Menghitung waktu sepertinya tak membuatnya berjalan lambat, nyatanya hari ini datang juga, hari pernikahan Danna dengan Steffani. Semalam dia bahkan nyaris bergadang karena rasa kantuk tak juga menggelayuti matanya. Dia sangat kesal dengan otaknya yang terus saja memutar kenangannya bersama Danna.
Selama berpacaran dengan Danna, memang Shireen merasa sangat menyayanginya. Mungkin juga karena ini kali pertama dia pacaran dengan sungguh-sungguh. Pacaran serius yang bertujuan untuk menjadikan pernikahan sebagai pelabuhan mereka. Namun, lagi-lagi impian itu kandas begitu saja.
Shireen tak pernah hidup dalam berkemewahan atau menghamburkan uang. Self reward hampir tak pernah ada dalam kamusnya! Dia hanya membeli barang yang dia butuhkan selama ini, tak jarang jika pakaiannya saja dia lebih sering membeli thrifting. Pakaian second yang murah di pasar besar.
Hanya pada hari raya dia membeli baju baru beberapa potong, itu pun atas permintaan Yuna, ibu dari Ayana yang memberinya uang dan wajib menyerahkan struk belanja dari uang itu agar Shireen tak bohong membeli baju second lagi.
Kini dia dibingungkan oleh pakaiannya, tak mungkin dia memakai kebaya wisuda lagi, karena minggu lalu saat acara lamaran saja dia sudah memakainya.
Sebanyak apa pun dia mencari, tetap dia tak menemukan pakaian yang layak yang setidaknya bisa membuat penampilannya tidak menyedihkan di pesta pernikahan mantan kekasihnya itu. Hingga kemudian ponselnya berdering, Gyandra meneleponnya. Shireen membelalakkan mata melihat penelepon itu. Dia lupa, dia janjian pada ibu Gyandra untuk menemaninya belanja dan ke salon pagi ini.
Shireen kemudian mengambil celana jeans dan blousenya. Dia menarik tas dari gantungan yang sialnya, talinya putus karena terlalu terburu. Sedangkan Gyandra sudah menunggu di bawah. Dengan cepat Shireen mengambil jarum jahit dan benang, menjahit tali tas itu. Dia pikir jika dia memegang tali itu nanti, tentu tak akan terlihat jahitannya.
Dia bergegas turun dari kamar kost menuju mobil Gyandra, rupanya Gyandra sudah berbincang dengan pemilik kost.
“Nah itu dia neng Shireen,” tutur bapak kost yang memang ramah tersebut.
“Maaf ya lama, aku hmm mulas tadi,” bohong Shireen, tak mungkin dia bilang kalau dia lupa janjian karena terlalu fokus mencari baju untuk ke pesta malam nanti. Biarlah saat menemani ibu Gyandra belanja nanti dia akan ikut mencari baju untuknya, sesekali tak apa mengeluarkan uang untuk dirinya, toh dia tak akan memusingkan pernikahan lagi karena keluarga Gyandra bilang mereka yang akan menanggung semuanya.
***
Gyandra kemudian mengajak Shireen ke rumah orang tuanya, dia menjemput ibunya yang duduk di belakang bersama Shireen dan dia layaknya seorang sopir mengemudi di depan. Shireen memang masih canggung, namun ibu Gyandra benar-benar bisa mencairkan suasana, mencari bahan pembicaraan hingga membuat Shireen kian nyaman.
Dia melirik tas Shireen yang lusuh dan astaga, ada jahitan di tali tas itu. Dia kemudian menatap putra di depannya. Sebenarnya mereka bertemu di mana? Jika melihat pergaulan putranya, sepertinya tak pernah Gyandra berteman dengan seorang wanita seperti Shireen. Bukannya sombong, namun selama ini Gyandra sekolah di sekolah bergengsi, termasuk kuliah.
Dia juga memiliki teman-teman bisnis yang bisa dibilang dari kalangan atas. Gyandra selalu cerita tentang temannya, namun tak pernah terdengar nama Shireen.
Arumi cukup penasaran dengan calon istri dari putranya itu, namun dia memendamnya. Terlebih ketika Gyandra berkata bahwa Shireen adalah wanita baik-baik dan dia berjanji akan bahagia bersama Shireen yang membuatnya yakin dan memberikan restu.
Sesampai di pelataran Mall, Gyandra memutuskan tidak ikut berbelanja, dia sangat tahu hobi ibunya yang menyita waktu itu. Dia tak mau kelelahan berkeliling bersama sang ibu. Jadi dia akan kembali pulang dan menjemputnya setelah mereka selesai berkeliling.
“Abang Gyandra kok enggak ikut, Ma?” tanya Shireen ketika calon ibu mertuanya menggamit tangan Shireen memasuki mall besar itu.
“Dia mana mau ikut Shopping Ren, beli baju aja selalu mama yang belikan,” sungut Arumi.
“Semua laki-laki seperti itu kayaknya Ma,” kekeh Shireen.
“Betul, papanya juga gitu. Benar-benar mama seperti nambah anak, bukan suami,” keluh Arumi membuat Shireen menahan tawanya.
Mereka kemudian masuk ke salah satu outlet tas dan sepatu. Arumi melihat beberapa tas keluaran terbaru sementara Shireen berkeliling di tempat sepatu. Dia menyentuh salah satu sepatu dan membalik sepatu itu. Dia bahkan cegukan ketika melihat harganya yang setara gajinya satu bulan.
“Mungkin nih sepatu dari berlian kali dalamnya ya?” ujar Shireen pelan. Dia melihat sepatu lain, bukan melihat modelnya justru dia melihat harganya saja dan dia selalu bergidik ngeri.
“Ada yang bisa dibantu?” tanya seorang pramuniaga wanita memandang Shireen dari atas sampai bawah. Dari tadi dia dengan temannya memperhatikan Shireen, namun tak ada satu pun yang mau menghampirinya. Akan tetapi mereka khawatir Shireen merusak barang di sana hingga mereka saling dorong untuk menghampiri Shireen.
Wajah pramuniaga wanita itu tak terlihat baik, tertulis nama Irva di label namanya yang menempel di baju.
“Saya hanya lihat-lihat saja,” ujar Shireen. Sementara itu manager outlet menemani Arumi melihat tas-tas yang merupakan keluaran terbaru.
“Yang ini masih sangat baru, baru datang kemarin sore, pasti ibu cocok,” tutur manager itu ramah, dia mengenakan sarung tangan berwarna putih dan menyentuh tas mahal itu dengan sangat lembut.
“Oiya, design-nya bagus,” tutur Arumi seraya memperhatikan detail tas tersebut.
Shireen merasa sangat tak nyaman karena dia terus diikuti oleh pramuniaga bernama Irva itu. Ketika dia ingin menyentuh salah satu sepatu yang tampak sederhana, dia langsung dicegah.
“Harganya sepuluh juta,” ujar Irva dari arah belakang hingga tangan Shireen kembali ditarik. Dia tersenyum tak enak. Akhirnya dia berniat menghampiri Arumi. Namun Irva menghadangnya.
“Jangan ke sana,” ujarnya dengan nada suara ketus.
“Kenapa?” tanya Shireen.
“Itu untuk tamu VIP,” tuturnya berbohong, melihat gelagat Shireen, sepertinya wanita itu tak akan mampu membeli satu pun barang di sana, dia tak mau keberadaan Shireen membuat wanita yang sedang memilih tas seharga puluhan juta itu mengurungkan niatnya membeli.
“Oh, gitu,” jawab Shireen seraya mengeratkan pegangan di tali tasnya yang lusuh itu.
“Jika mau harga yang lebih terjangkau kami bisa menyarankan di lantai ground, di sana tempat barang thrifting dan barang dari pengrajin, anda pasti cocok dengan barang-barang di sana,” ujar Irva dengan mata mendelik. Shireen ingin memanggil Arumi, namun dia mengurungkannya.
“Kenapa itu?” tanya Arumi pada manager toko tersebut tanpa melihat ke arah sumber suara yang sedikit keras.
Manager itu melihat ke arah Irva yang berbincang dengan perempuan berpenampilan lusuh itu. Lalu teman Irva menghampiri manager tersebut dan berbisik padanya.
“Usir saja,” ucap manager itu pelan. Arumi mendengar suaranya karena kondisi sedang sangat hening, dia kembali menoleh ke arah sumber suara, ternyata calon menantunya yang sedang berhadapan dengan karyawan toko yang membelakanginya.
“Shireen, sini Nak!” panggil Arumi. Irva dan para karyawan di tempat itu membelalakkan mata. Shireen kemudian melewati Irva dan menghampiri Arumi.
“Kamu suka model ini?” tanya Arumi. Shireen menggeleng. Dia tak suka, tas itu terlihat terlalu mewah.
“Tapi kalau untuk mama sepertinya cocok,” ucap Shireen meralat gelengan kepalanya.
“Buat kamu lah masa untuk mama? Ayo kamu pilih yang kamu suka,” ucap Arumi.
“Di ground saja Ma,” ucap Shireen pelan.
“Lantai ground?” tanya Arumi. Shireen pun mengangguk.
“Ah di ground enggak ada apa-apa, di sini saja,” ucap manager itu.
“Tapi kata mbak itu, saya lebih cocok dengan barang-barang yang dijual di lantai ground,” tutur Shireen polos. Arumi menarik napas panjang. Pasti semua karyawan salah paham melihat penampilannya. Matanya berkaca-kaca. Apakah Shireen selama ini sering mendapat perlakuan buruk seperti ini?
Manager toko itu memelototi Irva yang menyatukan kedua tangannya meminta maaf.
“Pegawai saya memang suka bercanda, maaf ya. Kalau untuk kakaknya cocok tas ini, warna hitam yang klasik dan simpel namun tetap terlihat trendi dan modis,” ucap manager toko itu mengambilkan satu tas berwarna hitam. Shireen pun suka dengan tas itu, ketika dia ingin membalik label harganya, Arumi segera mengambil tas itu.
“Kamu cocok pakai ini,” tutur Arumi. “Tolong carikan sepatu yang senada dengan tasnya,” ujar Arumi menyuruh Irva. Irva pun bergegas mengambil sepatu yang tadi ingin dipegang Shireen karena sepatu itu memang setipe dengan tas yang diambil ini. Dia pun menghampiri Shireen dan menyerahkannya.
“Jangan, M-ma,” ucap Shireen. Arumi merangkul pinggangnya dan berbisik.
“Mama enggak mau kamu dipermalukan, Sayang. Kita beli saja ya,” ucap Arumi. Shireen pun kemudian mengangguk. Sebenarnya harganya terlalu mahal untuk flat shoes seperti ini saja. Namun, dia tak mau menolak pemberian calon mertuanya itu.
Setelah membayar, Arumi pun meminta Shireen memakai sepatu dan tas itu. Dia mamakainya di dalam toko dan melepaskan sepatu serta tasnya yang dimasukkan dalam paper bag khas toko tersebut. Mereka berjalan berdua keluar dari toko itu.
“Mama tandai toko ini! Jangan beli di sini lagi,” decihnya sebal.
“Maaf ya Ma, pasti aku sudah buat mama malu,” ucapnya penuh penyesalan.
“Mama enggak malu sama sekali Sayang. ngomong-ngomong mama kan buatkan hantaran berisi tas dan sepatu, kenapa enggak kamu pakai?” tanya Arumi mengingat dia membeli barang itu untuk Shireen ketika lamaran.
“Belum dibuka Ma, aku sayang-sayang pakainya,” ucap Shireen.
“Kamu nih, jangan gitu lagi ya, pakai saja nanti kita bisa beli yang lain lagi, biar bagaimana pun setelah kamu menikah dengan Gyandra, kamu resmi menjadi anak mama juga,” tutur Arumi. Shireen mengangguk dengan mata berkabut.
Ketika memasuki toko pakaian, karena melihat tas dan sepatu Shireen yang bermerk, sepertinya pramuniaga itu menyambutnya jauh lebih baik dibanding toko pertama tadi. Mereka melayani Shireen dengan sangat baik meski Shireen terpisah dengan Arumi.
Mereka membeli pakaian santai beberapa potong di toko ini, lalu Arumi mengajak Shireen menuju toilet dan meminta Shireen mengganti pakaiannya yang juga lusuh itu. Dia kini tampak berkali lipat jauh lebih baik.
Setelahnya dia mengajak ke butik designer ternama di mall ini. Tentu saja karyawan butik ini menyambut dengan senyum yang jauh lebih lebar. Arumi memilih pakaian pesta untuk Shireen seperti permintaan Gyandra. Gaun berbahan satin dengan lapis tulle ini membuat penampilan Shireen jauh lebih memukau. Long dress mewah lengan pendek dengan warna cream keemasan ini membuat Shireen terlihat elegant.
Mereka juga membeli dompet dan sepatu heels senada. Shireen sudah menolak namun Arumi bilang dia tak mau ditolak dan ini adalah permintaan khusus dari putranya sehingga Shireen benar-benar tak bisa menolaknya. Mereka bahkan menuju salon setelah ini.
Di salon, tangis Shireen benar-benar pecah, meski dia menyembunyikannya ketika dia dimassage secara tertelungkup. Betapa perhatiannya Arumi, hal yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya dengan otak dangkalnya yang awalnya berpikir menikah dengan Gyandra hanya agar dia bisa memiliki rumah dan membuktikan bahwa ada laki-laki yang menerima dia. Kini dia justru mendapatkan bonus orang tua yang memperlakukannya seperti anaknya sendiri! Sungguh beruntung!
***