Bab 9

1918 Kata
Happy reading *** Akhirnya Naomi tiba di rumahnya tepat pukul 17.00, ia membuka pintu pagar menatap mobil Tigran terparkir di halaman rumahnya. Ia pastikan pria itu ada di dalam. Naomi masuk ke dalam, ia mendengar suara gelak tawa Tigran dan Kayla dari arah ruang keluarga. Naomi meneruskan langkahnya. Langkahnya terhenti menatap Kayla berada dipelukan Tigran. Mereka tertawa bersama, di tangan Kayla ada boneka frozen yang dibeli mereka tadi di mall. Tigran dan Kayla menatapnya. “Mami, mami. Mami udah pulang?” Tanya Kayla sambil tertawa. Naomi dan Tigran saling berpandangan satu sama lain, pria itu tersenyum kepadanya. Tigran melangkah mendekati Naomi, wanita itu masih mengenakan pakaian kerjanya. Rambut panjangnya terikat kebelakang, sehingga terlihat jelas garis wajahnya. “Kamu sudah pulang?” Tanya Tigran. “Iya, sudah.” Naomi menatap Kayla yang berdiri di hadapannya, ia mengelus rambut putrinya, dan lalu mengecup kening itu. “Bagaimana les piano nya tadi?” Tanya Naomi. “Biasa aja Mi. Tapi papi ngajarin Kayla main piano. Papi lebih keren dari pada guru les Kayla.” Tigran menyungging senyum, “Tentu saja, lebih pinter guru les Kayla dari pada papi.” “Tapi papi hebat, bisa main piano bareng Kayla.” “Tadi, saya sudah ngobrol-ngobrol sama guru music nya Kayla. Kayla pada dasarnya berbakat di bidang music, dia sangat cerdas untuk seumurannya. Untuk tahun depan, Kayla sebaiknya di masukin ke sekolah music informal, karena di sana dia bisa berinteraksi bersama teman-temannya.” “Rencananya memang seperti itu, ketika Kayla masuk primary school tahun ini.” “Kamu ke sini pulangnya pakai, apa?” Tanya Tigran mengingat mobil Naomi masih ada di rumahnya. “Saya pakai gojek, untuk menghindari macet.” “Oh, God. Kamu berani menggunakan gojek?” “Kamu harus tau, di daerah Kemang itu sangat macet, bahkan saya pernah macet satu jam lamanya. Untuk menghindari macet biasa saya pulang agak sedikit lebih malam, jam enam atau jam tujuh malam.” “Tapi, tetap saja berbahaya. Saya bisa kasih supir.” “No, jangan. Saya sudah terbiasa nyetir sendiri.” Naomi memandang Kayla yang berbaring di sofa, sambil bermain dengan bonekanya. Ia tahu bahwa Kayla itu sedang dalam keadaan ngantuk karena belum tidur siang. Setiap ia pulang kerja biasanya Kayla sudah dalam keadaan tidur. Karena ada Tigran lah dia seperti itu. Tigran memilih duduk di samping Kayla, ia mengelus rambut itu gadis kecil itu. “Papi, Kayla ngantuk.” Alis Tigran terangkat, ia tersenyum dan menepuk pahanya, “Tidur sini sama papi,” ucap Tigran. Kayla meninggikan kepalanya di paha Tigran. Naomi mendekati Kayla, ia memandang putrinya, “Tidur di kamar aja, yuk.” “Mau tidur sama papi,” rengek Kayla. Naomi melirik Tigran, dan Tigran menatapnya. Mereka saling menatap satu sama lain, seolah membagi tugas antara suami dan istri dalam kepengurusan anak. Naomi menghela nafas, “Papi akan temenin Kayla tidur di kamar,” ucap Naomi pada akhirnya. Bibir Tigran Terangkat, ia beranjak dari duduknya, dan lalu menggendong Kayla, “Anak manis, sekarang sudah waktunya tidur,” ucap Tigran. Tigran mengikuti langkah Naomi menuju kamar Kayla. Naomi membuka hendel pintu, ia mempersilahkan Tigran masuk ke dalam. Tigran mengedarkan pandangannya kesegala penjuru area kamar. Kamar Kayla berwarna putih, namun dengan sentuhan warna pink. Area kamar di lapisi oleh karpet tebal berwarna babypink, di kamar berukurang queen size itu terdapat berbagai macam boneka kesayangan Kayla. Tigran membaringkan tubuh Kayla di tempat tidur, ia melihat Naomi tidak jauh darinya. Ia memandang Naomi berbaring di samping Kayla, dia mengambil buku dongeng di sana. “Papi, sini,” rengek Kayla menyuruh Tigran berada di sampingnya. Tigran menyungging senyum, ia duduk di samping Kayla dengan bersandar di sisi tempat tidur. Ia memandang Kayla memeluk dinding. “Mau mami bacain cerita?” “Enggak mau, mamunya papi yang cerita.” Tigran mengambil buku dongeng dari tangan Naomi, sejujurnya ia belum berpengalaman dalam menceritakan dongeng. Ia tidak terlalu suka menceritakan dongeng-dongeng putri atau cinderela. Seperti yang ada di dalam buku ini. Ia lebih suka menceritakan tentang mengapa daun berwarna hijau, mengapa langit berwarna biru, dari mana datangnya hujan, atau bercerita tentang siapa orang yang jadi nama sebuah jalan atau siapa gambar orang yang ada di dalam uang kertas. Ia tidak tahu tentang imajinasi terlalu dalam seperti kisah dongeng, mungkin dirinnya terlalu kaku. Ia tahu bahwa manfaat membacakan cerita memiliki dampak positif dalam tumbuh kembang anak. Tentu saja anak akan menjadi lebih kreatif dan imajinasinya terasah. Anak jadi lebih senang membaca, dan kemampuan bicara dan bahasa anak jadi terasah. Beberapa menit berlalu, akhirnya Kayla sudah tertidur. Tigran menatap Naomi yang sedang mengatur AC, dan dia menutup gorden. Lampu tidur dibiarkan menyala. Mereka menatap langit sudah mulai gelap. “Apa Kayla sering tidur jam segini?” Tanya Tigran penasaran. “Jarang sih, biasa Kayla tidur jam pulang dia sekolah. Pulang sekolah jam 10.45, sampai rumah jam 12.00 itu juga sudah makan siang. Bangun nggak bangun jam tiga, lalu les piano. Biasa tidur jam delapan atau jam sembilan malam.” “Kalau nggak tidur siang seperti ini, bangunnya besok pagi.” Tigran mengikuti langkah Naomi keluar dari kamar. Ia memandang bibi di sana, wanita sudah berganti pakaian yang tadinya pakek warna pink, kini sudah mengenakan pakaian tidur. “Malam bu, malam pak,” ucap bibi, memandang orang tua lengkap Kayla. Ia senang akhirnya keluarga ini bersatu lagi. “Malam juga bi,” ucap Naomi. “Bibi siapin makan malam ya bu, soalnya jarang-jarang bapak datang ke sini.” Naomi melirik Tigran, pria itu hanya diam. Ia tahu bahwa bibi pasti salah paham siapa Tigran. Memanggilanya bapak seolah pria itu adalah suami sahnya, Naomi mengangguk, “Iya.” Naomi menatap Tigran kini bersamanya, mereka akhirnya memilih duduk di ruang keluarga. Naomi mengambil remote TV dan lalu menghidupkannya. Seketika TV menyala, Naomi mencari siaran acara secara random. Mareka sama-sama diam, aroma masakan bibi tercium di mana-mana. “Enggak kerasa ya, udah malem aja,” ucap Tigran memandang ke arah jendela. “Iya, enggak terasa, waktu cepet banget berputar,” ucap Naomi. Tigran menatap Naomi dan Naomi menatapnya balik, “Kamu sudah lama tinggal di sini?” Tanya Tigran. “Lumayan, sekitar empat tahunan.” “Sebenernya ini tanah punya papa, hanya saja papa nyerahin ke saya dan saya bangun rumah di sini. Karena waktu itu papa nyaranin kalau bangun rumah di sini saja. Kalau adik saya Amber dan Lili sudah punya rumah masing-masing.” “Orang tua kamu sering ke sini?” “Sering banget, biasa setiap sore mama dan papa ke sini, lihat Kayla. Kadang saya yang ngajak Kayla ke rumah mama.” “Pasti Kayla di sayang banget sama keluarga kamu.” “Pastinya.” Tigran kembali menatap mata bening Naomi. Mereka saling memandang, layar pada TV terabaikan begitu saja. “Tadi kamu ingin bertanya tentang saya. Tanya saja,” ucap Naomi. Tigran menghela nafas, “Kalau saya bertanya, nanti batin kamu terluka lagi. Nanti saja, pembicaraan ini terlalu deep, tunggu suasana tenang.” “Saya senang, kamu mengijinkan saya masuk ke lingkungan kamu,” ucap Tigran. “Sebenernya saya nggak ngijinkan, hanya karena Kayla saja kamu bisa berada di sini,” ucap Naomi diplomatis. Tigran tertawa, “Apa kamu membatasi diri dengan pria?” “Sepertinya begitu.” “Come on, buka hati kamu. Kamu sudah terlalu lama sendiri, masih banyak pria-pria yang bertanggung jawab dan dapat di percaya.” “I know, tapi enggak semudah itulah.” Naomi melirik bibi sudah menyajikan masakan di atas meja makan, “Makanan sudah siap, ayo makan,” ucap Naomi, ia beranjak dari kursinya. Tigran mengikuti langkah Naomi menuju meja makan, ia melihat ayam goreng mentega, sayur brokoli yang segar yang ditumis dengan wortel, sambal, dan ada udang katsu. Naomi dan Tigran di kursi, ia memandang wanita itu menuangkan air mineral ke gelasnya. Tigran menyendok nasi ke dalam piring, semua makanan di sini sangat fresh, karena baru di masak oleh bibi. “Kamu sering makan di rumah?” Tanya Tigran menatap Naomi. “Sejujurnya jarang sih. Kalau sampe rumah biasa udah malam, saya biasa makan di kantor. Kebetulan Kayla dan bibi sudah makan duluan. Sampe rumah saya langsung pengen tidur aja, habisnya capek.” “Jadwal kegiatan kamu banyak banget, enggak stay di rumah aja, full sama Kayla.” “Pengennya gitu. Tapi kan saya single parent.” “Sebenernya kerjaan saya nggak padat-padat amat. Hanya kadang banyak artis atau beberapa pengusaha luar sudah reschedule gitu sama saya, buat minta temenin ke butik. Kebanyakan mereka minta pendapat saya, handbag atau tas apa yang bagus. Hal-hal seperti itu harus saya jelasin kepada mereka. Yah, seperti itulah.” “Berarti kamu sering ke luar negri,” Tigran memasukan nasi dan ayam goreng mentega ke dalam mulutnya. “Lumayan, hanya keperluan bisnis. Saya kalau keluar negri nggak pernah lama dan Kayla kadang saya bawa dan kadang saya tinggal sama bibi,” Naomi memakan hasil masakan bibi, seperti biasa terasa lezat. “Enak nggak?” Tanya Naomi. “Lumayan. Asisten kamu pinter masak.” Naomi menyungging senyum, “Iya.” Tigran mengedarkan pandangannya, suasana rumah terasa hening, hanya mereka berdua di sini. Tigran mengambil gelas berisi air mineral itu dan menyesapnya secara perlahan. “Boleh saya tanya sesuatu?” “Tanya apa?” Tanya Naomi, ia memakan nasinya. “Selama kamu tinggal di sini, apa ada pria lain yang pernah duduk di sini bersama kamu? Dinner, nemenin Kayla bermain.” “Kamu mau tau?” “Iya.” “Kamu laki-laki pertama yang berani masuk dan dinner di rumah saya.” Bibir Tigran terangkat, “Berarti itu tandanya kamu sudah sedikit membuka pintu hati kamu kepada saya.” Naomi lalu menatap Tigran, dan Tigran menatapnya balik, “Itu perasaan kamu saja. Saya selama ini sudah mengunci hati saya dengan pria manapun.” “Owh ya,” Tigran tertawa, lalu mengedipkan mata menggoda Naomi. “Yupz.” “Kalau saya bisa menaklukan hati kamu bagaimana?” “Bagaimana bisa, selama saya dan kamu tidak ada rasa,” timpal Naomi. “Mungkin sekarang kamu dan saya belum merasakannya. Cepat atau lambat pasti akan ada.” “Maaf, saya tidak akan tergoda. Saya juga tidak berniat untuk menikah lagi.” Tigran lalu tertawa, “Kita buktikan nanti.” Tigran dan Naomi menyudahi makannya. Kini Tigran bersiap untuk pulang, ia keluar memandang Naomi mengantarnya hingga ke teras. Ia melihat wajah cantik itu, sebenarnya ia masih enggan untuk pulang, ia masih ingin ngobrol banyak dengan Naomi hingga larut. “Makasih ya, makan malamnya.” “Iya, sama-sama.” “Lain kali gantian. Kamu dan Kayla, dinner di rumah saya.” Tigran menatap mobilnya, ia mengeluarkan kunci central lock dan membukanya. Ia memandang Naomi sekali lagi, wanita itu masih berdiri di sampingnya. Ia melihat suasana rumah hening. Tatapan Tigran beralih ke bibir penuh Naomi, tidak sah rasanya jika habis dinner, tidak adanya sebuah kecupan yang panjang. “Naomi.” “Ya.” “Boleh saya cium kamu?” “No …” Belum selesai Naomi berbicara, bibir Tigran sudah mendarat di bibirnya. Naomi merasakan kecupan lembut dari bibir Tigran, bibirnya sangat pas pada bibirnya. Bibir Tigran menghisap bibir bawahnya. Jantungnya maraton, bingung akan melakukan apa. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia tidak merasakan kecupan seperti ini, dan kini ia merasakan lagi. Naomi hampir gila ketika ia membiarkan Tigran memangut bibirnya. Bibir Tigran memasih menghisapnya cukup dalam. Kecupan itu hanya berlangsung beberapa detik, lalu bibir itu menjauh. Rasanya tidak rela Tigran mengecupnya sesingkat ini. “Kamu …” Tigran tersenyum, “Good night, Naomi. Besok kita bertemu lagi,” ucap Tigran lalu melangkah menjauh. Naomi menatap Tigran masuk ke dalam mobilnya, sebelum ia melayangkan protes. Oh God, pria itu sangat lancang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN