Conversation

1795 Kata
Daniel datang membawa dua mangkuk es podeng yang diterimanya dari tukang es podeng yang berjualan di sudut tempat parkirnya warung di mana mereka makan. Tindak-tanduknya sungguh natural dan tanpa kesan dibuat-buat. Bagaiman mungkin Stephanie tidak takjub menyaksikan hal itu? Bayangkan, dirinya tengah melihat sisi lain dari Si Bapak Direktur Operasional PT Damar Son S-Sports yang masih muda dan ganteng itu, demikian luwes meletakkan es podeng di meja! Wajah Daniel terlihat amat berseri, seperti baru saja menemukan kuliner langka, yang telah sekian lama didambakannya. Stephanie yang sempat terpana sekian detik lamanya, tergugah kala Daniel mendekat. Ia segera menepikan mangkuk soto gebraknya yang telah licin tandas. Daniel sendiri, nyaris mau memesan porsi kedua tadi, seandainya dia tidak keburu tergiur memperhatikan antrian yang tidak ada habisnya, di dekat gerobak es podeng yang ada di ujung tempat parkir dari warung soto gebrak ini, tepatnya di pinggir jalan. Dan bukannya meminta bantuan dari Pelayan warung soto gebrak, dia malah berinisiatif mencari tahu secara langsung dengan mendatanginya. “Kamu pastinya sudah sering, ya, menikmati es podeng ini?” tanya Daniel pada Stephanie. “Enggak juga. Anak-anak kost di tempatku itu, lumayan rajin untuk membuat kudapan dan selalu memberiku kehormatan sebagai pencicip pertama. Jadi, ya, agak jarang membeli makanan di luar,” terang Stephanie sembari mengamati betapa lahapnya Daniel menikmati es podengnya. Hati Stephanie tergelitik. Ya ampun, Pak Adji, Mbak Serena atau Pegawainya Daniel yang lain, pernah kepikir nggak, Bos mereka makan jajanan pinggir jalan dengan selahap ini? batin Stephanie geli. “Anak kost?” Daniel menahan gerakannya menyendok. Stephanie mengeluh dalam hati. Dia sedikit menyesal. Duh, kenapa pakai keceletukan segala, sih? keluh Stephanie dalam hati. Tetapi toh dia tak ingin memberikan kesan tak enak kepada Daniel. Maka dia menjelaskannya. “Ya, ada enam Orang yang kost di tempatku,” ucap Stephanie akhirnya. Rasanya susah sekali kala mengucapkannya, mirip ketika Seseorang sedang panas dalam dan merasakan tenggorokan mereka bagai terbakar dan sulit menelan setetes air pun, tapi masih saja dipaksa untuk menelan segentong air soda. Ekspresi Daniel mendadak menjadi serius mendengarnya. Seolah, ucapan Stephanie adalah trigger baginya untuk berbagi kisah. Dia tidak ragu untuk memulainya. Sekarang juga. “Steph, kamu tahu tidak? Dulu, aku pernah mempunyai Seseorang, yang saking sayangnya aku sama dia, aku begitu takut kehilangan dia. Karenanya, aku berusaha untuk senantiasa menjaga perasaannya. Setiap kali aku menanyakan sesuatu dan dia terlihat ragu untuk menjawab, aku selalu memintanya agar melupakannya saja. Aku hanya berharap dia akan bercerita dengan sendiri di lain waktu tanpa harus kutanyakan. Aku begitu takutnya, kalau-kalau dia merasa aku mempertanyakan sesuatu yang nggak ingin dijawabnya, dan pada saat yang tidak tepat, pula,” Daniel mengambil jeda untuk mengembuskan napasnya. Stephanie sabar menantinya melanjutkan kisahnya. Ia tak menyangkal, saat ini hatinya mulai menghangat. Dia merasa mendapatkan kehormatan karena Daniel mau berbagai kisah yang sifatnya cukup personal kepda dirinya. Tanpa harus dia korek-korek, pula! “Parahnya, itu terjadi bukan cuma di awal aku mengenalnya, melainkan sampai kami akhirnya berpisah. Dan pahitnya, ternyata semua hal, yang kupikir kulakukan demi menyenangkan dirinya sebetulnya sia-sia belaka. Yang terjadi sesungguhnya, dia lah, yang selalu mengutamakanku. Dia yang selalu menjaga kepentinganku dan semua yang menyangkut tentang aku. Konyol, kan? Dia memendam sendiri semua kesedihannya, permasalahannya, kehilangan yang dialaminya, dan berfokus ke urusanku saja. Dia melakukan semua itu demi kebaikanku. Tanpa kusadari, rupanya aku sudah menjadi Orang yang egosentris. Semua tentang aku, aku, aku terus..,” tutur Daniel pahit.[1] Stephanie menahan napas mendengarnya. Ini kan, keterangan yang hendak dikoreknya dari Daniel tadi? Jujur saja, di satu sisi, dia tersanjung. Rasa itu menjalar sampai ke lubuk hatinya yang terdalam. Bayangkan saja, ada seorang yang baru saja dikenalnya, sudah membagi sekelumit kisah pribadinya. Sementara di sisi lain, ah, entahlah, mengapa rasanya hatinya justru perih? Perih yang berpadu dengan secuil harapan, sekaligus berselimutkan kegentaran. Daniel mendesah pelan. “Itu sebabnya, mengapa tadi aku tanya, apakah kamu tinggal di sini sejak kecil? Cukup sekali, aku memperlakukan Orang secara keliru dan sibuk bercerita tentang diriku dan rencanaku semata,” sambung Daniel. “Hm.., setidaknya, dia sudah menemukan the one-nya sekarang,” gumam Daniel kemudian, seolah sebuah penegasan bahwa kisah antara dirinya dengan Seseorang yang dikisahkannya, telah usai dan dirinya juga telah merelakannya. Tanpa sdikehendakinya, perut Stephanie seketika menjadi mulas, seolah ada ratusan kupu-kupu menggelitik secara serempak dan konstan, di sana. Stephanie mencoba untuk menafsirkan dan menyambung-nyambungkan sendiri narasi Daniel di dalam diam. Dirinya, Gadis yang dikatakan Daniel telah menemukan Sosok Pengganti Daniel, juga perubahan sikap yang Daniel maksud. Sebuah tanya yang membingungkan, singgah di kepala Stephanie. Jadi, maksudnya, aku ini..? pikir Stephanie dalam bingungnya. Dia takut. Teramat takut. Juga merasa sangsi akan perasaannya sendiri. Uh, digoyangkannya kepalanya kuat-kuat, seakan ada lalat yang hinggap di pipinya, mencoba mengenyahkan harapan yang menurutnya telah terbit terlampau dini, s***h, halusinasi. Tapi, hati kecilnya justru membandel dan menyemangti dirinya. Hati kecilnya mengatakan, kalau Daniel saja mau menguak kisah masa lalunya, boleh kan, dia menaruh respek pada Daniel, membagi juga dengan sedikit kisahnya sendiri? Siapa tahu, dengan begitu, kesesakannya akan sedikit berkurang? Stephanie berdeham kecil. “Eng.., sebetulnya, aku belum lama, pindah kemari dari kediaman keluargaku yang di Kemang. Sepanjang yang kutahu, rumah yang dari dulu hanya dijadikan tempat kost ini atas nama Mamaku, karenanya aku menempatinya sekitar satu setengah bulan sebelum Beliau tiada. Malam itu, Mamaku terlihat seperti biasa, sehat-sehat saja..,” di luar kendalinya, mendadak air mata Stephanie meluncur deras. Daniel kebingungan dan refleks menghapus air matanya dengan ujung jarinya. Sekelompok Remaja yang duduk berseberangan meja dengan mereka, menatap dengan pandangan haus gosip. Barangkali mereka bingung, pasangan di depan mereka tidak tampak bertengkar sebelumnya, mengapa si Cewek mendadak menangis, kan? Atau, bisa jadi, mereka sedang mengingat-ingat, sepertinya pernah melihat wajah Stephanie. Terang saja, sebab Stephanie kan tinggal tak jauh dari sini! “Hei.., Steph, jangan ceritakan sekarang, kalau memang demikian beratnya. Aku nggak akan maksa. Jangan terbeban dengan ceritaku tadi, ya. Kalaupun mau cerita, pelan-pelan saja, ceritakan yang runut, dan bagian yang kamu anggap ingin kamu bagikan,” ucap Daniel lembut. Stephanie menatap wajah Daniel. Cowok itu menanggapi dengan cara mengangguk dengan matanya. Ada sesal berpadu ketulusan, di sana. Ouh, betapa sebuah perasaan menjalari Stephanie. Dia sampai bertanya-tanya di dalam hati, Mengapa.. nyaman benar rasanya? It’s like going home. Dia juga mengingat-ingat, sudah berapa lama, dia tak memiliki perasaan ini? Atau jangan-jangan, malah tak pernah? Stephanie jelas berusaha mengusai diri. Dibayangkannya wajah Papanya, ketiga Saudaranya, dan terakhir, Mamanya. Cengeng? Rapuh? Manja? Memangnya dia berhak, memelihara sederet sikap macam itu? Stephanie menggigit bibirnya. No, I have to stand for my life! Since my Mom has passed away, I can count any one any more. Me, my self, should fight everything that I need, everything that I want! Bantah Gadis itu dalam hati. Penuh kemantapan. “Sorry, aku masih selalu emosional, setiap menyebut tentang Mamaku. Rasanya masih nggak percaya saja, bahwa Beliau begitu rapi menyimpan penyakit yang diidapnya, hanya supaya kami semua, terutama aku, nggak kepikiran. Boleh aku sedikit cerita tentang beliau, sekarang?” tanya Stephanie. Daniel mengangguk dengan matanya. “Tentu saja, Steph. Aku malah merasa terhormat, dipercaya sebagai tempat untuk berbagi cerita, sungguh,” kata Daniel, lebih lembut lagi. Stephanie pun mengangguk pendek. “Jadi, setelah Mamaku tiada, aku baru menemukan di laci meja kerjanya di rumah kami yang di Kemang, bahwa sebetulnya Beliau telah setengah tahun sebelumnya didiagnosa mengidap sirosis, penyakit hati. Aku nggak habis pikir, alangkah rapinya Beliau menyembunyikan semua fakta itu dari kami semua, di mana setiap kali ke dokter pun, hanya mau diantar oleh Asisten rumah tangga dan Supir. Kalau kupergoki nafsu makan Beliau yang menurun, tubuh yang tampak pucat dan lemah, Beliau biasanya mengelak dan berkata, mungkin itu hanya kelelahan lantaran mengurusi pekerjaan, dan juga  faktor umur,” tutur Stephanie, yang entah mengapa, membiarkan Daniel menggenggam erat jemarinya. Perasaan terlindung melingkupinya. Daniel mengisyaratkan agar Stephanie meneruskan kisahnya. “Mama sudah banyak mengurangi rutinitas di kantor. Beliau bisa memantau pekerjaan di kantor, dari rumah. Karena berbagai alasan, salah satunya keenggananku berjuang menghadapi kemacetan dan membuang waktu teramat lama di perjalanan dari Kemang ke kantor kamidi daerah Tebet, suatu saat kuutarakan keinginanku untuk tinggal di rumah yang sekarang ini. Tapi aku masih bimbang, takut kalau Mama mendadak sakit dan aku pas nggak berada di sisi Beliau.” Stephanie mengambil jeda sesaat, sekaligus mengumpulkan ketegarannya. “Mama, yang sangat paham akan apa yang kubutuhkan, malah setuju, dan bilang aku nggak perlu cemas karena masih ada Ryan, Adikku, yang tinggal di rumah Kemang. Juga sejumlah Anak kost yang menempati lantai tiga. Beliau malah menyuruh Orang untuk merenovasi paviliun dengan dua kamar, yang kerap digunakan oleh aku dan Mamaku kalau singgah dan menginap beberapa malam di sini. Tepatnya, setelah kepergian Papa. Beliau mendukung rencana kepindahanku, dan berjanji akan sesekali menemaniku,” Stephanie mengambil jeda lagi. “Lalu?” tanya Daniel, setelah memastikan Gadis itu lebih tenang ketimbang sebelum bercerita. Dia benar-benar ingin tahu lebih banyak tentang Stephanie. “Tepat di satu hari sebelum kepindahanku, Beliau memanggilku. Mama menyerahkan akta kepemilikan rumah yang ternyata telah Beliau balik nama atas namaku. Aku jelas protes, tetapi Mama nggak peduli. Mama justru berkata, semua milik Beliau adalah kepunyaanku. Siapa sangka, hanya terpaut dua minggu setelah aku pindah, kondisi kesehatan Beliau mendadak memburuk? Beliau dilarikan ke rumah sakit oleh Adikku di malam buta. Dan Beliau... memang tidak pernah sembuh dari sakitnya..,” Stephanie memutuskan untuk mengakhiri ceritanya sampai di sini. Cukup. Ini sudah terlalu banyak, menurutnya. Mendadak dia tersadar bahwa Daniel ini kan, bukan Siapa-siapanya. “Dan karenanya, kamu disalahkan oleh Saudara-saudaramu? Mereka menganggap kepindahanmu menjadi pukulan bagi Mamamu?” tak disangka, Daniel menebak setepat itu. SesaatStephanie tertegun. Lantas Gadis itu mengangguk samar, dan berkata, “Awalnya, iya. Tapi belakangan, Kakak dan Adikku nggak menyalahkan aku lagi. Barangkali mereka memang terlampau emosional lantaran terlalu sedih, kehilangan Sosok pemersatu kami. Setelahnya, mereka justru berbalik berempati. Sepertinya mereka menyadari bahwa akulah, yang merasa paling kehilangan sosok Mama.” Daniel mengangguk dalam-dalam. “Sudah seharusnya mereka menguatkanmu. Kamu dekat sekali sama Mamamu, ya?” komentar wajar dari Daniel ini, entah mengapa, justru mengirimkan perasaan insecure di benak Stephanie. Dia takut, tapi tak tahu pasti apa yang ditakuti. “Dan, kita pulang sekarang? Kita sudah cukup lama, di sini,” Stephanie mengalihkan pembicaraan. “Oke,” sahut Daniel ringan. Seringan lambaiannya pada pelayan dan membayar makanan mereka. Sepertinya, Daniel tak ingin mendesak Stephanie brcerita lebih jauh. “Yuk,” mendadak Daniel menggamit tangan Stephanie. Stephanie pura-pura tak melihat dan mengurai pegangan Daniel pada tangannya sepelan mungkin, seperti tadi, kala di pabrik. Tidak, ini terlampau cepat baginya.  Ini – sungguh – tidak - benar, kata hati Stephanie. Syukurlah, Daniel tidak memperlihatkan gelagat bahwa dirinya tersinggung dengan penolakan Stephanie. Senyumnya terulas begitu saja, mendahului Stephanie satu langkah, menuju mobilnya dan membukakan pintu sebelah kiri untuk Gadis itu. * ^ *  Lucy  Liestiyo  *  ^ [1] LL : Kisah percintaan Daniel & Ferlita, dalam hal ini, ada di naskah IN BETWEEN  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN