Musim dingin sudah berlalu selama dua minggu lebih di negara ini. Seorang pria tinggi memakai mantel tebal berwarna hitam. Rambut panjangnya diikat dengan menyatukannya jadi satu dan membentuk bulatan. Wajahnya dihiasi bulu-bulu halus yang membuatnyanya kian menarik.
Di tangannya memegang sebuah pods yang merupakan rokok elektrik berwarna hitam, dia menyesapnya sambil berjalan cepat seolah menghalau dingin. Salju turun sesekali jatuh ke rambutnya yang hitam.
Dia kemudian masuk dalam cafe dan menghela napas, terasa hangat. Podsnya dimasukkan dalam saku mantel, tampak seorang karyawan yang mengelap meja tersenyum padanya.
“Dingin sekali di luar, jika dalam setengah jam aku terus berada di luar, pasti aku membeku,” ucap pria itu dengan bahasa Inggris yang lancar.
Karyawan pria dengan rambut blonde dan mata hijau itu hanya terkekeh, “bukankah lebih nikmat di rumah dengan kekasih? Mengapa repot datang ke cafe?” selorohnya dengan bahasa yang sama, bahasa yang digunakan di negara ini.
“Bosan,” jawabnya, setelah membuka mantelnya, dia pun berjalan menuju ruang khusus staf. Kaos hitam mencetak lekuk tubuhnya, terlihat tatto tersembunyi sebagian dibalik lengan baju. Di ruang karyawan dia menggantung mantel itu, mengambil apron cokelat yang menunjukkan nama cafe tempatnya bekerja. Dia melihat ke cermin besar. Bentuk wajah yang sama dengan pria yang menerornya minggu lalu karena dia tak datang ke pesta pernikahannya.
Elenio Adizar Mahesa, pria berusia dua puluh lima tahun itu sejak dulu memang tinggal di negara ini bersama neneknya. Namun beberapa tahun lalu neneknya meninggal dunia dan dia tetap tak mau kembali ke Indonesia untuk tinggal bersama keluarganya, juga kembarannya Gyandra Satria Mahesa yang sejak kecil rutin ke rumah sakit.
Pria yang akrab disapa Elenio itu tidak suka bertemu orang tuanya, sejak kecil dia mengalami insiden dengan Gyandra yang membuatnya memilih pergi dari kehidupan mereka, pergi sejauh mungkin. Kembali ke negara asal adalah pilihan terakhir dalam hidupnya dan dia pastikan pilihan itu tak pernah dipilihnya.
Berbeda dengan Gyandra yang tipe good boy, selalu menurut apa yang dikatakan orang tuanya, bekerja di perusahaan sang ayah dan juga menjadi anak baik yang tak pernah membangkang. Elenio justru sebaliknya, sejak kecil dia sudah menjadi anak pemberontak. Dia tak pernah puas jika tak membuat orang rumah kelimpungan. Dia suka mencari sensasi sejak kecil terutama di depan orang tuanya.
Hanya neneknya yang bisa menerima apa adanya, sayangnya sang nenek tiada dan dia kini menempati rumahnya seorang diri.
“Bos,” panggil seorang karyawan lain menjulurkan wajahnya di depan pintu membuat Elenio tersadar dari lamunan.
“Ya?” tanya Elenio, mendorong pintu itu dan berjalan di depan karyawan yang merupakan anak buahnya.
“Pasokan kopi kita habis, kopi dari Indonesia adalah yang terbaik, jadi kapan order lagi?” tanyanya.
“Keluarkan saja dari menu,” ucap Elenio datar.
“Tidak bisa! Kita akan kehilangan pelanggan,” tutur karyawannya.
“Nanti aku pikirkan,” tutur Elenio, memesan kopi itu artinya dia harus menghubungi Gyandra karena dia mensabotase sahabatnya yang memiliki kebun kopi terbaik itu dengan tidak mengirimkan kopi jika Elenio tak meminta langsung padanya. Memang hubungan sibling rivalry yang mereka jalani tak pernah bisa ditebak.
Elenio kemudian menuju meja bartender, staff lain sudah datang dan berada di panggung khusus untuk live music malam nanti. Dia membersihkan alat musik dan sesekali bersiul. Panggung berada di dekat meja bartender, hanya berjarak sepuluh meter.
“Nyanyi lagu apa malam ini, Boss?” tanya staff yang mengurus bagian musik.
“Lagu patah hati,” jawab Elenio asal, dia menyalakan mesin khusus untuk pembuat kopi.
“Putus lagi?” goda rekan kerjanya. Elenio hanya mengangkat bahunya acuh lalu melanjutkan kerjanya. Di malam hari biasanya dia akan memainkan gitar sambil bernyanyi, suara beratnya yang khas membuatnya dikagumi.
Elenio mengaduk cairan di gelas dengan sendok, menatap tangan yang bertatto itu, tatto kecil dan juga ada tatto memanjang di lengannya. Di bahunya dia memiliki tato yang lebih besar. Semakin dibenci orang tuanya, akan semakin baik baginya. Pikirnya.
***
Shireen tak mengerti dengan pikirannya, mengapa dia selalu memikirkan hal-hal yang tak pernah dipikirkan sebelumnya? Apakah karena dia yang semakin dewasa? Ataukah pernikahan mencuci otaknya? Mengapa dia terus ingin berdekatan dengan Gyandra, dia menginginkan jemari sang suami menyentuhnya.
Astaga? Apakah ini yang dinamakan cinta setelah menikah?
Berarti dugaan cinta habis di orang lama itu tidak tepat? Karena nyatanya dia bisa mudah jatuh cinta pada pria baik yang mempersuntingnya. Atau ... bisa jadi karena kualitas Gyandra jauh di atas Danna yang membuatnya mudah menerimanya? Juga keluarga Gyandra yang bahkan sampai detik ini pun rutin menghubunginya terutama ibunya yang sering menanyakan kegiatannya.
Jika ayah Gyandra menghubungi hanya mengatakan pada Shireen untuk jaga diri, jangan lupa minum vitamin dan juga meminta Shireen mengingatkan Gyandra untuk minum vitaminnya. Sepertinya ayahnya terobsesi dengan kesehatan? Atau apa? Shireen hanya menuruti yang dikatakan ayah mertuanya saja.
“Bengong lagi?” sentak Ayana pada Shireen yang kedapatan melamun ketika makan siang.
“Ish enggak ngagetin kan bisa?” celetuk Shireen.
“Hehehe, kenapa lagi?” tanya Ayana.
“Enggak ada apa-apa. Oiya nanti bantuin aku mau?”
“Bantu apa?” tanya Ayana seraya membuka kotak makannya.
“Buat list barang yang perlu dibawa, aku kan belum pernah ke luar negeri jadi enggak tahu barang apa aja?” tanya Shireen.
“Boleh,” kekeh Ayana dengan mata mengerling nakal, dia akan kerja sama dengan Davina untuk mengerjai sahabatnya agar hubungan mereka semakin hot!
“Jadi kencan buta minggu ini?” tanya Shireen membuat Ayana mendengus dan mood untuk makannya menguap seketika.
“Gara-gara kamu nikah duluan, mama sama papa makin semangat jodohin aku sama chindo-chindo yang ditemuinya di sembarang tempat!” seloroh Ayana membuat Shireen tertawa.
“Chindo kan ganteng-ganteng,” kekeh Shireen.
“Ya kalau modelan Yang Yang atau Dylan Wang sih aku enggak nolak, ini spek-spek kayak apa tahu yang ditawarin!” geram Ayana menyebut dua nama aktor atau model favoritnya.
“Kamu sih di rumah terus, bagaimana mau ketemu model aktor favorit kamu coba?”
“Ketemu di sosial media,” ucap Ayana tidak mau kalah.
“Tapi kamu ada target nikah enggak sih?” tanya Shireen.
“Lima tahun lagi deh, kalau sudah dua puluh tujuh, aku ikut apa kata mama papa aja, tapi sebelum itu ya aku mau cari-cari sendiri dulu, mungkin mereka diam kalau aku sudah bawa laki-laki ke rumah kali ya, mereka takut banget aku jadi perawan tua, anaknya masih dua puluh dua padahal!”
“Ketakutan semua orang tua itu pasti ada, masih beruntung kamu masih ada yang mengkhawatirkan, jadi harus bersyukur,” ucap Shireen seolah memukul telak Ayana yang kemudian kesakitan memegang hatinya.
“Ah sakit! Pukulannya sampai!” gurau Ayana membuat Shireen tertawa. Ayana dalam sekejap melupakan kegundahannya. Dia akan menemui pria yang dijodohkan dengannya itu minggu besok atau dia diusir dari rumah dan hanya boleh tidur di pos secutiry depan komplek. Mana mau dia??
***
Shireen terbangun dari tidurnya tengah malam, dia membuka mata dan melihat Gyandra yang tidur memunggunginya, yang dia tahu tadi sebelum dia terlelap Gyandra masih memeluknya. Mengapa dia memunggungi.
Tangan Shireen terulur, dia mengusap lengan Gyandra. Pria itu tampak bergerak dan membalik tubuhnya sambil membuka mata.
“Kenapa?” tanya Gyandra dengan suara serak khas bangun tidur. Shireen memaksa senyumnya dan mengeleng.
“Kok cepat banget bangunnya?” tanya Shireen. Gyandra hanya tersenyum tipis. Dia kemudian mengulurkan tangan ke lengan Shireen dan mengusapnya perlahan.
“Tidur lagi, masih tengah malam,” ucap Gyandra seraya memejamkan mata. Shireen memajukan tubuhnya, rasanya sangat hangat berada di pelukan sang suami. Dia sedikit mendongak melihat wajah Gyandra yang sudah tertidur dengan napas yang teratur. Rasa sayang Shireen kian membuncah memperhatikan wajah pria ini. Dia mendekap erat Gyandra seolah tak mau suaminya ini pergi meninggalkannya.
***
Hari minggu tiba, Ayana sudah memakai pakaian rapih khasnya. Kemeja tangan panjang yang digulung hingga tiga perempat, lalu rok jeans di atas lutut. Sepatu kets dan tas punggung yang kecil. Tubuhnya yang ramping membuatnya terlihat cantik. Dia menggerai rambutnya dan masuk dalam cafe yang menjadi tempatnya bertemu dengan pria yang katanya dijodohkan dengannya oleh orang tuanya itu.
Ayana menelepon pria yang katanya sudah tiba sejak sepuluh menit lalu itu, dia mengedarkan pandangan sambil menempelkan ponsel di telinga. Mencari pria itu, jika memang tak sesuai dia akan kabur.
Lalu seorang pria tampak mengangkat telepon, pria tampan dengan jaket kulit dan kaos putih. Hidungnya mancung dan kulitnya bersih, mata sipitnya memiliki alis cukup tebal yang membuat tatapannya terlihat tajam.
“Halo, halo!” sapa pria di seberang telepon. Jantung Ayana berpacu cepat. Tampan sekali! Mirip seperti aktor china favoritnya. Dia sampai lupa bernapas saking terkejutnya, lalu pria itu menoleh ke arahnya sambil mengangkat tangan membuat Ayana tersenyum kaku dan mengangkat tangan sedaada.
“Sorry macet!” ujar pria di belakang Ayana yang hampir menabraknya, dia juga menerima telepon dan melewatinya, pria tampan yang duduk di meja itu tertawa dan memutuskan panggilan. Namun suara di telinga Ayana masih terdengar.
“Kamu sudah sampai? Di mana?” tanya suara di seberang. Ayana memastikan ponselnya masih tersambung, sementara pria tampan itu sudah memutuskan panggilan dan berdiri seraya memeluk ala laki-laki pria yang hampir menabrak Ayana. Dalam sekejap dia patah hati.
Ayana membalik tubuhnya karena sangat malu, terlebih pria tampan itu menoleh ke arahnya sambil menahan senyum, juga teman yang baru datang itu memiliki ketampanan serupa hingga para wanita di cafe mengarahkan pandangan ke arah mereka.
“Ah aku lihat kamu di dekat pintu masuk, balik badan kamu, aku di sini,” ucap suara di ponsel Ayana. Dengan langkah kaku Ayana membalik tubuhnya dan melihat pria lain yang nyaris tak terlihat tadi. Seorang pria tinggi, sangat tinggi dengan kaca mata di matanya, senyumnya lebar hingga menampakan hampir seluruh giginya. Di pipinya ada bercak bekas jerawat.
Ayana tersenyum tak enak menghampirinya, mengapa meja mereka berhadapan. Mau ditaruh mana muka Ayana yang telah salah paham?
“Hai, aku King!” ujar pria bernama King yang dijodohkan ayahnya itu, yang kabarnya merupakan kerabat jauh mereka.
“Hai, aku Ayana,” ucap Ayana sambil duduk.
“Cantik seperti di foto,” ujar King yang kemudian terkekeh, bibirnya yang agak tebal membuat Ayana kembali tersenyum terpaksa. Pria tampan yang menjadi incaran Ayana tadi berada di seberang meja menghadap ke arah Ayana, dia tampak asik berbincang dengan temannya, lalu Ayana dan dia saling tatap beberapa detik. Pria itu tersenyum! Ya pria tampan itu tersenyum membuat Ayana ingin menghilang saja!
***