Pancingan yang gagal

1236 Kata
    Seperti gerakan slow motion yang ada di film-film, maka seperti itulah yang terjadi pada Nuri saat dia mengangkat kepalanya hanya untuk memandang mata Hans dengan tajam.     Di sini, di tempatnya bekerja, Nuri merasakan banyak keuntungan yang dia peroleh. Bukan hanya keuntungan dari setiap komisi yang dia peroleh tapi juga dalam bidang ilmu karena Dwi Bagaskara selalu mengirim karyawannya untuk mendapatkan pendidikan agar bisa menjadi seorang marketing professional.     Namun, dengan seorang pemimpin perusahaan seperti Hans, Nuri tidak yakin dia bisa terus bertahan di perusahaan yang sama. Dalam hati, Nuri kadang berpikir kalau Hans secara sengaja membuatnya tidak betah walaupun dia sendiri tidak tahu apa tujuannya.     Hans, seringkali membuat Nuri kehilangan kesabaran karena perintahnya yang terkadang tidak masuk akal sementara dengan karyawan yang lain, dia lebih toleran atau Nuri sudah salah menempatkan kata toleran dengan kebaikan hati yang diberikan secara berlebihan pada beberapa karyawan dengan jabatan yang sama seperti dirinya.     Dia tidak pernah merasa iri karena dia sendiri memang lebih sering menghindari Hans dengan alasan ada janji dengan klien, tapi yang di lakukan oleh Hans selalu membuat Nuri sakit kepala.     Semua pekerjaan yang urgent dan mendekati deadline selalu di serahkan padanya; Seperti yang terjadi sejak kemarin,     “Saya minta maaf tidak bisa mengikuti ritme kerja seperti yang bapak inginkan, karena kalau yang seperti itu, maka bapak dapat lihat sendiri bagaimana karyawan bapak bekerja.”    ”Sekedar usulan, mungkin bapak harus berpikir ulang untuk menjadikan saya sebagai rekanan bapak,” jawab Nuri begitu dia bisa menguasai diri.     “Kau benar. Aku salah sudah memberikan kepercayaan padamu. Aku tidak mengerti mengapa banyak orang memberikan rekomendai padamu. Bagiku kau tidak lebih dari karyawan yang telah salah menempatkan diri. Kau merasa memiliki kekuasaan yang lebih dari semua karyawan yang ada di sini,” sahut Hans membuat alis mata Nuri naik.     Benarkah yang dikatakan oleh Hans dan didengar secara langsung oleh Nuri? Selama ini dia tidak pernah merasa seperti itu. Dari beberapa rekan kerjanya, dia malah dianggap terlalu mengalah, termasuk dengan sikapnya yang selalu memberikan kesempatan pada anak buahnya untuk terlihat.     Namun, Hans melakukan kesalahan dengan berpikir bahwa dirinya akan meledak karena berita yang didengar oleh Hans tentang dirinya. Dia tidak perlu bertanya dari siapa Hans mendengar tentang dirinya karena sebagai pimpinan, Hans pasti mempunyai penilaian sendiri.     “Saya juga tidak mengerti mengapa mereka menilai saya memiliki kelebihan. Seperti yang bapak tahu, saya tidak memiliki jabatan tinggi yang membuat saya memiliki kekuasaan. Atau bapak mau memberikan jabatan tersebut?” kata Nuri dengan senyum yang kini lebih mirip dengan ejekan.     “Kau terlalu menilai dirimu terlalu tinggi, Nuri. Aku tahu dengan jelas apa jabatan yang kau harapkan. Saranku adalah sebaiknya kau berkaca dan periksa cerminmu lebih dulu. Aku ragu kalau cermin yang kau pakai adalah cermin yang bisa memantulkan bayanganmu sendiri. Aku tunggu segera di ruanganku!”     Dengan kata-katanya, Hans berbalik lalu meninggalkan Nuri sendirian sementara gelas di tangan Nuri bergetar, seolah dia begitu siap untuk melemparkan gelas tersebut ke arah lelaki yang mulai menjauh.     “Kenapa aku harus memiliki atasan seperti dia. Aku tidak tahu sebenarnya dia punya kelainan atau tidak,” omel Nuri sendirian.    Bertahan dengan keputusannya, Nuri tetap berada di mejanya. Bukan karena dia bermaksud menentang Hans, tetapi karena dia harus menyiapkan semua salinan pekerjaan yang sudah dia berikan aslinya pada Hans kemarin.     Nuri, dengan sikapnya yang memiliki kewaspadaan tingkat tinggi selalu menggunakan laptopnya sendiri untuk bekerja seringkali membuat beberapa karyawan mencibirnya, tapi apa arti cibiran tersebut kalau yang menjadi taruhan adalah keuntungan yang akan diperolehnya.     Di depan ruang kerja Hans tempat dia dan karyawan yang lain bertemu Desi sebelum menghadap Hans, masih kosong, dengan kata lain, belum ada karyawan yang datang sama seperti di bagiannya. Belum ada seorangpun karyawan yang datang.     Perlahan tapi pasti, Nuri mulai mengetuk pintu ruang kerja Hans hingga terdengar suara yang menyuruhnya masuk.     “Kalau kau tidak bisa menggunakan waktu dengan baik, aku sangat yakin kalau kau lebih pantas berada di lapangan. Cara kerja yang kau lakukan saat ini sama sekali tidak sesuai,” kata Hans menyambut Nuri yang baru saja menutup pintu dan berjalan menghampiri mejanya.     “Saya setuju. Kalau saya boleh tahu, apakah bapak  bisa mengirim surat mutasi ke hrd?” tantangnya berani.     Nuri seperti tidak memiliki kesabaran lagi. Dia merasa sudah cukup menerima sindiran dan kata-kata tidak puas yang dilontarkan oleh Hans.    “Kau pikir aku tidak berani? Kau terlalu percaya diri, Nuri. Kau…kau adalah wanita yang memiliki sifat kampungan. Kau pikir karena keluargamu kaya, maka kau bisa melakukan apa pun yang kau mau? Kau bahkan tidak memiliki sikap hormat pada diriku sebagai pimpinan,” jawab Hans membuat Nuri tersenyum.     “Saya minta maaf sudah membuat bapak tersinggung. Terus terang saya sama sekali tidak mempunyai niat menentang atau melawan Bapak. Bapak adalah pimpinan saya dan yang membuat saya seringkali bertindak tidak sopan adalah karena ada yang menyebabkannya,” sahut Nuri membuat Hans berpikir kalau Nuri mengakui ucapannya hingga dia tersenyum semakin mengejek.     “Dan sangat disayangkan kalau aku tidak akan pernah mengijinkan perusahaanku memiliki sifat kampungan yang mengagungkan kekayaan keluarganya. Hari ini adalah peringatan pertama untukmu. Ingatlah aku bukan pimpinan baik hati yang bisa memberikan maaf berkali-kali dengan kesalahan yang tidak masuk akal. Mengerti?”     “Saya mengerti. Kalau begitu jam berapa pertemuan yang bapak sebutkan kemarin lebih tepatnya.”     “Pertemuannya batal. Dan kau yang menjadi penyebabnya,” jawab Hans ketus tetapi cukup membuat Nuri tidak dapat menahan diri lagi.     “Karena saya yang menjadi penyebabnya. Maksud bapak?”     “Kalau saja aku tidak menghabiskan waktu berdebat denganmu di pantry aku pasti bisa mengangkat telepon dan mengatakan bahwa waktu pertemuan tidak perlu diundur hingga akhir pekan,” jawab Hans jengkel.     “Pergilah. Aku masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan,” kata Hans mulai sibuk dengan semua berkas yang ada di depannya.     Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Nuri meninggalkan Hans. Nuri terlalu lelah menimpali semua ucapan Hans yang menurutnya sama sekali tidak masuk akal.     Apakah Hans secara sengaja memancing emosinya agar dia bisa melakukan yang dia inginkan misalnya Hans berusaha agar dia mundur sendiri tanpa harus memecatnya.    “Kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan apa bila aku sudah puas dengan membuatmu tidak punya pilihan selain memecatku,” katanya dalam hati sebelum Nuri menutup pintu.     Matanya yang tajam dengan bibir yang menyimpan kemarahan adalah ekspresi wajahnya yang terlihat oleh beberapa karyawan di ruangannya yang baru datang.     “Wah…wah…wah, aku tidak mengira hari ini ada kemajuan di ruangan ini. Setahuku satu-satunya karyawan yang tidak pernah mau rugi dengan waktu adalah Nuri, tapi hari ini…aku jadi penasaran apa yang dia inginkan dengan datang lebih pagi,” sambut Ines dengan suaranya yang lantang hingga terdengar sampai meja paling jauh sekalipun.     “Maksud kakak?” tanya Alea bingung.     “Maksudku, ada karyawan yang mencoba ambil keuntungan. Bukannya kemarin dia pulang lebih cepat, lalu sekarang berharap datang lebih pagi agar dia kelihatan benar,” sahut Ines hingga Nuri harus menahan diri.     Dari genggaman tangannya yang mengeras Nuri berusaha mengabaikan semua komentar tentang dirinya.     Tapi apa tujuan Inez menyindirnya seolah dengan waktu kedatangannya yang lebih pagi membuatnya rugi berat.     “Aku tidak mengira kau bisa membaca pikiran, apa kau mau menerima bayaran? Atau kau hanya asal bicara saja? Tapi tidak perlu khawatir, aku sama sekali tidak peduli,” kata Nuri ketus     Nuri tidak pernah cari masalah dengan rekan kerjanya dan dia juga selalu mengalah tapi kenapa Ines terus berusaha membuatnya marah. Seandainya saja Inez tahu apa yang sudah menyebabkan dia datang lebih cepat, bisa jadi Inez semakin menjadi untuk menegurnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN