7. Sepi hanya milikmu.

1552 Kata
Proses syuting sudah menemui hari ke tujuh, semua lancar seperti yang diinginkan—termasuk tentang chemistry Rafael dan Alaka, untunglah semakin bertambahnya waktu chemistry yang mereka perlihatkan saat melakukan pengambilan gambar begitu natural, sutradara tak perlu sampai mengulang-ulang adegan. Lagipula, Alaka juga pasti lelah jika harus mengulang adegan—terlebih jika beradu akting bersama Rafael, ia malas berlama-lama di dekat aktor itu. Seminggu berlalu, banyak sanak keluarga yang datang berkunjung menemui putra-putri mereka, kemarin orangtua Arabella datang, lantas dua hari sebelumnya ibunda Galan juga datang. Maudy bahkan tiga kali selama seminggu ini bolak-balik Jakarta-Bandung untuk mengecek keadaan Alaka, sayangnya sesuatu berbeda diperlihatkan seseorang. Entah mengapa, Alaka yang tak sengaja memperhatikan atau keadaan di lapangan memang benar adanya—jika sanak keluarga Rafael tak pernah berkunjung selama syuting seminggu telah berlalu. Rafael lebih diperhatikan oleh managernya, tapi hal itu memang kewajiban seorang manager. Lantas, di mana keluarga Rafael? Jika syuting di luar negeri mungkin tak aneh jika pihak keluarga tak bisa datang menjenguk, tapi Bandung tak berada di luar Indonesia, bahkan jaraknya hanya beberapa jam dari Jakarta. Sesulit itukah? Semua masih terbungkus menjadi sebuah pertanyaan. Proses syuting siang ini mengambil setting di pelataran sebuah rumah sederhana, terlihat sosok Rainy yang diperankan Alaka serta sosok Agam yang diperankan Galan berbicara di beranda rumah, Rainy memperlihatkan ekspresi melankolisnya seraya menatap ke arah langit, sedangkan Agam berdiri di belakangnya sebelum mendekap Rainy dari belakang. "Rain, masih ada aku kalau Kevan enggak balik lagi. Anak kota kayak Kevan itu b******n, Rain. Kamu percaya sama aku, dia pasti sengaja datang buat menyakiti kamu," tutur Agam seraya menyandarkan dagunya di bahu kiri Rainy, sayangnya gadis pemetik teh itu meloloskan sepasang tangan Agam yang menggamitnya sebelum memutar tubuh menatap Agam penuh rasa kecewa. "Kamu nggak bisa menilai seseorang hanya dari latar belakang atau masa lalunya, Agam. Kevan itu orang baik, aku yakin dia punya alasan kenapa pergi tanpa bicara lebih dulu." "Tapi, Rain. Aku pernah dengar kalau Kevan memang mau memanfaatkan kamu aja, kamu nggak percaya sama teman kecilmu ini?" "Agam, berhenti!" Rainy membentak, rasa kecewanya semakin meradang. "Aku nggak nyangka kalau kamu berubah jadi tukang fitnah seperti sekarang, aku kecewa, Gam." "Rain, tapi, Rain—" Agam berdecak tatkala Rainy meninggalkannya memasuki rumah dan menutup pintu rapat-rapat, ia mengacak rambut frustrasi sebelum berkacak pinggang menatap pintu rumah Rainy. "Aku akan buktikan kalau Kevan cowok yang nggak baik, Rain." "OKE, CUT!!!" Suara Ardani Gatra mengakhiri scene itu. "Sebentar lagi kita ganti setting di jalan ya, siapin semuanya, Jeff!" Ardani memberi isyarat pada kru di sekitarnya untuk melangsungkan pindah setting dengan segera. Alaka masih berada di dalam rumah sewaan itu. Tangannya sudah bergerak menyentuh daun pintu dan besiap keluar dari sana, tapi suara batuk seseorang membuatnya mengurungkan niat. Tangannya tak lagi menyentuh daun pintu saat fokus Alaka beralih untuk suara asing tadi, ia memutar arah seraya memperhatikan sekitar. Rumah sewaan untuk syuting itu memang cukup sederhana, hanya ada dua kamar, ruang tamu, dapur yang tak terlalu luas serta kamar mandi di ruang paling belakang lengkap dengan isinya. Alaka yang notabene berperan sebagai Rainy seringkali hilir mudik di rumah tersebut, tapi baru kali ini ia mendengar suara batuk dari arah belakang rumah. Apa ada orang selain Alaka di sana? "Siapa, ya," gumam Alaka saat sepasang kakinya membawa tubuh gadis itu menjelajah lagi lebih jauh, Alaka sampai mengecek satu per satu ruangan takut-takut seseorang tak dikenal sengaja bersembunyi di sana dan mendatangkan bahaya, tapi Alaka tak menemukan apa pun hingga tiba di depan pintu belakang berdekatan dengan area kamar mandi. Gadis itu berdiri di depan pintu, lagi-lagi terdengar batuk seseorang yang semakin jelas di telinga. Kini tangannya terangkat menyentuh daun pintu sebelum ditekan turun hingga benda persegi panjang dengan posisi horizontal itu terbuka. Semilir angin lantas menyapa, keadaan di balik pintu belakang hanyalah halaman dengan sebuah pohon jambu air yang cukup rindang, kursi bambu atau bilik terdapat di bawah rimbunnya pohon. Jadi, siapa pun yang duduk di sana bisa berlama-lama menikmati euforia angin yang menyapa. "Uhuk!" Suaranya tak lagi samar, Alaka mengernyit tatkala ia mengarahkan pandangannya ke sisi kiri dan menemukan seseorang terduduk di tanah seraya menyandarkan punggungnya pada tembok di sana. "Rafa-Rafael?" Ya, Alaka mengenalinya. "Lo ngapain di situ?" Rafael menengadah memperlihatkan wajah pucatnya disertai sebuah senyum yang terlihat mengerikan di mata Alaka, gadis itu menelan ludah tatkala menanggapi ekspresi Rafael sekarang. Rambutnya berantakan, wajah pucat dengan kondisi seperti menggigil. "Rafael, lo sakit?" Gadis itu merasa iba, ia mendekati Rafael dan berlutut di depannya. "Kenapa lo nggak bilang kalau lagi sakit, kenapa dipaksa syuting. Gue bilang ke Om Ardani, ya." Alaka beranjak, tapi Rafael lebih cepat meraih tangannya. "Jangan, nggak usah." Suara Rafael terdengar berat. "Gue nggak apa-apa." Sentuhan Rafael terasa begitu dingin, Alaka refleks menarik tangannya sebelum ia kembali berlutut di depan laki-laki itu. "Terus, kalau enggak sakit—apalagi? Muka lo pucet, badan lo dingin banget kayak mayat." Rafael tersenyum tipis. "Gue nggak kenapa-kenapa, gue tadi mau ke kamar mandi di dalam, tapi baru inget kalau ada pengambilan gambar, sekarang gue mau masuk ya, Alaka." "Oh, silakan." Alaka beranjak saat Rafael juga beranjak, laki-laki itu melenggang membuka pintu belakang sebelum Alaka meninggalkannya tanpa ingin memperbanyak tanda tanya di kepala. *** Alaka serta beberapa pemain lain tengah break syuting di sebuah halaman kosong nan asri di tepi jalan tempat pengambilan gambar berikutnya dilangsungkan, dua kursi di bawah meja berpayung tengah diduduki Alaka serta Galan, mereka sempat bertukar pikiran tentang performa masing-masing sebelum saling berkomentar perihal beberapa pemain lain di sana. Ada Rafael yang kini melakoni take di dalam mobil, beberapa menit yang lalu laki-laki itu seperti orang sakit, tapi sekarang justru sehat sekali—meski ekspresi yang diperlihatkan Rafael selalu sama; tak acuh. Alaka baru saja menghabiskan air mineralnya sebelum meletakan botol kosong di permukaan meja, sedangkan Galan sibuk dengan urusan game online meski sesekali ekor matanya melirik ke arah jalan tempat proses syuting berikutnya berlangsung. "Kak Galan, aku mau tanya, tapi jangan ngeledek, ya," tutur Alaka mewanti-wanti. "Tanya aja, kok udah mikir bakalan diledek sih," sahut Galan tanpa menatap lawan bicaranya. "Ya habisnya yang bakal aku tanyain pasti nanti jadi bahan olok-olok Kak Galan ke aku, Kakak kan lebih sering jahat ketimbang baik." Gadis itu mulai suka mencibir, mungkin rasa kesalnya terhadap perbuatan Galan tempo hari masih sedikit bercokol di d**a. "Ya enggaklah, Al. Tanya aja, gue janji enggak mengolok-olok elo." "Aku mau tanya soal Rafael, Kak." Galan mengernyit seraya mengalihkan fokusnya dari layar ponsel, ia bahkan meletakan langsung alat komunikasinya di permukaan meja. "Rafael? Kenapa dia?" "Ya ... nggak kenapa-kenapa, aku heran aja kenapa, eum—" Tatapan Alaka mengarah pada Rafael yang baru saja turun dari mobil dan menghampiri managernya di sisi jalan, mereka berbicara. "Keluarga Rafael nggak ada yang ke sini, ya." Galan mengikuti arah pandang Alaka yang masih berpusat pada Rafael. "Sebelum film ini gue pernah syuting bareng dia, lokasinya juga masih area Jakarta. Lo benar, waktu itu juga keluarga dia nggak ada yang datang. Kalau mau tahu lebih banyak tanya Arabella aja, kan dia yang paling sering syuting bareng Rafael." Alaka bergeming, kali ini tatapannya untuk Rafael terbalas saat laki-laki itu tak sengaja melihat ke arahanya. "Gue cabut dulu, ya, Al. Mau take," tutur Galan sebelum ia beranjak meninggalkan Alaka tanpa diketahui gadis itu, sebab pendengaran Alaka seakan tertutup rapat serta bola mata yang tak bisa beralih saat Rafael menghampirinya. Harusnya Alaka beranjak pergi tatkala langkah Rafael semakin mendekat, tubuh Alaka seolah dipaksa tetap diam di kursi hingga Rafael berdiri di depannya. "Rafael." Alaka terkejut setelah menyadari Rafael berdiri di depannya, gadis itu lantas beranjak dan bertingkah gugup. "Lo, lo udah sembuh?" "Udah, gue bilang kalau gue nggak kenapa-kenapa." "Oh." Alaka manggut-manggut. Rafael tersenyum kecil memperhatikan gerak-gerik gadis itu, kentara sekali salah tingkahnya. Ia merogoh sesuatu dari saku celana sebelum mengulurkannya pada Alaka. "Ini, permen cokelat buat lo, cuma satu sih. Tapi, ini tanda terima kasih gue buat lo yang udah peduli sama gue tadi." "Hah?" Alaka kebingungan. "Itu bukan apa-apa kok, tapi pasti setiap orang yang lihat kondisi lo kayak tadi juga bakal cemas kayak gue. Benar, kan?" "Tapi, terkadang nggak semua perhatian buat gue itu spesial, gue berhak memilih perhatian mana yang spesial, terutama kalau orang itu selalunya pengin ninju gue kalau udah ketemu. Benar, nggak?" Rafael terkekeh usai menyindir gadis itu, ia meraih telempap kanan Alaka yang kosong sebelum meletakan satu permen cokelatnya di sana. "Cuma satu, tapi lain kali gue bakal beliin lo satu dus." "Nggak usah." Alaka menarik tangannya. "Oh, ya. Lo masih inget pesan gue nggak?" "Pesan apa?" Rafael tersenyum miring. "Kayaknya emang nggak ingat sama sekali ya, tapi lo udah baca skrip halaman berikutnya belum? Buat besok." "Belum, gue hafalinnya nanti malam. Kenapa emang?" "Pantas, semoga lo nggak terkejut ya setelah baca. Gue mau take lagi, bye." Rafael melenggang pergi, tapi belum sampai lima langkah ia kembali memutar tubuh menatap Alaka yang kembali duduk di kursinya. "Lo udah lihat tutorial videonya?" "Video apa?" Alaka mengernyit bingung. "Oke gue perjelas, kalau lo ingat beberapa hari ke belakang tentang gue yang pernah minta lo buka tutorial video." Rafael menunjuk bibirnya. "Tentang ini, kita bakal ada kissing scene, Alaka. Semoga lo paham maksud gue." Ia tersenyum miring seolah mengejek Alaka yang kini mendelik tak percaya, Rafael kembali melanjutkan langkah tanpa peduli apa yang dipikirkan lawan mainnya itu sekarang. "Bibir ke bibir?" Alaka ingin lesap dari dunia secepatnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN