chapter 06

3764 Kata
Leo sudah bertemu dengan semua jenis sifat cewek yang begitu beragam. Karena mempunyai pengalaman yang banyak itu, ia menjadi sudah hapal bagaimana caranya membujuk seorang cewek yang sedang marah atau ngambek. Leo mengetahui cara jitu agar dimaafkan dengan berbagai gombalan atau cara manis. Tapi, sepertinya ia harus menyimpan semua macam gombalan receh yang selalu ia umbar itu karena sekarang semuanya tidak terpakai. Bukan karena tidak mempan, melainkan Leo bingung ingin menggombal seperti apa jika sang ceweknya saja tidak marah. Itu benar. Jadi awalnya, Leo sudah menyiapkan amunisi perang jika nanti Naya akan mogok bicara akibat... ehem, perihal cewek yang marah-marah pada Leo di warung gado-gado tiga hari yang lalu. Tapi ternyata tebakan Leo melenceng jauh sampai ke angkasa. Bukannya marah---atau minimal menampar Leo--- tiga hari belakangan ini Naya malah membangunkannya dengan senyum mengembang sambil menyiapkan sarapan berupa pancake dan s**u vanilla. Leo bingung. Leo merasa b**o. Leo tidak mengerti. Sebenarnya Naya itu siapa dan seperti apa? Malaikat, kah?! Naya nyaris tidak menyinggung perihal hal cewek di warung gado-gado sama sekali. Ia berlagak semuanya aman dan terkendali. Bagi Leo itu bagus, tapi ia jadi merasa bersalah pada Naya. Dan Leo benci itu. Setidaknya, satu tamparan keras di pipi terasa setimpal. "Hari ini gak usah dijemput, Kak," Ucap Naya sambil mengoleskan selai coklat pada rotinya. "Kenapa?" "Ada acara di sekolah dan Naya jadi panitia. Pulang sekolah mau rapat. Boleh?" Leo mengangguk. "Gue jemput kalau rapatnya selesai. Hubungi gue." Tapi Naya berkata bahwa pulangnya pasti sangat sore dan Leo keukeuh ingin jemput. "Ya udah, tapi hari ini gue anter, ya," ujar Leo dan Naya mengangguk. "Maaf, Naya angkat telepon dulu." Naya bangkit dari duduknya kemudian berlalu menuju ruang tamu dan mengangkat panggilan dari ponselnya. Leo mengerutkan kening karena sepanjang Naya tinggal di rumah ini, Leo baru sadar bahwa ini kali pertama gadis itu menerima telepon. Sejauh ini, Naya tak pernah memegang ponsel. Satu pesan datang pada ponsel Leo yang tergeletak di sebelah piring berisi roti bakar miliknga. Axel : Mas bro masi idup kan ya? Kpn otw club? Dah 3 hari lu alfa bro Leo meringis pelan. Setelah kejadian itu, ia memang belum ke club lagi. Bukan karena ingin insyaf, tapi Leo hanya sedang mesntabilkan keadaan. Jika Naya tidak marah seperti ini, mungkin nanti malam Leo akan kembali mencari mangsa. Sekali berengsek ya akan terus menjadi berengsek. "Mau pergi sekarang nggak?" Leo berteriak memanggil Naya karena gadis itu sepertinya terlalu asyik bertelepon ria. Naya mengangguk sambil mengikuti Leo yang keluar rumah menuju garasi. Pemuda itu sempat memperhatikan perubahan raut wajah Naya yang terlihat seperti bahagia. Entahlah, Leo tidak mengerti. "Inget ya, Kak. Nggak usah dijemput," ucap Naya sambil membuka pintu mobil dan duduk dengan senyum mengembang sepanjang perjalanan. Sesekali ia ikut bernyanyi jika radio memutar lagu yang ia suka. "Seneng banget kayanya," sindir Leo secara tidak sadar. Kini tawa Naya terbit menandakan bahwa suasana hatinya memang sedang baik. "Boleh tahu kenapa?" Leo tidak penasaran, hanya lumayan ingin tahu. Sama saja ya k*****t. "Naya dapet kostum Wonder Woman buat acara sekolah nanti," jawab gadis itu. Leo mengangguk-anggukan kepalanya saja. Hanya memakai kostum i***t tetapi gadis ini bahagia. Benar-benar ya. Leo melambaikan tangannya pada Naya untuk beberapa detik setelah gadis itu turun. Naya berlari masuk menuju gerbang bersama Dee yang sudah menunggu dengan setia. Gadis cempreng itu memang mengetahui pertunangan antara Leo dan Naya. Walaupun berisik, tetapi Dee bisa menjaga rahasia. *** Leo sedang memilih berbagai macam pakaian casual. Hari ini ia memang sedang ingin belanja. Merasa sudah lelah dan takut credit card yang lain kembali diblokir sang Mami, Leo memilih menyelesaikan acara belanjanya. Leo bersiul pelan sambil melangkah menuju parkiran. Tetapi, pemandangan yang menunjukan seorang gadis berwajah familiar menghentikan langkahnya. "Oh, rapat?" gumam Leo sambil mendengus. Entah mengapa Leo merasa kesal dibohongi oleh Naya. Ternyata Naya memang sama saja. tidak sepolos yang Leo pikirkan karena sekarang gadis itu sedang jalan-jalan di mall. Rapat di mall?!! Leo berjalan hendak menghampiri Naya tetapi suara seorang cowok yang memanggil Naya kembali menghentikan langkahnya. "Naya princess, mau makan dulu atau langsung nonton?" "Bebas. Aku free hari ini." Leo meremas kantung belanja yang ia genggam. Sial! Apa-apaan ini? Mengapa Leo harus percaya jika Naya akan rapat padahal gadis itu jalan dengan cowok?! Siapa cowok itu? Naya princess, eh? *** Udara kota Jakarta memang sangat panas dan juga terkadang terasa dingin seperti sekarang. Leo menggesekan kedua tangan agar udara sedikit hangat dan badannya tidak terlalu kedinginan. Ia menghela napas karena malam ini hatus berdiri di depan pintu gerbang rumah hanya karena gadis yang sudah seminggu tinggal dengannya itu belum pulang semenjak pagi. Leo tahu bahwa malam ini Naya memang ditugaskan menjaga stand untuk acara ulang tahun sekolah. Tetapi, ini sudah jam sembilan malam dan siapa orang-orang i***t yang masih mau berdiam diri di sekolah? Atau jangan-janga dia main lagi ke mall sama cowok? Bodo amat. "Bikin susah aja." Leo memang sedang mengeluh. Kalau bukan karena pesan pendek Mami yang meneror dan menanyakan Naya sudah pulang atau belum secara terus menerus seperti malaikat maut, Leo rasanya ingin tidur saja tanpa harus repot-repot menunggu di depan gerbang seperti ini. Mengapa di depan gerbang? Karena Mami mengajak video call-an. "Susul ke sekolah sekarang juga, Yo!" teriak sang mami dari seberang sana. Leo langsung memutar kedua bola mata. "Mi, dia bilang bisa kok balik sendiri. Lagian Leo ngantuk." "Wah, minta diblokir credit card-nya, ya?" "Oke, Leo jemput!" Sambungan terputus. Leo mengacak-acak rambutnya sambil berjalan menuju mobil sport yang siap ia kendarai menuju tempat di mana gadis menyusahkan itu berada. Setelah sampai di depan gerbang sekolah, rasanya Leo ingin mengutuk siapa pun yang mengadakan acara pesta rakyat dengan stand-stand murid yang berjejer di sepanjang sudut sekolah. Pantas saja Naya belum pulang karena malam ini club saja kalah ramai. Dari anak kecil ingusan sampai bapak-bapak gendut, semuanya kumpul melebur menjadi satu. Mengantre di depan stand para murid sambil meminta foto pada penjaga stand yang memakai kostum bermacam-macam. "Lo di mana sih?" Leo menghentakan kakinya karena pusing mencari stand mana yang dijaga oleh teman-teman kelasnya Naya. Terlalu ramai dan bising. Leo tidak bisa berpikir karena kapasitas otaknya memang sedikit. Salahkan video bokep yang sudah meracuni otak pintarnya. "Sorry, lo kenal Raya?" Leo bertanya pada seorang murid yang memakai kostum Thor. Jika kalian bayangkan yang memakai kostum ini sangat keren, nampaknya kalian harus berhenti berimajinasi. Karena murid yang menjadi Thor ini sangat kurus. Bahkan palu yang ia pegang lebih besar dari kepalanya. Stop membayangkannya, Teman-teman. "Raya? Iya, tahu. Dia di stand tahu bulat, Kak," jawab pemuda itu. Leo mengangguk paham. "Thanks. Btw, lo keren pake kostum ini." Si Thor palsu itu nyengir lebar. "Makasih banyak, Kak!" Meninggalkan si Thor KW, Leo berjalan mencari stand tahu bulat yang nampaknya ramai pengunjung. Leo mengedarkan pandangannya tetapi tak bisa menemukan Naya. "Ada yang namanya Raya di sini?" Akhirnya Leo berteriak. "Saya! Mau foto bareng?" Leo memperhatikan seorang gadis cubby dengan kostum ketat milik Tris Prior di film Divergent. "Gue salah orang. Sorry." Leo langsung mundur dari stand tahu bulat dan membawa langkahnya lagi. "SILAKAN KAKAK! DATANG KE STAND KAMI!!" Leo melirik pada sumber suara yang sepertinya tidak asing ditelinganya. "Dee!" panggil Leo pada Dee yang sedang membujuk pengunjung sambil memakai kostum Cat Woman. "Kak Leo? Ngapain di sini? Sama Kak Vano nggak?" tanya gadis itu dengan heboh. Penuh imajinasi dan harapan. Leo menggeleng pelan. "Gue dateng sendiri dan temen lo mana?" "Naya?" "Iya. Udah wakunya dia pulang." Dee menujuk ke arah stand miliknya. "Lagi ngelayanin pembeli dan fans-nya yang minta foto. You know, dia bintangnya malem ini." "Maksud lo?" "Dia paling seksi, paling cantik dan gara-gara dia, stand ini rame. Yeayyy!!!" Leo mengerutkan dahinya. "Apa yang lo maksud 'dia paling seksi'?" "Liat aja sendiri." Dee mengibaskan kedua tangannya di udara. "Udah ya, gue mau promosi lagi. AYO SEMUANYA DATANG KE STAND INI!! GRATIS FOTO SAMA NAYA SI WONDER WOMAN SEKSI LHOOO!!" Leo langsung masuk ke stand dan melihat orang-orang yang ramai menunggu pesanan. Dee dan kawan-kawannya ternyata menjual kebab. Tapi yang terpenting, di mana Naya?! "Yang mau minta foto, sabar ya." Leo berbalik badan ketika mendengar suara Naya yang belakangan ini mau tidak mau selalu ia dengar. "What's wrong with her costume?" Leo menggeleng heran. "Dia mau lelang d**a sama b****g apa gimana?" 'Naya si wonder woman seksi' nampaknya memang pantas menjadi julukan untuk gadis s**u vanilla itu malam ini. Rok pendek diatas lutut ---Jika Leo sudah berkata pendek, berarti itu benar-benar pendek--- dan, apa itu? Tanpa stoking? Pahanya terlalu mulus bahkan Leo baru tahu bahwa kaki Naya jenjang! Belahan baju di area depan yang minim, hampir memperlihatkan d**a Naya yang sebenarnya tidak serata yang selama ini Leo bayangkan. Walaupun Miyabi tetap lebih montok, tapi kali ini Naya benar-benar berpenampilan beda. Make-up tebal dengan lipstik merah, entah mengapa membuat Leo merasa marah. "Kita pulang." Leo menarik tangan Naya tanpa permisi sehingga gadis itu meringis pelan. "Kak Leo, gue belum selesai," rengeknya. "Pulang." "Kak, gue---" "Pulang! Kalau gue pulang, lo harus ikut pulang!" "...." Naya langsung terdiam, bangkan seluruh pengungjung ikut berbisik-bisik. "Lo bener-bener nyusahin!" Leo langsung melepaskan kaos panjangnya sehingga sekarang ia shirtless di hadapan banyak orang. Para gadis yang melihatnya langsung berterik heboh. "Lo apa-apan, Kak?" tanya Naya bingung bercampur kalut. "Lo yang apa-apaan!" Leo mengenakan kaos itu dengan paksa pada Naya dan gadis itu hanya menurut saja. "Kakak telanjang!" Naya tidak mengingatkan, ia berteriak. Menyuruh Leo  agar memakai pakaiannya lagi. Leo tak menghiraukan ocehan Naya karena sekarang ia mengambil sebret dari meja kemudian memakaikannya disekitar pinggang Naya sehingga sekarang paha mulusnya tidak terlalu terekspos. Leo kembali menarik tangan Naya keluar stand dengan cukup kasar dan cepat. Terus berjalan tanpa menghiraukan rengekan Naya dan tatapan heran dari orang-orang. "Kak, stop!" Naya mencoba menghentikan langkah Leo tetapi tenaga mungilnya memang terlalu mungil. "Kak!" "Apa?!" Leo tak sadar membentak. Naya langsung memeluk Leo sehingga cowok itu mengerutkan dahinya. "Nggak adil kalau gue pake baju Kakak sedangkan Kakak shirtless. Gue nggak rela tubuh Kakak dipandangin sama cewek lain!" Mendengar ucapan Naya, entah mengapa membuat Leo tersenyum dan, apa ini? Hatinya menghangat? Apa tidak salah? "Jangan pernah pake kostum sialan ini lagi." Leo membalas memeluk Naya dan menempelkan dagunya dipuncuk kepala gadis itu. "Maaf, Kak." Leo menggeleng. "Jangan minta maaf sama gue. Ayo pulang." Menggenggam tangan Naya menuju mobilnya dan sepanjang perjalanan, mereka diperhatikan oleh semua orang dengan tatapan heran dan terpesona secara bersamaan. "Pakai baju ini lagi, Kak. Lagian gue udah di mobil," ucap Naya. "Gue ada baju yang lain." Naya hanya mengangguk pelan. "Siapa?" Naya melirik Leo dengan pelan. "Apanya?" "Siapa yang nyuruh lo pake kostum ini?" "Dee." "Jangan nurut aja kalau itu salah, Ray." "Naya." Leo memukul stir mobil. "Gue harus panggil lo apa, sih? Salah mulu." "Gue nggak tahu...." Naya reflek menundukan kepala, merasa dimarahi. "Sorry, gue nggak berniat ngebentak. Lo salah kostum. Kalau lo mau pake kostum seksi kaya gini, lo pergi ke club, bukan dagang di stand." "...." "Berapa cowok yang minta foto sama lo tadi?" tanya Leo. Naya mencoba menghitung dan dia lupa. Tadi stand sangat ramai. "Banyak kan? Lo harus bedain mana yang minta foto dan mana yang cuma pengen mandangin kemolekan tubuh lo. Lo polos banget ya?" Leo tidak habis pikir. "Ayo ikut gue ke club. Di sana, walaupun lo telanjang, nggak akan ada cowok yang berani natap lo dengan nggak sopan. Cowok di club mungkin bukan cowok baik-baik, tapi mereka bakal nyapa lo dulu, bukannya mandangin tubuh lo kaya cowok-cowok biadab di stand lo tadi!" Leo membawa mobilnya menuju club yang biasa ia kunjungi. Melirik Naya yang mengatur napas dan gadis itu nampak tegang. Kalau mau tegang tuh dari awal lo pake kostum sialan ini! Damn, kenapa gue makin emosi?! "Sini," Leo menyerongkan tubuh Naya sehingga mereka berhadapan. Tanpa aba-aba, Leo menurunkan kerah kaos panjang yang dipakai Naya sehingga bahu putih mulusnya terlihat. "Apaan ini, Kak?" Naya semakin bingung. Leo tidak menjawab karena sekarang ia sedang memakai kaos cadangan yang selalu ia simpan di mobilnya. "Ayo turun," ajak Leo. "Baju gue terlalu terbuka---" Naya menggeleng pelan sambil mencoba menutup bahunya dengan kedua tangan. "Baru sadar?" Naya terdiam. "Ayo, gue jagain lo." Leo membuka pintu dan memberikan tangannya agar digenggam Naya. Gadis itu menerima uluran tangan Leo dan mencoba berjalan di sebelahnya. Musik dengan suara berisik yang kencang serta aroma alkohol, parfum, atau apa pun langsung menusuk hidung Naya sehingga dadanya terasa sesak. Leo menuntun Naya menuju meja pojok yang selalu ia gunakan jika berkujung ke club. Di sana ada Axel yang sedang merokok sambil menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. "My bro Leo! Akhirnya!" sapa Axel girang, melihat Tuan Muda keluarga Adhyastha hadir. Axel menawarkan segelas Vodka untuk Leo. "Bro, siapa ini?" Axel memandang Naya dan Leo secara bergantian. "Lo tunangan Leo bukan?" tanyanya pada Naya. Naya melirik Leo yang sedang meneguk habis Vodka kemudian kembali menatap Axel dan mengangguk. "Salam kenal. Gue Axel, temen Leo." "Naraya. Tapi Naya aja, nggak papa." Gadis itu mengenalkan diri. Mereka berjabat tangan dan saling melempar senyum perkenalan. "Ayo duduk. Lo mau pesen apa? Tenang, di sini ada milkshake, kok. Vano suka pesen itu," ucap Leo, dan Naya mengangguk. Leo berjalan menuju meja bartender, berbicara entah apa karena Naya tidak bisa mendengar. Di sini terlalu berisik. "Apa Kak Leo suka ke sini, Kak Axel?" tanya Naya pada Axel yang sedang sibuk minum. "Sering. Tapi udah lima atau enam hari gitu dia nggak ke sini." Axel melirik Naya sekilas kemudian terfokus pada minumannya lagi. "Dia b******k, tapi setia kayanya kalau udah punya hubungan. Tenang aja." Naya hanya tersenyum kecil. "Lo racunin tunangan gue, El?" Leo sudah kembali dengan membawa segelas milkshake dan brownis. "Gue bagus-bagusin lo, Dude. Enak aja!" Axel membela dirinya sendiri. Leo hanya tertawa dan Naya meliriknya karena mencoba mengambil satu gelas minuman lagi. "Stop, Kak," tahan Naya. "Santai, Nay. Leo tahan mabuk." Axel memberi tahu. Naya akhirnya hanya mengangguk dan meminum milkshake yang dipesan Leo. "Dance floor yuk?" ajak Axel. "Lo aja deh, gue males. Gue mau lanjut minum." Leo bangkit dari duduknya meninggalkan Naya yang bingung ingin melakukan apa. "Martini, please." Susi, sang bartender menggeleng pelan. "Cukup, ganteng. Lo nggak mau ambruk, kan?" "Sus, you know me so well. Come on!" "Satu gelas dan lo nggak boleh nambah." "Deal." Susi memberikan segelas Martini pada Leo tetapi langsung dijauhkan oleh tangan Naya. "Kak, kita pulang sekarang." "Why?" Leo mengerutkan dahinya. "Lo ngurung gue tiap malem dan gue harus minum s**u vanilla setiap pagi. Lo pikir itu nggak bikin gue gila? Gue mau minum!" rancau Leo, mulai kehilangan kesadarannya. "..." "Hai, lo pacarnya Leo? Sorry, dia kalau udah mabuk emang suka ngomong ngaur," ucap Susi pada Naya yang terdiam memandangi Leo. "Gue mau satu gelas lagi!" Leo mengambil gelas Martininya. Sebelum ia bisa meneguk habis, pemandangan di hadapannya membuat Leo kembali menaruh gelas itu di atas meja. "Lo apa-apaan?" Leo menarik tangan Naya yang mencoba membuka sebret yang melilit pinggangnya. "Kalau Kak Leo mau minum, gue juga nggak mau pake serbet sialan ini!" Wow. Leo mengerutkan dahinya karena ini kali pertama ia mendengar Naya si gadis manis mengumpat. "Pake serbet itu. Awas aja kalau lo berani lepas." Leo dan gaya bossy-nya sedang aktif. "Emangnya kenapa? Peduli apa Kakak?!" Naya berdiri di hadapan Leo sambil memasang wajah menantang. "Gue tidurin lo sekarang juga. Di sini, kalau lo berani lepas serbet itu." "...." Naya sukses terdiam. "Good girl." Leo bangkit berdiri sehingga mereka berhadapan. "Ayo kita pulang." Menggenggam tangan Naya dan sebelum pergi ia mengeluarkan beberapa lembar uang untuk pembayaran minuman yang ia nikmati malam ini. "Kepala gue...." Leo meracau. Naya menyentuh bahu Leo dengan pelan. "Kakak pusing?" "Sorry. Gue mabuk. Sial!" Naya membuka pintu penumpang dan Leo langsung menggeleng. "Gue tahu lo nggak bisa nyetir. Biar gue aja yang nyetir." "Gue bisa nyetir, kok." Leo akhirnya mengangguk dan membiarkan Naya mendudukannya di kursi penumpang. "Ah, sial. HP gue ketinggalan." Leo menggebrak dashboard mobilnya dengan kencang. "Tunggu di sini, gue mau ambil HP gue dulu." "Biar gue aja, Kak." Naya menawarkan diri. "Gue nggak izinin lo masuk sendirian ke tempat terkutuk itu." "Kepala Kakak pusing, kan? Gimana kalau Kakak ambruk? Biar gue aja." Naya langsung melangkah kembali menuju pintu club. Ia sedikit kesusahan ketika berjalan menuju meja bartender karena malam ini sangat ramai pengunjung. "Kak Axel, liat HP-nya Kak Leo nggak?" Naya menepuk bahu Axel yang sedang menikmati minuman di depan meja bartender. "Naya? Gue kira lo udah balik." "Ini mau balik, tapi HP Kak Leo ketinggalan," papar gadis itu. "Tenang, di sini nggak akan ilang. Palingan disimpen sama bartender. Mau diambil?" "Di mana?" "Kayanya Susi yang ngamanin. Dia lagi ngirim minuman di atas. Mau ke sana? Gue bisa anter." Axel bangkit berdiri, badannya sempoyongan. Dan Naya bertanya apakah ia bisa menunggu di sini saja. "Ya, palingan lama si Susi turunnya," jelas Axel. Naya menggigit bibir bawahnya karena bingung. Jika ia terlalu lama menunggu sang bartender itu, bisa-bisa Leo ambruk dan pingsan di dalam mobil. "Oke deh, Kak." "Ayo gue anter, tapi kok muka lo pucet banget?" Axel memberikan sebotol air putih pada Naya. "Aman, kok. Ini bukan alkohol." Naya menerima sebotol air itu sambil tersenyum lalu meminumnya. "Ayo ke lantai dua." Naya menganguk sambil berjalan di belakang Axel. Sambil menguap, gadis itu menahan kantuknya. Sepertinya hampir tengah malam karena Naya mengantuk meski musik club sangat berisik. "Lo ngantuk? Gue ada kamar sih. Mau istirahat di situ dulu? Biar gue yang nyari Susi." Axel menpuk bahu Naya agar gadis itu bisa fokus. "Lo nguap terus. Tunggu dikamar gue aja, ya?" Akhirnya Naya mengangguk sambil terus menguap. Entah mengapa ia merasa sangat mengantuk. Terakhir yang ia ingat, ia tertidur di sebuah kasur dan ia melihat pintu tertutup dari dalam. *** Leo membuka matanya ketika pusing dan mual yang ia rasa sudah mulai menghilang. Dua puluh menit. Sudah selama itu dan Naya belum juga kembali. Rasanya tidak mungkin gadis itu mengambil ponselnya sampai selama itu. Tok... Tok... Seseorang mengetuk kaca mobilnya dan Leo menemukan Susi yang menunjukan ponsel miliknya di udara. "Ini ponselmu, Tuan teledor." "Thanks, Sus. Tapi tadi tunangan gue juga ke dalem buat ngambil HP gue," jelas Leo. Susi mengerutkan dahi. "Nggak ada yang nyari HP lo." "Serius?" Susi mengangguk. Leo langsung keluar dari mobil dan berjalan cepat menuju pintu club. Ia mengucapkan terima kasih terlebih dahulu pada Susi karena sudah mau mengembalikan ponselnya. "Zack, liat cewek pake kaos yang biasa gue pake?" tanya Leo pada seorang bartender yang ia kenal."Manis, imut dan roknya pake serbet." "Oh, mungkin maksud lo temennya Axel?" "Axel?" Alis tebal Leo naik sebelah. Mencerna. "Iya, tadi gue liat Axel bawa tuh cewek ke atas. Maybe mereka mau ONS?" "Lo yakin?" Zack mengangguk. "Mangsa Axel malem ini kaya polos gitu, ya?" "Dia bukan mangsa Axel!" Leo menggebrak meja kemudian melangkahkan kakinya dengan cepat menuju tangga. "Sial! Sial! Sial!" Leo mengepalkan kedua tangannya dengan kuat sambil menahan emosi karena sekelebat pikiran negatif menari-nari di dalam otaknya. Brak! Leo membuka pintu kamar yang sudah ia hapal dengan kasar. Dia sering memakainya juga. Sial, adegan di depan mata Leo saat ini seolah-olah menariknya pada masa lalu. "ANJING LO!" Leo langsung menjauhan tubuh Axel yang mengampit tubuh mungil Naya yang sudah setengah telanjang. Bugh! "b*****t lo! t*i!" dengan penuh emosi, Leo menghajar wajah Axel sampai Axel tersungkur ke bawah lantai. "Gue tahu lo b******k. Tapi, anjing, gue nggak nyangka tunangan temen lo sendiri lo embat juga!" Axel hanya tertawa masam, merasa tidak tersinggung. "Lo dan gue itu gue sama, Yo. Jangan munafik." Leo menghampiri Axel kemudian langsung mencengkram kerah kemejanya. "Lo apain dia, huh?!" "Belum gue apa-apain, Yo. Santai. Nggak perlu emosi kaya gini. Dia Cuma cewek biasa, Yo." Leo makin mencengkram kerah kemeja Axel. "Lo apain dia, b*****t?!!" "Santai, Yo!" Axel mendorong kasar tangan Leo. "Gue belum sempet apa-apain dia. Tapi sekarang, kita berdua bisa ganti-gantian buat tidurin dia." Bugh! Satu pukulan keras mendarat di pipi kanan Axel. "Lo pake apa, huh? Obat tidur? banci lo, Setan!" Leo berteriak lagi. Amarahnya tak bisa ia tahan. Axel tertawa lagi, meremehkan. "Apa bedanya sama lo? Lo juga b******k karena goda cewek pake permen libido!" "Seenggaknya gue bikin cewek minta dipuasin, bukan bikin cewek nggak berdaya kaya gini. Lo sama aja n*****t bareng mayat, t*i!" "Nggak usah sok suci lo!" Axel hendak melayangkan pukulan pada Leo tetapi ia kalah cepat dengan tendangan kuat dari kaki kanan Leo. "Dia cuma cewek lemah, Yo. Jangan biarin dia ngerusak pertemanan kita," ujar Axel sambil memegangi perutnya yang menjadi sasaran tendangan Leo. Tak menghiraukan Axel, Leo memilih berjalan menghampiri Naya yang begitu terlihat menyedihkan. "Maafin gue," gumam Leo sambil memakaikan pakaian Naya yang sempat dibuka paksa oleh si biadab Axel. Sial! Mengapa Leo begitu marah melihat Naya seperti ini? Bahkan waktu melihat Sabit tidur dengan cowok lain, Leo merasa tidak semarah ini. "Maafin gue," Leo kembali bergumam ketika membawa Naya kedalam gendongannya. "Yo, kita masih temenan kan?" Leo melirik Axel dengan tatapan jijik kemudian membuang ludah ke sisi kirinya. "Jangan harap gue mau temenan sama pecundang macam lo!" Leo menggendong Naya yang tertidur keluar kamar dengan luapan emosi yang makin memuncak. "Yo, dia cuma cewek biasa! Murahan, Yo! Lo tega mutusin pertemanan kita Cuma gara-gara cewek?!" teriak Axel, membuat pemuda itu semakin terlihat menjijikan. Leo membalikan tubuhnya kemudian menatap Axel dengan sorot mata seorang psikopat. "Lo berani nyentuh dia lagi, gue pastikan lo mati." Seharusnya Leo tidak membawa Naya ke club. Leo sangat menyesal. Setelah sampai di rumah, Leo langsung menidurkan Naya di tempat tidur dengan hati-hati. Gadis itu masih tak sadarkan diri. Entah obat dengan efek berapa lama yang diberikan Axel. Intinya, Leo tidak akan memaafkan mantan temannya itu. "Emang ya yang terbaik tuh cuma Vano, Bara, sama Dion." Leo memijat pelipisnya sambil menatap Naya kemudian bergumam, "Siapa lo? Kenapa gue semarah ini? Kenapa gue setakut ini liat lo disentuh Axel? Siapa lo sebenernya?" Naya tiba-tiba terbatuk, dengan sigap Leo menenangkannya dan hendak berlari ke dapur untuk mengambil air tetapi lengannya ditahan Naya. "Jangan pergi," gumam gadis itu sambil terisak. "Hei, kenapa lo nangis? Axel apain lo?" Leo kembali panik, ia benar-benar akan membunuh Axel jika terjadi apa-apa pada Naya. Naya menggeleng dengan mata terpejam dan terus menangis. "Hei, gue di sini." Leo mengelus rambut kepala Naya tetapi tangisan gadis itu semakin tidak terkontrol. "Jangan pergi... Andre....." Naya memanggil siapa? "Andre... jangan tinggalin aku!" Leo merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Ia di sini, merasa bersalah pada Naya, merasa takut Naya kenapa-kenapa, merasa khawatir, tapi apa yang ia dapat? "Andre...." "s**t!"Leo langsung melepaskan genggaman tangan Naya sehingga gadis itu terbangun dan membuka matanya. "Kak Leo?" Meski belum sepenuhnya sadar, Naya bisa melihat siapa orang di hadapannya. Leo tertawa mengejek. Sekarang lo inget siapa yang ada di sebelah lo ini, huh? "Lo istirahat aja." Leo berbicara dengan datar sambil membalikan tubuhnya menuju pintu keluar. Sebelum ia benar-benar menutup pintu, Leo tak sengaja mendengar bahwa gadis itu menangis sambil kembali menggumamkan nama Andre. Sialan. Sebenarnya siapa itu Andre?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN