chapter 01
Awal di saat semuanya bermula,
6 years, ago....
"Woy, buka!!" Suara gebrakan pintu menggema di seluruh penjuru, membuat siapa saja yang mendengarnya akan menutup telinga.
"Woy!!" Gedoran penuh frustasi itu terdengar kembali. "BUKA, YOOO! Lo mau telat?!!"
"Sabar, elah! Lagi pake celana!!" Kali ini gebrakan keras datang dari dalam. Jadilah, gebrakan-gebrakan dari dua sisi itu tidak dapat dihindari.
Seorang wanita berdaster yang semula sedang berkencan di dapur untuk membuat sarapan mendekati arah suara. Menemukan pintu kamar putranya digedor-gedor oleh seorang anak cowok berseragam putih-biru. "Pagi-pagi udah bersisik banget. Bara, bangunin Leo-nya nggak usah lebay."
"Si Leo nggak mau keluar dari tadi, Tante," adu Bara, tersangka pendobrak.
Mami Lexi, nama wanita cantik itu, langsung mengangkat tangan kanannya untuk mengetuk benda kayu pembatas antara kamar putranya dan dunia luar. "Iyo, cepet buka pintunya, sayang! Nanti telat sekolah!" Malah ikutan heboh seperti Bara.
Pintu yang terbuka perlahan menampakan seorang remaja bertubuh tinggi kurus memakai seragam putih-biru dan juga kaca mata di wajahnya menjadi pemandangan pagi ini.
"Jangan panggil Leo kaya gitu, mami." Leo Adhyastha Gardana mengeluh, kesal jika maminya sudah kumat.
"Itu kan panggilan sayang mami, Iyo," jawab Lexi.
"Leo udah masuk SMP, bukan TK lagi," lalu Leo melirik jam tangan spiderman-nya dan menepuk jidat. "Astaga, telat!"
Leo langsung menarik tangan Bara keluar dari rumah. Ia sempat mengecup pipi Lexi sebagai tanda pamit. Setelah supir pribadinya membukakan pintu mobil, Leo langsung masuk dan meminta supirnya tancap gas.
"Kalau kita telat, itu salah lu, brekele!" ujar Bara, kesal.
Leo membela diri, "Lo juga ke rumah gue-nya siang."
"Siang mata lu! Gue dateng dari setengah tujuh. Dion sama Vano sampe berangkat duluan karena udah keki nungguin lo!"
Leo membenarkan letak kacamatanya. "Gue minta maaf, Bara ganteng."
"Najis."
Ketika dua ABG itu sibuk berdebat, ada seorang gadis memakai dress ketat berdiri di trotoar sehingga membuat mereka langsung terdiam. Pagi-pagi, awas masuk angin.
"Seksi ya, Yo?" kata Bara.
Leo memilih diam di saat Bara terus memuji gadis yang menurut Leo biasa-biasa saja. Memang, ia agak sedikit cuek soal masalah cewek. Setelah dua puluh menit perjalanan, mobil yang ditumpangi oleh mereka akhirnya sampai di sebuah sekolah menengah pertama. Mereka berdua turun dari mobil dan langsung berlari menuju gerbang yang sudah dijaga ketat oleh para senior mereka. Leo merapikan seragamnya dan membetulkan letak papan namanya, juga sempat merapikan rambut dan menaikan kaos kaki warna putih sampai ke lutut.
"Wih!! Ada yang telat lagi nih!" Siswa memakai pin Osis serta topi berwarna biru melambangkan sekolahnya berteriak pada salah seorang gadis yang tengah mencatat para murid yang sudah terlebih dahulu telat dari Leo dan Bara.
"Kenapa telat?" tanya si senior.
Leo dan Bara memilih bungkam. Menurutnya, membalas pertanyaan senior itu adalah jebakan menuju pertanyaan-pertanyaan lain. Leo ingat satu hal ketika menjadi junior, bahwa: senior itu selalu benar.
Lalu tak lama, datang senior perempuan yang mempunyai senyum yang begitu manis. Berkata pada temannya, "Ozan, ini biar gue yang handle."
Cowok bernama Ozan itu mengangguk.
"Sorry, kak Ozan emang gitu. Tapi aslinya baik, kok. Oh iya, kenapa kalian telat?" Senior perempuan ber-name tag 'Sabita Kenanga' bertanya masih dengan senyum khasnya.
Hening.
Sabit bersuara lagi ketika tak mendapatkan jawaban, "Yaudah, kalian sekarang ke lapangan buat lari lima putaran, ya."
Gadis itu sudah pergi meninggalkan Bara yang memandang lapangan dengan sedih, kemudian pemuda itu melirik pada Leo yang memerhatikan punggung kakak seniornya tanpa kedip. Sekali lagi, Bara menyenggol bahu Leo. "Yo, lo ngeliatin kak Sabit gitu banget."
"Manis," ujar Leo tanpa sadar.
"Udah seminggu sekolah di sini, lo baru liat kak Sabit? Makanya, ikut MOPD!"
Leo malah memfokuskan pandangan, tuli pada ucapan Bara.
"Gue denger-denger, dia Ketos tercantik se-SMP di Jakarta. Udah, ah. Ayo kita ke lapangan. Lo nggak mau nambah hukuman, kan?"
Tangan kanan Leo menyentuh d**a yang berdetak, lalu melirik jam tangan spiderman-nya. "Detik ini, jam 07.30 WIB. Hari Senin tanggal 15, gue resmi jatuh cinta sama kak Sabit."
"Lo sakit?" Bara langsung menyentuh dahi Leo dengan khawatir. "Emang kak Sabit mau ama lo, anak sapi?!"
Leo menepis tangan usil Bara kemudian membenarkan kacamatanya. "Gue anak baik, kok. Nilai UN gue tinggi. Gue yakin kak Sabit bakal suka sama gue. Fix! Gue jatuh cinta pandangan pertama sama kak Sabit!"
"Idih, dasar bocah kacamata gendeng!"
***
Sabit : Knp, Adek manis?
Leo : Ganggu nggak, kak? Aku mau ngajak kakak ke pasar malem di dpan komplek kalau kakak nggak sibuk :)
Sabit : Bisa kok bisa :)
Leo membaca ulang pesan dari gadis impiannya, kemudian tersenyum. Yes! Selangkah lagi. Selama tiga bulan pedekate, malam ini Leo berniat akan menembak Sabit ketika mereka berdua jalan ke pasar malam.
Leo langsung berlari menuju lemari dan memilih pakaian yang menurutnya paling keren. Ketika ia sibuk mengacak-acak pakaiannya, langkah seseorang yang masuk ke kamarnya tanpa permisi membuat Leo melirik pintu. "Ketuk dulu, Vano,"
katanya.
"Sorry. Dion sama Bara di bawah."
"Ohhh?"
Vano menaikan sebelah alisnya. "Lo mau ke mana?"
"Ngajak kak Sabit jalan. Gue mau nembak dia malem ini."
Vano hanya mengangkat bahu acuh tak acuh.
"Kalian ngapain ke rumah? Kalau ngajak futsal, gue nggak bisa."
"Siapa yang nggak bisa?" Kepala Dion menyembul dari pintu. "Mau ke mana lo, kaca mata?"
Leo tersenyum riang. "Nembak kak Sabit."
"Ketos itu?"
Leo mengangguk.
"Lo beneran sama si Ketos itu? Gue rasa dia bukan cewek baik-baik."
"Lo tahu apa sih, Yon? Yang PDKT sama Kak Sabit kan gue, bukan lo."
Dion mengangkat bahunya. "Feeling."
"Gue bakal buktiin kalau Kak Sabit bakal jadi cewek gue. Dia nggak akan nolak gue," kata Leo mantap.
"Se-pede itu?" tanya Vano.
"Iya. Dia nggak masalah kok gue pake kaca mata. Dia juga oke-oke aja deket sama adek kelas. Lagian, gue kan tinggi. Kalau jalan sama dia nggak malu-maluin kok."
Vano memperhatikan Leo yang mengenakan boxer kuning bergambar Minions dengan kaos hitam berlambang Batman. "Lo beneran mau pacaran sama kak Sabit?"
"Kak Sabit itu cinta pertama gue. Gue yakin bakal bahagia kalau pacaran sama dia."
Dion hanya berkata, "Kita doain yang terbaik buat lo."
***
Leo memandang gadis yang tengah memakan gulali dengan sangat dihayati. Melihat pemandangan indah itu, mau tak mau membuat Leo senyum-senyum sendiri. Ia menyentuh dadanya yang terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Hanya Sabit yang mampu membuat jantungnya hampir copot seperti ini.
"Leo nggak makan?" tanya gadis itu. Sudut bibirnya penuh dengan gulali.
"Ka-kakak aja."
"Panggil aku Sabit, Yo. Kesannya aku kaya Kakak kandung kamu yang lagi nganterin adeknya jalan-jalan ke pasar malem."
Leo tersenyum kecil melihat Sabit yang tertawa. Sungguh cantik bidadari Tuhan yang tengah duduk di sebelahnya ini. Benar-benar sukses membuat Leo salah tingkah.
"Aku..." Leo membetulkan posisi kacamatanya.
"Mata kamu sakit?" Sabit bertanya.
"Bu-bukan." Aduh, susah banget cuma mau nembak cewek! batinnya. "Aku...."
"Iya?"
Ayo, lo berani, Yo!
"Aku suka sama kamu, Sabit!" ucap Leo dalam satu tarikan napas. Dengan posisinya yang menunduk, ia jadi tidak bisa melihat ekspresi dari wajah Sabit. Leo ikhlas jika Sabit akan mengoloknya atau mengatainya tidak tahu diri karena sudah berani menembak seorang Ketos populer di sekolahnya. Tapi, bukannya tamparan atau pukulan, Leo malah menerima pelukan dari Sabit. Hal itu membuat Leo mengangkat kepalanya.
"Aku mau kok jadi pacar kamu," jawab Sabit malu-malu.
Leo merasa terbang melayang. Akhirnya, cinta pertamanya ini mau menyambutnya dengan lengan terbuka. Mulai malam ini, Sabit miliknya!
"Makasih ya." Leo mengambil tangan Sabit untuk ia genggam.
Gadis itu mengangguk, membalas genggaman Leo. "Sama-sama."
Leo tersenyum. Dan entah siapa yang memulai, bibir mereka sudah menyatu dan saling memberikan kehangatan serta rasa bahagia di dalam diri masing-masing. Leo tersenyum di sela-sela ciumannya. Bersyukur karena dengan Sabit ia merasakan jatuh cinta yang pertama, dan first kiss-nya juga ia rasakan dengan Sabit, gadis yang ia cintai dengan sepenuh hati.
"I love you, Sabit. Aku janji nggak akan nyakitin atau ninggalin kamu."
"Janji?" Sabit meminta kepastian dari ucapan pacarnya.
"Janji."
Malam itu, adalah malam terindah bagi Leo sepanjang hidupnya. Kata siapa cinta selalu memilih fisik? Buktinya, Sabitnya yang cantik mau menerimanya walau Leo tidak terlalu tampan. Dan dalam hal ciuman seperti tadi saja, ia belum berpengalaman sama sekali tapi Sabitnya bisa menerima segalanya dalam diri Leo. Menyenangkan!
***
Layar TV tipis yang sedang menampilkan game sepak bola menjadi benda mati yang dicaci maki oleh keempat remaja yang tengah bermain PS. Mereka mengumpat hal yang tidak jelas hanya karena klub yang mereka inginkan tidak ada di daftar game.
"Gue udahan, deh. Mau ketemu Sabit," kata Leo sembari membanting stick.
"Semenjak lo pacaran sama kak Sabit, lo jadi kurang waktu sama kita, Yo," sindir Bara, nyaris keki betulan.
"Gue harus nemenin Sabit yang sibuk banget buat belajar olimpiade Matematika. Gue nggak mau dia sakit karena kecapean belajar. Sorry banget, tapi besok jadi kok futsal."
"Lo ngomong itu minggu kemaren." Sekarang Dion yang bersuara.
"Yo, masa-masa SMP itu buat ajang asyik, bukan buat capek-capek pacaran. Tahun depan kita SMA, lho. sekarang lo ngabisin waktu buat ngintilin kak Sabit mulu. Nggak capek?" Bara tidak habis pikir.
"Maaf, Bara. Tapi gue beneran harus nemenin Sabit. Ini aja gue udah telat setengah jam." Leo menepuk bahu ketiga kawannya kemudian pamit pergi. Memang merasa bahwa waktu kumpul bersama teman-temannya berkurang, tapi Leo benar-benar mencintai Sabit dan tidak bisa mengacuhkannya. Pacaran hampir 2 tahun mengajarkan Leo bahwa Sabitnya itu begitu manja dan tergantung padanya. Tapi Leo tak keberatan, karena ia juga ingin memanjakan Sabit.
Leo membeli dua box pizza sebelum ke rumah Sabit. Sebenarnya gadis itu tidak memesan, tapi Leo berinisiatif sendiri karena yakin bahwa Sabit lupa makan karena terlalu fokus belajar untuk olimpiade. Pesan singkatnya saja diacuhkan oleh Sabit.
Leo membayar supir taksi kemudian berjalan menuju apartemen yang ia hadiahkan untuk Sabit ketika mereka memperingati hari jadi yang kesatu tahun. Kata orang Leo berlebihan, tapi dia tidak merasa diperas Sabit. Pacarnya tak menuntut apa pun, Leo sendiri yang ingin memberi.
Leo menekan beberapa digit tanggal jadian mereka dan pintu apartemen mulai terbuka. Berjalan pelan masuk dan sengaja tidak memanggil Sabit karena takut mengganggu gadisnya yang pasti tengah sibuk belajar di dalam kamar. Leo menyimpan dua box pizza itu di meja kecil depan TV kemudian melangkah menuju kamar Sabit.
Leo membuka perlahan pintunya, langsung beku seketika.
"Ahhh...." Gadisnya. Gadis tersayangnya, tengah membuka pahanya lebar dan membiarkan seorang pria b******k berjongkok di hadapannya.
"Sayang, kalau pacar kamu yang cupu itu tahu, gimana?"
"Siapa? Leo? Aku nggak peduli. Aku nggak cinta sama dia. Aku pacarin dia karena hartanya aja. Siapa sih yang mau pacaran sama cowok lemah kaya dia? Aku cintanya sama kamu."
Leo murka mendengarkan desahan-desahan menjijikan keluar dari mulut Sabit. Dia membuka pintu dengan keras sehingga kedua orang yang tengah melakukan dosa itu langsung terkejut dan menghentikan kegiatan mereka. Wajah Sabit pucat pasi, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang setengah telanjang.
"Leo, k-kamu di sini?" Tak tahu lagi harus mengatakan apa, Sabit terlalu terkejut.
Leo hanya bisa mengepalkan tangan kanannya. "Ini balesan kamu setelah apa yang udah aku kasih ke kamu, Sabit?! Kamu membiarkan cowok lain menyentuh kamu, di apartemen aku?"
"Aku bisa jelasin, Leo.... aku,"
"Pergi. Bawa baju-baju kamu, kita putus." Leo membalikan tubuhnya berniat meninggalkan gadis tersayang yang selama ini ia anggap dewi tapi ternyata lebih buruk dari lucifer.
"Leo! Aku bisa jelasin!" Sabit menarik lengan Leo tetapi cowok itu sudah tidak peduli. Berkata dengan nada sakit, "Aku kira aku yang pertama buat kamu, Sab. Tapi, aku terlalu bodoh. Aku percaya kalau apa yang kita lakukan selama ini atas dasar cinta."
"Leo, maafin aku...." Sebisa mungkin Sabit menahan agar Leo mau mendengar penjelasannya.
Leo mengalihkan pandangannya karena ia akan luluh jika melihat air mata Sabit. Atau, lebih pantas disebut air mata penuh tipu daya.
"Pergi dari apartemen aku dan pergi dari hidup aku!" Leo langsung melangkahkan kakiknya untuk keluar dari tempat terkutuk yang sudah membuat hatinya tercabik-cabik.
Gadis yang Leo pikir polos itu melakukan hal semenyakitkan ini. Sabit ternyata tidak sebaik yang Leo pikirkan. Terlalu buta dengan cintanya pada Sabit sehingga tidak sadar bahwa selama ini ia hanya dimanfaatkan.
Leo berjalan dengan pikiran putus asa dan semua rasa kepercayaannya yang sudah hilang kepada Sabit. Leo memijat pelipisnya kemudian berteriak begitu keras. Tengah mencurahkan kepedihan hati, merasa saat ini semesta tengah mentertawakan kebodohannya yang sudah mencintai perempuan yang salah.
"f**k!" Leo menarik rambutnya dengan kuat. Rasa pening di kepalanya benar-benar menambah koleksi rasa sakit yang tengah ia rasakan sekarang. Leo pikir, Sabit adalah gadis pertama dan juga akan menjadi gadis terakhir dalam hidupnya. Tapi ternyata kenyataannya berbeda.
Ketika menganggap cinta adalah sebuah anugerah, ia malah dipermainkan oleh cinta. Di saat menghormati seorang perempuan dengan sepenuh hati, ia malah dihina dan disakiti habis-habisan.
Leo sakit, marah, kesal, dan benci. Leo merasa, pasti untuk ke depannya akan sama saja. Dia gagal di cinta pertama, pasti cinta yang lainnya juga akan gagal. Sangat tidak percaya bahwa seorang perempuan yang katanya diciptakan dengan hati yang begitu lembut, bisa menyakitinya dengan begitu jahat.
Leo benci mengenal cinta. Leo kecewa pada Sabit. Ia meyakini bahwa semua perempuan itu sama saja. Murahan, dan penipu.
Leo melirik pada sebungkus rokok yang ia beli di warung pinggir jalan. Sebenarnya belum pernah mencoba rokok dan tidak mau menyentuhnya. Pertama, karena dulu Sabit melaranganya dan alasan kedua karena dia memang tidak tertarik. Tapi nampakanya, sekarang sebatang rokok akan menjadi pelipur lara dihatinya.
Persetan dengan larangan Sabit! Bukannya gadis itu tidak mencintainya? Gadis itu hanya cinta pada hartanya saja, kan? Jadi, tidak salah jika Leo mulai mengakrabkan diri dengan beberapa batang rokok untuk malam ini.
Ia mencoba menyalakan sebatang rokok dan menghirupnya dengan perlahan. Rasa tercekat dan batuk adalah hal pertama yang Leo rasakan ketika asap-asap itu mulai mengepul di udara.
"Not bad," komentarnya. Memang, rasa sebatang rokok yang tengah dinikmati tidak terlalu buruk. Dan nampaknya, mulai saat ini rokok akan menjadi teman perjalanan hidupnya untuk beberapa tahun ke depan. "Jadi, para cewek pengen cowok yang nggak cupu? Para cewek cuma pengen harta?" Leo melepaskan kacamatanya kemudian ia injak. "Murahan!"
Leo langsung bertekad dalam hati bahwa ia tidak akan pernah lagi merasakan pedih karena putus cinta atau dikhianati seorang perempuan. Dia yang akan membuat semua perempuan bertekuk lutut padanya. Perempuan harus merasakan sakit hati karena dipermainkan. Harus membayar mahal luka hati yang ia rasakan. Leo berniat membuat perempuan jatuh cinta padanya setengah mati. Setelah itu, akan dia campakan dan tinggalkan.
Dan, untuk mewujudkan tekad di hatinya itu, hal yang pertama dia lakukan adalah mengeluarkan beberapa uang untuk membeli k****m dan bertingkah layaknya lelaki sejati yang tidak memerlukan cinta.
Ketika Leo membalikan tubuhnya untuk pergi ke mini market terdekat, suara familiar terdengar memanggilnya secara berulang-ulang.
"Leo!"
"Leo!"
"Leo!"
"Leo! Lo, kenapa bengong?!"
Leo mengerjapkan matanya kemudian melirik pada Dion yang tengah menepuk bahunya.
Sial. Apa barusan ia kembali mengingat hal yang paling menyakitkan itu? Apa barusan dia terkenang pada kejadian enam tahun lalu yang membuatnya menjadi seperti sekarang? Menjadi playboy kelas kakap yang senang mempermainkan perempuan.
Tapi Leo tidak menyesal menjadi seperti ini. Dia malah berterima kasih pada rasa sakit karena telah membukakan matanya bahwa perempuan itu tidak pantas dicintai.
"Sorry. Gue bengong, ya?" Leo nyengir.
"Lo mikirin bokep?" sindir Dion.
"Nggak, kok." Leo memasang wajah seceria mungkin kemudian menaruh rokoknya ke atas asbak. "Ah, lo ngomongin bokep sih, gue jadi kepengen."
"Berengsek."
Leo tertawa gembira pada ucapan Dion tapi dia merasa hambar.
"Lo balik ke Indo karena tante Lexi bener-bener nyuruh lo tunangan?" Dion memastikan.
Belum stabil hati Leo karena tadi sempat mengingat masa lalu kelamnya, hatinya kembali tidak karuan karena sadar mengapa sekarang tengah duduk di kafe meminum kopi karena belum siap menemui mami. Leo pulang karena mami cantiknya itu menyuruhnya bertunangan dengan seorang gadis yang bahkan Leo tidak tahu nama dan rupanya seperti apa.
"Arghhh, gue nggak mau!" Leo mengeluh. "Udah kayak di n****+-n****+ romantis anak cewek di kelas gue pas SMA."
"Lagian gue udah berjanji nggak akan setia sama satu cewek. Mereka nggak perlu hubungan khusus tapi oke-oke aja pas diminta buka paha buat semua cowok," tambahnya.
"Jangan pukul rata, Yo."
Leo menggeleng, tak mau debat. "Tetep aja gue nggak tertarik sama sebuah hubungan. Gue bisa dapetin cewek mana aja walaupun tanpa status."
"Belagu," Dion mendengus, "lo takut jatuh cinta apa nggak mau terikat?"
"Kenapa lo nanya gitu? Intinya gue nggak mau setia sama satu cewek."
"Dengerin gue, Yo..." Dion menggeser segelas kopi di hadapannya agar ia lebih leluasa menatap Leo. "Kejadian enam tahun lalu jangan jadi alasan lo nggak mau jatuh cinta lagi dan semua cewek itu nggak sama kaya Sabit."
"Jangan sebut nama itu!" Leo menggebrak meja, "lo tahu gue sensitif, Yon!"
"Gue, Bara sama Vano selama enam tahun terakhir ini nggak ngungkit karena khawatir sama lo. Sekarang gue harus bicarain ini supaya lo nggak mandang semua cewek sama."
Leo bangkit dari duduknya, tak mau mendengar lebih jauh. "Gue males ungkit-ungkit hal itu, Yon. Gue udah tutup rapat masa lalu kelam itu. Intinya, kalau gue nerima pertunangan dari mami, gue nggak akan setia sama gadis itu. Karena tekad gue kuat: bahwa playboy akan selalu bahagia walaupun tanpa cinta. Cinta itu cuma buat anak kecil!"
Dion menghela napasnya. "Pulang, Yo. Lo butuh nenangin diri."
"Damn." Leo mengeluarkan beberapa lembar uang kemudian pamit pulang pada Dion. Tidak marah pada sahabatnya, hanya kesal karena si cenayang itu sudah berani membuka luka lama yang Leo tutup begitu rapat. Enam tahun bukan waktu yang cukup untuk menyembuhkan luka yang begitu membekas.
Leo memarkirkan mobilnya di depan garasi rumah. Sebelum membuka pintu, menghela napas dengan gusar. Leo sudah sampai di depan rumah utama keluarganya dan merasa ini akan terasa berat. Berjalan pelan menuju pintu kemudian membukanya. Hening dan sepi adalah suasana pertama yang dia rasakan. Leo melangkah masuk kemudian memanggil Mami yang sepertinya sedang ada di dapur.
"Leo sayang!! Akhirnya kamu pulang!!" Suara Lexi langsung menyambut Leo.
"Iya, Leo pulang, mami." Leomemberika pelukan erat.
"Bagus. Berarti kamu setuju menerima tunangan yang mami bilang, kan?"
Pemuda dengan alis tebal itu berdecak, "Leo baru dateng, apa nggak bisa di omongin nanti?"
"Mami yakin kamu bakal berhasil sama gadis pilihan Mami. Dia baik banget, Yo." Lexi teguh pada pendiriannya. Tak peduli jika mungkin putranya pegal karena harus naik pesawat dari Jerman ke Jakarta.
"Anak SMA? Yakin?" tanya Leo dengan nada ragu. "Mama nonton drama apaan sih?"
"Nikahnya bisa ditunda, tunangan dulu. Dan mama nggak nonton drama!"
Ah elah.
"Kamar kamu dipake dia, ya. Kamu pindah ke kamar bawah. oke?" tambah Lexi.
"Huh?" Leo mengangkat sebelah alisnya. "Kok mami sembarangan ngasih kamar Leo ke orang asing, sih?"
"Bukan orang asing, Yo. Dia tunangan kamu!" kata Lexi sambil mencubit pipi Leo.
"Ca-lon!" Leo mengkoreksi.
"Ya, sama aja. kalian akhirnya bakal tunangan kok. Sekarang, kamu bawain s**u ke kamar tunangan kamu, ya. Sekalian kalian kenalan."
"Apaan sih, mi?!"
"Apanya yang apaan? Bawa nih! Soalnya dia nggak bisa tidur kalau nggak minum susu." Lexi pergi ke dapur kemudian kembali lagi dan menyerahkan nampan yang berisi satu gelas s**u putih.
Tunggu, gadis macam apa yang meminum s**u sebelum tidur? Dengan berat hati, Leo mengambil nampan itu kemudian berjalan malas-malasan menuju kamar yang awalnya menjadi ruangan pribadinya tetapi sekarang harus ia relakan pada gadis yang entah bagaimana bentuknya.
"Permisi. Gue bawa s**u," kata Leo sambil mengetuk pintu.
Hening.
"Gue masuk, nih?" Leo membuka pintu yang kebetulan tidak dikunci dan pupil matanya sukses membesar. Cat abu-abu di kamarnya yang dulu sangat terlihat cool, sekarang berubah menjadi wallpaper berwarna pink dengan gambar unicorn.
Tsaaaah! Apa-apaan?!
"Busyeeet. Ini anak SMA apa anak TK?" Leo melangkah lebih dalam untuk memperhatikan sprei tempat tidur yang awalnya putih bersih menjadi warna peach dengan renda pita-pita pada guling dan bantalnya. Yang lebih menggelikan lagi, karpet coklat tebal di depan tempat tidur yang biasanya dipake Leo, Dion, Vano dan Bara main PS, sekarang berubah menjadi karpet dengan motif bunga-bunga yang langsung membuat mata Leo pusing.
"Lemari gue ke mana?" Leo memijat pelipisnya ketika lemari kayu berwarna putih kebanggaannya yang berada di sudut ruangan sekarang berubah menjadi lemari kaca yang penuh dengan boneka unicorn.
Sekali lagi, penuh!
Leo berjalan menuju meja belajar yang di atasnya tersusun buku-buku pelajaran, n****+, dan majalah. Jangan lupakan juga kalimat-kalimat cinta yang ditempel pada dinding dengan kertas berwarna-warni. Astaga!
Sukses mendesah kasar dengan hati was-was, Leo tahu sehabis ini hidupnya akan dipenuhi plot ala sinetron. "Sebenernya, cewek kayak apaan yang bakal jadi tunangan gue?!"