Begitu pintu lift terbuka, Daniel menahannya dan mempersilakan Stephanie untuk masuk terlebih dahulu.
Stephanie manggut kecil sebagai ungkapan rasa terima kasihnya.
Lantas sembari memasuki lift yang masih terbuka itu Daniel berkata pada Stephanie, “Oh ya Steph, panggil Daniel saja ya, nggak perlu embel-embel ‘Pak’ lagi.”
Hampir saja Stephanie kelepasan berkomentar, “Aneh juga.”
Beruntung, kalimat itu urung terucap dari bibirnya.
Dia masih dapat menertibkan mulutnya dengan baik.
Barangkali lantaran berkaca dari kejadian dia kelepasan tertawa di ruangan Daniel beberapa saat lalu kala Daniel membahas tentang kendaraan apa yang akan mereka gunakan.
Dan seolah melihat keraguan yang terbias di paras Stephanie, Daniel buru-buru menambahkan, “Oh, ya, ya, ya, ngerti, ngerti. Pasti nggak enak, ya, kalau kedengaran Pak Adji dan yang lainnya. Kalau begitu, panggil ‘Daniel’ nya saat nggak di depan orang lain, saja.”
Begitu percaya diri, padahal ini baru pertemuan kedua. Itu juga kalau ‘pertemuan’ di area parkir waktu itu layak dihitung sebagai pertemuan pertama.
Tanpa harus bercermin, Stephanie berani menjamin, alisnya pasti terangkat sebagai tanggapan spontan kalimat yang diucapkan sangat ringan oleh Daniel itu.
Nyaris Gadis itu berucap, “Ada-ada saja. Nggak di depan Orang lain, maksudnya, cuma berdua saja? Yang benar saja, memangnya bakalan ada, kesempatan macam itu? Kalaupun ada, dalam kapasitas apa?”
Alangkah mujur.
Akal sehat Stephanie masih bekerja dengan baik. Stephanie hanya tertawa kecil, karena tak menemukan ide lebih bagus untuk menanggapi ucapan Daniel tersebut.
Setibanya di tempat parkir, bagaimana Stephanie tidak tergoda untuk melayangkan pandang ke segenap area parkir dan dalam hati langsung membatin bahwa dirinya sama sekali tidak salah, waktu itu?
Ia mendapati, jelas Daniel yang salah, sebab kendaraannya memang tidak terparkir di lokasi yang bertuliskan ‘Khusus Direksi’, baik seminggu lalu maupun saat ini. Stephanie mendapati, area itu masih lowong banget, kok.
“Hm, aku nggak pernah parkir di sana, biarpun areanya lebih dekat dari lift,” ucap Daniel kemudian, seperti Sang Pembaca Pikiran yang tahu apa yang tengah dipikirkan oleh Stephanie.
Stephanie meresapi kata-kata Daniel.
Bukan, bukan dikarenakan kalimat Daniel terlampau sukar untuk dimengerti. Melainkan, dia merasa ada kejanggalan lain, membuatnya mengingat-ingat dan bertanya dalam hati.
Eh, sebentar deh. Aku? Perasaan, pas di ruangan kerjanya barusan dia masih pakai kata saya lho? Pikir Stephanie sembari mengingat-ingat.
“Oh, jadi waktu itu bukan saya yang salah tempat parkir, ya,” sahut Stephanie, seakan hendak melakukan pembelaan yang sebetulnya tak perlu dilakukan sama sekali. Pembelaan yang mengundang tawa Daniel, dan celakanya, langsung membuat hati Stephanie kebat-kebit tanpa direncana.
Shit! Kenapa dia semenarik ini, ya? Bahaya sekali ternyata Cowok satu ini! Maki Stephanie dalam hati kemudian.
“Masuk, Steph,” ucap Daniel seraya membukakan pintu sebelah kiri mobilnya.
Harum aroma kopi dari pengharum mobil menerpa indra penciumannya.
“Terima kasih,” sahut Stephanie disertai anggukan kecil.
Selagi Daniel beralih ke sisi lain mobil, pandangan Stephanie menyapu interior kendaraan Daniel, menilainya dalam diam. Di mata Stephanie, buat ukuran mobil yang dipakai oleh Cowok, mobil ini terbilang bersih dan rapi. Tiada pernak-pernik apa pun di atas dashboard. Hanya terdapat sebuah Rosario bermaterial kayu yang menguarkan wangi cendana, tergantung pada spion tengah. Entah mengapa, tak sekadar disapa rasa damai, Stephanie juga tak menyangka, ternyata Daniel ini merupakan Sosok yang cukup religius. Di jok tengah, tergantung sebuah kemeja lengan panjang polos berwarna biru toska.
Pintu sebelah kanan terbuka. Waktu yang cukup lama untuk sekadar jeda peralihan dari sisi kiri ke sisi kanan mobil. Dan ternyata ada alasan tertentu di balik itu.
Daniel muncul dengan dua botol air mineral dingin, yang terlihat masih berembun di bagian luarnya serta kantung kertas bertulis merk roti terkenal. Rupanya, tanpa setahu Stephanie, sebelum memasuki lift tadi, Daniel mengirim pesan teks, menyuruh Serena membelikan makanan ringan dan air minum. Dan Serena Sang Asisten Pribadi Daniel yang cekatan itu, meneruskan pesan pada Seorang Petugas parkir Sanjaya Building, menyuruh yang bersangkutan untuk membeli beberapa varian roti di lantai dasar dan segera menemui Daniel di tempat parkir.
He he he.., hebat, gesit, dan banyak akal, kan, Personal Assistant Daniel yang satu itu?
“Steph, ini, makanan kecil dan minuman buat kamu. Takutnya macet, dan kamu kelaparan di jalan,” kata Daniel yang menyodorkan air minum dan kantung kertas berisi aneka roti itu.
Stephanie, yang semula sedang asyik memperhatikan segenap ruang dalam Kijang Innova Daniel sampai luput mengamati Seorang berseragam Petugas parkir menghampiri Daniel dan menyerahkan pesanan Serena yang baru saja ditukar guling dengan lembaran uang yang tentu jauh lebih banyak dari yang dibelanjakannya, menjadi terperangah.
“Duh, saya jadi ngerepotin, nih. Tapi, terima kasih banyak ya, Pak,” ucap Stephanie.
Daniel hanya tersenyum singkat.
Dia merasa terganggu dengan sebutan ‘Pak’ barusan.
“Sambil dimakan saja, Steph. Perjalanannya lumayan jauh, lho,” ucap Daniel.
“Nanti saja,” sahut Stephanie agak rikuh.
Dia agak bingung saja dengan fakta bahwa mereka berdua ternyata tidak disupiri. Dan dia jelas tidak tega untuk enak-enakan makan sementara Daniel, dalam hal ini adalah Sang Prospek, justru harus berkonsentrasi mengemudikan kendaraan yang mereka tumpangi.
Sebentar saja, kendaraan Daniel sudah keluar dari tempat parkir Sanjaya Building, meluncur di jalan raya. Sesekali Daniel mengomentari kondisi jalanan yang cukup kondusif siang itu, mengobrol ringan dengan Stephanie, diselingi menerima panggilan telepon di telepon selulernya.
“Nggak nyangka, Pak Daniel masih menyetir sendiri,” komentar iseng ini mencuat begitu saja dari mulut Stephanie, di tengah percakapan mereka.
Daniel tidak segera menjawab, dan itu membuat Stephanie menyesali pertanyaannya. Untung saja, sebelum dia berpikir macam-macam, Daniel sudah keburu menjawab.
“Kebiasaan dari dulu. Sejak sekolah, kuliah, dan akhirnya jadi keterusan sampai sekarang,” terang Daniel tanpa beban.
“Oh.., begitu. Salut,” puji Stephanie jujur.
Diam-diam dia membandingkan Daniel dengan dirinya yang terkadang mengomel karena kemacetan jalan yang harus dihadapinya nyaris setiap hari. Kadang-kadang saking geregetan dia susah untuk duduk tenang di belakang kemudi selagi menanti kemacetan terurai.
“Ah! Salut apa? Nggak ada yang istimewa kok, Steph. Tapi Supir kantor sih, selalu ada. Jadi kalau lagi malas nyetir atau lagi kurang sehat, bisa minta tolong ke mereka,” ungkap Daniel bagai memperjelas situasi.
“Ooo...., begitu,” timpal Stephanie, penting tak penting.
“Kalau mesin Hao dan Jia nanti cocok buat produksi di tempatku, kamu tawarkan juga ke pabriknya Pak Agustin ya. Perusahaan manufakturnya kan lebih banyak. Nanti kusuruh Serena untuk kasih kontak bagian Procurement-nya ke kamu ya,” secepat kilat, Daniel telah mengalihkan pembicaraan.
“Wah, terima kasih banyak sebelumnya,” ucap Stephanie di sela gerakannya membalas pesan teks pada koleganya.
Diam-diam, sepanjang perjalanan ke pabrik, ia kerap mengerling pada Daniel dan berharap Daniel tidak tahu apa yang dia lakukan itu. Atau.., mungkin saja sebenarnya Daniel tahu, dan memilih menikmati ulah Stephanie dalam diam? Dia kan, tengah mengenakan sun glass! Mana bisa Stephanie tahu secara tepat, pandangan atau lirikan matanya Daniel kemana, detik demi detik?
Jangan tanya berapa banyak pertanyaan yang memenuhi benak Stephanie. Menilik dari penampilannya, Daniel jelas masih amat muda, sehubungan jabatannya sebagai Direktur Operasional. Stephanie menaksir, paling berbeda dua atau tiga tahun di atasnya. Itu baru di Damar Son S-Sports, lho, belum lagi di perusahaan lainnya.
Ehm, profil Cowok yang tengah duduk di belakang kemudi itu baru diuliknya secara sembunyi beberapa menit lalu, setelah memasuki kendaraan Daniel, seusai menerima telepon dari seorang Customer dan meneruskan obrolan dengan Daniel. Ketangkasan multi tasking kaum Hawa, yang selalu sanggup menyambi bermacam urusan dalam waktu yang bersamaan.
Berbeda dengan anggapan Stephanie selama ini tentang sejumlah Orang yang ‘seberuntung Daniel’, yang bisa menduduki posisi penting di usia muda, kali ini dia harus mengakui bahwa Daniel berbeda. Menurutnya, Daniel memang layak, menjabat posisi Direktur Operasional atau bahkan Komisaris Utama. Meski, hm.., itu di perusahaannya sendiri, yang bermitra dengan beberapa orang.
Stephanie tahu, latar belakang akademisnya Daniel, sepak terjang Cowok itu di dunia bisnis yang dalam waktu singkat sudah sepesat itu, tetap saja merupakan hal membanggakan, meski dia, adalah Putra Pak Agustin dari clan Sanjaya. Ya, fakta sebagai Keturunan dari Pak Agustin tentu memberikan keistimewaan buat Daniel. Dan tidak perlu ada acara bantah-membantah perihal yang satu ini.
Walau baru dua kali bertemu, Stephanie yakin saja, Daniel bukan typical Orang yang hanya bisa tunjuk-tunjuk alias menyuruh-nyuruh tanpa pemahaman penuh atas instruksi yang diberikannya.
Satu hal yang kontradiktif di matanya yaitu, mengapa Daniel begitu membumi? Apakah karena Daniel menduplikasi sikap positif Papanya, Agustin Reynand Sanjaya, yang memang dikenal sebagai sosok low profile?
He, kenapa juga aku ini, ngapain sepeduli ini sama orang yang baru kukenal? Batin Stephanie, menegur dirinya sendiri.
^ * Lucy Liestiyo * ^