Pertemuan Yang Tak Terduga (1)

1778 Kata
“Dan, sebaiknya kamu pulang saja dulu. Steph butuh istirahat,” kata Ardi pelan. “Kak Ardi..., saya mau melihat keadaan Steph. Tolong ijinkan. Sebentar saja,” pinta Daniel. Bobby menatap Daniel dengan sorot mata yang seolah dirinya adalah Seekor Singa yang hendak mencabik-cabik tubuh Cowok itu. Ardi memergokinya. Dia sudah tak ingin ada drama lagi. Dan dia merasa, ini saatnya untuk bicara. Ia melayangkan pandangan matanya kepada Ryan dan Bi Sum, lalu menepuk bahu Daniel. “Sini, kita bicara sambil jalan.” Dengan berat hati Daniel terpaksa menurut. Mereka berdua melangkahkan kaki, menjauh dari Ryan, Bobby dan Bi Sum. “Yang pertama, keadaan Steph baik-baik saja. Kamu bisa pegang perkataanku.” Aneh. Daniel tak kuasa untuk membantah. Apalagi merengek ‘meminta haknya’ untuk menengok Stephanie. “Yang kedua, tolong kasih dia waktu dulu, ya. Aku nggak mau dia mikir yang berat-berat. Jangankan untuk memikirkan hal ruwet sama kamu. Kalau aku bisa, sedapat mungkin akan aku hindarkan Bobby dari dia untuk sementara. Rasa kesalnya Steph hanya akan memperlambat pemulihannya.” Daniel hendak membantah. Namun apa daya, mulutnya bagai terkunci. Di hadapan Ardi, dia tak dapat beradu argumentasi. Ardi memang berbeda. Tampak Ardi mengembuskan napas. “Dan yang ketiga. Aku kecewa sama kamu. Entah bagaimana, kamu bisa-bisanya menyembunyikan Steph di tempatmu. Apa pun alasannya, Dan. Aku nggak bisa memaklumi hal itu.” “Kak Ardi, soal itu.., tadi aku sudah sempat jelaskan ke Ryan.” “Apa?” Daniel mengusap keningnya. Dia sudah lelah dengan pertanyaan macam ini. “Singkatnya, Steph sendiri perlu waktu untuk sendiri, Kak.” “Hm.” “Seperti itu Kak Ardi. Saya hanya berusaha untuk melindungi dia pada saat dia sedang galau. Saya nggak mau membiarkan dia sembarangan memilih tempat tinggal.” Ardi diam sesaat. Mencoba mencerna maksa di balik ucapan Daniel. “Setidaknya kamu bisa memberi tahuku, walau tanpa sepengetahuan Steph.”  “Kak Ardi. Saya minta maaf soal itu.” “Aku nggak yakin bisa memaafkanmu..,” perkataan datar Ardi membuat Ardi merasa tercekat. “Kami adalah Keluarganya Steph. Kamu harus tahu apa yang terjadi sama dia. Dan di mana posisimu kamu tempatkan? Dalam kapasitas apa kamu tempatkan dirimu? Pacarnya? Orang yang sedang dekat sama Steph. Dan, itu nggak akan mengubah fakta bahwa semestinya kami tahu keberadaan Steph. Dan satu hal lagi, aku nggak punya satu alasan pun untuk membenarkan tindakanmu menyuruhnya tinggal di tempatmu, bersama denganmu.” Daniel terbungkam. Dia benar-benar tak punya alasan untuk mendukung atau membenarkan tindakannya. Pun begitu, dia merasa perlu membersihkan anggapan atau dugaan bahwa mereka tinggal di unit apartemen yang sama. “Kak Ardi, kami nggak tinggal di satu unit. Di amemang tinggal di unitku. Aku tinggal di lantai lainnya.” Ardi mendengus. “Itu tidak mengubah fakta bahwa kamu bisa saja ke unit yang dia tempati kapan saja. Atau malahan bermalam.” Daniel merasa perlu membela kehormatan Stephanie. Ini bukan tentang dirinya lagi. Dia memperlambat langkahnya. “I swear. Nggak pernah Kak. Kami tahu batasan kok. Dan juga aku tegaskan, Steph bukan Gadis macam itu. Soal ini, aku yakin, Kak Ardi pasti lebih mengenal bagaimana Steph.” Ardi menatap dengan pandangan kesal. “Tentu saja aku amat mengenalnya. Yang aku nggak kenal itu diri kamu. Dan justru karena aku tahu Steph masih kerap memandang segala sesuatu dengan jiwa polosnya, itu yang membuat aku takut.” Daniel memejam mata. Dia tak menyangka akan setajam ini ucapan Ardi kepadanya. Seolah-olah, dirinya adalah Makhluk berbahaya bagi Stephanie. Sialnya, pada saat demikian, sesuatu yang tidak diharapkannya justru menjelang. Seruan Seorang Wanita paruh baya yang melihatnya dari kejauhan terdengar. “Daniel! Daniel!” Tangan wanita itu melambai-lambai lalu melirik ke samping. “Kamu kenapa? Kok wajahmu malahan cemberut begitu? Itu Daniel menyusulmu kemari ataukah memang kebetulan ada di sini?” tanyanya kepada Anak Gadisnya. Sepertinya mereka berdua telah selesai dengan urusannya menengok Susy dan bayinya dan hendak meninggalkan rumah sakit untuk segera pulang ke rumah. Wajah Inge yang sudah ditekuk semenjak keluar dari kamar perawatan Susy hingga menuruni lift ke lantai dasar, seketika berubah. Kini perasaan Inge langsung campur aduk. Dia tak menyangka bakalan bertemu dengan Daniel di sini. Ada rasa rindu, marah, sakit hati, terheran, berharap, sekaligus takut yang berpadu menjadi satu. Ya, dia takut, jangan-jangan Stephanie telah bercerita tentang bagaimana dirinya melabrak Gadis itu tadi pagi. Dirinya, yang telah mengawasi mereka berdua diam-diam sekian hari ini dan dapat menyimpulkan sendiri betapa Daniel mencintai Stephanie, tentu saja merasa was-was. Dia takut akan seperti apa reaksi Daniel. Bukan hanya Daniel yang terusik oleh panggilan itu, namun juga Ardi. Dia segera mengamati Bu Chelsea dan Inge yang berjalan ke arah mereka, lalu berusaha membaca ekspresi wajah Daniel. Paras Bu Chelsea cukup familiar sebagai Salah Satu Sosialita. Dan tanpa harus bertanya kepada Daniel, Ardi langsung menyimpulkan bahwa yang berada di sebelah Bu Chelsea tentunya Inge. Rasa curiga segera mencuat, bertarung dengan kegusaran yang mendadak tampil. Jarak di antara Ardi dan Daniel serta Bu Chelsea dan Inge kian berkurang karena mereka melangkah ke arah yang sama. Bagaimanapun kesalnya Daniel kepada Inge, tetap saja dia menaruh hormat kepada Bu Chelsea. Ardi hanya manggut kecil. Dia sedang tidak berminat untuk berbasa-basi. “Hallo, apa kabar, Tante?” sapa Daniel sembari mengulurkan tangannya. Senyum Bu Chelsea merekah. “Baik, baik sekali. Ini, muka kamu kenapa? Ya ampun, kok luka-luka begini? Apa yang terjadi sama kamu? Kamu habis berkelahi?” Dengan luwes dan akrab, tangan Bu Chelsea mengelus sebelah pipi Daniel. Hal yang samasekali tak diduga oleh Daniel. Dia sampai curiga. Pasalnya, sedekat apa pun hubungannya dengan Inge dulu, Bu Chelsea bukanlah Seseorang yang terlalu senang menunjukkan afeksi di depan umum. Apalagi setelah peristiwa pahit yang terjadi dan sempat mempengaruhi Dua Keluarga besar, Keluarganya dan Keluarga Inge. Dia sampai berpikir negatif, jangan-jangan Bu Chelsea kesambet Setan Sok Akrab di rumah sakit tersebut. Daniel tidak sadar, diam-diam Ardi memerhatikan dan membaca bahasa tubuh Wanita tersebut dan ekspresi wajah Daniel. Sementara Inge, bertanya-tanya dalam hati, apa yang menimpa Daniel. Betapa pun dirinya marah pada Daniel, tetap saja dia tak tega melihat ada luka di wajah tampan Daniel. Ingin benar dia bertanya, namun lidahnya terasa kelu. Di sinilah dia merasa, masih ada rasa peduli di hatinya. Masih ada rasa berharap. Masih ada ra cinta. C - I  - N  -  T  -  A ! “Dan, kamu kenapa?” tanya Bu Chelsea lagi. “Oh. Enggak Tante. Ini tadi kurang hati-hati,” elak Daniel rikuh. “Kurang hati-hati bagaimana? Lalu kelihatannya lukamu itu serius. Inge, lihat itu, Daniel luka begitu kok kamu diam saja,” tegur  Bu Chelsea. “Kamu itu boleh marah sama Daniel. Ya, Mama paham kamu kesal karena dia nggak jemput kamu pas kepulanganmu. Tapi yang jelas, ini sekarang dia sedang luka. Dia butuh perhatian kamu. Gimana sih!” omel Bu Chelsea lirih. Tetapi Ardi masih sempat mendengarnya. Alis Ardi mengernyit seketika. Kini kegusarannya sudah diwarnai pula oleh rasa kecewa. Dengan ekor matanya, dia menatap Daniel. Sementara tubuh Inge serasa membeku mendengar perkataan Sang Mama. “Dan, kamu telepon Om ya? Kok tahu kalau Inge ada di sini?” tanya Bu Chelsea ramah. Di detik ini, Ardi merasa sudah tak ada perlunya berada berlama-lama di situ. Ia menepuk lengan Daniel dan berkata pelan, “Dulu aku pernah bilang, kan? Selesaikan dulu masalahmu. Tapi sekarang, sebaiknya kamu lupakan ucapanku dulu. Apa yang aku lihat hari ini sudah merupakan jawabannya.” “Kak Ardi salah paham,” kata Daniel, menekan suaranya. “Eh, sampai lupa. Ini Temannya Daniel? Hallo, Siapa namanya Nak?” tanya Bu Chelsea yang tak nyaman memerhatikan ada Dua Orang Pria yang berbicara menyerupai Orang berbisik. Terlalu fokus kepada Daniel memang membuat dirinya mengabaikan kenyataan bahwa Daniel tidak sendirian. “Ardi, Tante. Silakan dilanjutkan obrolannya. Saya tinggal dulu. Mari,” ucap Ardi, berusaha keras untuk mengeluarkan suara yang netral. Ia langsung mengangguk baik kepada Bu Chelsea maupun Inge. Lalu tanpa mengatakan apa-apa lagi, Ardi berbalik badan. “Kak Ardi,” ucap Daniel dengan setengah putus asa. Gerakan Ardi barusan benar-benar bagaikan gerakan seseorang yang baru saja memberangus sebuah jembatan. Ya, jembatan yang menghubungkan hatinya dengan hati Stephanie.  Dia merasa kini tiada lagi celah baginya untuk menemui Stephanie di dalam sana. Sikap Ardi barusan terlampau kentara betapa dirinya menahan sebal. Nyali Daniel ciut karenanya. Dia merasa posisinya saat ini sungguh sulit. Dia merasa takut. Takut sekali kehilangan Stephanie. “Mumpung kita ketemu di sini, ayo kita ngobrol. Di sini saja atau kamu ke rumah, dan, sekarang? Semenjak Inge datang, kok kamu belum ke rumah. Yuk, ke rumah. Om juga semestinya sudah dalam perjalanan pulang sekarang. Tadi Om bilang, rapatnya sudah selesai.” Kalimat Bu Chelsea begitu tenang, begitu hangat. Sebelum menjawab, Daniel menatap kesal kepada Inge. Menilai sikap Bu Chelsea kepadanya, dia yakin sejuta persen, bahwa Inge sama sekali tidak bercerita tentang perilaku butuknya kepada Stephanie. Bu Chelsea memergoki tatapan Daniel. Dia merasa sedikit terusik dan tak rela mendapati Anaknya diperlakukan macam itu. Mau salah atau benar Anaknya, baginya Inge tetaplah benar. “Hei. Kamu jangan balas marah ke Inge hanya karena panggilan teleponmu terus ditolak dong. Sudah, yang penting sekarnag kan kalian ketemu di sini. Ayo, ke rumah sekarang. Inge, nanti kamu yang obati tuh luka-lukanya Daniel,” ucap Bu Chelsea, bak Seorang mandor yang memberikan sejumlah instruksi kepada Anak buahnya. Daniel dilanda dilema.  Dia tahu, sudah tertutup kemungkinan dirinya akan diijinkan untuk menengok keadaan Stephanie. Namun dia juga teringat permintaan Stephanie sebelum Bobby datang ke apartemen tadi. Dia ingat Stephanie meminta dirinya untuk menyelesaikan segal ahal yang masih ada sangkut pautnya dengen Inge dulu. Permintaan serupa dengan yang ditegaskan oleh Ryan, walau dalam konteks yang berbeda karena Ryan sama sekali tak tahu akan peristiwa Stephanie dilabrak. Sejenak Daniel menimbang-nimbang. Mungkin untuk sesaat, aku turuti kemauan Kak Ardi. Karena kalau aku memaksa, hasilnya bisa gawat, pikir Daniel. Lantas terbayang olehnya wajah Pak Victor. Satu-satunya Orang yang dirasanya ‘paling masuk akal’ di antara tiga Orang yang harus dihadapinya : Inge, Bu Chelsea dan Pak Victor sendiri. Daniel merasa, ini momen terbaiknya untuk membuka kebenaran tentang hubungan mereka yang sebenarnya. Sebab dia masih merasa ada kesalahpahaman di pihak Keluarga Inge. “Ayo, ke rumah saja biarpun sebentar,” kata Bu Chelsea lagi. Bu Chelsea menyenggol lengan Inge dengan gemas. “Kamu ini, jangan diam saja. Ajak Daniel ke rumah!” Inge menunduk. Daniel mengehla napas panjang. Cepat atau lambat, semuanya memang harus diungkapkan. Ini jelas, Inge nggak jujur. Aku malah nggak yakin kalau dia sudah cerita bahwa dirinya mempunyai Tambatan hati di Kaifeng. Aku nggak bisa menunda lagi. Ini tentang Steph. Aku harus membuka semua ini di depan Om Victor juga. Tentang bagaimana reaksi Tante Chelsea nanti, itu urusan belakangan. Aku sudah capek dibayang-bayangi Wanita mengerikan satu ini, dan Anaknya yang kelakuannya ajaib, kata Daniel dalam hati, akhirnya. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN