8. Negosiasi hati.

1581 Kata
Abu-abu terlukis di angkasa sejak sore hari membuat proses syuting out door untuk hari ini lekas berakhir, untungnya pengambilan gambar di malam hari berlangsung di dalam rumah sewaan, tiada pengambilan gambar area out door. Hujan tak kunjung turun meski petir begitu pongah di atas sana, sengaja memperlihatkan kesaktiannya agar orang-orang lekas bersembunyi di balik atap rumah. Semangkuk mie rebus berisikan sawi serta telur ternyata cukup ampuh di sela break syuting, beberapa pemain serta kru dan sutradara masih melangsungkan proses syuting pengambilan gambar terakhir di rumah sewaan yang lokasinya tak jauh dari vila, sisanya berada di vila dan menikmati masa istirahat mereka sebelum aktivitas padat kembali menjemput esok hari. Ketika kebanyakan orang di dalam vila menikmati mie rebus mereka, Alaka sendiri duduk di tepi ranjang di dalam kamarnya seraya memegang skrip film, ia tampak berbeda sejak berinteraksi dengan Rafael siang tadi. Bahkan Alaka sampai mengulang adegan hingga lima kali karena tak fokus, ekspresi yang diperlihatkannya pun tak membuat Ardani puas. Untung saja Alaka mengulang adegan dengan Galan yang notabene sabar meski saat break syuting laki-laki itu terus bertanya perihal alasan murungnya Alaka. Namun, bungkam adalah pilihan, Alaka memilih menghindar. "Hei, cantik. Lo belum makan dari siang, kan? Ini gue buatin mie rebus biar nggak iri sama yang lain, kalau di Jakarta lo nggak mungkin makan mie rebus, kan," tutur Rani yang baru memasuki kamar seraya membawa nampan berisi dua mangkuk mie rebus untuknya dan Alaka, tapi sang aktris justru diam tanpa menoleh sedikit saja seolah tak tergoda dengan perkataan Rani, padahal jika berada di Jakarta Alaka kesulitan memakan mie rebus sebab sang ibu melarangnya. Padahal makanan sejuta umat tersebut memang cukup nikmat dimakan ketika suasana mendung atau hujan tiba. Kenapa sih tadi gue bisa cemas kayak gitu ke Rafael, kalau ingat omongan dia terakhir kali malah bikin gue ilfeel setengah mampus, batin Alaka tanpa menyadari jika sepasang tangannya turut serta meremas skrip saat tatapannya mengarah ke jendela dengan tirai ditepikan. Rani yang sejak tadi sudah meletakan nampan di permukaan meja di dekat pintu tampak memperhatikan gelagat Alaka, terutama saat gadis itu meremas skrip film seolah tak membutuhkannya lagi, padahal masih ada seminggu kedua sebelum syuting benar-benar berakhir, tak mungkin kan Alaka langsung hafal semua adegan dan dialognya tanpa membaca? "Alaka, lo kenapa, sih?" Rani mendekat dan merebut skrip film tersebut, ia mengernyit bingung menanggapi sikap Alaka. "Ada masalah? Sama siapa? Jangan dilampiaskan ke ini dong, kan masih berguna." "Mbak Rani? Lo sejak kapan di situ?" Alaka terkejut. "Tuh kan, pasti elo habis ngelamun sampai gue ke sini aja lo nggak tahu." Ia bersidekap. "Ada masalah apa emang? Mikirin apa?" "Masalah?" Alaka celingukan, ia menatap skrip di tangan Rani. "Sumber masalahnya ada di skrip itu, Mbak. Gue nggak tahu mau gimana lagi sekarang." "Skrip ini? Emang kertas bisa bikin masalah, ya." Rani ikut duduk di samping Alaka. "Emang ini tumpukan kertas bikin masalah apa sama lo?" Alaka meraih skrip itu, membuka lembar demi lembar berisi rangkai dialog serta adegan yang harus dilakoni para pemain hingga Alaka tiba di lembar paling baru yang khusus berisi scene Alaka serta Rafael esok hari. Ia meletakannya begitu saja di pangkuan Rani. "Baca aja, gue langsung pusing, jadi pengin tidur dan enggak bangun-bangun." "Hush! Nggak boleh ngomong kayak gitu," tegur Rani, ia pun mengangkat skrip tadi dan mulai membacanya dalam hati, Alaka sendiri memutuskan merebahkan tubuhnya sebelum menatap langit-langit kamar. Awalnya Rani diam saat membaca isi halaman skrip tersebut, tapi perlahan ekspresi Rani berubah menjadi sebuah tawa yang membuat Alaka beranjak memperlihatkan kebingungannya. "Lo kenapa, Mbak? Kok ketawa? Nggak ada adegan lucu kan di situ." "Ya, lucu aja. Gue tiba-tiba bayangin kalau elo gagal melakoni adegan itu." "Maksud elo yang kiss—" "Iya." Rani bahkan tertawa lebih lebar. "Kok lo doain kalau gue bakalan gagal sih, Mbak? Kok lo jahat banget sama gue." Alaka memberengut kesal, ia merasa percuma sudah berbagi keresahan dengan Rani. "Nih dengerin gue, ya, Al. Elo gagal atau enggak juga sama aja, kan? Lawan main lo Rafael, dan selama ini lo nggak pernah melakoni scene ciuman kayak gini. Lo mau kan ciuman sama Rafael?" "Ya enggaklah, buat semua laki-laki yang kemungkinan suatu hari bakal syuting sama gue-juga gue nggak mau ada adegan begituan, nggak cuma Rafael aja. Sama Galan juga nggak mau, Mbak." "Tapi, lo akan tetap melakukannya, kan? Ini totalitas, Sayangku." Ia mencubit pelan hidung Alaka, membuat gadis itu menepisnya pelan. "Gue sih paham kalau lo nggak pernah melakoni adegan semacam itu, tapi anggap aja sekali seumur hidup. Lo udah janji kalau bakalan kasih film terbaik untuk kontrak terakhir lo di Perfect Entertainment ini, kan?" Rani tak lagi menertawakannya, ia menyentuh sisi wajah Alaka sekadar menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Bagaimana pun Alaka adalah tanggung jawab Rani saat Maudy mempercayakannya sebagai manager, jadi ia juga memiliki tugas sampingan untuk menjaga Alaka, memberinya nasihat seperti yang sering dilakukan Maudy. Bagaimana pun Rani harus membuat keadaan Alaka nyaman di segala situasi dan kondisi termasuk menjadi tempat berbagi resah seperti yang Alaka rasakan sekarang. "Gue, gue akan melakukannya, tapi ...." Alaka menggantung dialognya, ia menarik napas panjang seraya menatap jendela yang kini memperlihatkan kucuran air hujan dari luar, jendela bagian luar tampak berembun terkena cipratan dari tanah basah di sisi vila. "Lo nggak bisa ciuman, kan?" terka Rani to the point, dan gadis di sebelahnya itu mengangguk perlahan tanpa ingin menutup-nutupi keraguannya. "Gue takut gagal dan terus mengulang adegan, Mbak. Gue enggak mau sampai kayak gitu. Gue nggak mau merusak ekspektasi Om Ardani nantinya. Kenapa bukan Arabella aja sih yang jadi pemeran utama." Lagi-lagi penyesalan itu datang. "Gue yakin lo pasti bisa kok. Alaka kan selalu totalitas kalau syuting film." Rani menariknya dalam dekapan. "Alaka kan selama ini enggak pernah pilih-pilih dan selalu yakin sama tindakannya, inget nggak waktu syuting sama Randy itu, lo nggak pernah nyangka bakal melakoni adegan kecebur di kolam renang dan ditolongin sama dia karena faktanya lo takut sama air kolam renang, kan? Tapi, Alaka bisa melawan rasa takut Alaka waktu itu dan berhasil." Rani mengingatkan Alaka tentang masa lalu, faktanya Alaka memang takut tenggelam sebab pernah merasakannya sewaktu ia kecil. "Jadi, jangan takut atau ragu buat kissing scene sama Rafael, nggak akan lama. Kalau lo ragu malah nanti bisa diulang-ulang, nggak nyaman juga dong." Alaka yang masih dipeluk Rani dan menyandarkan dagunya di bahu perempuan itu kini mengangguk, ia mulai menyingkirkan perlahan keresahannya usai mendengar tutur kata bijak dari Rani. "Iya, Mbak. Gue pasti berusaha yang terbaik nantinya, makasih ya." Rani melepas dekapannya dan tersenyum seraya menangkup wajah Alaka. "Lo itu terbaik Alaka, seorang artis harus bisa melakukan semua hal karena lo berjalan di panggung sandiwara meski semuanya bertolak belakang. Intinya, lo harus tetap menunjukan performa terbaik lo buat film ini, orang-orang yang mendukung karir lo dan semua penonton nantinya." "Iya, Mbak. Gue merasa lebih percaya diri sekarang." "Nah gitu, daripada dipusingin mending kita makan mie rebus, yuk! Gue udah buatin juga buat lo, mumpung nggak ada Tante Maudy." Kali ini Rani lebih mirip seperti iblis yang membisikan kejahatan pada Alaka agar memakan mie rebus mumpung Maudy tak tahu, lucunya Alaka langsung menyetujui perintah jin jahat itu ketimbang memusingkan lagi segala hal yang mungkin terjadi esok hari. *** Alaka terlihat santai setelah ia melakoni make over oleh make up artis langganannya. Alaka masih duduk di balik meja rias seraya memainkan ponselnya, beberapa kotak make up masih tergeletak di meja dan belum sempat ditutup kembali saat Irene—make up artis langganan Alaka izin pergi ke toilet. Di ruang wardrobe tak hanya berisi Alaka saja, beberapa artis lain termasuk Arabella juga berada di sana, di balik meja rias yang berbeda, semua orang tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Terdengar suara langkah kaki mendekat dari belakang Alaka, gadis itu sama sekali tak mengalihkan fokusnya dari ponsel hingga langkah kaki yang ia dengar berhenti tepat di belakangnya. "Mbak Irene udah kelar pipisnya? Coba sisir lagi rambut Alaka, ya. Kasih japit yang ada diamond itu," tutur Alaka tanpa menoleh pada lawan bicara, melihat pantulan orang tersebut di cermin pun enggan. Tak ada suara dari seseorang di belakang Alaka, tapi ia mulai merasa jika rambutnya kini tengah di sisir perlahan hingga sebuah japit rambut milik Alaka yang tergeletak di meja rias terpasang cantik di sisi kepala gadis itu. Beberapa orang tak percaya menanggapi kejadian unik di ruang wardrobe pagi ini, beberapa orang bahkan diam-diam mengambil video mereka tanpa izin. "Sekarang udah tambah cantik." Ibu jari Alaka yang sempat menari pada keypad mengetik chat untuk teman sekolahnya tiba-tiba berhenti usai mendengar suara itu, ia merasa familier, bukan suara Irene juga. Alaka menatap pantulan pada cermin di depannya sebelum ia mendelik tak percaya menanggapi kehadiran Rafael di belakangnya, laki-laki itu tak segan tersenyum menatap pantulan wajah Alaka di cermin, meski tampak syok jelas lebih menggemaskan. "Rafael? Kok lo ada di sini, sih?" Alaka lantas beranjak, kru serta artis lain yang sudah memperhatikan mereka sejak tadi semakin tertarik dengan pemandangan langka itu. Tiba-tiba saja Rafael masuk, menyisir rambut Alaka dan memasangkan japit rambutnya tanpa canggung di depan banyak orang. Ia bahkan tak pernah melakukan hal semacam itu pada Arabella. "Gue cuma mau tahu keadaan lo, mau kasih semangat lebih untuk syuting kita hari ini. Gue yakin lo semalam kepikiran terus, kan?" Perkataan Rafael bernada ejekan. "Lo nggak perlu repot-repot kasih gue semangat, gue yakin bisa melakoni adegan apa pun sama lo." "Serius? Bagus dong, jadi semuanya bisa berjalan lancar meskipun hal semacam itu mungkin akan lo benci seumur hidup karena menjalaninya bareng gue." Rafael tersenyum miring sebelum meninggalkan ruang wardrobe khusus aktris tersebut. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN