“Tuh, Inge, dengar. Mamamu sudah kepengen menimang Cucu lho,” tepukan lembut Bu Rini di bahu Inge, dirasanya berbanding terbalik dengan efek yang ditimbulkan setelahnya. Buat Inge, itu sama saja dengan memancing-mancing Sang Mama sekaligus mengintimidasi dirinya.
Benar saja.
Pancingan dari Bu Rini tersebut tampaknya menuai hasil yang sempurna.
Segera saja, fokus perhatian mereka tidak lagi kepada Si Bayi. Dan ketika Sang Suster mengisyaratkan akan kembali menaruh Sang Bayi di ranjang agar dapat beristirahat, Dua Orang Ibu-Ibu itu mengangguk setuju. Tidak ada ekspresi wajah keberatan sama sekali. Hati Inge yang menjerit tak setuju sebab menangkap adanya alarm tanda bahaya yang menyala. Tapi apa daya. Duo Sosialita itu seperti telah bersepakat untuk menjadikan dirinya sebagai bahasan utama.
Bu Rini menyenggol lengan Inge.
“Mama kamu senang sekali lho, kamu kembali. Wah..., sewaktu kamu pergi jauh, Mamamu ini sudah seperti kehilangan setengah nyawanya. Nggak antusias mengerjakan apa saja. Banyak bengong sewaktu kami sedang kumpul-kumpul.”
Inge memaksakan sebuah senyum.
“Hei..,” tegur Bu Chelsea lantas menggeleng, seolah menganggap sikap Inge kurang sopan di depan Temannya.
Inge tergerak.
“Mama hanya berlebihan saja kok Tante. Jauh mana padahal negeri tirai bambu dibandingkan sama Perancis. Kan dulu juga saya kuliah di Perancis.”
“Beda dong. Kan dulu niatnya mau kuliah,” cetus Sang Mama, kelepasan bicara. Lalu ia cepat-cepat menutup mulutnya.
“Ya memang sekarang bukan?”
“Nggak harus, semestinya. Kamu mau belajar bahasa dan budaya mereka bisa dari sini kok.”
Inge mengeleng enggan, memberi kode keras agar Sang Mama tak memperpanjang bahasan tersebut.
“Inge pergi karena mengulur waktu, ya, belum mau cepat-cepat menikah?” Pertanyaan Bu Rini yang tiba-tiba itu membuat telinga Inge memerah. Namun setidaknya dia berharap sekaligus bersyukur, menengarai Sang Mama tidak atau belum membongkar secara detail tentang apa yang terjadi di malam pertunangannya yang kemudian menjadi penyebab kepergiannya ke Kaifeng.
“Kita balik ke kamar yuk Tante,” sela Inge, mengabaikan perkataan dari Bu Rini sebelumnya.
Namun Bu Rini seperti tak menghiraukannya.
“Inge, wajar kalau Mamamu ingin kamu lekas menikah. Putrinya kan anya satu. Lagi pula, kan Calon-nya Inge itu bukan Orang biasa. Kualitasnya bagus. Kalau nggak buru-buru diikat dalam pernikahan, nanti yang ada digodain banyak Cewek di sekitarnya. Ehm.., masih kan, sama Si Putra Mahkota clan Sanjaya?”
Lambung Inge serasa tertohok oleh pertanyaan ini.
Tapi itu belum seberapa. Bu Rini ini ternyata juga usil. Dia masih melanjutkan ‘teror’nya kepada Inge.
“Pacarnya lagi sibuk sekarang, ya? Kok nggak menemani kamu kemari?’
Inge menggigit pipi bagian dalamnya.
Pacar? Dia...! Kami itu pernah bertunangan! Ah! Untung saja saat itu hanya Kerabat dekat yang hadir. Dan Bu Rini bawel ini bukan merupakan Salah satu yang diundang. Lalu apa kata Cewek ganjen itu tadi pagi? Mantan Tunangan! Betapa menyakitkannya status itu! keluh Inge di dalam hatinya.
Bu Chelsea lekas mengambil alih suasana.
Dia berdeham kecil.
“Biasa deh Jeng. Mereka berdua kelihatannya sedang bertengkar. Masih seperti Anak Remaja pacarannya. Sedikit-sedikit marahan. Nanti yang Cowok terlalu sibuk dan nggak menjemput ke bandara. Lalu yang Cewek nggak mau ngerti kesibukan Cowoknya dan menolak ketemu sampai sekarang,” cetus Bu Chelsea lancar.
Rasanya Inge ingin berteriak.
Mama ini apa-apaan, mengarang bebas seenaknya! Jerit Inge dalam diamnya.
Bu Rini tertawa kecil.
“Lho lho lho...! Jangan begitu dong. Inge, jadi Perempuan itu jangan terlalu keras hati. Putranya Pak Agustin itu pasti sibuk luar biasa. Kita jadi Perempuan harus banyak pengertian. Kamu itu Inge, mengingatkan Tante sama Anak Tante saja. Dia dulu juga begitu. Kalau marah sama Pacarnya, bisa tahan berminggu-minggu. Akhirnya Tante kasih tahu pelan-pelan. Tante bilang ke dia, marah itu boleh. Kesal juga boleh. Tetapi jangan keterlaluan menghukum Laki-laki karena persoalan-persoalan kecil. Nanti giliran Laki-lakinya menjauh, yang ada dia sendiri yang kelimpungan. Ya kan? Lagi pula, janganlah terlalu berpikiran bahwa Laki-laki itu bagaikan karet. Sejauh mana dia melenting, sejauh itu pula akan kembali. Itu nggak selamanya benar. Kalau modelnya seperti Menantunya Tante, atau Si Calon Menantunya Mamamu itu..., kalau dia dicuekin terus, dan dibiarkan menjauh, lalu hubungan mendingin, malah bahaya. Pada saat seperti itu akan ada Perempuan gatel yang merangsek masuk ke dalam hubungan yang sedang rentan. Dan bukan nggak mungkin, Si Cowoknya lemah. Yang ada, dia malah digondol sama Si Perempuan gatel itu,” urai Bu Rini sok menasehati.
Rasa sesak yang hebat menyenak di benak Inge.
Diam-diam dia mengakui, ada beberapa yang benar dari sekian banyak yang diucapkan oleh Bu Rini. Ada sedikit sesal di hatinya.
Andai dulu aku sedikit berkompromi dengan Daniel yang tampak begitu berusaha untuk menemuiku. Andai dulu aku sedikit memberikan dia kesempatan. Mungkin aku tidak jadi pergi dan hubungan kami malah sudah membaik. Dan bisa juga aku jadi pergi, tetapi dengan hati yang senang, sebab status kami tetap sebagai Sepasang Kekasih. Ya, andai aku nggak membiarkan semuanya berlarut-larut seperti sekarang ini, si Perempuan gatel itu pasti nggak mendekati Daniel. Aku tahu Daniel. Daniel itu bukan Cowok yang mudah ditaklukkan. Aku tahu dan sadar, banyak Cewek yang menaruh hati padanya, bahkan menginginkan dia menjadi Pendamping hidup. Tapi toh, Daniel nggak sereceh itu. Jadi jelas, Si Stephanie itu memang Cewek murahan. Huh! Pasti dia menjebak Daniel dengan pesona fisiknya. Pasti dia sudah menyerahkan diri kepada Daniel. Mereka pasti sudah kerap tidur bersama. Nggak mungkin enggak. Ya, itu satu hal yang nggak akan pernah aku lakukan sebelum terikat dalam pernikahan. Dan Jason juga sangat menghargai hal itu. Jason! Ah! Mana ssanggup aku menyakiti hatinya? Dia baik, dia tulus padaku. Dia menjadi alasan mengapa aku betah berada di Asrama dan menikmati keseharianku selama berada di sana, bisik hati Inge.
Bu Chelsea tidak menyangkal perkataan Teman Sosialitanya tersebut. Dia malah merasa memiliki Seorang Pendukung.
“Tuh, dengar apa kata Tante Rini. Jangan berkeras hati. Untung saja Anaknya Tante Rini mendengarkan perkataan Mamanya. Sekarang? Anaknya malahan sudah memberinya Cucu. Ah, Mama kapan, ya?” ucap Bu Chelsea dengan pandangan menerawang, seperti menatap harapan yang masih samar.
“Mama jangan berlebihan deh!” tegur Inge gemas.
Dia tak habis pikir, Seorang Chelsea Ivanova dapat bersikap senorak itu.
“Siapa yang berlebihan? Enggak kan ya, Bu Rini? Wajar ya.”
“Iya, Inge,” bela Bu Rini.
“Siapa nama Pacarnya? Oya, Daniel ya. Jangan kelamaan marahnya sama Daniel. Nanti dia keburu digoda Cewek lain,” olok Bu Rini.
Inge menelan ludah yang terasa pahit.
“Nanti biar saya saja yang telepon Papanya Daniel. Mereka berdua ini, umur sudah sedewasa itu, tapi masih saja perlu bantuan Orang tua, kadang-kadang.”
Inge langsung mencubit lengan Sang Mama.
“Apa sih!” tegur Bu Chelsea.
“Jangan macam-macam ya, Ma.”
“Makanya, Inge. Kalau nggak mau Mamamu sampai begitu, ya kamu lembut sedikit, menglah sedikit sama Daniel. Cuma masalah nggak dijemput dari bandara itu soal kecil. Jangan dibesar-besarkan. Namanya juga Pengusaha, pasti sibuk berat. Dengar apa kata Tante deh. Jangan sampai kamu menyesal.”
Inge merasa tengah dimasukkan ke ruangan dengan kadar udara yang rendah. Sesak sekali di dalam dadanya. Tak pernah terpikir olehnya Bu Rini akan secerewet ini. Menyesal rasanya dia sudah mau memenuhi ajakan Sang Mama untuk menengok Keponakan Bu Rini.
Wajah Inge langsung muram.
Bu Chelsea mencermatinya.
Secuil rasa iba menyapanya.
Diusapnya rambut Inge.
Inge terang-terangan menghindar.
Gerakan refleksnya itu mengundang senyum geli Bu Rini.
“Ha ha ha..., paham, paham. Tante paham sekarang. Sudah, ini masalahnya hanya soal ngambeknya kamu yang kelamaan saja. Nah, sekarang kita balik ke kamarnya Susy saja.”
“Ayo, Ma. Dan kita langsung pamit saja.”
Sang Mama mengedikkan bahu.
Bu Rini tersenyum simpul.
“Inge, jangan marah sama Tante ya. Jangan tersinggung dengan apa yang Tante ucapkan tadi.”
Inge belum menyahut, tetapi Sang Mama sudah lebih dahulu ‘mewakili’ dirinya tanpa diminta, “Oh. Nggak ada yang salah, Bu Rini. Inge itu nggak marah sama sekali ke Bu Rini. Dia hanya sedang kesal sama Pacarnya saja.”
Bu Rini manggut-manggut.
Inge sudah tidak peduli lagi. Hati dan kepalanya sudah terasa terlalu panas. Nyaris meledak rasanya andai saja mendapatkan kesempatan.
Dia hanya mengikuti langkah Bu Rini dan Bu Chelsea. Tidak berminat untuk berkomentar barang satu patah kata saja.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $