Ganjar masih berdiri di depan pintu lift menunggu lift naik karena tujuannya adalah ke kantor Hans yang berada di lantai yang berbeda dengan tempatnya bekerja.
Hans adalah lelaki muda yang terkadang begitu emosional hingga Ganjar sering tidak mengerti mengapa pimpinan sebelumnya yang merupakan ayahnya Hans menyerahkan pimpinan perusahaan padanya sementara dia hanya bertindak sebagai penasehat.
Namun, sebagai seorang pegawai, Ganjar tidak mempunyai hak apa pun untuk melarang Hans mendapatkan posisinya.
“Kau tahu, Diandra sudah menangis tapi bigbos sama sekali tidak peduli. Tanpa merasa kasihan dia menyuruh Diandra mengundurkan diri. Katanya dia tidak perlu pegawai yang hanya bisa mengandalkan tubuhnya yang seksi dan air mata. Kalau semua pekerjaan bisa di selesaikan dengan air mata, kenapa mereka masih dia masih ada di sini.”
Suara wanita terdengar di belakang Ganjar. Kernyitan terlihat jelas di dahi Ganjar mendengar ada pegawai yang membicarakan pimpinan mereka di lingkungan kantornya sendiri. Apakah mereka sudah bosan kerja?
Namun, Ganjar masih ingin tahu apa lagi yang akan dikatakan oleh wanita tersebut karena dia menduga wanita itu tidak sendirian.
“Tapi, aku tidak menyalahkan big bos. Siapa yang suruh dia sibuk berdandan serta mempelihatkan tubuhnya yang seaksi? Dia di sini bekerja sebagai pegawai dan bukan sebagai marketing esek esek. Kalau aku jadi big bos, aku langsung memecatnya. Apa si yang sudah dilakukan Diandra selama bekerja?”
“Dari kabar yang aku dengar, Diandra adalah saingannya Nuri,” suara wanita di belakang Ganjar sepertinya sudah bertambah 1 lagi sementara dia yang berdiri paling depan.
“Nuri? Maksudmu Nurianty Ilma Laila?”
“Aku tidak tahu nama lengkapnya. Tapi dia yang selalu mendapatkan penilaian dengan jumlah penjualan terbaik,” jawab wanita kedua yang suaranya didengar Ganjar.
“Berarti dia adalah Nuri yang itu. Siapa lagi yang memiliki nama Nuri dengan kulifikasi seperti yang kau katakan. Tapi apa hubungannya dengan Diandra?” tanya wanita pertama ingin tahu.
“Entahlah. Aku tidak tahu apa yang dikatakan oleh Diandra, tetapi kalimat yang sudah dia ucapkan sampai di dengar big bos,” jawab wanita kedua.
“Kalau begitu Diandra bunuh diri. Aku memang tidak tahu apa yang sudah dia katakan, tapi aku berpikir bukan kalimat yang baik.”
“Sepertinya dan aku sebenarnya sangat salut dengan big bos. Dia bisa membuat karyawan lain melihat dan mendengar pengaduan dari Diandra dan menilainya apakah Diandra pantas di kasihani dan dimaafkan atau tidak,” kata wanita pertama.
“Dasar labil. Tadi katanya big bos tega dengan membuat nangis karyawan di depan umum sekarang malah memuji perbuatan big bos,” kata wanita kedua tertawa.
“Karena aku tidak tahu apa yang sudah diperbuat Diandra sampai big bos emosi seperti itu,” jawab wanita pertama tidak mau mengalah.
“Ember. Tapi, kau serius mau naik lift yang ini? Ini arahnya naik sementara kita berdua turun,” kata wanita kedua yang menyadari kalau mereka berdiri di tempat yang salah.
Ganjar tidak bisa mengetahui siapa kedua wanita yang bicara di belakangnya dan dia juga tidak mengenali wajah keduanya pada saat mereka bergerak ke samping dan Ganjar bisa melihat wajahnya. Sayang, dia tidak bisa mengenali.
Lift yang ditunggu Ganjar akhirnya tiba juga. Setelah pintunya terbuka, Ganjar melangkah masuk. Tujuannya kemana lagi kalau bukan ke ruangan Hans.
Di dalam lift, Ganjar berusaha berpikir apa yang terjadi dengan wanita yang bernama Diandra sebelumnya. Ganjar yakin tanpa kesalahan yang dilakukan secara sengaja Hans tidak mungkin membuat wanita menangis, apalagi masih dengan mengucapkan omelannya secara terus menerus.
Ganjar melihat Desi masih sibuk dengan pekerjaannya dan dia menghampiri Desi untuk bertanya keberadaan Hans.
“Siang, Des, bos ada di dalam?” tanya Ganjar pada Desi.
“Silahkan masuk saja, Pak. Pak Hans memang sudah menunggu Bapak,” beritahu Desi sambil merapikan pekerjaannya.
Dengan ketukan sedang, Ganjar mencoba minta ijin pada Hans sampai dia mendengar suara Hans yang menyuruhnya masuk.
“Selamat siang, Pak. Dari Desi saya mengetahui kalau bapak memanggil saya,” kata Ganjar pada Hans yang duduk di kursi kebesarannya.
“Benar. Silahkan duduk. Ada yang perlu aku katakan padamu tentang salah satu pegawaimu,” kata Hans memberi jeda agar terlihat dramatis sekaligus membuat Ganjar penasaran.
“Aku yakin kau tahu bagaimana karyawanmu selalu menolak di setiap pertemuan yang membuatnya dia harus hadir. Dia hanya datang pada pertemuan penting, tetapi apa dia pernah datang untuk ikut pertemuan rutin? Aku yakin kau sangat tahu siapa karyawanmu yang selalu melakukannya,” kata Hans membuat Ganjar gelisah.
Ganjar memperhatikan wajah Hans tanpa berkedip. Dia mulai berpikir kalau Nuri sudah membuat Hans kecewa. Hanya menunggu 2 kali peringatan lagi yang bisa membawa Nuri dalam kesulitan karena dirinya tidak bisa berubah.
“Maafkan saya. Saya takut membuat kekeliruan.”
“Kau hanya menjawab pertanyaan dariku. Aku tidak akan membuatmu kesulitan,” kata Hans sambil memberi isyarat pada Ganjar.
Dia adalah lelaki yang tidak membutuhkan penolakan. Sudah sejak pagi dia seperti mencari masalah.
Penolakan yang telah dilakukan oleh Nuri pada Hans membuat emosinya tidak terkendali. Cukup lama Hans mengalihkan pikirannya pada pekerjaannya tetapi bayangan dan setiap kalimat yang keluar dari mulut Nuri masih membekas di dalam hati Hans.
Dia telah memberikan kalimat yang menjatuhkan mental pada pegawainya yang tidak bersalah. Bukan tidak bersalah tetapi dia hanya melakkan kesalahan yang memanfaatkan gerakan menggoda dan merayu untuk menjual rumah.
Mana ada yang akan membeli rumah mereka kalau sikap wanita itu seperti bawang merah yang dipaksa menjadi layu.
“Maafkan saya, kalau saya boleh tahu, apa yang akan bapak lakukan dengan karyawan saya,” tanya Ganjar memberanikan diri.
“Selama ini dia bekerja di lapangan atau dikantor?” tanya Hans seolah Ganjar sudah paham siapa karyawan yang mereka bicarakan.
“Dia selalu berada di lapangan. Itulah alasannya mengapa dia jarang datang ke kantor. Dia baru datang ke kantor pada minggu terakhir untuk membuat laporan, sementara pada awal bulan, dia hanya absen dan mengatur strategi penjualan bersama dengan tim-nya,” jawab Ganjar.
“Kalau begitu aku ingin kau ubah pengaturan kerjanya. Dia hanya berada di luar pada minggu ke 2 dan 3. Dan sisanya dia harus berada di kantor. Aku ingin dia membantu Desi apabila dia berada di dalam. Kau mengerti?”
Beragam pertanyaan berlomba untuk mendapatkan jawaban, tetapi Ganjar harus menahan diri karena dia khawatir membuat Hans tidak menyukainya.
“Maaf, Pak. Kalau saya boleh tahu, apakah tidak merugikan penjualan yang dilakukan Nuri selama ini?”
“Kenapa, apa bermasalah? Bukankah dia memiliki tim yang baik? Aku yakin dengan semua anggotanya yang kuat, Nuri bisa melewatinya sehingga dia tidak harus bersama dengan anggota tim-nya terus. Dari laporan yang aku terima, Nuri dan anggota tim-nya adalah yang terbaik dan aku yakin dia bisa mengatasinya.”