Setelah menunggu sekitar dua puluh menit sambil menghabiskan secangkir kopi milik masing-masing Pak Jono ataupun Ferdi, akhirnya pemilik gedung yang hendak disewa itu menghubungi kalau sudah sampai di sana. Ferdi pun segera membayar pesanan kopi itu dan segera meninggalkan Cafe untuk bergegas ke tempat gedung yang hendak dia sewa. Pak Jono menuju ke tempat parkir mobil di Cafe itu dan segera menyetir untuk menuju ke bangunan angker tadi.
“Tuan, yakin mau melihat bangunan itu dan hendak menyewa di sana?” tanya Pak Jono sekali lagi untuk memastikan apa yang hendak bosnya lakukan secara sadar.
“Yakin, Pak. Tidak perlu khawatir tentang rumor seperti itu karena niat kita baik untuk membuka usaha pasti akan diberi kemudahan. Lagi pula dengan harga sewa yang murah di kawasan ramai seperti ini pasti akan lebih cepat meraup untung,” jawab Ferdi lagi-lagi dengan pemikiran yang logis.
“Iya, Tuan. Kalau begitu usul saja kalau mau buka usaha di tempat angker lebih baik selamatan dulu atau mengundang kyai biar didoakan.” Pak Jono masih memberi masukan yang jelas tidak akan Ferdi lakukan.
“Terima kasih sarannya, Pak.”
Ferdi hanya tersenyum agar lelaki yang menjadi sopir pribadinya itu tidak berkecil hati atau merasa curiga kepadanya. Jelas saja dia tidak mungkin untuk mengadakan syukuran atau mengundang kyai untuk mendoakan tempat itu karena saat ini dia sudah bersama istri gaib untuk memulai semuanya. Ferdi yang dahulu seorang yang grusah-grusuh dan sangat gegabah sekarang mulai berubah menjadi orang yang selalu memikirkan banyak hal terlebih dahulu sebelum bertindak. Hal itu jelas saja terkait dengan kekawatirannya soal asal usul kekayaan yang dia tidak bisa jelaskan secara logika kepada banyak orang.
Setelah mobil yang Ferdi tumpangi sampai di depan gedung tersebut, dia segera meminta Pak Jono untuk berhenti di pinggir gedung. Memang terlihat di sana ada tempat parkir khusus untuk pengunjung gedung yaitu di basemen, tetapi masih ditutup karena ada gerbang yang terkunci. Ferdi mengajak Pak Jono untuk ikut ke dalam gedung tersebut. Namun Pak Jono menolak dengan halus dan terlihat takut.
“Ayo ke sana, Pak. Itu Pak Samuel pemilik gedung itu sudah datang di sana,” ajak Ferdi sambil menunjuk ke arah lelaki tinggi, tampan, dan berwibawa yang sedang menunggu di depan pintu gedung.
“A-anu, Tuan. Bapak di sini saja jaga mobil. Takutnya nggak boleh berhenti di sini,” ujar Pak Jono memberi alasan pada bosnya.
Meski Ferdi tahu alasan yang sebenarnya Pak Jono takut untuk masuk ke gedung itu, tetapi dia memilih untuk membiarkan saja sopirnya tetap berada di mobil. “Ya usah kalau gitu, Pak. Aku ke sana dulu.”
Ferdi dengan mantap turun dari mobilnya dan berjalan menuju ke tempat Pak Samuel menanti dirinya. Terlihat wajah teduh dan ramah menyapa Ferdi dengan senyuman yang hangat. “Ini Tuan Ferdi? Ah, ternyata masih sangat muda,” kata Pak Samuel memuji.
“Iya, Pak. Saya Ferdi Setiaji. Boleh lihat ke dalam gedung?” Ferdi langsung to the point ingin melihat seisi dalam gedung tersebut. Apakah sama dengan pemikirannya untuk memulai usaha?
“Boleh. Sangat boleh. Ayo, Tuan Ferdi.”
“Panggil Ferdi saja, Pak.”
“Oh, baiklah. Silakan masuk.”
Pak Samuel yang mengenakan setelan kasual itu segera membuka pintu dan mengajak Ferdi untuk memasuki gedung yang hendak dia sewa. Lantai bawah memang terlihat sangat luas dan tepat sekali dengan pemikiran Ferdi di sana ada pantry atau yang bisa digunakan sebagai dapur dan juga ada kamar mandi yang cukup luas bisa digunakan untuk pengunjung. Pak Samuel menjelaskan secara rinci bagian di gedung lantai satu tersebut. Lalu dia juga memberitahu kalau misalnya hendak mengubah jendela atau apa pun yang di gedung itu diperbolehkan asal memberitahu terlebih dahulu dan juga untuk uang sewa Pak Samuel meminta langsung dalam sepuluh tahun sewa.
Ferdi berusaha sebisa mungkin menahan ekspresinya jika dia sangat tertarik dengan tempat tersebut. Jelas saja hal itu taktik Ferdi akan mendapatkan harga yang lebih murah lagi. Terlihat Pak Samuel sangat bersemangat mendapatkan orang yang melihat gedung tersebut untuk menyewa.
Mereka berdua pun naik ke lantai dua dan tepat seperti yang diharapkan di sana juga terdapat pantry yang cukup luas bisa digunakan sebagai dapur dan ada kamar mandi juga. Ferdi merasa kalau feeling-nya sangat tepat untuk memilih gedung tersebut sebagai tempat usahanya. Namun memang saat naik ke lantai dua dia mulai merasa sesuatu yang ganjil dan hawa mistis terasa kental di sana.
“Pak Samuel, saya dengar kalau tempat ini sedikit bermasalah ya? Lantas apakah jika saya menyewa gedung ini dalam jangka waktu yang panjang akan berpengaruh buruk juga dengan usaha yang akan saya rintis?” tanya Ferdi yang mencoba mengulik pemilik gedung itu agar uang sewa makin turun. Lelaki itu mematok harga sembilan puluh juta per tahun dan minimal ambil sepuluh tahun sewa. Padahal di daerah itu sewa gedung mencapai dua ratus juta per tahun dengan tiga lantai.
“Nah, itu yang hendak saya bicarakan dengan Ferdi nanti setelah keluar dari gedung ini karena kita masih melihat ke lantai tiga, bukan?” Pak Samuel terlihat takut membahas hal ganjil di dalam gedung tersebut. Bagaimana mungkin sebagai seorang yang memiliki gedung itu justru ketakutan berada di dalam bangunan yang menjadi miliknya selama ini? Ferdi justru menaruh curiga.
“Baik, Pak. Apa di atas sama persis dengan di sini?”
“Iya, Ferdi. Mau lihat ke atas atau turun saja?”
“Turun saja, Pak. Saya sudah tahu gambarannya kalau sama dengan lantai dua.”
“Iya, mari turun.”
Pak Samuel terlihat bernafas lega saat Kardi mengajak untuk turun kembali ke lantai bawah. Berarti ada sesuatu hal yang buruk terjadi di lantai tiga dan itu berkaitan dengan Pak Samuel. Jiwa kepo ala-ala detektif muncul di benak Ferdi, tetapi tiba-tiba dia mendengar suara Marry Ann.
“Jangan menyelidiki hal itu. Biarkan saja. Dia juga akan menurunkan harga sewa gedung ini dan ambil saja. Aku akan membantumu, Ferdi ....” bisik Marry Ann yang jelas hanya di dengar oleh Ferdi.
Ferdi pun terdiam. Dia semakin yakin ada yang tidak beres, tetapi istri gaibnya pun tidak menghendaki untuk dirinya mencari tahu. Sesampainya di lantai dasar, Pak Samuel mengajak keluar gedung untuk membicarakan hal sewa dengan alasan agar bisa duduk sambil berbincang banyak hal. Padahal Ferdi yakin sangat kalau lelaki itu takut berlama-lama di gedung itu.
Ferdi dan Pak Samuel menyeberang jalan dan berbincang di sebuah food court. Mereka tidak memesan junk food, melainkan hanya minuman saja. Segelas cokelat hangat dan es jeruk kesukaan Ferdi. Mereka pun mulai membicarakan soal gedung tersebut dan juga soal harga sewa agar mendapatkan kesepakatan bersama.
“Bagaimana, Ferdi? Tertarik dengan bangunan itu?” tanya Pak Samuel dengan menutupi rasa ragu-ragunya.
“Begini, Pak. Jujur saja saya tadi mendengar soal desas-desus gedung ini. Awalnya saya juga bingung karena ini tempat yang strategis untuk membuka usaha tetapi kenapa gedung milik Pak Samuel belum di sewa oleh siapa pun. Selain itu harga yang tak Samuel tawarkan Memang jauh lebih terjangkau dibanding harga gedung berlantai tiga di sekitar sini. Hanya saja dengan harga segitu saya kurang yakin kalau bisa menjalankan usaha di tempat yang sudah terkenal angker.” Ferdi mulai memainkan taktiknya agar mendapatkan harga sewa lebih murah.
“Begini, Ferdi. Oke saya tidak akan menutupi sama sekali informasi terkait dengan gedung bangunan lantai tiga ini. Pertama, saya membangun gedung ini awalnya hendak digunakan untuk kantor perusahaan cabang milik mendiang kedua orang tua saya. Namun karena suatu hal akhirnya saya tidak bisa membuka cabang di tempat ini perizinan tidak turun dan ada beberapa kendala secara teknis. Kedua, gedung ini memang sempat kosong selama beberapa tahun setelah bangunan selesai dan ini adalah murni kesalahan saya mengapa tidak langsung menyampaikan kepada orang lain dan menunggu proses perizinan pembukaan cabang di sini berhasil."
"Ketiga, ada hal buruk yang terjadi di lantai tiga saat gedung ini belum mulai dipakai untuk operasional apa pun. Saya tidak bisa menjelaskan detailnya tetapi hal itu terjadi karena ada orang jahat yang sangat kejam. Lalu setelah disewakan, orang yang membuka usaha di sini tidak pernah betah hingga satu tahun. Padahal lokasi ini sangat strategis dan ramai. Entah mengapa selalu saja terjadi hal aneh di dalam gedung itu dan membuat orang berspekulasi kalau gedungnya angker. Seperti yang Ferdi ketahui kalau harga sewa gedung tiga lantai di kawasan ini mencapai dua ratus juta, tetapi saya hanya membanderol dengan harga sembilan puluh juta per bulan, tetapi dengan syarat ambil sewa minimal sepuluh tahun. Agar kita sama-sama diuntungkan,” jelas Pak Samuel dengan rinci agar tidak membuat Ferdi merasa tertipu dengan gedung tersebut.
“Iya, Pak. Terima kasih penjelasannya. Saya tahu kalau gedung yang terkenal angker akan sulit menjalankan bisnis di sana. Saya juga perlu mengadakan banyak pengubahan ventilasi dan kaca jendela gedung dengan harga yang tidak murah. Maaf, saya ....”
Belum selesai Ferdi melanjutkan kalimatnya, Pak Samuel langsung menghentikan pembicaraan itu dengan penawaran harga yang sangat menarik. “Tujuh puluh lima juta. Silakan Tuan Ferdi sewa gedung itu sepuluh tahun. Ini harga paling murah dan saya tahu cukup rugi dengan penawaran ini. Silakan.”
Ferdi pun tersenyum. “Baiklah, Pak. Deal. Nanti kita selesaikan p********n sewa setelah membuat surat sewa gedung selama sepuluh tahun.”
“Baik.”
Secercah senyum Dan harapan di wajah Pak Samuel terlihat jelas di mata Ferdi. Mendapatkan orang yang mau menyewa gedung tersebut selama sepuluh tahun jelas aja membuat Pak Samuel senang karena selama ini sulit mendapatkan orang yang mau menyewa gedung itu. Setelah selesai membicarakan tentang persewaan gedung itu mereka pun berpisah dan Ferdi segera kembali ke dalam mobil di mana Pak Jono sedang menunggu dirinya.
“Akhirnya ....” gumam Ferdi sambil mengenakan sabuk pengaman.
“Tidak jadi di sana ‘kan, Tuan? Mau lanjut ke alamat gedung selanjutnya?” tanya Pak Jono penuh harap kalau Ferdi tidak jadi menyewa gedung itu.
“Sudah deal, Pak. p********n nanti sore untuk sewa gedung selama sepuluh tahun,” jawab Ferdi membuat tubuh Pak Jono serasa lemas dan hampir saja pingsan.
Pak Jono yang tahu kalau gedung itu memang bermasalah dan pernah ada berita tentang seorang yang dibunuh di lantai tiga sebelum gedung tersebut dioperasikan membuat gempar di daerah Jakarta. Rasanya Pak Jono hampir pingsan karena dia tahu kalau bosnya menyewa tempat itu sebagai tempat usaha menjalankan bisnis berarti Pak Jono memiliki peluang besar untuk sering datang ke gedung tersebut. Apa lagi parkir tempat parkir gedung tersebut berada di basemen yang gelap, membayangkan hal itu membuat Pak Jono merinding.