Penasaran

1461 Kata
    Nuri memperhatikan ibunya yang berusaha menyampaikan berita yang baru saja mereka bicarakan di luar.     “Emang siapa Mak yang datang ke rumah mulu. Orang penting juragannya?” tanya Nuri yang sudah menyelesaikan makannya.    “Keliatannya si, orang penting. Tapi emak sama babe juga gak bisa nolak. Ntuh juragan baek banget,” jawab ibunya sembari melirik Aris. Dia sepertinya meminta dukungan dari suaminya.     “Babe mao tanya dulu, eneng udah punca demenan belon? Kalo udah, babe pengen ketemu,” kata ayahnya yang ikut duduk di samping Nuri sehingga dirinya di apit oleh 2 orang paling dia sayangai.     “Nuri belum punya, Beh. Emangnya babe punya calon buat Nuri?” tanya Nuri setelah berkali-kali menarik nafas dan mengeluarkannya secara perlahan-lahan.     “Sebenarnya juragan yang tadi emak-lu omongin, dia mau ngelemar, Eneng,” kata Aris memperhatikan wajah Nuri yang terdiam.     “Jadi, babe pengen Nuri segera nikah walaupun sama orang yang umurnya lebih tua?” jawab Nuri pelan.     “Kagak. Babe sama emak-lu kaga pengen begitu. Makanya babe belon ngasih jawaban sama ntuh juragan,” jawab Aris cepat.    “Nuri percaya babe sama emak gak bakalan buat Nuri menderita, Tapi, sampai saat ini Nuri memang belum punya pacar. Nuri cuma pengen kalian sabar. Mao kan?”    “Iya, dah. Babe bakalan sabar. Tapi Eneng juga musti inget sama umur Eneng. Ingat umur terus bertambah dan artinya, kontrak kita didunia semakin berkurang,” kata Aris menerima keputusan putri satu-satunya.     “Iyan Beh. Nuri paham.” Jawab Nuri pelan     “Ya udah kalo gitu rapiin bekas makannya, terus istirahat. Jangan tidur kemaleman biar matanya seger terus mukanya berseri gak kusut,” perinta Irma yang dijawab dengan cengiran karena Nuri memang selalu tidur malam, apa lagi yang dia lakukan kecuali nonton dracin yang menjadi hobynya.     “Iya, Mak. Soalnya besok juga Nuri harus berangkat pagi-pagi,” jawab Nuri mulai bangun dari duduknya sambil membawa piring kotor yang baru dia pakai.     “Berangkat pagi, emang mao ngapain, Neng?” tanya Irma ingin tahu.     “Bos minta Nuri dampingin dia. Katanya ada rapat di sama jajaran komisaris di kantor pusat,” jawab Nuri sambil mencuci piring.     “Lah, emangnya Eneng sekretaris? Bukannya Neng bilang kalau kerjaannya jualan rumah?” tanya Aris dengan alisnya yang naik.     “He eh. Tapi Nuri diminta bos bikin rincian pembangunan. Gak tahu darimana bos tahu kalau Nuri sarjana Tehnik arsiterkur,” katanya menggerutu.     “Itu namanya Eneng diperhatiin,” sahut Irma tertawa.     “Ya udah sonoh tidur,” perintahnya halus.     “Nuri masuk kamar dulu ya,” pamitnya sebelum dia masuk kamar dan menutup pintunya.     Sebenarnya apa yang terjadi dengan dirinya. Mengapa dia merasakan marah pada kedua orang tuanya. Padahal sudah secara jelas mereka mengatakan kalau mereka menolak lamaran dari lelaki yang mereka panggil dengan nama juragan.     “Aku ingin tahu siapa sebenarnya juragan itu. Kenapa babe sepertinya tidak bisa menolak permintaannya. Apa babe pernah hutang budi padanya? Tapi hutang budi dalam hal apa?” tanya Nuri sementara otaknya tidak juga berhenti berpikir.     “Sebaiknya aku gak usah pikirin lagi soal juragan itu. Aku harus yakin kalau babe sudah menolak juragan itu dari pada aku sakit kepala karena memikirkannya,” gumamnya pelan sebelum kantuk menyerangnya.     ***       Nuri baru saja berusaha menyalakan mesin mobil seperti yang biasa dia lakukan sebelaum berangkat kerja, tapi belum lagi mesin mobilnya menyala, suara ibunya sudah terdengar memanggilnya dengan sebelah tangan yang memegang ponselnya.     “Neng, ada yang telepon,” beritahu Irma sebelum dia kembali lagi ke dalam rumah untuk menyiapkan sarapan untuk suami dan anaknya.     Kernyitan terlihat jelas di kening Nuri begitu dia melihat siapa yang meneleponnya.     “Untuk apa dia pagi-pagi begini udah telepon,” katanya sebelum menjawab panggilan tersebut.     “Halo, selamat pagi,” sapa Nuri dengan suara mesin mobil yang menyala.     “Pagi. Sudah sampai mana?” terdengar Hans bertanya padanya.     “Udah sampe mana? Saya masih di rumah, Pak,” jawab Nuri.     “Masih di rumah? Kau tahu sekarang jam berapa? Kau lupa kalau aku minta kamu sampai kantor jam berapa? Kau tidak sadar kalau lalulintas tidak bisa diprediksi?”     Suara Hans yang sangat merdu membuat Nuri menjauhkan ponselnya. Telinganya tidak cukup kuat menerima pesonanya.     “Maaf, Pak. Saya akan berusaha tiba tepat waktu.”     “Kalau begitu berangkat sekarang mumpung jalanan masih sepi. Ingat nanti langsung ke ruanganku,” perintah Hans.     “Baik, Pak, Saya mandi, berpakaian, berdandan dan sarapan dulu,” katanya jengkel.     “Apa? Kau belum mandi? Memangnya kau gak Sholat Subuh.”     “Apa hubungannya? Saya akan cepat dan saya akan tiba jam 7.30 diruangan Bapak,” jaawb Nuri.     Ingin sekali dia memaki Hans, bos yang ternyata semakin hari membuatnya selalu emosi tingkat dewa.     “Kalau kerja seperti ini terus, sepertinya aku bisa punya penyakit darah tinggi akut,” gumam Nuri jengkel.     Bergerak cepat, Nuri memanggil pegawai ayahnya dan memintanya mematikan mesin mobilnya nanti sementara dia sarapan karena dirinya sendiri sudah rapi.     “Siapa yang telepon, Neng?” tanya Aris begitu melihat wajah Nuri yang kesal.     “Bos sengak. Kemarin dia bilang sampe kantor jam 7.30 padahal orang kerja baru mulai jam 8.30, sekarang dia bilang harus berangkat sekarang. Emangnya dia gak lihat sekarang jam berapa,” omelnya.     “Emangnya bos-nya gak tahu peraturan di kantor?” tanya Irma.     “Tahu. Tapi ya gitu. Kalau ada urusan semua karyawan harus ikut perintahnya,” jawab Nuri bersungut-sungut seperti ikan lele.     “Neng masih betah kerja di sana, kan? Kalau masih kerja-in yang diperintahkan atasan. Mereka punya wewenang selama pekerjaan itu masih wajar,” kata Aris memberi saran.     “Iya, Beh. Nuri masih betah. Kalau udah gak betah paling Nuri berhenti kerja. Nuri punya rencana mau sekolah lagi,” jawab Nuri melirik ibunya yang tiba-tiba menatapnya galak.     “Gak bisa. Neng gak usah sekolah lagi. Mending pegi liburan kemana kek. Siapa tahu di tempat liburan ketemu jodohnya,” kata Irma.     “Iya, Mak.”     Dengan kecepatan yang jarang terjadi, Nuri menyelesaikan sarapannya karena dia tahu pagi selalu terjadi kemacetan yang panjang. Saat ini dia hanya berusaha berangkat 1 jam lebih pagi dari waktu yang biasanya.     “Kalau gitu Nuri berangkat dulu ya. Assalamualaikum,” katanya setelah mengambil tas dan salamaan dengan kedua orang tuanya.     “Hati-hati Neng. Jangan suka kepancing emosi kalau kerja. Biarin aja bos ngomong apa selama gak rugi-in Eneng. Ingat Neng hanya karyawan bukan istri bos,” pesan Aris membuat Nuri tersenyum.     Seperti yang diucapkan oleh Hans. Pergi kerja lebih pagi memang sangat lancar di jalan Tidak ada kemacetan yang berarti. Bagaimana tidak dia bisa tiba di kantornya hanya dalam waktu 45 menit dari waktu tempuh yang biasa di capai sampai 1,5 jam.     Suasana kantor masih sepi dan Nuri menyadarinya karena belum banyak karyawan yang datang. Sama seperti dirinya yang menunggu siang atau waktu yang sudah di ambang batas sebelum tiba di kantor.     “Selamat pagi, Bu,” sapa security kantor.     “Pagi, Pak. Udah ada yang dateng?” tanya Nuri pada lelaki yang memakai papan nama Idrus.     “Yang baru datang sepertinya baru Pak Hans,” jawab Idrus pelan.     “Ooh, kalau begitu saya masuk dulu ya, Pak.”     “Silahkan, Bu.”     Berjalan melewati Idrus, Nuri segera masuk lift menuju lantai 8 yang menjadi kantornya.     Melirik jam yang dia pakai, Nuri merasa waktunya tersisa cukup banyak sebelum dia keruangan Hans hingga dia memutuskan untuk mengambil minum di pantry.     Gelas berwarna putih dengan gambar Doraemon masih menempel di bibirnya ketika dia tersedak begitu mendengar teguran dengan nada jengkel.     “Bukankah aku bilang kau langsung datang ke ruanganku? Kenapa malah ada di sini?”     Nuri tidak tahu seperti apa wajahnya tetapi pesan ayahnya seketika lenyap dan tidak meninggalkan sedikitpun di otaknya.     Bajunya yang terkena air dan dirinya yang terbatuk-batuk karena suara Hans yang mengagetkan membuat dirinya sangat marah.     “Saya adalah pegawai Dwi Bagaskara dan berkerja sebagai tenaga marketing. Kalau bapak lupa, tugas saya sebenarnya di lapangan bukan di dalam ruangan. Saya rasa bapak sudah salah orang dengan memaksa saya datang lebih pagi apalagi dengan ikut mendampingi Bapak,” jawab Nuri dengan suara tajam.     “Jadi kau menolak pekerjaan lain? Kenapa? Kau adalah pegawai di sini. Selama kau menjadi karyawan di sini kau harus mengerti dengan peraturan di sini dan dilarang membantah perintah atasan. Kecuali kau mengundurkan diri,” sahut Hans tajam.     Dia tidak menduga Nuri akan membalas ucapannya. Bukankah selama ini tidak ada seorangpun yang berani membantahnya?     “Saya tidak menolak pekerjaan lain selama saya mampu. Tapi coba bapak pikirkan kenapa saya mengatakan pekerjaan saya. Bapak sudah menyuruh saya datang lebih pagi dan sekarang masih jauh dari waktu yang bapak sebutkan,” jawab Nuri semakin terpancing.     “Kau sudah sampai di sini jadi untuk apa kau menunda pekerjaan yang sudah ada di depan mata?”     Astaga, Nuri tidak tahu siapa yang berada di depannya. Kalau memang yang berdiri di depannya adalah bosnya, Nuri berharap dia masih diberi kesabaran yang lebih besar karena persaannya sendiri saat ini seperti ingin memakinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN