Is It Too Early? (2)

1669 Kata
“Kita langsung touring saja ya, keliling area produksi. Biar bisa melihat langsung percobaan produksi yang berlangsung. Pak Johnson yang akan menerangkan ini itu, seluk beluk produksi di sini,” ucap Daniel setibanya mereka berdua di pabrik, usai memperkenalkan  Pria yang menurut perkiraan Stephanie berusia di awal empat puluhan yang disebut Daniel sebagai Sang  Kepala pabrik dan berbincang singkat sambil menikmati suguhan kecil berupa minuman dan makanan ringan di ruang tamu. “Mari, Bu. Oh iya, silakan pakai masker.” Anggukan ramah Pak Johnson disertai gerakan tangannya menyorongkan masker kepada Daniel dan Stephanie. Walau belum resmi beroperasi, sepertinya, telah diterapkan Standard Operating Procedures di pabrik tersebut, untuk menghindari potongan benang halus yang mungkin saja bertebaran di udara dan masuk ke jalan pernapasan. “Terima kasih,” ucap Stephanie yang segera mengenakan masker dan mulai melangkah. Gadis itu tersenyum karena berkesempatan melihat secara langsung kondisi dan cara kerja mesin kompetitor yang tengah digunakan di pabrik. “Baru dua mesin, yang datang ya Pak?” tanya Daniel. “Betul, Pak. Menurut jadwal,sisanya akan tiba lusa,” jawab Pak Johnson. Daniel mengangguk-angguk. “Oh, oke,” sahut Daniel. Usai touring singkat di pabrik, Stephanie diajak menuju ke lantai dua, ke ruangan Pak Johnson. Entah kapan tepatnya, laptop yang tadi ditinggalkannya di dekat meja kerja kepala unit produksi di lantai dasar, sudah diletakkan di sana. “Kamu tunggu di sini dulu, ya. Aku sama Pak Johnson masih perlu membicarakan beberapa hal. Disambi kerja saja, Steph, biar nggak bosan. Aku usahakan secepatnya selesai,” kata Daniel, seraya menurunkan sedikit masker kain yang menutup hidung dan mulutnya. “Oh, oke. Pak Johnson, maaf, pinjam ruangannya ya, Pak,” kata Stephanie kepada Pak Johnson yang berdiri di luar. Yang disapa tersenyum. “Silakan, Bu Stephanie. Santai saja,” sahut Pak Johnson ramah. “Kutinggal dulu, ya.” Daniel menepuk pundaknya lembut, lalu menaikkan kembali masker yang ia kenakan. Stephanie mengangguk. Dia sama sekali tidak keberatan, toh dia bisa sambil mengecek email dan membuat janji temu dengan Para Prospeknya untuk minggu depan selama Daniel menyelesaikan urusannya, sekaligus meredakan debaran yang ada di dadannya, yang semakin kencang saja, gara-gara berdekatan dengan Daniel. Diam-diam Stephanie berharap, semoga tatap kagumya kepada Daniel selama touring singkat barusan, luput dari pengamatan Cowok itu. Sementara Daniel, langsung bergerak gesit meninggalkannya. Seolah pantang membuang waktu percuma dan membuat Stephanie kelamaan menunggu dirinya. Nah, seharusnya, sih, sekarang Stephanie mulai bekerja, kan? Apalagi setelah terbebas dari Pia, Stafnya pak Johnson yang sibuk keluar masuk ruangan tempatnya ditinggalkan, membawakan minuman dingin dan menawarinya makanan ini itu dan menanyakan apakah ada yang perlu dibantu. Pia sungguh memperlakukan dirinya bak Seorang Tamu VIP saja. “Bu, ini password wifi kami. Pakai yang DMS-1 ya Bu. Signal-nya paling kuat di antara yang lainnya. Tadi Pak Johnson pesan agar memberitahukan ke Ibu. Barangkali Ibu perlu untuk bekerja. Colokan listriknya ada di sini, Bu.” Pia menunjuk ke dinding di samping kursi yang diduduki oleh Stephanie saat melihat Stephanie menyalakan laptop. “Ini teleponnya juga bisa dipakai, Bu. Silakan. Bisa langsung pencet line-nya. Nggak dikunci,” tambah Pia, bersama sentuhan tangannya pada gagang telepon di meja pak Johnson. “Terima kasih,” sahut Stephanie pula. Ya, mestinya dia memanfaatkan waktu ini untuk bekerja. Celakanya, bukan itu yang dia lakukan. Lihat saja, dia malah mengamati setiap pergerakan Daniel dari jendela kaca. Rasanya nikmat saja, mengamati seseorang tanpa sepengetahuan yang diamati. Di bawah sana, Stephanie melihat Daniel. Dia melihat betapa Daniel, dengan super gesit, membarengi langkah kaki Pak Johnson, memperhatikan cara kerja mesin-mesin bordir merk saingannya PT Sheng Li. Daniel mendekati salah satunya, mendengar keterangan pak Johnson yang lalu mendemokan cara kerja mesin tersebut. Tak disangka, Daniel kemudian mencobanya juga. Wow, sulit bagi Stephanie untuk menggambarkan perasaannya sendiri kala melihat Daniel mengoperasikan mesin bordir tersebut dan mengangkat hasilnya beberapa saat setelahnya. Dia mendesah. “Ampun deh, kenapa aku ini? Dia itu... cuma Calon Customer,” gumam Stephanie dalam resah. Namun toh hatinya tidak seketika itu ‘menurut’. Apalagi ketika ia mendapati Daniel bangkit dari duduk dan meneruskan langkah ke sisi lain. Dari jauh, Stephanie menyaksikan Para Operator mesin mengangguk hormat pada Daniel. Melihat cara Daniel menyapa mereka dengan keramahan yang tak dibuat-buat, membuat hati Stephanie menghangat. Dia sampai bicara sendirian. “Ternyata Dia itu benar-benar satu di antara seribu Bos, yang terlihat se-humble itu. Dan soal bekerja keras, banyak fakta yang aku peroleh melalui internet, sepanjang perjalanan tadi. Di salah satu berita peresmian perusahaannya, Dia disebut sebagai Anak muda yang berani mengambil resiko. Mungkin, karena semasa kuliah saja dia sudah berani bermain saham segala,” gumam Gadis itu selagi mengamati pergerakan Daniel yang beralih ke arah gudang. Meski Stephanie tak paham apa yang sedang dipercakapkan Daniel dengan pak Johnson, dia percaya, pasti itu sesuatu yang serius. Sesekali Stephanie melihat Daniel manggut-manggut, ada kalanya Cowok itu tampak melipat kedua tangannya ke d**a dan sepertinya diam mendengarkan lalu menyahuti Pak Johnson. Hati Stephanie berdesir, memergoki Daniel melirik arloji, seolah tersadar telah meninggalkan Tamunya cukup lama. Dan.., seperti ada frekuensi yang menghubungkan mereka, Daniel menatap ke atas, ke arah ruangan kerja pak Johnson. Kontan jantung Stephanie berdegup kencang sekali. “Gila! Malu-maluin banget, terciduk begini. Dia pasti tahu, aku berdiri di dekat jendela dan mengawasinya semenjak tadi,” gerutu Stephanie pelan. Walau samar, ia dapat melihat Daniel tersenyum dan melambaikan tangan  ke arahnya. Stephanie langsung pura-pura tidak melihat, tepatnya, berlagak sedang menatap ke arah lain. Padahal nyata sekali, dilihatnya Daniel menepuk bahu pak Johnson dan mereka terlihat menjauhi area gudang. Menyaksikan hal itu, kesadaran Stephanie bagai terlecut. Bergegas dia membalikkan badan, mencapai kursinya, lalu duduk menghadapi layar laptopnya. Sedetik kemudian, terdengar bunyi beep satu kali di perangkat telepon selulernya. Ada sebuah pesan masuk. From : 0811XXXXXX Tunggu sebentar ya, Steph. Kalau perlu apa-apa, minta tolong ke Pia saja. Ruangannya tepat di sebelah tempat kamu sekarang. Feel free ya. Daniel. Oh, rupanya Daniel sudah menyimpan nomor kontaknya. Pasti berbekal ‘perang kartu nama’[1] di ruang kerjanya tadi. Segera Stephanie menyimpan nomor telepon genggam Daniel dan membalas pesannya. To : Daniel MS-PT Damar Son S-Sports Take your time, Pak Daniel. Thanks a lot. Balasannya masuk kurang dari satu menit. Hanya satu katayang tertera di sana, diakhiri ikon wajah orang yang mengangkat alis, seolah berpikir keras. From : Daniel MS-PT Damar Son S-Sports Pak? Stephanie memutuskan untuk tidak menjawabnya, sebab dia juga tak tahu harus menyahuti apa. Untunglah, tidak ada pesan apa pun lagi yang masuk dari Daniel setelahnya. Dipikirnya, mungkin Daniel melanjutkan diskusi dengan pak Johnson. Entahlah. Bukankah sebaiknya dia menyambi bekerja juga ketimbang membuang-buang waktu secara sia-sia begini? Sekitar dua puluh menit kemudian, selagi Stephanie membalas email dari Trisna, Asistennya, disadarinya ada yang berdiri di ambang pintu. Segera di-tap-nya tanda send di telepon selulernya dan menengadahkan wajah, menatap ke arah pintu ruangan yang terbuka. Didapatinya, Daniel sedang berdiri di sana, setengah bersandar ke kusen. Kedua ibu jari tangan Daniel dimasukkan ke saku celana kanan dan kiri, menyisakan masing-masing keempat jari lainnya di luar, bak gaya seorang peragawan. Daniel tersenyum pada Stephanie. Manisnyaaaa! Hati Stephanie auto berdesir. Diperhatikannya, Daniel sudah berganti kemeja lengan panjang warna biru toska yang digulung hingga ke siku. Tampak segar sekali. Dasinya juga telah ditanggalkan. Hei, itu kan, kemeja yang tadi tergantung di mobil? Kalau tadi dia terkesan formal dan sedikit misterius dengan kemeja lengan panjang warna krem pucat yang dipadu jas sama pantolan warna hitam, kini kesan itu luntur. Berguguran. Warna biru toska yang melekat di badannya, bikin dia seperti Seorang Anak kuliahan saja, pikir Stephanie. Membandingkan dengan penampilannya sendiri. Sialnya, Stephanie langsung.. merasa... tua! “Hai? Sibuk?” tanya Daniel riang. Riang? Atau hanya perasaan Stephanie saja? Jadinya, Gadis itu bingung mau menjawab apa, selain memperhatikan kemeja Daniel. Daniel mengikuti arah pandangan Stephanie. “Apa? Oh, ini?” disentuhnya kemejanya. “Tadi kelamaan di area produksi. Ngider kesana-kemari, jadi keringatan. Kasihan kamu pas di mobil nanti, kena polusi udara.” Daniel tersenyum di ujung kalimatnya. Stephanie menarik sudut bibirnya ke atas, dan mencemplungkan telepon selulernya ke dalam tas kerjanya. Gerak yang tak luput dari pengamatan Daniel. Lalu, Stephanie mematikan laptopnya dan memasukkan laptop tersebut ke dalam tas laptop. Daniel pun bergegas menghampirinya. “Hm, kelihatannya kerjaannya sudah beres, kan? Jalan sekarang, yuk!” Sungguh, kali ini Stephanie yakin, ini bukan perasaannya saja. Wajah Daniel terlihat ceria sekali, kala Stephanie benar-benar tergoda untuk menyuarakan isi hatinya ini. Ceria kenapa, sih? Karena mau cepat-cepat pulang, terbebas dari keharusan lebih lama lagi bersamaku? Hei..., aku itu nggak mengganggumu, ya! Kukasih tahu, sejak di parkiran Sanjaya Building sampai sekarang, kamu, yang menggangguku, mengacak-acak pikiranku! Mengaduk-aduk perasaanku! Batin Stephanie, membela diri. “Boleh. Ayo!” Stephanie meraih tasnya, bangkit dari duduknya. “Kubawakan, ya!”  Tanpa menanti jawaban Stephanie, Daniel sudah menyambar tas laptop Stephanie. “Jangan, Pak. Saya saja,” Stephanie berusaha mengambilalih tas laptop itu dari tangan Daniel. “Pak?” Itu saja yang diucapkan oleh Daniel sembari menghindarkan tas laptop dari jangkauan Stephanie, lalu mengisyaratkan agar segera keluar dari ruangan kerja Pak Johnson. Stephanie menyempatkan melongokkan kepala ke ruangan sebelah, melambai pada Pia dan mengucapkan terima kasih. “Mau pulang sekarang ya Pak, Bu? Hati-hati di jalan, ya,” sahut Pia yang segera bangkit dari duduknya, setengah berlari menuju pintu ruangan. “Sudah, kamu nggak perlu ngantar segala. Memangnya saya Tamu apa?” cegah Daniel diiringi senyum, melihat gelagat Pia akan mengantarkan mereka. Mendengarnya, Pia tersipu. “Yuk, Steph,” Daniel menggandeng tangan Stephanie, dan gerakan refleks Stephanie bukan sekadar mengurai tangan Daniel, namun juga sedikit menjauh. “Sorry,” ucap Daniel yang tersadar, mereka masih berada di area kantor. Tapi jauh di lubuk hatinya, Daniel tidak menyesal dengan spontanitasnya menggandeng Stephanie. Stephanie hanya bergumam tak jelas. Pak Johnson yang berpapasan dengan mereka di pertengahan tangga, membatalkan niatnya untuk naik. Sebaliknya, dia mengantarkan keduanya menuju ke mobil. Barangkali Stephanie terlampau sensitif, entahlah. Rasanya dia melihat dengan jelas, Pak Johnson tersenyum kecil kala memergoki Daniel membawakan tas laptopnya dan dengan luwes meletakkannya di jok tengah. Dari pada kikuk, Stephanie berlagak tidak melihat. * ^ *  Lucy Liestiyo  * ^ [1] LL : Maksudnya, bertukar kartu nama
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN