Wajah Asisten rumah tangga itu tampak demikian bingung.
Dia sangat terheran, kala menyambut kedatangan Bobby serta Ardi pada tengah malam seperti itu. Lebih heran lagi, karena pertanyaan serentak mereka begitu melihatnya adalah, “Bi Sum, Steph mana? Sudah sampai rumah dia?”
Bukannya menjawab pertanyaan mereka, Bi Sum justru memandang Dua Orang Lelaki itu bergantian. Wajah Bi Sum jelas menyiratkan pertanyaan pula.
“Bi Sum...,” kata Bobby.
Bi Sum tergeragap mendengarnya. Seperti baru saja mendapatkan kembali fokus perhatiannya.
“Non Steph?” ujar Bi Sum dalam nada bertanya. Seolah tak percaya bahwa Dua Orng Laki-laki di depannya menanyakan Stephanie.
“Iya, Bi. Steph. Mana dia? Ada di dalam?” sahut Bobby tak sabar.
“Bi...!” desak Ardi yang rupanya telah bosan menanti dalam cemas dan merasa bahwa prolog pertemuan mereka ini sudah terlampau lama dan memakan waktu. Sekian hari bersama Bobby, rupanya cukup untuk sedikit menularinya dengan sikap kurang sabar. Lagi pula, dia sedang panik berat saat ini.
Bagi Ardi, mendengar kepastian tentang keberadaan Stephanie dan seandainya mungkin untuk melihat langsung Gadis itu, adalah tujuan utamanya datang kemari. Jadi buatapa bertanya jawab yang panjang-panjang kan?
“Jawab, Bi!” suruh Bobby pula.
Bi Sum mengangguk, walau tetap di tengah rasa bingungnya.
“Tadi itu Non Steph cuma datang untuk mengambil pakaian, satu koper penuh. Non Steph kelihatan terburu-buru dan ada satu taksi yang menunggu Non Steph di luar. Habis itu Non Steph terus pergi lagi. Padahal Bibik baru mau tanya, kok cepat sekali pulangnya. Tapi Non Steph nggak menjawab. Non Steph malahan bilang, supaya Bibik menjaga dan rutin membersihkan tempat ini selama Non Steph pergi. Terus, Non Steph juga menitipkan kunci mobil dan meminta tolong supaya mesinnya dipanaskan kalau lagi sempat. Memangnya, Non Steph kemana Mas Bobby, Mas Ardi?” tanya Bi Sum setelah memaparkan secara panjang lebar.
Mendengar keterangan dari Bi Sum, Bobby mengerang kesal dan spontan memukuli tembok ruang tamu sampai tangannya terluka.
“Sial! Kita kurang cepat!” maki Bobby sambil terus menonjok tembok yang tak bersalah itu.
“Jangan begini, Kak!” Ardi berusaha menenangkan Bobby.
Sementara Bi Sum menatap kedua Laki-laki di depannya dengan pandangan curiga yang tak tersembunyikan.
“Ya ampun, aku menyesal sekali.”
Ardi serasa membeku mendengarnya.
“Kak Bobby, jangan begini. Sudahlah! Kalau soal menyesal, aku juga menyesal.”
Bobby menggeleng.
“Enggak Di. Kamu itu nggak salah. Semua keruwetan ini ujung pangkalnya dari aku.”
Ardi bagai kehabisan kata-kata.
Dan Bobby kembali bicara.
“Kemarin Ryan. Terus sekarang Steph. Kenapa semua jadi begini? Boro-boro jadi Panutan, melindungi Adik-adikku saja aku nggak becus,” geram Bobby.
Ucapannya membuat Ryan, yang baru saja tiba, mematung.
Mau tak mau, hatinya tersentuh.
Tangan Ryan mengepal, sampai buku-buku jarinya memutih. Sontak, rasa sesal menguasainya.
Itu serius, Kak Bobby menyesal? Jadi, sikapku kemarin-kemarin itu sebenarnya keterlaluan, karena aku melimpahkan semua kekesalan dan rasa sakit hatiku atas perbuatan dan perkataan Istrinya, ke Kak Bobby? Pikir Ryan dalam galau.
Di lain pihak, Bi Sum tercengang mendengar perkataan Bobby.
“Non Steph pergi? Pergi kemana, maksudnya? Ada kejadian apa sebenarnya, Mas Ardi?” tanya Bi Sum.
Wajah Bi Sum berubah panik. Pandangan matanya kini seolah menuntut penjelasan.
Ardi mengabaikannya.
“Kak Bobby, sudah! Bukan begini caranya menyelesaikan masalah. Tenangin dirimu dulu, kita pikirkan sama-sama,” Ardi mengembuskan napas dengan berat dan menarik badan Bobby sekuat tenaga, menjauhkan Bobby dari tembok.
Mana dia tahu, bahwa Bobby bakal seemosional ini? Tiga malam bersama di suite mereka di Hong Kong, tidak terlalu banyak yang didengarnya kecuali ungkapan penyesalan Bobby yang seakan tersadar bahwa apa yang dilakukan oleh Hera dan Keluarganya sungguh-sungguh telah membuatnya kian jauh dari Adik-adiknya.
“Mas Ardi, tolong bilang apa yang terjadi. Non Steph baik-baik saja kan?” tanya Bi Sum dengan suara yang mulai serak.
“Enggak, Bi. Enggak ada apa-apa. Non Steph baik-baik saja,” kata Ardi pada Bi Sum kemudian.
Dia tak tahu, ada Sosok lain yang telah berdiri tak jauh dari belakang Ryan. Sosok yang rupanya tiba hanya berbeda sekian detik dari Ryan. Sosok yang sempat berpapasan dengan mereka sewaktu mengambil bagasi tadi, dan curiga karena berpikir bahwa Ardi terang-terangan menghindarinya. Dia tahu, karena saat tatap mata mereka bersirobok, Ardi bergegas mengajak Bobby dan Ryan keluar.
...
“Kalian duluan saja. Aku nanti nyusul, naik taxy,” sempat Sosok itu mendengar penolakan Ryan, yang ngotot menolak diajak masuk ke mobil yang tengah merapat. Mobil pribadinya Bobby, yang dikemudikan oleh Supirnya setelah diberitahu perihal jadwal kedatangan Bobby dan Kedua Adiknya.
“Terserah!”
Itu saja yang sempat didengar oleh Sosok itu dari mulut Orang yang bersama Ardi. Seseorang yang selintas memiliki kemiripan wajah dengan Stephanie.
...
Kini, demi mendengar sepotong percakapan di ruang tamu dari paviliun yang ditempati Stephanie, tubuh Sosok itu sketika menegang. Ada kisruh yang hebat di dalam hatinya.
Astaga! Steph pergi? Duh, seberat apa masalah yang dialaminya? Kamu di mana Steph? Janji ke aku, bahwa kamu nggak akan membahayakan dirimu! Pintanya dalam hati.
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Seketika pikirannya terasa demikian penat.
Enggan dia mendekat apalagi menghampiri Tiga Bersaudara itu, Dia malah berpikiran untuk segera pergi meninggalkan tempat tersebut, sebelum mereka bertiga, dan juga Bi Sum, menyadari kehadirannya.
Daniel segera berbalik, kembali ke mobilnya yang sengaja diparkir agak jauh dari kediaman Stephanie.
Dia segera terlupa akan rasa lelah yang menggayut di tubuhnya. Secuil berita tentang Stephanie sungguh membuat perasaannya kacau balau dan pikirannya tidak tenang.
“Pak Wawan, mau saya pesankan taxy online, atau perlu saya drop di mana? Soalnya saya ada urusan penting dan nggak bisa ditunda lagi,” kata Daniel sambil menadahkan tangan, meminta kunci mobil.
Pikirannya kusut.
Pak Wawan terkejut.
“Tapi, Pak, Bapak kan baru saja datang. Pasti masih capek. Enggak saya supiri saja?” tanya Pak Wawan, takut-takut.
Daniel enggan menjawab.
Dan itu sudah cukup bagi Pak Wawan untuk membungkam mulutnya. Pantang baginya untuk menyulut emosi Daniel.
“Eng.., gampang, Pak. Saya bisa pesan taxy sendiri. Saya lihat, di jalan masuk kemari tadi juga ada ojek kok. Pak Daniel tolong hati-hati di jalan, ya. Kalau perlu saya, tolong hubungi saya saja. Saya akan sesegera mungkin datang,” kata Pak Wawan seraya menunduk.
Ia segera mengangsurkan kunci mobil kepada Daniel yang segera mengambilnya.
“Pak Wawan duduk saja kalau begitu. Saya antarkan sampai jalan raya supaya lebih mudah mencari taksi konvensional, ojek atau menunggu taksi daring.”
Pak Wawan langsung menggoyang-goyangkan telapak tangannya.
Dia tak sanggup membayangkan dirinya duduk di jok samping Pengemudi, apalagi di jok belakang, sementara yang menyupiri dirinya justru Daniel, Sang Majikan.
“Jangan Pak. Tidak apa-apa. Ini gampang kok, Letaknya juga nggak terlalu jauh dari jalan raya. Sudah, yang penting Pak Daniel tolong hati-hati di jalan ya. Tolong ya Pak,” ulang Pak Wawan serius, seolah menyetir adalah pekerjaan yang sungguh berat untuk Seorang Daniel.
Ketulusan yang tersirat dalam kelimat Pak Wawan, tak urung menyentuh hati Daniel walau sekilas.
Sudut bibirnya sedikit tertarik karenanya.
“Benar Pak Wawan nggak mau ikut ke depan? Ini sudah malam, Pak,” kata Daniel.
Dalam hati Pak Wawan ingin menjawab, “Justru itu Bos. Ini sudah malam dan saya nggak tega melepas Bos yang tentunya masih capek setelah penerbangan panjang, menyetir sendiri. Kalau soal saya sih, enggak ada masalah. Saya cukup tahu derah ini kok. Dan sekarang juga masih terbilang ramai.”
Namun yang terucap olehnya hanyalah, “Ya Pak Daniel.”
Daniel manggut kecil.
“Maafkan saya terpaksa meninggalkan Pak Wawan di sini. Ini, Pak, buat naik taxy,”
Daniel menarik beberapa lembar uang seratus ribuan dari dompetnya, lantas menggenggamkannya ke tangan Pak Wawan.
Lantas, Daniel segera membuka pintu mobil dan tidak memberi kesempatan barang sedikit saja pada Pak Wawan untuk menolak pemberiannya
*
^ * Lucy Liestiyo * ^