9. Badai Di Pesta Pernikahan Mantan

1565 Kata
Melihat dari kaca spion, betapa tenda pernikahan itu terguncang hebat karena hujan deras dan angin yang meniup sangat kencang, juga lampu yang mendadak mati tak ada penerangan sama sekali diiringi suara jeritan. Shireen tak bisa tersenyum lega, saat ini dia hanya merasa kasihan pada mereka. Meski pun mereka tak layak dikasihani sama sekali. “Kamu belum makan malam kan? Kita makan dulu ya?” ajak Gyandra. “Ehm, iya, Bang,” jawab Shireen kaku. “Mau nangis?” tanya Gyandra. “Enggak lah, buat apa nangis?” kekeh Shireen. “Kamu enggak apa-apa?” tanya Gyandra lagi sambil menoleh pada Shireen, mereka bertatapan beberapa detik, lalu Gyandra memutuskan tatapan itu dan melihat ke arah jalanan. Kata-kata Gyandra yang menanyakan perasaannya justru membuat air mata Shireen yang sekuat tenaga ditahannya luruh juga. Gyandra mengulurkan tangan untuk mengambil tissue dan menyerahkan pada Shireen, Shireen menerima tissue itu dan menyeka perlahan air mata yang membasahi pipinya. “Makasih ya Bang, aku enggak tahu kalau enggak ada abang akan seperti apa hidupku saat ini?” cicit Shireen. “Sama-sama, kamu nangis aja dulu, tenangin diri kamu jangan ditahan nanti jadi penyakit,” tukas Gyandra fokus pada jalanan meskipun matanya sesekali melirik Shireen. Gyandra masih mendengar isak tangis Shireen yang semakin lama semakin perlahan. Beberapa lembar tissue berada dalam genggaman Shireen, tissue yang telah menampung air matanya. “Buang di sini,” ucap Gyandra menunjukkan tempat sampah kecil yang ada di dekatnya. Shireen membuang tissue itu dan mengucap terima kasih. “Kamu biasanya kalau nangis itu agar cepat tenang diapain?” tanya Gyandra. “Kalau sama Ayana dipeluk, dipuk-puk punggungnya atau diusap bahunya,” jawab Shireen membuat telinga Gyandra memerah. Dipeluk? Gyandra kemudian terdiam, Shireen sudah jauh lebih tenang, itu berarti dia tak perlu memeluknya kan? Hujan mulai reda ketika mereka keluar dari pintu tol, menuju restoran yang akan mereka kunjungi. Gyandra tahu tempat yang sangat indah di malam hari seperti ini. Mereka tiba di sebuah bangunan yang sangat tinggi, Shireen sampai mendongak melihat bangunan itu yang menjulang seolah mencakar langit. Gyandra menghentikan mobil tepat di depan petugas valet. Shireen membuka seat beltnya. “Tunggu,” tukas Gyandra ketika Shireen memegang handle pintu. “Kenapa?” tanya Shireen. Gyandra mengambil tissue dan menatap mata Shireen. “Maaf ya, ini ada hitam-hitam, sebentar aku ambil,” tutur Gyandra. Shireen merasa sesak, tak bisa bernapas ketika wajah itu sangat dekat dengan wajahnya, dan jemari Gyandra yang dialaskan tissue menyeka bawah matanya yang menghitam. Mungkin eyelinernya sedikit tercecer karena air mata yang jatuh tadi. “Nah sudah,” ucap Gyandra, dia membuka kaca di atas kepala Shireen agar Shireen memastikan make upnya yang sudah lebih baik. Memang benar make up itu adalah make up terbaik yang Shireen kenakan karena tidak luntur meski dia menangis, hanya sedikit eyeliner tadi saja yang terjatuh. Shireen kemudian menutup kaca itu kembali. Pintu dibuka dari luar oleh petugas valet. Gyandra pun keluar dari mobil bersama Shireen. Gyandra mengulurkan tangannya. Sedetik Shireen menatap tangan terulur itu lalu dia menyambutnya dengan menggenggamnya. Rasa hangat menjalar seketika. Tangan Gyandra sangat hangat dan besar juga terasa kokoh. Mereka langsung menuju lift. Pintu lift terbuka, sesaat kemudian keduanya memasuki lift. Gyandra menekan tombol teratas di papan lift tersebut. Mereka hanya terdiam sampai lift berdenting di lantai teratas. Mungkin karena baru selesai hujan jadi tempat ini tak terlalu ramai. Pikir Shireen. Dugaannya lenyap ketika memasuki lantai teratas, karena restoran mewah itu terlihat sangat ramai. Ada bagian dengan atap terbuka, melihat lantainya yang kering, mungkin petugas restoran ini sangat sigap mengeringkannya sesaat setelah hujan reda. Salah satu karyawan yang merupakan manager restoran itu menyapa Gyandra. “Selamat malam, apa sudah reservasi sebelumnya?” tanya manager itu. “Iya sudah, atas nama Gyandra,” ucap Gyandra membuat Shireen menolehnya, tangan mereka masih tertaut. Kapan Gyandra mereservasinya? Apakah saat mereka di jalan? “Pak Gyandra ya, tadi sempat reschedule jam ya Pak?” tanya manager itu. “Iya saya reschedule karena tadi terjebak macet,” tutur Gyandra. “Baik, namun untunglah direschedule ya pak? Karena hujan deras, ayo pak, bu, ikut saya,” tutur manager itu. Gyandra pun tersenyum padanya dan menoleh ke arah Shireen yang masih membeku. Dia sedikit menarik tangan Shireen agar wanita itu berjalan. Mereka dihadapkan pada meja berbentuk lingkaran dengan dua kursi tepat di ruangan terbuka, udara malam yang terasa bersih pasca hujan. Di sekeliling mereka terdapat dinding kaca tidak sampai satu meter sehingga bisa melihat pemandangan jalanan ibu kota dari ketinggian. Salah satu pegawai menarik kursi untuk Shireen duduki. Lalu dia memutar untuk menarik kursi Gyandra. Manager tersebut memberikan tablet berisi menu untuk pemesanan. “Silakan, Pak. Jika sudah, bapak tinggal klik enter dan pelayan kami akan menyiapkan pesanan bapak dan ibu,” tutur manager restoran tersebut, lalu dengan hormat dia meninggalkan Shireen berdua Gyandra. “Kamu mau pilih menu?” tawar Gyandra. “Aku ikut saja, Bang. Enggak ngerti juga pasti,” ucap Shireen yang masih terlihat sisa kesedihan di matanya. “Steak saja ya, sama makanan pelengkap. Atau kamu mau nasi?” tanya Gyandra. “Jangan nasi bang, kentang aja kalau ada.” “Ada kok, minumnya mau dingin atau panas?” “Es krim ada?” tanya Shireen. “Ada, ini mau?” tanya Gyandra menunjukkan gambar menu minuman di tablet yang dia pegang. “Iya mau yang stroberri, sama air putih ya Bang,” ucap Shireen. Gyandra hanya mengiyakan ucapan Shireen. Dia memesan air mineral juga. Setelah semua pesanannya dirasa lengkap dia menekan tombol enter. Salah satu pelayan menghampiri dan mengambil tablet itu sekaligus mengulangi pesanan Gyandra. Dia pun meninggalkan meja tersebut. Shireen mengedarkan pandangan ke sekeliling, dia baru pertama kali ke tempat seindah ini, orang-orang yang hadir terlihat berpakaian bagus pula sama sepertinya, bahkan beberapa pria memakai setelan jas, tak ada gelak tawa mengganggu. Mereka berbicara dengan tenang, para wanita tampak sangat anggun dengan gaun mereka, tersenyum atau tertawa pelan sambil menutup mulutnya. Pemandangan ini mengingatkan Shireen akan hal yang tadi sempat ingin ditanyakannya. “Bang, acara nikah kita kok jadinya di hotel?” tanya Shireen. “Iya papa sama mama yang siapkan.” “Terus aku harus apa?” tanya Shireen. “Besok kita foto prewedding di studio, setelahnya biar tim WO yang mengatur kamu hanya perlu duduk manis dan datang ke hotel pagi, dijemput sama driver papa nanti. Oiya Ayana juga akan jadi maid kamu jadi dia akan selalu ada di samping kamu. Kalau kamu mau tambah beberapa teman untuk maid enggak apa-apa, nanti aku kirim nomor WOnya ya,” ucap Gyandra tenang. “Aku ada beberapa teman kuliah dan SMA sih, pernah jadi bridesmaid pernikahan salah satu di antara mereka juga,” tutur Shireen. Gyandra membuka ponselnya dan mengirim nomor manager yang akan menangani pernikahan mereka ke kolom chat Shireen. “Nanti kamu hubungi WO-nya ya untuk jumlah brides maid kamu agar nanti dibuatkan grup sama WO-nya,” ucap Gyandra. “Memang enggak apa-apa menikah di tempat mewah seperti itu?” tanya Shireen. “Enggak apa-apa, ini kan sekali dalam hidupku,” ucap Gyandra menelan pil getir yang terasa menyakitkan. “Aku takut.” “Takut apa?” tanya Gyandra. “Takut enggak bisa jadi istri yang baik untuk abang, atau menantu yang baik untuk mama dan papa abang,” ucap Shireen seraya menunduk. Gyandra memegang tangannya yang berada di atas meja. “Cukup jadi diri kamu sendiri Reen, ikuti intuisi kamu. Aku enggak akan nuntut apa-apa dari kamu, tenang saja. Ketika aku sudah memilih kamu sebagai istriku, itu artinya aku siap menerima segala kekurangan dan kelebihan kamu. Kita memang belum saling mencintai saat ini, tapi siapa yang tahu jika cinta bisa datang setelah menikah? Ya, Kan? Jadi jangan denial sama perhatian aku atau perasaan kamu nantinya. Oke?” Ucapan Gyandra yang cukup panjang itu membuat Shireen tenang dan lega, mungkin Gyandra adalah hadiah terindah yang dikirim orang tua dan neneknya dari Surga. Dia mendongak menatap langit, bulan mulai tampak dikelilingi pendar cahaya serupa pelangi. Air matanya hampir jatuh, namun dia menahannya. Dalam hati dia mengucap kata terima kasih pada semua yang telah menyayanginya. Makanan pun tiba, Gyandra melepas tangan Shireen agar pelayan lebih mudah menata makanan di meja. Kepulan asap masih tampak di atas daging steak yang besar dan terlihat menggiurkan itu, bahkan sausnya masih terlihat mendidih. Es krim disajikan dengan beberapa scoup. Di atasnya terdapat buah cherry merah dan biskuit memanjang. Juga botol air mineral yang terbuat dari beling dan bentuknya sangat indah. Setelah semua pesanan tiba. Shireen menukar pisau dan garpu beberapa kali, dia melihat Gyandra yang memegang pisau di tangan kanan dan garpu di tangan kiri. Dia mencoba memotong daging itu namun tak bisa, dia malu karena tak pernah memakan hidangan ini sebelumnya. “Sini aku bantu,” tutur Gyandra. Dia menggeser piring steaknya dan mengambil piring steak Shireen, dia memotong-motong daging itu dan menyerahkan pada Shireen agar calon istrinya bisa langsung memakannya. Setelah Gyandra memotongnya dia pun memberikan ke Shireen, yang langsung melahapnya, lalu Shireen membelalakkan mata dan mengipas mulutnya yang kepanasan. Gyandra menggeleng geli, membuka botol air mineral itu dan menyerahkan ke Shireen, dia pikir Shireen akan menuang ke gelas kosong namun wanita itu justru meneguknya langsung. “Pelan-pelan,” ucap Gyandra membuat Shireen meringis tak enak hati. “Lidah kamu terbakar nanti,” imbuh Gyandra. Shireen meneguk minumannya lagi. “Enggak apa-apa langsung adem, ini enak airnya,” ucap Shireen melihat botol itu, Gyandra hanya tersenyum tipis. “Lanjutkan makannya,” ucap Gyandra yang tertarik melihat Shireen makan dengan lahap seolah melupakan kesedihannya yang tadi tertumpah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN