Jantungku sudah jumpalitan seakan hendak kabur dari rongga d**a. Aku memejamkan mata, seperti yang biasanya dilakukan tokoh-tokoh di n****+ atau film saat hendak dicium. Inhale, exhale, Nuansa! Tanganku gemetaran. “Cium! Buruan!” Tanganku berkeringat. “Lama amat, elah, macem sinetron.” Aku baru sadar ada yang berbisik di belakang. Sontak, mataku terbuka. Baik aku maupun Sabda menoleh ke belakang, mendapati Dierja melongokkan kepala dari balik pintu. Saudara kembar keparatku itu praktis menutup pintu, lenyap dari pandangan kami. Sekejap mata, aku jadi mati kutu hingga tak berani menegakkan kepala. “Aku pamit dulu. Selamat malam.” Mendengar Suara Sabda, aku mengangguk dan meliriknya. Ia beranjak canggung, langsung membawa pergi kemejanya. Begitu tak lagi melihatnya, aku menghela napas