15. Desir

1645 Kata
Hari ini Shireen keluar dengan salah satu temannya yang pernah menjadi bridesmaid, dia masih memiliki sisa cuti, sementara Gyandra sudah masuk kerja. Namanya Davina, dia sudah menikah dua tahun lalu, bisa dibilang dia yang paling pertama menikah di antara teman-teman lainnya. Dia sudah memiliki satu anak berusia satu tahun yang dititipkan pada pengasuhnya. Davina adalah ibu rumah tangga yang memiliki bisnis sampingan online shop yang cukup maju. “Bagaimana malam pertamanya?” tanya Davina ketika mereka memasuki mall tersebut. Shireen memang berkata ingin belanja pakaian dan meminta Davina mengantarnya, Davina sangat mengerti fashion, Shireen cukup malu dengan pakaian sehari-harinya ketika bertemu ibu mertuanya yang selalu berpakaian rapih dan anggun. Selera ibu mertuanya sangat bagus, meskipun tak pernah melangsungkan protes namun dia tetap saja tak mau membuat ibu mertuanya kecewa. Katanya istri adalah pakaian suami, jika sang istri berpenampilan baik, maka suami bisa dikatakan sukses menjadi suami yang baik juga. Begitu pula sebaliknya. “Belum,” ucap Shireen. “Sudah dua hari belum sama sekali?” tanya Davina. “Ya belum, dia belum minta,” kekeh Shireen. “Ish, kamu coba mulai duluan.” “Enggak mau, enggak bisa, takut sakit.” “Sakit sedikit, enak banyak,” jawab Davina membuat Shireen mendengus. “Memangnya bisa ya melakukan itu tanpa dasar cinta?” “Bisa, nyatanya para lontay bisa kok,” jawab Davina asal. “Ish!” “Serius, lagi pula itu kan kewajiban kita sebagai istri untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Barang kali setelah melakukan itu timbul cinta di antara kalian, jangan bilang kamu belum ciuman juga sama dia?” “Memang belum kok,” jawab Shireen. “Astaga, punya suami ganteng gitu kok dianggurin. Dicium perempuan lain baru tau rasa!” “Ih enggak mau, kok kamu nyumpahin?” rutuk Shireen membuat Davina memuntahkan tawanya. “Lagian kamu tuh polos banget, cowok enggak minta duluan belum tentu karena dia enggak mau, mungkin dia menunggu sinyal dari kamu,” ujar Davina. “Sinyal? Bagaimana cara kirim sinyalnya?” tanya Shireen. “Pakai baju seksi, tubuh wangi, kedip manja, atau pegang tangan dia tempelin itu kamu,” lirik Davina ke arah bagian atas tubuh sahabatnya. “Huwaaa messsum!” “Lha sudah halal suami istri sih,” kekehnya. “Nanti pipisnya sakit enggak sih?” “Kamu pikir di tempat pipis? Dasar sontoloyo, di bawahnya,” geram Davina. “Oh beda ya?” “Beda, kamu pelajaran IPA dulu ke mana sih? Bolos ya?” Shireen hanya terkekeh menanggapinya. Mereka kemudian masuk ke toko baju yang cukup terkenal, banyak baju yang dipilih Shireen atas rekomendasi Davina, dari baju santai, casual, sampai semi formal. Shireen juga mengambil rok dan celana juga baju terusan, dia membayarnya di kasir dengan kartu pemberian Gyandra. Menekan pinnya yang merupakan tanggal lahir Gyandra. “Sekarang ke pakaian dalam,” ajak Davina. Dia langsung memilih banyak pakaian dalam yang cukup bagus dan nyaman, tak lupa lingerie hitam dan merah. “Harus?” tanya Shireen. “Biar kodenya langsung sampai,” kekeh Davina, “buang semua pakaian dalam kamu yang kendor dan bolong. Awas aja masih dipakai, nih sudah beli banyak ganti semua, termasuk pakaian-pakaian kamu yang kusam. Sekarang kamu itu istri dari pemilik perusahaan jangan buat malu suami kamu,” perintah Davina yang disetujui oleh Shireen. Mereka kemudian menuju penjual pakaian kerja, Shireen tak ingin membeli tas dan sepatu karena dia masih menyimpan pemberian dari mertuanya. Kini di tangan mereka berdua telah dipenuhi kantung-kantung belanjaan, yang ternyata Davina pun selalu membeli untuknya juga karena ikut kalap. “Make up,” ujar Davina kemudian. Shireen hanya menuruti apa yang diminta sahabatnya, dia mempercayai semua pada sahabatnya karena selama ini Davina selalu memberikan yang terbaik, meski dia terkesan jutek atau galak, namun Shireen tahu ketegasan Davina mengandung makna kebaikan, dia juga sebenarnya yang menentang hubungan Shireen dengan Danna selama ini, namun Shireen tak mengindahkannya hingga dia benar-benar mendapat pukulan keras. Dan dengan baiknya Davina tidak mengadilinya justru ikut menghiburnya. Dia memilihkan beberapa alat make up untuk Shireen yang dinilai cocok untuk kepribadiannya yang riang dan ramah. Beberapa warna lipstik yang bisa membuat wajah Shireen terlihat lebih cantik. Juga perawatan kulit lainnya. “Sudah habis berapa puluh jetong ini?” tanya Davina. “Entah, kata bang Gyandra suruh pakai aja jangan dipikirin habisnya berapa?” tanya Shireen yang cukup kerepotan memasukkan barang belanjaan ke mobil Davina. “Beda kelas ya sama Danjingan sih,” gurau Davina membuat Shireen mendengus. Setelah keduanya masuk mobil, mobil itu pun melaju dikemudikan oleh Davina. “Kamu harus belajar menyetir Reen,” ungkap Davina. “Iya pengen sih, ajarin dong,” ucap Shireen. “Enggak deh, bisa naik darah aku ngajarin kamu. Pakai kursus pengemudi aja, tapi minta pengajarnya yang cewek, kita harus jaga perasaan suami kita kan?” “Iya juga ya, nanti aku bilang suamiku deh, minta izin,” jawab Shireen. “Iya dong harus,” timpal Davina. Davina mengantar Shireen sampai rumah setelah mereka singgah ke restoran tadi, Shireen mentraktir Davina sebagai ucapan terima kasih untuk hari ini. Tentu saja Davina tak keberatan membantu sahabatnya. Namun, dia tak bisa singgah lebih lama karena anaknya sudah terlalu lama ditinggal. Shireen masuk ke dalam rumah dan langsung menata semua barang yang dia beli, tak lupa untuk pakaian dia melakukan prewash, ada mesin cuci satu tabung di rumah itu. Sambil mencuci dia pun memasak untuk suaminya pulang kerja nanti. Masakan telah tersaji dan cucian telah selesai, dia menjemurnya di jemuran dalam. Rupanya dia menyadari banyak sekali baju yang dia beli. Dia berharap Gyandra tak marah karena dia yang kalap belanja. Shireen pun kemudian mandi dan menunggu Gyandra di ruang televisi, Gyandra pulang tepat waktu. Shireen menyalami punggung tangannya. “Mau mandi atau makan dulu?” tanya Shireen. “Mandi dulu ya,” ucap Gyandra. “Mau disiapkan bajunya?” tanya Shireen. “Enggak perlu, makasih ya,” kekeh Gyandra membuat Shireen tersenyum canggung. Dia pun kembali menunggu kini di ruang makan, menyajikan makanan di meja. Gyandra mandi tak terlalu lama, dia pun ikut duduk di meja makan. Shireen menyendokkan nasi dan lauk yang dia masak. “Bagaimana belanja hari ini?” tanya Gyandra. “Seru dan capek, maaf ya bang, adek habisin banyak uang,” tutur Shireen. “Kok minta maaf, itu kan memang jatah kamu. Enggak apa-apa abang ikhlas,” jawab Shireen. “Makasih banyak.” “Oiya tadi abang sudah daftarkan untuk pembuatan passpor, besok ikut foto ya,” jawab Gyandra. “Siap,” balas Shireen. Dia tak menyangka akan cepat mewujudkan mimpinya jalan-jalan ke luar negeri. “Hmmm makanannya enak,” puji Gyandra di sela makan malamnya. “Oiya? Pas kematangannya enggak?” “Pas kok,” jawab Gyandra, “besok habis foto passpor singgah ke kantor abang dulu ya, ada yang mau abang kerjakan,” tutur Gyandra. “Iya bang, aku ikut ke mana aja, lagian aku masih cuti, lusa baru masuk,” ucap Shireen. “Oh gitu, kamu enggak mau buka toko kue aja?” tanya Gyandra, “kue buatan kamu enak,” imbuhnya. “Mau sih, tapi nanti aja deh,” timpal Shireen, apakah Gyandra akan mewujudkan mimpi lainnya? mengapa Tuhan bisa memberikan hadiah indah seperti ini untuknya? Membuat shireen sedikit takut, dia takut jika terlalu bahagia ternyata bahagianya hanyalah semu. Shireen menggeleng, dia tak boleh berburuk sangka kan? *** Setelah foto untuk passpor, Shireen ikut ke kantor sang suami, ini kali pertama dia menjejakkan kaki di perusahaan itu, dia tak menyangka perusahaan tempat Gyandra bekerja sangat besar dan luas, jauh lebih besar dari Enerson. Bahkan bagian gudangnya sangat luas, karena tempat produksi pun berada di sana yang sengaja jauh dari kepadatan lingkungan agar suara bising dari alat-alat produksi tidak mengganggu warga. Shireen diajak berkeliling oleh Gyandra mengenalkan diri sebagai istrinya, mereka semua sudah bertemu dengannya di pesta pernikahan, namun hanya sebentar saat berjabat tangan. Shireen merasa beruntung kemarin dia belanja banyak pakaian dengan Davina karena dia merasa tak mempermalukan suaminya dengan pakaian yang sebelumnya dia miliki. Kini Shireen sudah duduk di ruang kerja Gyandra, bahkan ruang kerja sang suami jauh lebih besar dari ruang kerja ayah Ayana. Ada sofa dengan meja kaca di ruangan itu. Ruangan yang didesign dengan sangat indah lengkap dengan furniture kayu yang membuat kesan klasik dan modern menjadi satu perpaduan yang kontras. Pintu ruang kerja Gyandra diketuk, lalu muncullah seorang wanita cantik dengan pakaian kerjanya yang cukup formal, dia membawakan dua minuman dengan dua piring kecil cemilan. Shireen sudah dikenalkan olehnya tadi, namanya Ghania, dia adalah sekretaris Gyandra. Usianya hampir sepantar dengan Gyandra sehingga mereka tampak akrab sebagai teman kerja. “Bu, diminum,” ucap Ghania, selain cantik dia juga ramah, wajahnya memakai make up yang membuatnya terlihat jauh lebih cantik. “Terima kasih,” balas Shireen memandangnya lekat. Ghania kemudian menghampiri Gyandra yang duduk di kursi meja kerjanya sedang menekuri laptop. “Mas,” panggil Ghania yang langsung mengambil posisi di belakang Gyandra, satu tangannya terulur memegang sandaran kursi Gyandra. “Email yang tadi, diminta balas cepat, penyediaan barang untuk kantor pemerintah,” tutur Ghania. “Email yang dari siapa tadi?” tanya Gyandra yang membuka jendela email di layar laptopnya. Satu tangan Ghania yang bebas menunjuk layar laptop membuat dia seperti hampir memeluk Gyanda. Shireen memperhatikannya lekat, apakah mereka berdua memiliki hubungan spesial? Shireen mengambil gelas dan meneguk teh hangatnya, dia memandang mereka dengan pandangan aneh, jantungnya berdesir. Apakah dia cemburu? Karena biar bagaimana pun pria di hadapannya itu adalah suaminya. Gyandra tampak menggeser kursinya hingga Ghania menyadari bahwa Gyandra tak nyaman, mungkin karena ada istrinya di tempat ini. Ghania menarik kedua tangannya. “Jika mas setuju, aku minta tim membuatkan penawaran harga,” tutur Ghania kemudian. “Saya pelajari dulu permintaannya, nanti dikabarkan sepuluh menit lagi,” ujar Gyandra tanpa menatap Ghania sama sekali. “Baik mas, aku ke meja dulu,” ucap Ghania yang kemudian melewati Shireen sambil tersenyum dan mengangguk sopan. Shireen membalas senyumnya lalu menatap suaminya yang menoleh ke arahnya. “Abang akrab sama dia?” tanya Shireen tak dapat membendung rasa penasaran lagi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN