggung sandiwara, setiap orang hanya perlu melakoni perannya dengan baik, bukan? Ada drama di dalam drama, kehidupan nyata tak perlu berpura-pura seperti saat berbicara di balik layar, semua murni seperti seharusnya.
"Mbak, gue—" Alaka menunduk, memainkan ujung kaus yang ia kenakan, terkadang setiap orang memang perlu belajar lebih dewasa untuk masalah yang mereka hadapi. Jika hanya diam dan terus mundur, kapan selesainya?
"Lo bisa kok, besok kita udah mulai syuting. Lo pikir aja, setiap take lo bakal banyak sama Rafael, lo nggak bisa menatap dia sebagai musuh, lo harus tatap dia sebagai pasangan, ada rasa cinta di dalamnya. Lo ngerti kan maksud gue, jadi bangun chemistry kalian itu benar-benar penting, Al." Lagi-lagi Rani menekankan, ia selalu menjadi pemberi nasihat kedua setelah posisi pertama ditempati oleh Maudy—ibu Alaka, lagipula Rani adalah orang yang paling sering mendengar keluhan Alaka, entah karena urusan pekerjaan pun urusan pribadi gadis itu.
Alaka menengadah. "Ada nggak sih obat yang bikin gue lupa siapa diri gue, biar nanti pas berhadapan sama Rafael itu bisa anteng, biar gue yakin kalau yang ngomong sama dia itu bukan gue." Oke, keinginan yang cukup konyol, tapi setiap orang memang seringkali menghindari segala hal yang dibenci, bukan? Jika tiba-tiba dipaksa untuk saling menemukan, maka kecanggunganlah yang akan bertahta, mereka adalah public figure yang selalu disorot media, belum lagi film yang akan lakoni proses syuting memang diadaptasi dari n****+ terkenal, membuat banyak penonton otomatis menunggu setiap adegan yang dibuat menjadi nyata, bukan rangkai tulisan belaka. Ekspektasi penonton ada pada setiap karakter yang bermain di dalamnya.
"Kalau ada pasti udah gue beliin, tapi nggak ada, Al. Sekarang lo harus ngelawan ego lo sendiri, waktunya cuma dua minggu, setelah itu selesai, lo bebas mau ngapain aja—termasuk jalan-jalan ke Korea, nyariin suami lo yang nggak tahu kejelasannya itu."
"Iya sih, habisnya suami gue banyak banget sih, perlu kali ya kalau gue sebut satu per satu. Jadi, ada—"
"Keluar, temuin Rafael, ajakin dia ngomong." Rani mendorong Alaka begitu saja keluar dari kamar mereka, membuat Alaka buru-buru menggedor pintu saat Rani justru menguncinya dari dalam. s**t! Alaka selalu kalah, ia yang lagi-lagi mengalah entah itu pada waktu, suasana pun perasaan kesal yang seharusnya ia lenyapkan demi rasa profesional. Setiap public figure harus tanamkan dalam-dalam sikap profesional terhadap siapa pun lawan main mereka.
Alaka meremas rambut rasakan kesal sendiri, kenapa harus ia yang hadapi semua itu.
"Kenapa, Al?" Galan baru saja keluar kamarnya, persis menemukan Alaka yang sibuk meremas rambut hingga berantakan, alhasil gadis itu mati kutu, diam seribu bahasa sebelum menoleh dan pamer cengiran gigi.
"Eh, Kak Galan." Alaka meremas ujung kausnya. "Ngomong-ngomong lihat si Rafael nggak?" Ia menoleh ke segala arah, keadaan di dalam vila masih begitu sepi.
"Di luar, hafalin skrip filmnya."
"Oh." Alaka manggut-manggut. "Ya udah, aku samperin dia dulu." Ia bergegas keluar vila, terhenti di ambang pintu saat dapati sosok yang dicarinya memang duduk pada sofa di beranda seraya memegang lembaran skrip, tampak tenang meski gadis di sebelahnya mengoceh tak jelas, dia Arabella—gadis yang seringkali digosipkan cinlok dengan Rafael, hanya saja memang tak pernah terjadi apa pun antara keduanya, semua demi mendongkrak popularitas mereka. Namun, baru kali ini judul film yang mereka perankan tak menjadikan mereka sebagai pasangan.
"Kok masih di pintu, Al?" Suara Galan membuat sepasang manusia yang duduk berjejer di sofa lantas menoleh, Alaka ketahuan.
"Ng—" Alaka tatap Rafael dan Arabella bergantian. "Ak-aku, aku nggak mau ganggu aja, Kak."
Galan menarik napas sebelum berdecak, ia tarik kaus bagian tengkuk Alaka, membawanya di depan Rafael yang pasang ekspresi datar. "Raf, lo kan sama dia bakal jadi pasangan buat pertama kali, masih ingat kalau sutradara bilang chemistry kalian kaku, dan peran ini nggak mungkin diganti. Jadi, ayo kerjasama bareng Alaka. Suka nggak suka."
Arabella beranjak. "Ah iya, kenapa bukan gue yang dipasangin sama Rafael aja, ya. Kenapa harus Alaka, padahal rating gue sama Rafael udah naik banget." Ia bersidekap. "Semoga akting lo bisa lebih dari gue, Al." Terdengar menyindir, setelah itu Arabella masuk vila tanpa memedulikan ketiganya lagi, sedangkan Alaka merasa ingin lenyap saja dari bumi, kenapa Galan senekat itu berbicara dengan Rafael perihal urusan chemistry, Alaka merasa takkan terbantu, ia justru makin mati gaya dan kesal.
Rafael tatap Alaka sejenak—sebelum tangannya menepuk permukaan sofa di sebelahnya, membuat Galan mendorong pelan Alaka agar duduk, setelah itu membungkuk seraya berbisik, suara lirih yang membuat Alaka benar-benar meremang. "Kalau dia macam-macam, nggak mau diajak kerjasama, bilang ke gue, Al." Jawaban gadis itu hanyalah anggukan, Galan berdiri dengan benar, tersenyum tatap Alaka seraya mengacak rambut gadis itu. "Ingat, ya. Besok mulai syutingnya." Ia beranjak memasuki vila, tinggalkan sepasang manusia dalam keheningan masing-masing.
Alaka menggeser posisi duduknya agar jarak mereka lebih tercipta, saat itulah Rafael berdecak seraya tutup skrip dan meletakannya pada permukaan meja di sisi kiri sofa. Ia menoleh pada Alaka yang kentara tak peduli.
"Gini aja, lo duduk di sebelah gue aja kasih jarak selebar itu. Akting kita sebagai apa? Gue tanya." Sepasang alis Rafael bertaut, tampak mengintimidasi.
"Pasangan."
Rafael terkekeh hambar, tampak mengejek. "Pasangan dari sebelah mana?" Ekspresinya berubah serius, ia bahkan mendekatkan wajahnya pada Alaka sampai gadis itu refleks mundur—membuat tengkuknya menyentuh sisi sofa bersama pupil mata yang melebar.
"Lo ngapain? Eh, lo ngapain?" Alaka ketakutan, tapi Rafael mengabaikan. Laki-laki itu justru mengangkat dagu Alaka, mengarahkan bola matanya agar terus saling menatap.
"Denger ya, lo di dunia entertainment lebih lama dari gue. Tapi, hadapin hal segampang ini bisa dibuat susah. Mau benci atau enggak, kita udah setujuin semua hitam di atas putih. Suka nggak suka, kita bakal mulai semuanya. Kalau sikap lo kayak tadi, gue jamin take pertama aja sutradara bakal maki-maki lo—yang sama sekali nggak miliki kesan menatap seseorang sebagai pasangannya." Ia luruhkan tangan setelah mengatakan panjang lebar, posisi duduknya kembali seperti semula, membuka skrip tanpa peduli pada Alaka yang tampak syok, napas gadis itu seakan putus-putus dengan jantung berdegup tak keruan, lama-lama Alaka bisa mati berdiri menghadapi Rafael.
"Ya terus harusnya gimana! Gue kan nggak pernah syuting sama lo!" Gadis itu kesal sendiri, ia memberengut bersidekap tanpa sudi menatap Rafael. Ia beranjak, tapi tiba-tiba Rafael menarik lengannya hingga Alaka berhasil duduk di pangkuan Rafael, gadis itu mendelik tanggapi posisi mereka yang terlalu dekat, membuat jantungnya lari ke mana-mana. "Eh! Kok gini! Nyari kesempatan dalam kesempitan lo, ya!" Alaka berseru kencang, tapi Rafael enggan membiarkan, ia justru memeluk erat perut Alaka agar gadis itu tak berusaha kabur, beberapa orang yang mendengar seruan Alaka berbondong-bondong keluar vila dan dapati sepasang muda-mudi tampak seperti bermesraan.
Saat itu, Alaka merasa ingin melenyapkan Rafael menjadi abu saja, lalu ia tiup hingga berhamburan diterpa angin seraya tertawa jahat.
***
"Ini kita jalan-jalan aja, kan. Awas kalau lo macam-macam kayak tadi pagi, bikin gue malu aja!" Alaka membuka pintu mobil sisi kiri milik Rafael, masuk dan duduk seraya pasang sabuk pengaman, seharian ini ia sama sekali tak bisa menghilangkan kekesalan di wajah akibat keingsengan Rafael yang membuat banyak orang mengira mereka sebenarnya sudah berpacaran. Apakah semua karma karena kebencian Alaka terhadap Rafael?
"Tergantung gimana sikap lo ke gue," sahut Rafael yang sudah duduk di balik kemudi sejak lima belas menit lalu, menunggu dengan sabar hingga Alaka keluar.
"Lah, kok tergantung sikap gue ke elo, mau gimana juga sikap gue ke elo bakal tetap kayak gini, nggak akan berubah." Nada suara Alaka meninggi, membuat Rafael langsung menatapnya tanpa berkedip serta alis bertaut, Alaka menelan saliva seraya alihkan pandang. "Ya, berdoa aja semoga gue bisa lebih baik ke elo." Suaranya melirih.
Mobil melaju pelan tinggalkan area vila, mau tidak mau, suka tidak suka besok keduanya harus melakoni peran sebaik mungkin, menjadi sepasang kekasih yang berperan seperti kisah dalam n****+.
Nyatanya, sepanjang perjalanan mereka masih sama-sama diam, tak menemukan topik pembicaraan yang pas. Alaka yang memang benci dan Rafael yang enggan menanggapi apa-apa, pas sekali jika mereka bertolak belakang.
Perlahan mobil menepi di sisi jalan, Rafael keluarkan ponselnya dari saku celana sebelum menoleh pada Alaka, menarik lengannya agar mendekat dan merangkul gadis itu seraya arahkan ponsel tak jauh di depan wajah.
Ckrek!
Rafael tersenyum, Alaka pasang ekspresi bingung.
"Itu maksudnya apa kayak tadi, kan gue bilang jangan macam-macam, kenapa lo ulang lagi, sih!" geram Alaka menatap kesal lawan mainnya, mereka bahkan belum mencoba satu pun take berdua, tapi Rafael sudah membuatnya kesal berkali-kali.
"Mau gue posting di Instagram."
"Jangan dong! Muka gue jelek banget pasti!" Alaka mendelik, kini berusaha merebut ponsel di tangan Rafael, tapi sayangnya ia tak berhasil.
"Lo kayak tadi aja udah marah-marah, gimana besok pas pengambilan gambar. Bakal banyak adegan pelukan, belum lagi kissing scene," cibir Rafael, ia sibuk mengurusi ponselnya. Sedangkan Alaka membeku dalam sekejap, ia ingat pernah membaca sekilas n****+ Green Tea Love Story yang akan mengambil lokasi syuting di Kebun Teh Rancabali. Alaka mendelik seraya menelan ludah, ia ingat lagi kalau ada beberapa adegan kissing scene dan mereka pasti akan melakukannya di depan banyak orang.
"Kissing scene?" Nyawa Alaka seolah menjauh dari raganya, ia mati rasa mengingat keduanya harus melakukan semua itu, tapi tiba-tiba tawa Alaka pecah, tawa yang membuat Rafael menatapnya dalam tanda tanya. "Ya nggak mungkinlah kita ciuman, yang benar aja. Astaga!" Ia sampai memukul dashboard berkali-kali saat tertawa, saking lucu menurutnya.
"Gue tahu sebanyak drama atau film yang lo perankan nggak pernah ada kissing scene, kan? Gue tahu semua film lo, kita juga bakal sering skinship nantinya. Lo harus terbiasa bareng gue, Alaka. Suka nggak suka, semua bakal terjadi."
Tawa Alaka lenyap seketika, ternyata tanda tangan hitam di atas putih membuat segala tingkahnya terbatas, tapi sekaligus membuatnya harus melakukan banyak yang tak ia suka—termasuk mengenal Rafael, tak mungkin juga gadis itu mundur—mengingat tahun ini kontraknya akan habis dengan PH Perfect Entertainment, rumah produksi yang berhasil membesarkan namanya.
"Lo bisa ciuman nggak?" Pertanyaan Rafael membuat Alaka menatapnya dalam diam, ia menggeleng.
"Gue tahu itu jawabannya, gue yakin Green Tea Love Story pasti debut film romance pertama elo, kan?" Jawaban Alaka sebuah anggukan. "Mending lo lihat tutorial video orang ciuman, biar ngerti. Lo nggak mau kan ulang take pas adegan ciuman sama gue." Rafael tersenyum miring setelahnya, ia kembali lajukan mobil, sedangkan Alaka makin mematung saat merasa langit benar-benar runtuh dalam hitungan detik.
***