Bab 4

1843 Kata
Happy Reading *** “Malam sayang,” ucap Reni memeluk Enzo kekasihnya. Enzo memeluk tubuh Reni, ia kecup kening wanitanya, “Tadi pulang di klinik kamu langsung ke sini?” Tanya Enzo kepada Reni, ia melonggarkan pelukannya. Reni mengangguk, “Iya.” “Hai, Naomi,” ucap Enzo, menatap Naomi yang berada di samping Reni. “Hai juga dokter Enzo,” Naomi tersenyum kepada pria itu. Enzo menarik nafas, niatnya di sini ingin mengenalkan Kafka kepada Naomi, “Kaf, Naomi ini sahabat Reni, mereka udah sahabatan sejak SMA.” “Naomi, ini dokter Kafka sahabat saya, dia dokter spesialis bedah jantung.” Kafka dan Naomi saling berpandangan satu sama lain, ketika Enzo memperkenalkan mereka. Kafka menatap Naomi, ia memperhatikan garis wajah wanita itu, dia memiliki struktur rahang berbentu v, hidungnya kecil mancung, bulu matanya lentik dan alisnya terukir sempurna. Ia akui bahwa waniita di hadapannya ini sangat cantik, bahkan lebih cantik dari pada yang ia lihat di layar ponselnya. Ia lalu mengulurkan tangannya kepada wanita itu. Kafka mengelurkan tangannya kepada Naomi, “Saya Kafka,” ucap Kafka. Naomi memandang sekali lagi iris mata elang itu, ia sebagai wanita beradap dan memiliki tata kerama dan sopan santun. Tentu saja tidak mengabaikan pria yang ingin berkenalan dengannya. Naomi membalas uluran tangan pria itu. “Saya Naomi,” ucap Naomi, ia merasakan kehangatan di permukaannya. Sedetik kemudian ia ingin melepaskan tangannya, namun Kafka menahannya. Naomi menatap mata elang itu lagi, pria itu menyungging senyum dan lalu melepaskan tangannya. Enzo mempersilahkannya duduk, ia memilih duduk di samping Reni. Naomi memandang Enzo menuangkan wine ke dalam gelas bertangkai tinggi itu. Lalu server datang membawa empat menu special berupa sofia cured salmon, vegetable millefeuille, dan sticky dates pudding. Naomi menatap Reni menyesap wine, ia juga ikut meraih cangkir bertangkai tinggi itu, menyesapnya secara perlahan. “Kalian dari tadi di sini?” Tanya Reni membuka topik pembicaraan agar suasana mencair. “Baru datang juga kok, sekitar 20 menit yang lalu,” ucap Enzo, ia melirik Naomi yang hanya diam menatapnya. Enzo memandang Naomi, dia adalah sahabat tunangannya yang berstatus single parent. Menurutnya Naomi itu wanita yang sangat berkelas dan elegan, yang pantas bersanding dengannya sekelas dokter Kafka. Dia memiliki pendirian yang kuat, memahami situasi dan sangat percaya dirinya dengan valuenya sendiri. Lama terdiam beberapa detik. “Pernikahan kalian bagaimana?” Tanya Kafka, sambil memperhatikan Naomi yang bergerak secara natural. “Well, baik. Semua WO yang ngurus, fitting baju sudah selesai, 97 persen sudah selesai,” ucap Enzo. Reni melirik Noami, “Lo kapan nyusul,” Reni terkekeh. Naomi tertawa, ia tahu bahwa arah pembicaraan pasti ke sini, sejujurnya ia sudah bosan ditanya kapan menikah, “Doain aja ketemu jodohnya.” “Emang udah ada jodohnya?” Tanya Enzo. Naomi tersenyum, “Belum ada.” “Sama dokter Kafka aja ya Mi, dia juga nyari jodoh, kalau sama kamu mungkin cocok.” Naomi melirik Kafka yang memandangnya, ia akui bahwa pria itu tampan dan terlihat berkelas. Sekilas ia melihat jam tangan yang dikenakan Kafka. Jam tangan merek Rolex. Ia tahu untuk melihat status pria itu sukses atau tidak, bisa dilihat dari jam tangan dan sepatu yang digunakannya, dari situ ia bisa melihat kaya atau tidak si pria. Ia sudah lama bergelut di dunia fashion, pria dengan jam tangan bagus bisa disimpulkan dia sudah berada di level atas. Saat itulah seseorang sudah mencapai titik di mana, diia ingin memberi hadiah pada diri sendiri. Jam tangan dikenakan Kafka itu memiliki image sukses dan kesejahteraan. Jam tangan itu sudah berada di pergelangan tangan, maka segala sesuatu akan berhubungan dengan status social. Ia tahu bagaimana membedakan barang palsu dan asli. Ia yakin jam tangan yang melingkar di tangan Kafka itu Rolex original. Naomi tersadar, kenapa b ia menelisik apa yang dikenakan Kafka, padahal ia sama sekali tidak ingin mengenal pria manapun lebih jauh. “Iya, kan Ren?” Ucap Enzo lagi. “Iya, bener banget tuh. Siapa tau cocok,” Reni memasukan makanan ke dalam mulutnya, ia menatap Naomi yang hanya diam. “Kamu mau nggak?” Tanya Reni lagi. Naomi tersenyum, ia tidak enak jika menolak di hadapan pria itu langsung, “Belum kenal Ren, jadi nggak tau cocok apa nggak,” ucap Naomi, ia sekilas melirik Kafka yang sepertinya menunggu jawabannya. Kafka menarik nafas, ia memasukan makanan ke dalam mulutnya, “Pelan-pelan aja kenalannya,” ucap Kafka, ia memang tidak berbohong bahwa ia memiliki ketertarikannya pada wanita itu. Naomi kembali meraih gelas bertankai tinggi itu, ia melirik Kafka, pria itu menatapnya. Pria itu tersenyum kepadanya. Mereka berempat makan dengan tenang, dan obrolan seputar persiapan pernikahan Reni dan Enzo. Semua orang tahu bahwa profesi dokter merupakan incaran para wanita di luar sana. Setiap wanita ada kebanggaan tersendiri, kesan kharismatik, serta kehormatan di mata masyarakat, serta banyak mimpi orang tua untuk menyekolahkan anaknya di fakultas kedokteran. Bahkan orang tuanya sangat menyukai adik ipar nya yang berprofesi sebagai dokter spesialis. Serta profesi dokter memiliki pendapatan yang besar, hidup elegan. Entahlah rasa ketertarikan itu belum nyampai ke hatinya. Akhirnya makan malampun selesai, Enzo membayar bill. Lalu mereka berempat keluar dari restoran. Menurutnya tidak ada yang special pada pertemuannya dengan Kafka. Pada dasarnya ia memang tidak ingin terlalu dekat dengan pria manapun, bahkan ia mengunci pintu hatinya, sejak lama. “Naomi.” Naomi menoleh ke samping, ia menatap Kafka, “Iya.” “Boleh saya antar kamu pulang?” Tanya Kafka. Naomi melirik Reni yang berada di sampingnya, ia tahu bahwa pada akhirnya kejadian akan seperti ini, karena pada dasarnya Enzo dan Reni, menjodohkan dirinya kepada Kafka. Naomi menarik nafas, ia mengangguk. “Iya, boleh,” ucap Naomi. Kafka mendengar itu lega luar biasa, ia tidak menyangka bahwa Naomi menerima ajakannya. Ia tersenyum penuh arti, ia lalu melangkahkkan kakinya plataran mobil. Ia melihat Kafka mengeluarkan central lock dari saku celananya, dan membuka kunci itu. Ia melihat sebuah mobil lampu depannya menyala, mobil SUV Mercedes-Benz berwarna putih itulah ternyata miliki Kafka. Ia tahu betul bahwa mobil itu di hargai dengan fantastis. Reni yang mendengar itu menyungging senyum, “Lo balik sama Kafka?” “Iya.” Ia melihat Kafka masuk ke dalam mobil lalu power window itu terbuka. Kafka menatap Reni dan Naomi di sana. “Lo hati-hati ya Mi, pulangnya,” ucap Reni. Naomi mengangguk, “Iya, lo juga.” “Dah, Ren, Enzo, kita pulang dulu ya,” ucap Naomi. Naomi membuka hendel pintu, ia mendaratkan pantatnya di kursi, tidak lupa memasang sabuk pengaman. Semenit kemudian mobil Kafka meninggalkan area restoran. Naomi menatap Kafka sedang memanuver mobil, dia memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya. “Rumah kamu di mana?” Tanya Kafka, membuka topik pembicaraan. “Di Pondok Indah.” “Tinggal sendiri?” Naomi mengangguk, “Iya. Kalau kamu?” Tanya Naomi. “Tinggal sendiri juga, saya tinggal di Kelapa Gading.” “I see, lumayan jauh juga ya kalau dari sini,” ucap Naomi. “Lumayan kalau macet-macetan, tapi jam segini udah nggak macet lagi,” ucap Kafka. Kafka memegang kemudi setir, ia menatap Naomi, “Katanya kamu punya anak?” “Pasti Enzo yang cerita.” Kafka tertawa, “Iya, Reni dan Enzo yang cerita sama saya. Namanya siapa?” Tanya Kafka penasaran. “Namanya Kayla, Tahun ini Kayla akan saya masukan primary school.” “Sekarang berarti masih TK?” “Iya, benar.” “TK mana?” “TK Cikal.” “Pasti Kayla cantik seperti kamu,” ucap Kafka. Naomi tersenyum, “Banyak yang bilang begitu.” Kafka melirik Naomi, wanita itu hanya diam dan tersenyum kepadanya, “Katanya kamu punya butik tas?” “Kok kamu tau?” “Tau dari Reni dan Enzo. Butik kamu sangat sukses, saya sering melihatnya di iklan di branda social media. Kamu sangat sukses menjalaninya.” “Thank you. Kamu sendiri, udah lama jadi dokter spesialis?” Tidak etis rasanya ia tidak bertanya tentang Kafka. Kafka tersenyum, “Lumayan. Udah sekitar lima tahunan.” “Rumah sakit mana?” “Mayapadi Hospital Kuningan.” “I see. Berarti sama dengan Enzo.” “Iya sama. Saya sebenernya nggak terlalu fokus di pasien. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Ada kalanya sewaktu-waktu saya turun tangan.” Alis Naomi terangkat, ia menatap Kafka, “Jadi kamu di kantor?” “Saya pemilik dari rumah sakit itu, dan Enzo salah satu staff saya.” Naomi hampir shock mendengar bahwa Kafka lah pemilik dari rumah sakit itu, berarti dia owner, CEO, “Wow, berarti kamu pemiliknya?” “Sebenernya punya keluarga, cuma sekarang saya dipercaya mengelolanya, bagi-bagi dengan saudara saya. Kebetulan saya menggeluti di dunia medis, so saya melakukan apa yang sudah menjadi tugas saya.” “Bagaimana perasaan kamu dipercaya mengelolanya?” Tanya Naomu lagi. Kafka tersenyum, ia melirik Naomi, “Biasa aja sih, cume lebih tanggung jawab aja. Kebetulan saya memang sejak awal tertarik dengan dunia ini, jadi saya enjoy menjalaninya,” ucap Kafka, ia menyetir mobil mengearahkan mobilnya ke Pondok Indah. “Mungkin karena ini passion kamu,” timpal Naomi. “Enggak juga. Pada dasarnya saya tidak mencari passion. Karena saya tahu manusia dengan mudah bisa passionet diberbagai bidang. Beberapa orang akan passionet di konteks bisnis, sains, berbicara tentang algo. If that's the case! you'll not long in the industry!” “Why?” Tanya Naomi. “Passion itu penting, tapi lebih penting demand and supply! Jika kamu bisa nge blend passion into demand and Supply! 99% kamu bisa menjadi salah satu Rock Star!” “Orang yang terlalu memikirkan passion, maka akan melupakan hal yang paling dasar dan mengambil keputusan yang tidak logis.” “So? Menurut kamu bagaimana?” Tanya Naomi lagi, ia mengerti arah pembicaraan Kafka. “Menurut saya, lakukan saja apa yang kamu bisa, nggakk harus suka banget kayak passion, tapi jangan lakukan apa yang kamu benci juga. Suka nggak, benci juga nggak, pasti bisa lebih objekif dan stabil. Untuk long term-nya akan lebih konsisten.” “Intinya, ada segala sesuatu yang harus dibayar, ada value, ada profit. Real-real aja, efesien dan efektif.” “Wow, saya suka pemikiran kamu.” “Thank you, Naomi.” Beberapa menit kemudian akhirnya mereka tiba di Pondok Indah. Naomi memberi petunjuk di mana arah rumahnya. Akhirnya ia tiba di depan rumah berpagar tinggi itu. Naomi melepas sabuk pengamannya, ia menatap Kafka menghidupkan lampu dasbor. Sehingga ia dapat melihat secara jelas wajah mereka. “Makasih ya, Kaf sudah di antar pulang.” “Iya, sama-sama, Naomi.” Kafka menatap Naomi, mereka saling berpandangan beberapa detik, “Naomi.” “Iya.” “Apa boleh saya menghubungi kamu?” “Kamu ada nomor ponsel saya?” Kafka mengangguk, “Iya ada, saya minta dari Enzo dan Reni.” “Iya, boleh.” Naomi lalu membuka hendel pintu dan ia lalu keluar. Ia melihat Kafka membuka power window, ia memandang wajah cantik Naomi. “Kamu hati-hati di jalan,” ucap Naomi. Kafka tersenyum, “Selamat istirahat Naomi.” “Kamu juga, Kaf.” Naomi melangkahkan kakinya menuju pintu pagar, ia memandang Kafka masih di posisi yang sama. Ia tahu bahwa Kafka menunggunya hingga masuk ke dalam. Kafka menatap tubuh Naomi menghilang dari balik pintu setelah itu mobil Kafka meninggalkan area rumah berpagar tinggi itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN