“Mau pesan apa?” tanya King.
“Apa saja,” jawab Ayana. King mengangkat tangannya dan waitress menghampiri.
“Salad sayur saja sama es teh manis,” ucap King.
“Baik,” jawab waitress.
“Eh tunggu, mbak saya mau cappucino plus es krim, sama french fries, udang keju satu,” ucap Ayana.
“Salad sayurnya tidak jadi ya, Kak?”
“Iya, pesan itu saja,” jawab Ayana sambil mendelik pada King. Apakah dia seperti dugaannya, pelit?
Setelah waitress itu pergi Ayana kemudian menatap King, “aku yang bayar bill hari ini.” ucapan Ayana membuat King tersenyum lega. Ayana mendengus lalu King tampak merasa bersalah.
“Eh harusnya aku yang bayar.”
“Enggak apa-apa,” jawab Ayana.
“Apa aku boleh tambah menu?” tanya King. Ayana menarik napas panjang dan mengangguk. King tersenyum lebar dan memanggil waitress lagi, menambah menu lainnya. Membuatnya heran, di mana sang ayah menemukan lelaki unik ini?
Ayana kembali melihat ke arah pria di belakang King itu, yang tersenyum lebar sambil tertawa bersama temannya, sepertinya mereka lama tak jumpa.
“Jadi pindah ke sini? Sudah dapat kost?” tanya teman laki-laki tampan itu.
“Ngapain kost, kan ada rumah nenek enggak ditempati, tinggal renovasi sedikit. Rumahnya masih model jaman dulu yang unik,” ucap pria tampan itu yang terdengar di telinga Ayana.
“Gue bantu renovasi deh, bokap kan buka usaha cat,” ucap temannya. Ayana memiliki satu ide gila. Sepertinya dia akan melaksanakan ide itu.
Setelah makan, dia pun membayar makanannya itu ke meja kasir, ternyata bersebelahan dengan pria tadi yang juga ingin membayar. Mereka hampir berbarengan tiba di meja kasir hingga pria itu mempersilakan Ayana membayar lebih dulu. Lagi pula dia dan King tak banyak berbicara karena ilfeel seketika. Bukan karena penampilannya, namun lebih ke attitudenya yang membuatnya tak habis pikir.
Ayana mengecek bill tagihan dengan kening berkernyit, mengapa pesanan makanannya jadi sangat banyak? Lalu seorang waitress menyodorkan plastik yang isinya beberapa kotak makanan untuk take away.
“Ini pesanan tambahan dari teman kakak,” ucap waitress membuat Ayana memutar bola matanya malas. Dia hanya menggeleng lalu mengeluarkan ponsel.
“Pakai Qris ya,” ucap Ayana ,terdengar suara pria di sebelahnya menahan tawa hingga Ayana menoleh ke arahnya.
“Kenapa?” tanya Ayana sambil mendengus. Pria itu menggeleng.
“Enggak,” jawabnya menahan tawa.
“Dia bukan pacar saya! Saya sedang dijodohkan papa, ternyata modelannya seperti itu, rugi bandar!” dengus Ayana membuat pria itu benar-benar memuntahkan tawanya. Melihatnya tertawa membuat emosi Ayana lenyap. Wajahnya kian terlihat tampan. Matanya berair, dia menyekanya karena tawanya yang keras.
“Sudah jaman serba modern masih juga main jodoh-jodohan?” ucap pria itu.
“Yah namanya juga kaum minoritas kayak kita yang masih mau mempertahankan ras mata sipit.”
“Iya juga ya,” ucap pria itu. Ayana memasukkan bill dalam dompet dan mengeluarkan kartu nama lalu dia menyerahkan ke pria itu.
“Ini apa?” tanya pria itu.
“Maaf tadi mencuri dengar, katanya mau renovasi rumah? Aku kerja di toko bahan bangunan modern, barang kali mau pesan,” jawab Ayana sok jual mahal melancarkan ide gilanya.
“Oh tetap ya bisnis?” kekehnya.
“Cuan is cuan.”
“Dapat diskon enggak nih?” gurau pria tampan itu.
“Dapat biasanya sebutin aja marganya,” kekeh Ayana membuat pria itu tertawa.
“Oke nanti pesan kalau butuh.”
“Sipp, duluan ya,” ucap Ayana, lalu dia menoleh ke arah waitress, “mbak kasih aja ke orangnya langsung,” tutur Ayana. Bisa-bisanya King tetap menunggu di meja tanpa menawarkan untuk split bill. Raja apa seperti itu? Raja medit iya! Ayana meninggalkan cafe itu tanpa menoleh pada King sama sekali. Dia harus protes pada papanya!
***
Shireen mendapatkan paket dari Davina, permen karet katanya tapi hanya boleh dimakan di tempat honey moon nanti. Aneh! Mengapa harus di tempat honey moon? Ah mungkin karena untuk menghalau dingin?
Dia masih membereskan barang-barangnya, lusa dia akan berangkat liburan pertamanya ke luar negeri bersama suami yang disayanginya. Dia memasukkan barang-barang yang dilist bersama Ayana.
Gyandra menatap Shireen yang duduk di lantai kamar seraya memasukkan beberapa bajunya. Dia yang baru keluar kamar mandi sambil menyugar rambutnya itu pun mengernyitkan kening, menajamkan mata demi melihat pakaian-pakaian yang dimasukkan Shireen.
“Yakin bawa baju-baju itu, Dek?” tanya Gyandra. Shireen mendongak menatap suaminya yang masih menyugar rambut dengan handuk untuk mengeringkannya.
“Memangnya kenapa, Bang?” tanya Shireen balik.
“Di sana dingin lho, bawa baju yang agak tebal sedikit. Untuk jalan-jalan,” tutur Gyandra.
“Oh gitu, tapi kata Ayana ... ah anak itu dasar! Kusumpahin dijodohin sama laki-laki mokondo!” geram Shireen yang kemudian mengeluarkan beberapa baju tipisnya. Gyandra hanya terkekeh melihat istrinya misuh-misuh. Dia duduk di tepi ranjang dan membuka ponselnya. Mengirim pesan pada Elenio untuk menemuinya di Swiss nanti, meskipun Elenio tidak tingal di sana.
Elenio menyanggupi dengan syarat Gyandra tidak boleh lagi mensabotase temannya untuk mengirim kopi padanya.
Gyandra tersenyum tipis dan meletakkan ponsel di atas nakas. Dia kemudian meletakkan handuk basahnya di tempat seharusnya, tidak di atas ranjang seperti kebanyakan pria pada umumnya. Dia memang orang yang teratur dan disiplin. Shireen sangat menyukai hal itu.
Shireen kemudian naik ke ranjang setelah memastikan semua barang bawaannya lengkap. Menyusun sejak beberapa hari sebelumnya akan memudahkannya mengingat jika ada yang harus dibawa dan belum sempat dimasukkan.
Gyandra mengganti channel televisi, menjadi siaran bola. Sementara Shireen berbaring di ranjang yang hangat dan menarik selimutnya hingga ke perut.
“Bang nanti kita di sana kegiatannya apa aja?” tanya Shireen.
“Nanti adek ditemani guide dulu ya untuk hari pertama karena abang ada urusan bisnis, malamnya kita makan malam bersama, hari kedua baru jalan-jalan sama abang, kita ke bagian desanya,” tutur Gyandra.
“Asik, berapa hari kita di sana?” tanya Shireen.
“Empat hari, kamu harus sehat ya karena perjalanannya juga panjang belasan jam di pesawat,” tutur Gyandra.
“Siap, kalau gitu, adek mau tidur dulu yang banyak,” ucap Shireen sambil tersenyum lebar. Gyandra mengusap kepala Shireen lembut.
“Abang nonton tivi dulu boleh kan? Atau kalau terganggu, abang nonton di ruang depan saja?” ucap Gyandra.
“Enggak kok, abang nonton aja di sini,” ucap Shireen yang kemudian memajukan tubuhnya dan memeluk perut Gyandra. Gyandra mengusap-usap rambut Shireen hingga wanita itu terlelap tidur. Gyandra menunduk untuk melihat wajah Shireen yang tertidur pulas, jemarinya masih membelai rambut itu dengan lembut, menyemaikan kasih sayang untuk sang istri yang masih mendekapnya erat meski sudah terlelap. Satu pintanya, dia ingin membahagiakan wanita ini, bahagia bersamanya.
***
Jantung Shireen berdebar kencang, ini pengalaman pertama dia akan naik pesawat, dia sangat takut namun excited sekaligus. Arumi dan Bima mengantar sampai bandara.
Arumi memegang tangan Shireen yang terasa dingin.
“Kamu sakit?” tanya Arumi. Shireen membelalakkan mata dan menggeleng, terlebih Gyandra dan Bima, ayahnya menoleh ke arahnya.
“Aku gugup, Ma,” jawab Shireen membuat Arumi tersenyum lucu.
“Wajar ini pengalaman pertama kamu, Kan. Nanti kalau suaranya terlalu bising pakai penyumbat telinga, ada di pesawatnya,” ucap Arumi.
“Iya Ma,” jawab Shireen.
“Reen, jaga Gyandra ya,” ucap Bima membuat Shireen dan Arumi menatapnya dengan pandangan tak terbaca, “maksud papa kalian berdua saling jaga, makan makanan yang enak dan sehat, jangan kecapekan, dan selalu dekat Gyandra ya,” pesan Bima selanjutnya membuat Shireen tertawa sementara Arumi sudah menyenggol bahu suaminya.
“Gyandra hari pertama mau ke ru ... eh maksud mama mau ketemu rekan bisnis ya?” tanya Arumi yang hampir keceplosan menyebut rumah sakit. Ada apa dengan mereka berdua sebenarnya? Terlalu mengkhawatirkan Gyandra hingga membuat salah tingkah.
“Iya di kotanya, nanti Shireen ditemani guide perempuan, orang dari Indonesia juga,” jawab Gyandra.
“Oh syukurlah, ya sudah kalian berangkat, have fun ya, bawa pulang bekal cucu buat mama,” tutur Arumi membuat wajah Shireen memerah.
“Iya Ma, doain biar langsung jadi,” kekeh Gyandra membuat pipi di wajah Shireen semakin bersemu merah.
“Pelan-pelan aja yang penting sampai,” tutur Bima.
“Memangnya pesawat bisa diatur kecepatannya agar lebih pelan ya, Pa?” tanya Shireen membuat Bima dan Gyandra tertawa, ternyata dia sepolos itu untuk menangkap kode.
“Hadeh kalian ini,” celetuk Arumi. Kemudian dia memeluk Shireen bergantian dengan memeluk Gyandra.
“Hati-hati ya,” ucap Arumi.
“Mama sama Papa jaga diri ya,” ujar Gyandra.
“Pasti dong, jangan khawatirkan kami. Kalian bersenang-senang saja di sana,” ucap Bima. Gyandra mengangguk dan menggandeng tangan Shireen yang tangan sebelahnya dipakai menyeret koper.
Mereka pun berpisah di bandara. Kedua orang tua Gyandra saling berangkulan menatap putranya yang semakin menjauh. Rasanya sedih sekaligus senang. Sedih karena Gyandra masih harus bergelut dengan penyakitnya. Senang karena saat ini Gyandra terlihat jauh lebih segar dan bahagia. Bukankah mungkin jika dia bisa sembuh total? Ilmu medis sekarang kian modern. Mereka berharap Gyandra bisa benar-benar pulih setelah diperiksa di Swiss.
Bahkan tanpa sepengetahuan Shireen, Adnan pun ikut dalam penerbangan untuk mengawasi Gyandra seperti permintaan Bima. Biar bagaimana pun kondisi jantung Gyandra yang tidak normal seperti yang lainnya membuat dia harus ekstra hati-hati, kejutan yang tak terduga bisa membuatnya kehilangan control. Karena itulah Adnan diperlukan.
Pesawat mulai lepas landas, mereka memang duduk di kelas bisnis agar nyaman, Shireen memakai headphone di telinga, di sampingnya Gyandra mengenggam erat tangannya yang dingin. Shireen merasa takut, namun usapan lembut ibu jari Gyandra di tangannya menenangkannya.
Shireen merapalkan doa dalam hatinya agar penerbangannya berjalan lancar dan tiba di tempat dengan selamat. Setelah pesawat mulai stabil di atas, dia melepas headphonenya, pramugari mengantarkan makanan untuknya sehingga Shireen semakin menikmati perjalanan panjang ini, terlebih di sampingnya ada sang suami yang selalu sigap membantunya.
Tak pernah terbayangkan olehnya, dia bisa menikmati fasilitas seperti ini, duduk dengan nyaman, naik pesawat mahal dan menuju negara impiannya yang dulu hanya bisa dia mimpikan. Satu persatu impiannya terwujud, dan bersama Gyandra dia meraihnya, tak ada yang lebih membahagiakan selain ini dalam hidupnya. Karena itu dia tak pernah lupa mengucap terima kasih atas segala yang dilakukan Gyandra untuknya, hal besar atau pun hal kecil sebagai bukti menghargai pasangan.
***